Senin, 22 Desember 2008

4 Hal Bodoh Kala Jatuh Cinta

Jatuh cinta memang membuat perasaan seseorang berbunga-bunga.
Tetapi terlalu cepat jatuh cinta juga
sering membuat seseorang melakukan hal-hal yang bodoh.

Agar tidak melakukan hal-hal bodoh tersebut,
mulailah untuk melakukan beberapa perubahan yang sederhana.

Bila Anda memiliki tujuan yang positif
dan berhenti melakukan hal-hal yang negatif,
kehidupan percintaan Anda akan menguntungkan.


Berikut ini lima kebodohan yang harus segera dihentikan
plus saran bagaimana melakukannya
sehingga Anda bisa menemukan romantisme yang diinginkan.


Kebodohan 1:
Percaya pada cinta yang menggebu-gebu
pada pandangan pertama.

Rasa tertarik yang begitu kuat pada pertemuan pertama
memang menyenangkan,
tetapi cinta berkembang sesuai dengan berjalannya waktu,
dan bukan melalui pandangan sekilas atau 1-2 kali makan malam.

Bila pada pertemuan pertama
Anda sudah memiliki sedikit perasaan tertarik,
tidak ada salahnya melakukan pertemuan berikutnya.


Ingat, Anda tidak dapat menilai seseorang
bila baru pertama kali bertemu
dan berkenalan karena biasanya seseorang
masih canggung pada kencan pertama.

Cinta pada pandangan pertama
hanya ada di dalam mitos.

Oleh sebab itu, penting untuk mengenal
dan memberikan kesempatan kepada beberapa orang.

Bersikap terbuka dapat merupakan langkah penting
untuk menemukan pasangan yang tepat.


Kebodohan 2:
Jatuh cinta pada seseorang yang sudah terikat.
Tidak dapat disalahkan bila Anda jatuh cinta
dengan seseorang yang simpatik,
punya daya tarik kuat, pintar berbicara, dan kharismatik.

Tapi percayalah.
Anda akan menderita bila berkencan dengan seseorang
yang tidak seratus persen terikat dengan diri Anda
dan tidak pernah ada pada saat Anda membutuhkannya.


Tidak peduli bila Anda mengatakan bahwa
Anda tidak memerlukan seseorang
yang harus seratus persen siap untuk Anda.

Karena pada kenyataannya,
Anda tetap akan merasa sedih.

Sebaiknya perluas pergaulan, ikut kelompok diskusi,
atau kursus suatu bidang yang diminati.

Buka diri untuk berkenalan dengan orang-orang baru.
Anda berhak untuk dicintai, dikasihi, dan dipedulikan.


Kebodohan 3:
Tidak mengatakan pada orang-orang terdekat
bahwa Anda memang sedang mencari seorang kekasih.

Bila bosan dan lelah dengan kesendirian Anda,
katakan kepada orang-orang terdekat bahwa
Anda ingin memiliki seseorang
yang lebih dari sekadar teman. Tidak perlu malu.


Bila Anda tertutup,
belum tentu orang-orang terdekat mengerti keinginan Anda.

Bisa saja mereka berpikir,
Anda memang menikmati kesendirian Anda.
Dengan mengatakan keinginan kepada orang-orang terdekat,
tanpa disadari, Anda akan sibuk menerima undangan
dari orang-orang terdekat untuk menghadiri
acara makan malam ataupun
untuk menghadiri acara-acara kegiatan sosial.


Kebodohan 4:
Mengabaikan bahaya yang sudah jelas-jelas kelihatan.
Pernahkan Anda mengatakan
"Dia hebat walaupun peminum berat,"
atau "Dia sangat menarik,
kelihatannya cocok untuk saya, tapi dia playboy."


Bila jatuh cinta memang mudah
untuk mengabaikan masalah-masalah dasar
yang dapat mengancam hubungan masa depan yang serius.

Setiap kali berkencan dengannya,
Anda selalu mengabaikan masalah yang ada.


Jika ada hal-hal prinsip yang Anda rasakan,
bicarakan dengannya.
Ajukan pertanyaan-pertanyaan.

Pertimbangkan apakah alasan yang diberikannya
dapat Anda terima, masuk akal,
dan tidak akan menjadi masalah
untuk hubungan jangka panjang yang serius.

Tetapi bila dia tidak tertarik untuk terikat
dengan suatu hubungan jangka panjang
yang serius, tinggalkan dia.


Mungkin Anda tetap bisa bersahabat,
tetapi jangan buang waktu
untuk seseorang seperti dia.

Buka hati untuk orang lain,
siapa tahu tanpa Anda sadari,
ada teman dari sahabat ataupun teman lama
yang ternyata tertarik dan menyukai Anda.

Bila Anda jatuh cinta,
utamakan prioritas Anda dan tetap berpegang
pada prinsip yang telah ditentukan agar Anda tidak kecewa.


Yang manakah Anda????

Rabu, 17 Desember 2008

ENAM BATU UJIAN CINTA: NOTHING LAST FOREVER

Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami
cukup dalam untuk menghantar kami ke
arah berdampingan seumur hidup,
menuju kepada kesetiaan yang sempurna?

Bagaimana kami dapat yakin bahwa
cinta kami ini cukup matang untuk diikat
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan
seumur hidup sampai maut memisahkan?

*Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama*.

Cinta sejati ingin merasakan bersama,
memberi, mengulurkan tangan.

Cinta
sejati memikirkan pihak yang lainnya,
bukan memikirkan diri sendiri.
Jika
kalian membaca sesuatu,
pernahkah kalian berpikir,
aku ingin membagi ini
bersama sahabatku?

Jika kalian merencanakan sesuatu,
adakah kalian hanya berpikir
tentang apa
yang ingin kalian lakukan,
ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?


Sebagaimana Herman Oeser,
seorang penulis Jerman pernah mengatakan,

"Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin.
Karena yang penting
dalam perkawinan ialah
membuat pihak yang lain bahagia.

Mereka yang ingin
dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin.
Karena yang penting di sini
ialah mengerti pasangannya.

Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"

*Kedua, Ujian kekuatan*.

Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta,
tapi sedang
risau hatinya.

Dia pernah membaca entah di mana,
bahwa berat badan
seseorang akan berkurang
kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.

Meskipun
dia sendiri mencurahkan
segala perasaan cintanya,
dia tidak kehilangan berat
badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya.

Memang benar, bahwa pengalaman cinta

itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani.

Tapi dalam jangka panjang

cinta sejati tidak akan menghilangkan
kekuatan kalian; bahkan sebaliknya

akan memberikan kekuatan
dan tenaga baru pada kalian.

Cinta akan memenuhi
kalian dengan
kegembiraan serta membuat kalian kreaktif,
dan ingin
menghasilkan lebih banyak lagi.

Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru
dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif,
ataukah cinta kita justru menghilangkan
kekuatan dan tenaga kita?"


*Ketiga, Ujian penghargaan.

*Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain.
Seorang gadis
mungkin mengagumi seorang jejaka,
ketika ia melihatnya bermain bola dan

mencetak banyak gol.
Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku
mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ",
jawabnya sering sekali
menjadi negatif.

Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis,
yang
dilihatnya sedang berdansa.
Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,

"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku? ",
gadis tadi
mungkin akan berubah dalam pandangannya.

