Tahun-tahun
pernikahan yang penuh gejolak
Perkawinan seumur
hidup yang didambakan setiap pasangan tidak gampang didapat. Perlu perjuangan
dan kemauan bersama suami-istri untuk terus memeliharanya dari tahun ke tahun.
Berikut tahun-tahun rawan dalam perkawinan yang perlu
diwaspadai.
DUA TAHUN PERTAMA:
PENUH PERJUANGAN
Inilah
tahun-tahun yang mengindikasikan, apakah pasangan "pengantin baru" bisa survive
di tahun-tahun berikut. Banyak yang berhasil melampauinya, tak sedikit juga yang
memutuskan bercerai. Sebab, di tahun inilah sebenarnya realitas dimulai.
Masing-masing pihak melihat dengan sesungguhnya, siapa
pasangannya.
Bersiaplah menerima apa
yang disebut depresi pengantin baru. Usai pesta, pasangan menempati rumahnya
sendiri dan belajar hidup mandiri sebagai suami-istri. Di sinilah pembagian
peran dan kerjasama dimulai. Ada yang lancar, ada pula yang kagok. Banyak
hal yang menjadi prioritas yang harus diselesaikan bersama. Tentang uang,
misalnya, siapa yang harus mengatur. Juga bagaimana menghabiskan waktu luang
bersama, menangani mertua, para ipar dan keluarga besar lainnya. Bayi yang
kemudian lahir akan membuat seluruh ritme ayah dan ibu berubah. Jelas, semua itu
menimbulkan tantangan sekaligus kecemasan.
Nah, agar bisa survive dan berjalan mulus, di tahun-tahun
pertama ini pasangan suami-istri seharusnya sudah mulai mendiskusikan tentang
bagaimana memecahkan masalah jika terjadi konflik, juga membicarakan
harapan-harapan masing-masing pihak.
Pasangan yang bisa melewati masa ini adalah mereka yang
selalu punya pandangan positif terhadap pasangannya, tidak mudah menyerah, dan
mau bersama-sama mencari jalan keluar di setiap persoalan. Meski tahun-tahun
pertama ini sulit, mereka akan tetap mengenangnya sebagai tahun-tahun pertama
yang penuh keintiman, kemesraan, dan saling belajar. Yang tak kalah penting,
bisa menjadi pelajaran serta pengalaman berharga untuk menempuh tahun-tahun
berikut.
TUJUH TAHUN: HARUS
WASPADA
Pernah dengar
istilah "the seven years itch"? Inilah yang disebut tujuh tahun yang membuat
"gatal". Setelah bertahun-tahun bersama, suami istri memang mulai menemukan pola
dan ritme perkawinan yang semakin jelas. Namun demikian, keinginan masing-masing
yang sudah terbaca dan kedekatan secara fisik serta emosional ini belum menjamin
bahwa kemesraan dan keintiman tetap berlanjut.
Setelah tujuh tahun berpasangan, banyak suami-istri yang
mulai terjebak dalam rutinitas berumah tangga. Suami dan istri juga mulai sibuk
dengan urusannya sendiri-sendiri. Ibu mengurusi anak-anak yang mulai masuk
sekolah dan tumbuh besar, ayah juga sibuk berkutat dengan kariernya yang semakin
menjanjikan. Belum lagi tuntutan kebutuhan keluarga yang semakin besar, membuat
ayah semakin sibuk dengan pekerjaan tambahan yang bisa menghasilkan
uang.
Semua itu membawa konsekuensi
dalam hubungan perkawinan. Karena masing-masing sibuk, waktu untuk berduaan
semakin berkurang. Akibatnya, keintiman jadi terancam. Yang lebih
mengkhawatirkan, karena masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri dan semua
hal berjalan rutin, hubungan intim semakin dilihat hanya sebagaihal rutin untuk
pemenuhan kebutuhan biologis saja. Bukan lagi ekspresi kemesraan dan kasih
sayang. Kalau tak hati-hati, masing-masing pihak bisa merasa gerah dan gatal,
seperti orang yang terperangkap. Sedikit godaan saja atau melihat hal-hal baru
yang lebih menggairahkan di luar rumah, bisa membuat komitmen
terancam.
Itu sebabnya banyak affair
atau perselingkuhan yang terjadi setelah 5 atau 7 tahun perkawinan. Pasangan
berusaha keluar dari hal-hal yang membuatnya jenuh. Di antaranya, menjalin
hubungan dengan orang yang sama sekali baru.
