Jumat, 13 Juli 2012

DIALOG TUHAN DENGAN MALAIKAT


--> Ketika Tuhan menciptakan wanita, DIA lembur pada hari ke-enam.
Malaikat datang dan bertanya,

Malaikat: “Mengapa begitu lama, Tuhan?”
Tuhan :
“Sudahkan engkau lihat semua detail yang AKU buat untuk
menciptakan mereka?
Dua tangan ini harus bisa dibereskan, tetapi bahannya
bukan dari plastik.

Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan
dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan.
Mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan.
Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati
dan keterpurukan, dan semua dilakukannya cukup
dengan dua tangan ini.”

--> Malaikat pun takjub.

Malaikat: “Hanya dengan dua tangaN?? Impossible!!
Dan itu model standard?! Sudahlah Tuhan, cukup dulu
untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya”.

Tuhan: “Oh… Tidak, AKU akan menyelesaikan ciptaan ini,
karena ini adalah ciptaan favorit saya. O Iya, Dia juga akan mampu
menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari.”

--> Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan TUHAN itu.

Malaikat: “Tapi ENGKAU membuatnya begitu lembut TUHAN ?”
Tuhan: “Yah.. AKU membuatnya lembut. Tapi ENGKAU belum bisa
bayangkan kekuatan yang AKU berikan agar mereka dapat
mengatasi banyak hal yang luar biasa.”

Malaikat: “Dia bisa berpikir?”
Tuhan: “Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi.”

--> Malaikat itu menyentuh dagunya….

Malaikat: “TUHAN, ENGKAU buat ciptaan ini kelihatan lelah
& rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya.”

Tuhan: “Itu bukan lelah atau rapuh….itu air mata.”
Malaikat: “Untuk apa?”

--> TUHAN melanjutkan….

Tuhan: “Air mata adalah salah satu cara dia mengekspressikan
kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan, dan kebanggaan.”

Malaikat: “Luar biasa, ENGKAU jenius TUHAN. ENGKAU memikirkan
segala sesuatunya, wanita ciptaanMU ini akan sungguh menakjubkan!”

Tuhan: “Ya pastii…! Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona
laki-laki. Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki.
Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit.
Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa
saat ketakutan.

Dia berkorban demi orang yang dicintainya. Mampu berdiri melawan
ketidakadilan. Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya. Dia membawa temannya
yang sakit untuk berobat. CINTANYA TANPA SYARAT.
Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang.
Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa. Dia begitu bahagia
mendengar kelahiran. Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit
dan kematian. Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup.
Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.

Hanya ada satu hal yang kurang dari wanita, DIA LUPA BETAPA BERHARGANYA
DIRINYA…(soulmate9.wordpre​ss.com)

Mungkin sudah banyak yang membaca tentang dialog ini, tapi

Begitu berharganya wanita, hingga proses penciptaannya pun
begitu matang. Untuk itu, bagi bunda, jangan pernah merasa
rendah diri akan kekurangan yang kita miliki.
Tapi bersyukurlah atas semuanya. Jangan pernah menyerah
akan sesuatu hal, tapi berjuanglah. Jangan hanya mencoba
1 jalan, tapi lalui jalan yang lain untuk mencapai tujuan.

Jika menyerah oleh suatu keadaan, maka kita akan semakin terpuruk

Jumat, 06 Juli 2012

I cried for my brother six times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
dan punggung mereka menghadap ke langit.

Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah saputangan
yang mana semua bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,
telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah
di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya;
kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan
jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.

Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah.
Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) .

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku,
ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.

Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku.
Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? "

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya,
dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
"Aku tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah,
kaca jendela yang pecah telah diganti,
dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil
di depan ibuku.

"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu
untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku.
Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya
dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja
di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.

Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan ..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya,
dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orangtuaku
untuk datang dan tinggal bersama kami,
tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa.

Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,
dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,

"Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu
yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang,
luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya,
ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --
ia baru saja jadi direktur,
dan saya hampir tidak berpendidikan.

Jika saya menjadi manajer seperti itu,
berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata,
dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari dusun itu.

Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya,
"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.

"Ketika saya pergi sekolah SD,
ia berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.

Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya.
Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.

Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterimakasih adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,
di depan kerumunan perayaan ini,
air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"