Pertanyaannya ialah:
"Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang

tinggi satu kepada yang lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"

*Keempat, Ujian kebiasaan.

*Pada suatu hari seorang gadis Eropa
yang sudah bertunangan datang pada
saya.
Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya,
"tapi
aku tak tahan caranya dia makan apel."
Gelak tawa penuh pengertian memenuhi
ruangan.

"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya.
Jangan kawin
berdasarkan paham cicilan,
lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan

berubah di kemudian hari.
Kemungkinan besar itu takkan terjadi.

Kalian
harus menerima pasanganmu
sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan

kekurangannya.

Pertanyaannya:
"Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling

menyukai?"

*Kelima, Ujian pertengkaran .

*Bilamana sepasang muda mudi datang
mengatakan ingin kawin,
saya selalu
menanyakan mereka,
apakah mereka pernah sesekali
benar-benar bertengkar -

tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil,
tetapi benar-benar
bagaikan berperang.

Seringkali mereka menjawab,
"Ah, belum pernah, pak,
kami saling mencintai."
Saya katakan kepada mereka,
"Bertengkarlah dahulu
barulah akan kukawinkan kalian."
Persoalannya tentulah, bukan

pertengkarannya,
tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi.

Kemampuan
ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin.
Bukan seks, tapi batu ujian

pertengkaranlah yang merupakan
pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum
kawin.

Pertanyaannya:
"Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"


*Keenam, Ujian waktu*.

Sepasang muda mudi datang
kepada saya untuk dikawinkan.
"Sudah berapa lama
kalian saling mencintai?" tanya saya.
"Sudah tiga, hampir empat minggu,"
jawab mereka.
Ini terlalu singkat.
Menurut saya minimum satu tahun

bolehlah.
Dua tahun lebih baik lagi.

Ada baiknya untuk saling bertemu,
bukan saja
pada hari-hari libur
atau hari minggu dengan berpakaian rapih,
tapi juga pada saat bekerja
di dalam hidup sehari-hari,
waktu belum rapi, atau cukur,

masih mengenakan kaos oblong,
belum cuci muka, rambut masih awut-awutan,

dalam suasana yang tegang atau berbahaya.

Ada suatu peribahasa kuno,
"Jangan
kawin sebelum mengalami musim panas
dan musim dingin bersama dengan pasanganmu."


Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu,
sang waktu akan
memberi kepastian.

Tanyakan:
"Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin?

Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"

Minggu, 30 November 2008

Yang engkau alami selama ini ?

Hal yang sangat menyedihkan adalah
saat kau
Jujur pada temanmu,
Dia berdusta padamu...
Saat dia telah berjanji padamu,
Dia mengingkarinya. ...
Saat kau memberikan perhatian,
Dia tidak menghargainya. ..

Hal yang sangat menyakitkan adalah
saat kau
mengirimkan e-mail pada temanmu,
Dia menghapus tanpa membacanya.. .
Saat kau membutuhkan jawaban dari e-mailmu,
Dia tidak menjawab Dan mengacuhkannya. ..
Saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Saat kau mencintainya dengan tulus tapi
Dia tidak mencintamu.. .
Saat dia yang kau sayangi tiba2 memutuskan
Hubungannya denganmu...

Hal yang sangat mengecewakan adalah
Kau dibutuhkan hanya pada saat dia dalam kesulitan...
Saat kau bersikap ramah,
Dia terkadang bersikap sinis padamu...
Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..

Jangan pernah menyesali atas apa yang terjadi padamu...
Sebenarnya hal-hal yang kau alami sedang mengajarimu. ..
Saat temanmu berdusta padamu
Atau tidak menepati janjinya padamu
Atau dia tidak menghargai perhatian yang kau berikan....
Sebenarnya dia telah mengajarimu
Agar kau tidak berprilaku seperti dia...

Saat temanmu menghapus e-mail yang kau kirim
Sebelum membacanya
Atau saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Agar tidak berprasangka buruk &
Selalu berpikiran positif
Bahwa mungkin saja dia pernah
Membaca E-mail yang kau kirim...
Atau mungkin saja dia tidak melihatmu...

Dan saat dia tidak menjawab e-mailmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Untuk menjawab e-mail temanmu
Yang membutuhkan jawaban
Walaupun kau sedang sibuk
Dan jika kau tidak bisa menjawabnya
Katakan kalau kau belum bisa menjawabnya
Jangan biarkan e-mailnya tanpa jawaban
Karena mungkin dia sedang menunggu jawabanmu...

Saat kau mencintainya dengan tulus
Tapi dia tidak mencintaimu
Atau dia yang kau sayangi
Tiba2 memutuskan hubungannya denganmu
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menerima rencanaNya.. .

Saat kau bersikap ramah
Tapi dia terkadang bersikap sinis padamu...
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk selalu bersikap ramah pada siapapun...

Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menjadi seorang teman
Yang bisa diajak berbagi cerita,
Mau mendengarkan keluhan
Temanmu Dan membantunya. ..

Bila kau dibutuhkan hanya pada saat
Dia sedang dalam kesulitan...
Sebenarnya juga telah mengajarimu
Untuk menjadi orang yang arif & santun,
Kau telah membantunya saat dia dalam kesulitan...

Begitu banyak hal yang tidak menyenangkan
Yang sering kau alami
Atau bertemu dengan orang2 yang menjengkelkan,
Egois Dan sikap yang tidak mengenakkan. ..
Dan betapa tidak menyenangkan
menjadi orang yang dikecewakan, disakiti,
Tidak dipedulikan / dicuekin, tidak dihargai,
Atau bahkan mungkin dicaci Dan dihina...

Sebenarnya orang2 tsb sedang mengajarimu
Untuk melatih membersihkan hati & jiwa,
Melatih untuk menjadi orang yang sabar
Dan mengajarimu untuk tidak berprilaku seperti itu...

Mungkin Tuhan menginginkan kau bertemu orang
Dengan berbagai macam karakter yang tidak menyenangkan
Sebelum kau bertemu dengan orang yang menyenangkan
Dalam kehidupanmu
Dan kau harus mengerti
Bagaimana berterimakasih atas
Karunia itu yang telah mengajarkan sesuatu yang
Paling berharga dalam hidupmu...

Kamis, 06 November 2008

"Four People You Will Meet In Live"

Four people you will meet in life.
Life is the
process of finding love;
every person will need to find four people in
their life.

First person is you,
second person
is the one you love most,
third person is the one who love you most,

and the fourth is the one you spend the rest of your life with.

In
life, firstly you will meet with the one you love most,
and learn how
love feels.
Because you know how love feels,
so you can find the person
who loves you most.
When you have experienced the feeling
of loving
others and being loved,
you will then know what it is you need most.


Then you will find the person who is most suitable for you,
to be able
to spend the rest of your life with.

Sadly, in real life, these three people are usually not the same person.
The
one you love most doesn´t love you.
The one, who love you most, is
never the one you love most.
And the one you spend your life with,
is
never the one you love most or
the one who love you most.

He is just the person who happens
to be at the right place at the right time.
Which person are you in other people´s life?
No
person will purposely have a change of heart.

At the point in time when
he loves you,
he really loves you.
But when he doesn´t love you
anymore,
he really doesn´t love you anymore.

When he loves you,
he
can´t pretend that he doesn´t.
Same goes, when he loves you no more,

there´s no way he can pretend he loves you.