Untuk menjaga agar gairah dan keintiman tetap menyala,
lakukan bulan madu kedua, revisi kembali hubungan perkawinan dan pola keintiman
apa yang bisa diterapkan, sesuai dengan usia perkawinan. Jangan berharap terlalu
berlebihan bahwa dalam waktu singkat semuanya akan berubah seperti pengantin
baru. Yang penting adalah keinginan untuk tetap berkomitmen dan memperbarui
kemesraan.
LIMA BELAS TAHUN: PENUH
KESIBUKAN
Pada tahun
kelima belas, secara emosi dan fisik, kedekatan suami-istri semakin kuat. Banyak
masalah yang sudah bisa diselesaikan, misalnya rumah sudah terbeli dan keuangan
keluarga sudah mapan. Tapi tantangan berikutnya muncul di tahun ini. Sama
seperti tahun-tahun sebelumnya, problem yang lebih banyak muncul adalah
kejenuhan. Ditambah juga kebersamaan keluarga yang semakin berkurang. Misalnya,
anak-anak yang memasuki praremaja, mulai lebih banyak bergaul di luar rumah, dan
sibuk dengan urusan sekolah. Ayah berada pada puncak kariernya, begitu pula ibu
yang bekerja.
Tak heran jika di
tahun-tahun awal mudah membuat janji untuk makan malam bersama pasangan di
restoran yang romantis, kini malah susah. Sulit memintanya meluangkan waktu
untuk bermesraan karena kesibukannya.
Perubahan fisik masing-masing pihak, misalnya bentuk
tubuh semakin melebar atau kerut di wajah semakin kentara, juga melahirkan
kecemasan tersendiri. Masing-masing merasa tidak lagi menarik dan seksi di mata
pasangannya. Rasa minder lalu timbul. Kekhawatiran pasangan tak lagi bergairah,
bisa berakibat ke hubungan intim. Kebanyakan rasa minder ini diwujudkan dengan
menolak ketika diajak bermesraan. Padahal, karena masing-masing pihak sudah
sekian lama tidur di satu ranjang, pasti sudah mengenal tubuh pasangannya. Jadi,
masalah itu sebetulnya jangan dijadikan penghambat dalam berhubungan intim.
Malah karena kedekatan emosional yang semakin kuat, bisa membuat hubungan intim
menjadi lebih mantap.
Memang, sih,
jangan membayangkan hubungan intim dengan frekuensi yang sama dengan pengantin
baru. Tapi yang harus diingat, bukan lagi jumlah, tapi kualitasnya. Meski dalam
satu bulan bisa dihitung dengan jari, lakukan berbagai variasi untuk memberi
pembaruan. Mulailah memberi kejutan-kejutan yang manis, misalnya mengirim SMS
pada istri, "Bagaimana kalau malam ini kita ketemu di hotel x dan menghabiskan
malam tanpa anak-anak?"
TAHUN-TAHUN SESUDAHNYA
Simone Signoret, penulis terkenal dari Perancis, di salah
satu novelnya menulis, "Rantai tidak mengikat perkawinan, melainkan mata
rantainya. Ratusan mata rantai yang dikait setiap hari berdua, yang mengikat
terus selama bertahun-tahun. Itulah yang membuat perkawinan bertahan, bukan
gairah dan bahkan juga seks!"
Jadi,
walaupun 5, 10, bahkan 25 tahun perkawinan sudah dilewati dengan aman, jangan
pernah terlena. Ada, lo, yang baru sebulan merayakan ulang
tahun perkawinan ke-25, kemudian bercerai. Apa pasal? Kedekatan kadang membuat
kita terlena. Kita merasa sudah tahu apa yang menjadi kebutuhan pasangan.
Padahal, setiap manusia selalu membutuhkan penyegaran dan kejutan-kejutan dalam
hidupnya. Termasuk dalam hidup perkawinannya.
Meski tampaknya perkawinan sempurna, tak ada salahnya
untuk duduk bersama setiap tahun, misalnya saat ulang tahun perkawinan, untuk
melihat kembali, apa yang sebenarnya luput dari perhatian berdua yang menyangkut
soal hubungan suami-istri. Apakah kita sudah peka dengan kebutuhan pasangan?
Model kemesraan dan keintiman apa yang kita inginkan, seiring dengan pertambahan
usia perkawinan? Apa yang menjadi ganjalan atau kendala di semua hal yang bisa
mengganggu hubungan? Nah, semua itu harus ditelaah lagi, berapa pun usia
perkawinan Anda. Tak ada yang bisa menjamin selamanya akan berjalan mulus, bila
masing-masing pihak terlena dan cuek dengan keadaan perkawinan yang tampaknya
sempurna, tapi menyimpan bom waktu. Nah, Bu-Pak, sekarang sudah tahu, kan, apa yang mesti
dilakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar