Selasa, 07 April 2009

Mitos hidup perkawinan:
menerima pasangan apa adanya!

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Dalam kursus persiapan perkawinan,
saya mengajukan pertanyaan pertama begini,

"Apakah kaliah harus menerima kelemahan pasangan apa adanya?"

Dengan penuh semangat mereka menjawab,

"Pasti dong Romo! Masak sudah suami

isteri nggak mau meneriman kelemahan pasangan!"

Lalu saya tidak mengomentari, tapi saya bertanya lagi,

"Sampai kapan kalian akan saling menerima kelemahan apa adanya?"

Dengan mantap tanpa ragu ragu, mereka

pun menjawab,

"Yah pastilah kami mau menerima kelemahan sampai maut

memisahkan Romo. Masakan kita sudah janji nikah, mau diingkari!"

Saya masih juga belum berkomentar, tapi memperdalam jawaban,

"Kalau begitu, "Apa jaminan kalian,

kok bisa mengatakan mampu saling menerima

kelemahan pasangan sampai akhir hayat?

Kalau orang hutang di pegadaian,

jaminannya bisa sertifikat tanah, dsb.

Kalau kalian bertekad mau menerima kelemahan "apa adanya",

jaminannya apa?

Pasangan itu lalu bekerut dahi.

Namun mereka berusah menjawab,

"Romo, jaminan kami ya percaya saja pada pasangan,

dan ingat janji nikah!"

Saya mulai menggugat jawaban mereka,

"Ah apa benar, saya kok tidak yakin!!

Coba sekarang kalau kenyataannya begini.

Misalnya, kalau suamimu ini sering

tidak bisa bangun malam,

padahal sebagai ibu, kamu sudah capek, dan

tidak bisa  bergantian jaga untuk ganti popok anakmu,

apakah sebagai ibu,

kamu akan diam saja atau mau protes atau marah?"

Pihak calon isteri langsung saja spontan menjawab,

"Yah kalau begitu, mana bisa Romo, pasti saya

juga marah!'

Saya langsung tertawa, sambil menyahut,

"Nah, lho...baru saja tadi kalian bilang mau menerima

kelemahan apa adanya, kok sekarang

berbeda jawabanmu?

Coba saya tanya pada calon suami nih,

"Mas, kalau isterimu judes dan galak,

selalu saja komentar dengan cara

berpakaianmu, caramu makan, dsb,

kira kira kamu terima apa nggak

diperlakukan begitu oleh isterimu nanti?"

Spontan, calon suami tadi langsung menyahut,

"Romo, yah harapannya tidak seperti itu, tapi kalau

terjadi, mana saya bisa terima kelemahan isteri saya!"

Saya lalu menanggapi jawaban mereka berdua,

"Nah ternyata apa yang tadi

kalian katakan tidak konsisten kan?

Setelah dihadapkan pada contoh dan

kenyataan yang akan terjadi,

kalian sudah mengatakan "tidak bisa

menerima kelemahan pasangan!"

Jadi sebenarnya, mitos itu mesti diganti

dengan cara pandang baru,

bagaimana mengubah

PARADIGMA KITA TENTANG

KELEMAHAN MANUSIA,

Kelemahan yang dianggap sebagai gangguan yang

menggelisahkan, membosankan dan mengecewakan,

dipahami sebagai "SAAT SAAT ISTIMEWA

PENUH RAHMAT TUHAN

untuk tumbuh dan berkembang sebagai

pasangan hidup

Contohnya

begini:

kalau isterimu judes, galak dan cerewet,

itu kesempatan bagimu

sebagai suami untuk "dinilai, dikritik dan ditunjukkan kesalahanmu"

Jadi nanti kalau habis bekerja,

kalau ada kesalahpahaman,

tanyalah pada isterimu,

"apa yang salah dalam diriku menurutmu,

coba kamu nilai kerjaanku apa sudah baik apa belum!"

Kalau, suamimu sering bangun

terlambat karena tidur larut malam,

atau tidak bisa bangun malam untuk

berganti jaga, tanyakan pada suamimu,

"Mas, kalau kamu bangun terlambat,

saya belajar untuk memahami

bagaimana kamu capek seharian

sudah kerja.

Tapi saya juga jadi ingin tahu,

apa Mas keberatan dengan

tanggung jawab untuk berganti jaga malam hari

mengganti popok?

Kalau keberatan, katakan, ya

itulah resiko yang harus aku tanggung!

Namun,

alangkah senangnya,

kalau Mas bisa bangun pagi, atau bisa berjaga malam!

Tapi itu harapanku!"

Isteri belajar untuk mempelakukan suami

menjadi "diri sendiri".

Demikian juga suami yang mengenal isterinya

judes, ia tidak mau mengubahnya,

melainkan menghargai dia dengan cara

memberi kesempatannya menilai.


Dari berbagai pengamatan,

setelah pandangan itu diterapkan,

ternyata mengurangi banyak percecokkan dalam keluarga.

Mereka bisa bergembira dalam hidup perkawinan,

Tidak usah pusing saling mempersatukan

perbedaan, melainkan mereka bisa sersan,

serius tapi santai, menghadapi

kelemahan satu sama lain.

Moga moga makin banyak hidup perkawinan

menjadi tanda kehadiran cinta Allah

yang membebaskan orang untuk saling mengasihi.

1 komentar:

Staff Komisi Kateketik Purwokerto mengatakan...

Cecilia, salam kenal! Saya senang tulisanku dimuat dalam blogmu. Kalau mau cari artikelku silakan kunjungi ke fb dengan nama blasius slamet lasmunadi. Warm regards!