When
a person doesn´t love you and wants to leave you.
You must ask yourself

if you still love him,
if you also don´t love him anymore,
do not keep
him just to save your pride.

If you still love him,
you should wish him
happiness,
and hope that he will be with the one he loves most,
not
stop him from it.

If you stop him from finding true happiness
with the
one he loves,
it shows you already don´t love him,
and if you don´t
love him,
what rights do you have to blame him
for a change of heart?

Love
is not possessive,
if you like the moon,
you can´t just take it down

and put it in your basin,
but the moonlight still shines upon you.

In
other words, when you love a person,
you can use another method of

possessing the person.
Let him become a permanent memory in you life.


If you really love a person,
you must love him for what he is.
Love him
for his good points,
and the bad,
you can´t wish for him to become like

what you like him to be just
because you love him.

If he can´t change
to become what you like him to be,
you don´t love him anymore.
When
you really love a person,
you cannot find a reason why you love him,

you only know that no matter when and where,
good mood or bad mood,
you
will wish to have this person be with you.

Real love is when two people

can go through the toughest problems
without asking for promises or

listing criterias.

In a relationship,
you have to put in effort and

give in at times,
not always be on the receiving end.

Being away from
each other is a type of test,
If the relationship isn´t strong,
then
you can only admit defeat.

Real love will never become hate.
When
two people are in love,
they love to ask each other to swear,
to make
promises.

Why do they ask each other to swear and promise?
Because they
don´t trust each other,
they don´t trust their lover.

These swear and
promises are useless;
Till the sky falls, till the ocean dry,
my love
for you will never change!

We all know that the sky will never fall;

the ocean will never dry,
even if it does happen,
are we still alive by
then?

Be careful when making promises;
don´t
make promises that you cannot keep.

Swear by things that can never
happen,
because it can never happen,
so no harm just saying it
casually.
Remember,
swearing by things that can never happen
are the
most touching!!

In a relationship, what you say is one thing,
but what
you do is another;
The one saying, doesn´t believe;
the one listening,

also doesn´t believe.

NB:

I always felt that my love life seems
doesn´t go well as I wish.
It always hurt.
Those words really have a great great meaning
and too easy to be written
but it´s absolutely difficult to do..

Rabu, 22 Oktober 2008

Cara Mudah Mendapatkan Pria Idaman

Bukanlah hal yang mudah bagi banyak perempuan
untuk mendapatkan pria yang baik.
Sebaliknya, jujur saja,
juga tak mudah bagi pria
untuk mendapatkan perempuan yang baik.

Berikut ini ada perspektif untuk membantu para wanita
di ambang frustrasi, yang ingin mencari seorang pria yang baik
yang sampai saat ini belum berhasil didapatkannya.
Ini dia langkah-langkahnya!


1. Jadi Diri Sendiri
Ketika pertama kali bertemu seseorang,
Anda mungkin tergoda untuk jadi seseorang yang bukan diri Anda,
misalnya berusaha berpenampilan sebaik mungkin.
Memang tak salah jika ingin memberikan kesan yang baik,
tetapi jika berlebihan mungkin bisa membuat sang pria mundur.


2. Punya Kehidupan Sendiri
Hubungan yang dipaksakan, dramatis, dan posesif
sering merupakan ekspresi dari perasaan
yang sangat membutuhkan pria di dalam kehidupan Anda.
Sebaiknya, ikuti target Anda, kembangkan minat dan hobi,
miliki kehidupan yang menarik,
lakukan hal-hal yang membawa Anda keluar dari lingkaran rutin.
Dan jangan bersikap berlebihan.

Pelahan belajarlah membangun jaringan pertemanan,
agar teman kencan Anda bukan satu-satunya orang
yang ada di dalam kehidupan Anda.


3. Santai & Tenang
Sebagian besar pria tak senang wanita yang agresif,
posesif, liar, manja dan lainnya.
Belajarlah lebih santai dan bersenang-senang.
Jadi, jaga perilaku Anda.
Bila harus berpacaran dengan wanita
yang membuat hidupnya makin sulit,
pasti akan membuat pria tak berminat.

Jika Anda melakukan segala hal dengan tulus,
pria akan menghargainya.
Ingat, sebagian besar pria, terutama yang baik,
mencari seseorang yang bisa membuatnya nyaman,
bukan yang selalu membuatnya kesal dan ingin marah.


4. Menyadari Perbedaan Komunikasi
Pria sering tak bisa menangkap pesan samar-samar
yang dikirimkan wanita melalui bahasa tubuhnya.
Jangan menyalahkannya, karena memang begitulah pria.
Bahasa tubuh yang samar-samar seperti senyuman
yang membuat pria tak yakin,
apakah Anda sungguh-sungguh menyukainya.

Mereka tak bisa berasumsi,
senyuman berarti Anda tertarik padanya.


5. Sehat mental dan minat
Penelitian psikologis menunjukkan,
seseorang mencari pasangan
untuk mengisi kekosongan psikologis.
Terkadang kekosongan ini tak sehat,
misalnya wanita hanya mencari seorang pria
hanya untuk menggoda dan merasa dibutuhkan.

Lihat diri Anda dan tanyakan
mengapa sangat menginginkan pria,
bersikaplah jujur pada diri sendiri.
Wanita yang bermasalah hanya akan menarik pria
yang juga bermasalah,
dan pria yang baik dan sejati
tak ingin punya pasangan yang memiliki
masalah lebih besar darinya.

Jika Anda menginginkan hubungan yang sehat
dengan pria sejati, pastikan keadaan mental
dan minat Anda juga sehat.


6. Jangan Mempermainkan
Tak seorang pun senang dipermainkan.
Mempermainkan berarti mengelabui
dan akan menyakiti orang yang percaya pada Anda.

Jangan bermain dengan perasaan.
Pria yang baik akan menghormati,
bahkan mengejar Anda.
Jika Anda tak serius,
hanya akan membuat pria baik pergi meninggalkan Anda.

Jika Anda menyenangi seorang pria,
jangan bersikap seolah tak menyukainya.
Katakan saja terus terang.

Memang ada pria yang senang tantangan,
tetapi pria baik akan menghargai diri dan harapan Anda,
dan akan pergi jika terus dipaksa.
Ingat, pria berkomunikasi secara langsung.


7. Perlakukan Dengan Baik
Ini merupakan hal paling penting!
Pria tak senang berada bersama wanita yang meremehkannya,
dan pria baik tak akan membutuhkan waktu lama
untuk meninggalkan wanita seperti ini.
Jadi, jangan takut untuk membantu pria
menaikkan harga dirinya.
Pria sama seperti wanita, sering merasa tidak aman.

Jika pria berada bersama teman-temannya atau keluarganya,
tunjukkan Anda menghargai dan bangga terhadap dirinya.
Percayalah, Anda akan memenangkan cinta dan hormatnya.


8. Pujilah, Tapi Jangan Berlebihan
Pria baik tidak nekat dalam mencari wanita.
Mereka senang bertemu wanita yang juga baik.
Pria baik akan menghargai pujian
atas daya tarik yang dimilikinya.

Bagaimanapun juga,
jangan melakukannya dengan cara berlebihan.
Jika ia belum tertarik kepada Anda,
jangan nekat karena semakin Anda nekat,
ia akan semakin tak tertarik.
Sebaiknya, jadilah diri sendiri.


9. Hormati diri Anda
Jika Anda mengatakan tidak, ia harus berhenti.
Jika ia tak berhenti, sebaiknya tinggalkan.
Jangan ragu-ragu untuk mengatakan tidak'.
Jangan bersikap melawan moral Anda
untuk mencoba mempertahankannya.

Jika Anda merasa perlu meninggalkannya,
berarti ia bukan pria yang baik atau cocok
untuk Anda secara spesifik.

Anda pun tak boleh ragu-ragu untuk mengatakan ya'.
Jika Anda merasa waktunya tepat,
percaya dengan keberuntungan,
yakinlah pria idaman Anda akan muncul.


10. Ikuti Aturan Emas
Artinya, terapkan aturan Anda untuk orang lain,
termasuk untuk dia, pada diri sendiri.
Pria sejati pasti memerhatikan hal ini,
namun mereka tak mengatakannya.

Perlakukanlah dirinya dengan hormat dan menghargai.
Siapa tahu, jika pria tahu Anda menginginkan pria yang baik,
sejati, dan belum memiliki anak,
mungkin ada di antara mereka yang memenuhi kriteria
lalu memperkenalkan diri ke Anda.


11. Jangan posesif
Artinya, jangan perlihatkan kepada teman kencan
bahwa Anda selalu ingin berada di dekatnya.
Pria memerlukan ruang
dan tak ingin Anda mengikuti ke mana pun mereka pergi,
karena Anda juga punya kehidupan sendiri.

Senin, 15 September 2008

Please Don't Cry

Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita menangis ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita membayangkan
sesuatu ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita berciuman ?
Hal hal yang terindah di dunia ini biasanya tidak
terlihat

Ada hal hal yang tidak ingin kita lepaskan
dan ada orang orang yang tidak ingin kita tinggalkan

Tapi ingatlah, melepaskan bukan berarti akhir dari dunia
melainkan awal dari kehidupan yang baru

Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah tersakiti
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah mencari
dan telah mencoba

Karena merekalah yang bisa menghargai
Betapa pentingnya orang yang telah menyentuh
kehidupan mereka

Cinta adalah ketika kamu menitikkan air mata,
tetapi masih peduli terhadapnya

Cinta adalah ketika dia tidak mempedulikanmu,
kamu masih menunggunya dengan setia

Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata ,
" Aku turut berbahagia untukmu "

Apabila cintamu tidak berhasil,
bebaskanlah dirimu
Biarkanlah hatimu kembali melebarkan sayapnya dan
terbang ke alam bebas lagi

Ingatlah,
kamu mungkin menemukan cinta dan
kehilangannya..
Tetapi saat cinta itu dimatikan,
kamu tidak perlu mati bersamanya..

Orang yang terkuat
bukanlah orang yang selalu
menang dalam segala hal
Tetapi mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana,
dalam perjalanan kehidupanmu,
Kamu akan belajar tentang dirimu sendiri
dan suatu saat kamu akan menyadari
Bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada di dalam hidupmu

Hanyalah penghargaan abadi
atas pilihan pilihan kehidupan
yang telah kau buat
Yang seharusnya ada di dalam hidupmu

Sahabat sejati akan mengerti ketika kamu berkata,
" Aku lupa "

Sahabat sejati akan tetap setia menunggu
ketika kamu berkata,
" Tunggu sebentar "

Sahabat sejati hatinya akan tetap tinggal,
terikat kepadamu ketika kamu berkata,
" Tinggalkan aku sendiri"

Saat kamu berkata untuk meninggalkannya,
Mungkin dia akan pergi meninggalkanmu sesaat,
Memberimu waktu untuk menenangkan dirimu sendiri,
Tetapi pada saat saat itu, hatinya tidak akan
pernah meninggalkanmu

Dan sewaktu dia jauh darimu,
dia akan selalu mendoakanmu
dengan air mata

Lebih berbahaya mencucurkan air mata di dalam hati
daripada air mata yang keluar dari mata kita
Air mata yang keluar dari mata kita dapat dihapus,
Sementara air mata yang tersembunyi,
Akan menggoreskan luka di dalam hatimu
yang bekasnya tidak akan pernah hilang

Walaupun dalam urusan cinta,
kita sangat jarang menang,
Tetapi ketika cinta itu tulus...
meskipun mungkin kelihatannya kamu kalah,
Tetapi sebenarnya kamu menang
karena kamu berbahagia
sewaktu kamu dapat mencintai seseorang
Lebih dari kamu mencintai diri kamu sendiri...

Akan tiba saatnya
dimana kamu harus berhenti
mencintai seseorang
Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita
Atau karena ia tidak mempedulikan kita
Melainkan saat kita menyadari
bahwa orang itu akan lebih berbahagia
apabila kita melepasnya

Tetapi apabila kamu benar benar mencintai seseorang,
Jangan dengan mudah kita melepaskannya
Berjuanglah demi cintamu...
Fight for your dream !
Itulah cinta yang sejati..

Bukannya seperti prinsip
" Easy come.. Easy go..."

Lebih baik menunggu orang
yang benar benar kamu inginkan
Daripada berjalan bersama orang
" yang tersedia "

Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
Daripada orang yang berada di " sekelilingmu "

Lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidup ini terlalu berharga
dan terlalu singkat Untuk dibuang
dengan hanya " seseorang "
Atau untuk dibuang
dengan orang yang tidak tepat

Kadang kala,
orang yang kamu cintai
adalah orang yang paling menyakiti hatimu

Dan kadang kala teman
yang membawamu di dalam pelukannya
Dan menangis bersamamu
adalah cinta yang tidak kamu sadari

Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat membangun orang lain,
tetapi dapat juga menjatuhkannya

Bila bukan diucapkan pada orang,
waktu, dan tempat yang benar
Ini jelas bukan sesuatu yang bijaksana

Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat berupa kebenaran ataupun kebohongan
untuk menutupi isi hati

Kita dapat mengatakan apa saja
dengan mulut kita
Tetapi isi hati kita yang sebenarnya
tidak akan dapat dipungkiri

Apabila kamu hendak mengatakan sesuatu..
Tataplah matamu di cermin
dan lihatlah kepada matamu
Dari situ akan terpancar seluruh isi hatimu
Dan kebenaran akan dapat dilihat dari sana


All Is Good

You have planned all things
from the beginning
for all you'have prepared for me
my life is in your hands oh Lord

i trust that your plans
are purposed for my good
for all future full of hope
and for abundant life

reff :
all is good, all is good
everything that you have done
in my life
all is good,truly good
i have meaning in my life
because of You

All blessings,

Kamis, 11 September 2008

CINTA DAN KASIH



Kalau engkau terperangkap olehnya,
cinta itu menjadi kematian bagimu.
Cinta
bagai misteri,
datang dan pergi tanpa permisi.
Anda tak perlu
mencarinya
karena cinta akan datang dengan sendiri.
Anda tak dapat
membelinya
karena cinta tak dapat dihargai.


Cinta akan lahir dengan sendirinya
tanpa kita ketahui kapan,
dan tanpa kita
ketahui kepada siapa.

Jika suatu hari pasangan Anda mengatakan
" Aku
tak mencintaimu lagi. " Let it go.
Biarkan berlalu
karena cinta tak
dapat dipaksakan.

Jika dipaksakan
cinta tersebut layaknya sebuah bom
waktu,
yang akan meledak menjadi kebencian.
Let it go.


Cinta akan datang kembali kepada Anda suatu waktu,
mungkin dari orang yang pernah Anda cintai
atau dari seseorang
lainnya,
Tuhan tak akan membiarkan Anda sendirian.


Lalu bagaimana dengan perasaan Anda yang ditinggalkan cinta?

Simpanlah dalam-dalam cinta tersebut.
Kenanglah sebagai bagian dari masa lalu.

Menangislah jika perlu.

Berbahagialah karena Anda pernah dicintai,
berbahagia karena cinta pernah singgah di hati Anda.


Bagaimana jika cinta hilang dalam sebuah perkawinan?
Dalam suatu perkawinan
cinta adalah cinta yang harus dipertanggungjawabkan,

kepada Tuhan dan kepada suami atau istri
dan kepada anak ( jika ada ).


Anda tak dapat pergi begitu saja dengan mengatakan
" Aku tak mencintai
kamu lagi."
Dalam sebuah perkawinan
" Anda " adalah
dua yang menjadi
satu.
" Anda " adalah suami/istri dan anda sendiri.
Jangan turuti
kemauan anda tapi turuti kemauan "Anda".

Bagi Anda yang mencintai,

ubahlah makna cinta menjadi KASIH.

Cinta itu bersemayam di dalam hati
( bukan di otak atau pikiran ),
jika hati
anda penuh dengan kasih,
cinta tak akan pernah hilang dari diri Anda.


Kasih itu indah
kasih tidak cemburu
kasih itu menerima apa adanya
dan memberi yang ada


kasih itu komitmen
sehingga seseorang yang
mempunyai kasih
tak akan melupakan cintanya


kasih itu murah hati
bukan murah cinta ( dalam hubungan asmara )


kasih itu rendah hati bukan merendahkan cinta

kasih itu mengampuni dan memaafkan
kasih adalah cinta sejati karena berasal dari Tuhan.

Tanamkan kasih di dalam hati Anda sejak awal
maka cinta Anda tak akan hilang.

Tanamkan kasih maka Anda akan bertahan
jika kekasih Anda mengatakan,
" Aku tak
mencintaimu lagi. "
( Berat memang, apalagi jika kita masih mengasihi
dia ).

Jika Anda dan pasangan Anda memiliki kasih,
Anda berdua boleh berujar :

" Orang ke tiga ? Siapa takuttt..... ......... .."

Sebab ada tiga hal yang terpenting dalam hidup ini
yaitu iman, pengharapan dan kasih
dan yang terbesar diantaranya adalah kasih.



Kamis, 24 Juli 2008

SUMMERTIME (NKOTB)


[Verse 1] Joey McIntyre
Do you remember or should I rewind
To that summer when you caught my eye
I played it cool! the weather was hot!
You had the beauty and the beach on lock

[Verse 2] Donnie Wahlberg
With your flip flops half shirt, short shorts, mini skirt
Walkin' on the beach so pretty
You wasn't lookin' for a man when you saw me in the sand
But you fell for the boy from the city
(I was like)

[Verse 3] Jordan Knight
Hey girl can I get your number
I remember what you told me, too
Don't call after 10 but you know that I did
Cause I couldn't stop thinking bout you~~~~

Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~~~)

[Verse 4] Joey McIntyre
Do you remember I¡¯ll never forget
Touchin' your body all soakin' wet
The water was cool! the feelin' was hot!
Kissin' on you while the ocean rocked

[Verse 5] Donnie Wahlberg
In your strapless sundress kickin' back, no stress
As long as we was together
Cause we were feelin' young love and we couldn't get enough
Baby I could reminisce forever
(And now I¡¯m like)

[Verse 6] Jordan Knight
Hey girl don't you know I miss it
And I wonder if you miss it, too
Never thought it would end til' it did now I'm here and I can't stop
Thinking bout you

Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~)

Oh~~~
Summer ended winter started
It got colder when we parted ways (I like this part)
As the seasons change (Bring it front, bring it back)
Winter melted spring I felt it
Summertime will never be the same (Without you)
(My summertime~)
My summer time~~~~~~~~~~~

Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~)

Oh~ O Ooh Oh Oh Oh~ oh oh oh yeah~~



Selasa, 22 Juli 2008

Semoga kisah nyata ini bisa buat refleksi semua orang...

In Memoriam Ancillo Dominic

In Memoriam
Ancillo Dominic
Malaikat kecil yg menanti orang tuanya
di pintu surga.

Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family
Pluit
Misa : 18 April 2008, 11.00 di Rd Atmajaya,
Rm. John Lefteuw
Msc.
Kremasi : 18 April 2008, 13.00 di Nirvana

Cerita ini ditulis untuk :
- Orang tua yang ingin menggugurkan bayinya karena cacat
- Vincent (6 thn) dan Francis (4 thn),
yang belum mengerti kenapa adiknya

dipanggil Tuhan begitu cepat
- Jc, suami yang penuh cinta menemani dalam suka dan duka
- Dr. Tjien Ronny, SpOG, many thanks

Bayi yang dinantikan

Setelah Vincent berumur 5,5 tahun dan Francis berumur 3,5 tahun,
saya merindukan seorang baby lagi.
Perlu waktu setahun sampai akhirnya
Jc
setuju dengan keputusan saya untuk hamil lagi.

Dia selalu menunda memberikan
jawaban,
alasannya menunggu tahun tikus,
biar shionya sama seperti
dia.

Sebenarnya, ketakutannya adalah saat melahirkan Francis,
saya sempat
pendarahan hingga tak sadarkan diri
dan perlu waktu dua bulan lebih untuk pulih.


Saat itu tidak ada satu dokterpun
baik dokter pengganti melahirkan maupun
dokter
merawat yang menjelaskan penyebabnya.

Jc meminta saya untuk memberikan alasan

yang meyakinkannya kenapa harus punya anak tiga,
kenapa dua anak tidak
cukup.

Setahun saya mencari jawabannya,
tapi tidak ketemu, mungkin karena

saya dan Jc sama-sama anak ketiga.

Alasan lain, dua anak yang lucu dan nakal,

kalau tambah satu lagi rasanya tidak masalah.
Membesarkan dua anak atau tiga

anak sama saja.

Akhirnya Jc menyerah karena saya
begitu menginginkan seorang
baby.
Kami pun pergi ke Dr. Yani Toehgiono,
dokter langganan keluarga kami,

untuk cek pra-kehamilan.

Sebelumnya saya sudah minum asam folat
selama setahun
untuk mencegah bayi DS.
Setelah cek darah dan bersih dari segala virus TORCH,
kami meminta dokter untuk sekalian program baby girl.

Sebenarnya saya lebih suka
baby boy
karena sudah terbiasa, tapi sekeliling saya ribut
untuk satu lagi harus
girl.
Ternyata untuk baby girl harus melewati
beberapa kali pemeriksaan dalam

untuk memastikan kematangan telur dan saat yg tepat.

Kami tidak mau karena kalau
terlalu banyak aturan
nanti malah susah hamil.

Bulan pertama gagal karena
tidak ada telur yang bagus, banyak telur tapi kecil-kecil.

Dokter menyarankan
untuk skip telur bulan ini.
“Nggak buru-buru, kan? Kita coba lagi bulan
depan.”
Dokter meresepkan Provula agar bertelur
kemudian dokter menjadwalkan

kapan harus kontrol lagi untuk melihat kematangan telur
disamping itu kami
diminta untuk mengisi grafik harian suhu tubuh.

5 s/d 10 minggu

Kami tidak balik ke dokter sampai bulan depannya
test-pack
positif. Saya sangat gembira karena ini
merupakan hadiah ulang tahun terindah
untuk saya.

Ketika kami kontrol, dokter langsung bertanya,
“kemarin
‘bikin’nya pakai cuka nggak?”
“Nggak,” jawab saya heran.
“Kemarin saya
jadwalin datang hari ke sepuluh, kenapa nggak datang?”
tanyanya lagi.


Saya
cuma senyum, takut dokter marah
kalau saya memberi jawaban malas.


“Kalau
lihat dari grafik, kemungkinan besar udah hamil,”
kata dokter sambil
senyum-senyum.
“Cowok lagi nih, bikinnya pas hari subur sih.”

“Apa aja deh, Dok. Yang penting sehat.
Bisa hamil aja udah syukur.”


Ketika di USG sudah
terlihat satu bintik hitam,
tapi kantong kehamilannya belum kelihatan.

“Dok, kira-kira bisa kembar nggak?
Kalau kembar, repot juga,” kata saya.

“Belum kelihatan,” jawab dokter.

“Kembar juga apa-apa, biar satu orang jaga satu,

adil.” Dokter tertawa.
Dokter lalu menasehati untuk hati-hati menjaga baby.
Dokter belum meresepkan obat penguat, hanya asam folat.

Untuk memastikan
kehamilan,
kami diminta kembali ke dokter seminggu kemudian.
Ketika berumur 6
minggu,
baby sudah terlihat lebih besar di monitor
tapi belum terdengar suara
jantungnya.

Umur 8 minggu, jantung baby sudah terdengar
seperti baling-baling
pesawat,
di monitor sudah terlihat detak yang stabil.


Umur 10 minggu, baby
sudah kelihatan bergerak-gerak,
tangan dan kaki sudah terlihat,
masih berbentuk
kecil, ukurannya masih 2.5 cm.
Lega rasanya ketika dipastikan hamil,
walaupun
harus melewati mual di pagi dan sore hari,
di luar jam kantor.
Benar-benar anak
yang mengerti orang tuanya.

12 Minggu

Kami memutuskan untuk pindah ke Dr. Tjien Ronny.
Kebetulan Rs. Family hanya lima menit dari rumah
dan
dokternya terkenal bagus.
Julukannya di kantor ‘dokter sejuta umat’.

Sebagian
besar teman di kantor konsultasi
dengan dia dan semuanya bilang oke
banget.
Sebelum bertemu dokter,
di luar suster mengisi catatan medik dan

data-data kehamilan sebelumnya,
sempat berpesan kalau kontrol dengan dokter ini

musti sabar, soalnya dokter periksanya lama dan teliti.

Kesan pada pertemuaan
pertama,
dokternya sangat simpatik, muda, ganteng,
mau mendengarkan, tidak
buru-buru
dan vitaminnya tidak aneh-aneh.


Saat itu dokter mengecek tengkuk
leher baby
untuk memastikan tidak ada penebalan cairan,
semuanya bagus, tidak
DS.

Dokter dengan teliti memperlihatkan
tangan dan kaki baby yang semuanya sudah
proporsional.
Saya senang sekali, setelah menunggu beberapa minggu,
sekarang
bisa melihat cukup lama
baby yang mengagumkan di monitor.

Tangannya seakan
melambai-lambai
dan kaki-kaki kecilnya belajar menendang.
Panjangnya sudah 6 cm.

Dokter juga sangat sabar menjawab pertanyaan kami.

Saking kinclongnya dokter,

Jc berkata ke saya,
“pasti deh si dokter minum vitamin yang jutaan,
kalau nggak
gimana bisa segar gitu.”

Jc langsung setuju untuk seterusnya pakai Dr Ronny

walaupun hari Sabtu harus menaruh buku
dari jam 6 pagi dan mengantri cukup lama,

toh cuma sebulan sekali.

Saya sempat bertanya ke suster di luar,
hari apa
yang pasiennya lebih sepi.
Kata suster, tiap hari ramai sampai tengah malem.

Lalu saya diajarkan untuk menaruh buku dulu,
tensi dan telpon ke extention untuk

menanyakan nomernya sudah dekat belum.

Suster menambahkan, dokter apa-apa
sendiri,
jahit caesar pun dilakukan sendiri, tidak pakai asisten.

Saat teman saya melahirkan, dia pernah menghitung,
dari 35 baby yang lahir,
15 diantaranya
lahir di tangan dokter.

Dokter punya begitu banyak waktu dan perhatian
untuk
pasiennya, apa masih punya waktu untuk keluarganya.
Entahlah.


17 Minggu

Dokter riang sekali pagi itu,
menyalami kami lalu
bernyanyi-nyanyi
menuju alat USG.

Kemudian mulai USG dengan serius dan

menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor.
Kali ini dokter periksa lama
sekali
dan sesaat dokter terdiam.

Akhirnya dengan suara berat dokter berkata,

“lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny…..
Ini kepalanya, … ada kelainan.

Tidak ada batok kepalanya.…
Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny.
Ini
sudah pasti cacat.”

“Kok bisa?” tanya saya.
Kata-kata dokter bagaikan petir
di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya.
Istilahnya
Anencephaly atau anencephalus.
Lu ada minum asam folat nggak?”

“Ada, malah dari setahun sebelum hamil.”

“Sampai sekarang, memang diduga karena

kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum,
berarti yang lain.
Dia cacat,
mungkin meninggal di dalam,
kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia.

Bisa
juga hidup sampai waktunya dilahirkan,
kita lahirkan dia.”

Air mata saya langsung berderai.
Kenapa baby saya?
Baby ini saya minta lewat misa novena
sembilan hari,
kenapa Tuhan beri baby seperti ini?

Jc terpaku.
Tangannya yang
sedang menvideokan monitor USG
dengan Hp untuk memperlihatkan ke anak-anak,

langsung dimatikan.

Jc berdiri mematung di samping dokter.
Mukanya langsung
pucat.
Dokter masih di depan monitor,
dia menunjukkan kepala baby hanya

sampai batas alis.
Tubuh lainnya sempurna,
baby sudah punya tangan kaki yang
lengkap,
tidak berhenti meninju dan menendang,
semua jari sudah lengkap,
jenis
kelamin laki-laki,
sum-sum tulang belakang berjejer rapi,
tapi sampai pangkal
leher,
tempurung kepalanya hanya separuh,
separuh diatas tidak ada.
Kepalanya
terbuka.

Penyebabnya bukan virus atau genetik,
tapi karena satu sel tidak
menutup,
kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka.

Kejadiannya saat hamil
tiga-empat minggu.
Sekitar satu minggu setelah pembuahan.
Sebelum diketahui
hamil.

Dokter menerangkan satu persatu kepada kami.
Tidak adanya otak tidak
memungkinkan baby untuk hidup
karena otak adalah koordinator dari jantung,
paru-paru.
Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari.
Biasanya langsung meninggal
saat lahir.

Baby juga akan terlambat lahir
karena kepalanya tidak ada tempurung

untuk menekan jalan lahir dan
baby tidak produksi hormon di otaknya
untuk
perintahkan kontraksi ke ibu.

“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami.

”Biarkan dia hidup,” pintanya,
“ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati,
tapi
roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”

Saya menggeleng-gelengkan
kepala,
saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.

“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,”
lanjut dokter.
“Kita nggak berhak
membunuh dia,
secacat apapun dia, kita pelihara dia.
Toh dia tidak menyakiti
ibunya, dia tidak minta biaya,
dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan
hidup lama.
Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny,
ini Tuhan punya
rencana.”

Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong.
Jc di sisi
saya langsung merangkul bahu saya.
Wajahnya penuh air mata.

“Saya bisa bicara begini,
karena saya pernah alami yang sama,” kata dokter.

“Anak saya waktu umur
enam bulan divonis mati,
kena leukemia. Dia tidak mungkin hidup karena
kena
leukemia yang paling ganas
dan paling jarang di dunia.

Saya cari dokter di
mana-mana, ke Amerika, Belanda,
Inggris, semuanya suruh saya bawa pulang lagi

anak ini, karena dia tidak mungkin tertolong.

Sampai akhirnya Hongkong mau coba
kemo dia,
dengan catatan akan meninggal juga pada akhirnya.
Dokter sana bilang
sudah tidak ada harapan lagi.
Tapi saya bilang, coba, coba aja kemo dia,
saya
sudah rela kalau dia harus meninggal.
Saya sempat marah ama Tuhan, kenapa Tuhan,

saya sudah tolong orang, saya tidak berbuat jahat,
kenapa Tuhan beri anak
seperti ini?

Seorang biarawati sampai nangis saya omelin.
Saya bernazar ama
Tuhan, kalau anak ini sembuh,
saya akan bekerja untuk Tuhan, saya serahkan anak

ini untuk Tuhan pakai, saya akan bawakan kesaksian,
saya akan bangun rumah untuk
Tuhan.
Setahun lamanya dikemo, akhirnya anak saya sembuh.
Sekarang sudah delapan
tahun..”

Dokter menceritakan sambil menahan dirinya
untuk tidak ikut
menangis, menggigit bibirnya,
air matanya penuh di pelupuk mata,
hidungnya
merah.

“Jadi..,” suaranya parau, “jangan bunuh dia, Yenny…
biarkan dia hidup,
pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya
dengan kenyataan
pahit ini.
Lama kami semua terdiam.
Mengapa semua ini terjadi?

“Saya serahkan pada kalian..,”
suara dokter nyaris tak terdengar,
matanya menatap kami
dalam-dalam,
“kalau memang kalian nggak mau dia..,
saya nggak bisa apa-apa, ini
anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.

“Saya
akan rujukkan ke dokter lain…,”
kata dokter dengan suara sangat berat,
“yang mau
keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama,
menatap kami berdua dan menunggu
jawaban.

”Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,”
katanya dengan
suara tercekat.
“Dulu saya pernah keluarkan baby cacat,
waktu itu saya belum
mengenal Tuhan.
Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya,

Ronny, kenapa kamu lakukan ini?
Kenapa kamu bunuh dia?
Kenapa kamu buat hal yang
paling Saya benci?
Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya

….”

Dokter mengambil napas dalam-dalam.
“Saat saya melakukan aborsi,
saya
dikejar perasaan bersalah
dan nggak akan bisa lupa selamanya,
bayangan bayi saat
dikeluarkan masih menggelepar- lepar,”
dokter memejamkan matanya rapat-rapat

seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap
yang selalu menghantuinya.

“Buat
apa saya yang aborsi,
kalau masih ada orang lain yang mau
melakukannya. .”
“Jangan diaborsi..,” potong saya.
Hanya itu yang dapat saya
katakan.
Biarpun baby akan cacat, akan mati,
tapi jangan dibunuh, saya sangat
mencintai dia.
Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya,
tendangannya sudah
mulai terasa sesekali.
Biarkan dia hidup.


“Kalau dilahirkan sekarang atau
nanti…,
mana yang lebih berbahaya Dok,
saya takut istri saya pendarahan lagi,”

tanya Jc.
“Pendarahan atau tidak, sulit dipastikan.
Mungkin aja saat aborsi
terjadi pendarahan,
mungkin juga tidak.
Dan belum tentu juga nanti melahirkan

terjadi pendarahan.
Nggak ada yang bisa jamin.

Gua tidak tahu gimana dulu bisa

terjadi pendarahan,
dokter lu ada kasih penjelasan?” tanya dokter.

Saya menggeleng.
“Enam jam setelah melahirkan.”

“Mungkin karena kontraksi balik
rahim lu nggak bagus sehabis melahirkan.
Jadi, gua saranin kali ini lu nggak
boleh caesar,
nggak boleh pakai epidural, kita coba lahirin normal.

Caesar atau
epidural itu kan bius,
nanti bikin rahim lu kontraksinya makin lemah,
bisa bikin
lu pendarahan.
Lu kan udah punya riwayat pendarahan,
kita coba hindari.
Nanti
sambil jalan kita lihat.”

Lahir normal? Saya tercekat.
Dua kali saya keenakan
memakai epidural saat melahirkan,
tidak terbayang kalau kali ini harus

melahirkan normal.

Saya pernah bilang ke Jc kalau tidak ada epidural,
saya tidak
mau punya anak lagi.
Kali ini saya tidak punya pilihan…

“Dok, perlu USG 4D nggak?” tanya saya sambil menangis.
“Nggak perlu,” jawab dokter.
“Karena ini
sudah jelas sekali anencephaly.
Lu nggak perlu buang-buang duit.
Tapi kalo lu
diganti kantor atau asuransi
atau lu mau second opinion, silahkan,
gua buatin
pengantar ke Dr. Calvin.
Nanti lu cek ya di depan kapan dia
praktek.”

Kemudian dokter menuliskan surat pengantar
untuk ke Dr.
Calvin.
Mata dokter masih berkaca kaca.
Dokter menghapus sedikit air mata di

ujung matanya agar tidak mengalir turun.

“Buat gua berat sekali untuk kasih

tahu pasien kalau babynya cacat,
apalagi kalau tidak ada harapan hidup...
Tapi
paling berat kalau babynya cacat spina bifida.. ”

Dokter memberikan tissue
kepada saya.
“Tabah ya, Yenny,” katanya perlahan.
“Ini Tuhan punya rencana.
Lu
kontrol dua-tiga bulan aja,
nggak perlu antri berjam-jam,
kapan lu sempat,
lu
kontrol.
Gua cuma resepin tambah darah
dan kalsium buat lu punya
tulang.”

Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc,
“Tabah ya, kita
tetap pelihara dia baik-baik.
Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh
dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi,
air mata tidak bisa berhenti
mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini?
Kau bisa buat jantungnya
berdetak sempurna,
Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi,
kenapa tidak
sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Jc hanya terdiam.
Dia sama shocknya.

Dia hanya bisa mengelus kepala saya,
matanya berlinang dan menangis diam-diam.

Tubuhnya bergetar.
Saat menyetir pulang, baru terdengar suaranya,
“kita kena
juga ya…,
kirain cuma kena ke orang lain...”

Kami pulang penuh duka.
Anak
anak menyambut kami dengan gembira.
Mereka sudah diberitahu kalau akan punya

adik baby.

Ketika anak-anak tidur siang,
kami searching di internet mengenai
anencephaly.
Sama seperti yang dijelaskan dokter,
kekurangan asam folat diduga

sebagai salah satu penyebabnya.

Lalu kami menngecek nama baby di internet :

Ancillo Dominic.
Yang ada hanya Ancilla Domini,
nama perempuan,
artinya Hamba
Tuhan, nama kecil bunda Maria.

Kami telah menyiapkan dua nama laki laki.

Anak-anak lebih menyukai adiknya
bernama Ancillo Dominic daripada Dominic Xavio,

santo temannya Don Bosco.

Di internet tidak banyak yang bernama Ancillo.
Hari
itu kami putusan baby bernama Ancillo.
Hari pertama rasanya panjang,
air mata
tidak bisa berhenti,
untunglah ada anak-anak
sehingga saya tidak berani menangis

di hadapan mereka yang belum mengerti.

Setiap malam sebelum tidur, kedua
kakaknya
meminta kepada papa Yesus dan mama Maria
agar adik baby bisa lahir
dengan sehat dan selamat.
Hati saya sedih setiap kali mendengar doa anak-anak

yang polos.

Hampir setiap subuh jam 3-4 saya terjaga,
saya pindah ke kamar di
lantai lain
untuk menyendiri berdoa koronka, rosario, novena Hati Kudus Yesus,

novena Tiga Salam Maria, bercakap-cakap dengan Tuhan,
memohon kesembuhan
baby.

Biasanya saya berdoa sampai ketiduran
dengan baju dan bantal basah
dengan airmata.
Jc sering membangunkan saya jam 6 pagi, katanya
“Jangan sering
sendirian, ya.”

Saya menceritakan hal ini ke adik dan kakak saya,
tapi tidak
ke mama saya,
karena saya tahu dia pasti minta menggugurkan
kandungan
ini.

Selain itu saya hanya cerita ke dua orang teman
di kantor dan satu teman
di kantor lain.
Saya menjalani kehamilan di kantor dengan biasa-biasa saja,

tidak pernah saya menangis di kantor.
Saya tidak mau orang lain mengetahui,

mengasihiani saya atau bertanya-tanya.
Nanti, kalau saatnya saya sendiri sudah
recovery,
saya akan menceritakannya.


Tiga hari kemudian kami menemui Dr.
Calvin Cong.
Suster dokter ini sempat menolak
karena umur kandungan saya
tanggung,
yaitu 17 minggu, biasanya screening
di umur 11-13 minggu untuk cek DS,

kemudian 20-24 minggu untuk mengecek jantung,
kemudian di akhir kehamilan.

Saya
membohongi suster ini dan mengatakan bahwa
Dr. Ronny yang minta,
akhirnya Dr.
Calvin mau.
Saya sangat menantikan pemeriksaan ini,
saya sangat berharap ada
dokter lain
yang berkata bahwa diagnosa Dr. Ronny salah,
bahwa baby sehat-sehat
aja,
bahwa USG 2D memang sering salah.
Tapi hal ini tidak pernah menjadi
kenyataan.

Malam itu, sekitar jam 7 malam, kami menemui Dr. Calvin,

tampangnya cool, saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan,
soalnya saya takut
menangis sehingga tidak bisa bertanya.
Menurut dokter,
penyebabnya bukan
genetik, makanan, virus maupun asam folat.
Di Indonesia berbeda dengan di German,
jelas dokter yang german-minded,
karena baru kembali dari sana, di
German,
wanita sejak remaja sudah minum asam folat dosis tinggi yaitu 4 mg,

untuk mencegah DS.

Sedangkan di Indonesia, dosisnya hanya sepersepuluh dari yang

diminum orang German,
dengan kandungan obat yang dipertanyakan.
Obat di
Indonesia, sebagian isinya sampah,
tidak sesuai dosis.
Bahkan di Singapura pun

tidak menjual asam folat dosis tinggi.

Anencephaly pertama ditemukan di
Skotlandia,
banyak terjadi di Eropa, di Asia sangat jarang.
Biasanya orang akan
mengaborsinya,
atau bila dibiarkan sampai lahir akan langsung menguburnya,

jarang sekali diotopsi sehingga tidak banyak penelitian
mengenai cacat
ini.

Dokter memeriksa USG 4D di ruang gelap
dengan layar besar terpampang
seperti bioskop kecil,
suara musik klasik mengalun perlahan di ruangan.

Kami juga menceritakan riwayat pendarahan yang lalu.
Dokter sedikit terkejut.


Seharusnya saya tidak boleh hamil lagi
apalagi kalau pendarahannya lebih dari
500cc.
Seingat saya lebih dari itu,
lebih banyak dari dua kantong darah untuk

ukuran pria.

Dokter memulainya dengan jari tangan dan kaki baby.
Semuanya
sudah lengkap.
Kedua ginjal tidak bagus, berkapur.
Jantung bagus.
Satu jam
sendiri untuk mengecek jantung,
untuk mengetahui bocor atau tidak.
Saya sempat
tidak sabar kenapa harus berlama-lama
mengecek jantung,
kalau nantinya baby
tidak akan hidup.
Saya ingin dokter segera mengecek kepalanya.


Dokter
menjelaskan kalau jantung bocor besar
bila didengar dengan stetoskop,
alat yang
sederhana,
bunyinya hampir sama dengan jantung normal.
Tapi kalau jantung bocor
kecil malah terdengar,
seperti suara mendesis.
Biasanya dokter sulit menemukan

jantung bocor besar sehingga berakibat fatal dan
terlambat
penanganannya.

Menurutnya, beberapa bayi yang lahir mati,
biasanya disebabkan
oleh jantung yang bocor.
Tetapi dokter sini lebih suka bilang kelilit,
karena
lebih muda diterangkan ke orang awam.
Padahal bayi belum bernapas dengan

tenggorokan dan paru-paru,
sehingga kelilit bukan alasan lahir mati.


Dokter
pun menolak aborsi.
Masih terbayang di matanya ketika bayi yang diaborsi

meninggal di tangannya,
karena tidak ada pilihan lain.


Seorang wanita German,

idiot, dihamili tidak jelas.
Bayinya menderita cacat tulang,
seluruh tulangnya
rapuh tulang patah-patah di dalam.
Bayinya sangat kesakitan.
Si ibu tidak
memungkinkan untuk memelihara bayi ini.

Dokter German yang dikenal tidak
beragama,
walaupun mengakui Tuhan ada,
tidak mau melakukan aborsi.
Bagi yang
menemukan kasus,
dia sendiri yang harus membereskan.
Akhirnya baby disuntik mati

dengan alasan baby sangat kesakitan sekali
dan hal ini dibenarkan secara
medis.

Kepala baby bersembunyi di tulang panggul
sehingga dokter musti
mengelitiknya
dan dengan sabar menunggu baby balik badan
untuk mengecek
kepalanya.
Matanya lengkap, hidung dan bibirnya sudah terbentuk.

Mukanya tidak
sempurna,
kata dokter mirip kodok.
Kepalanya terbuka, otaknya ada,
tapi makin
lama makin mengecil karena cairannya terserap tubuh.

Makanya, ketika USG di umur
12 minggu belum kelihatan,
masih kelihatan normal.

Dokter memuji Dr. Ronny yang menurutnya teliti,
dokter lain mungkin tidak akan menemukan ini di usia
ini.

Di luar negripun biasanya ditemukannya di usia 24 minggu,
kalau USG 4D
sudah bisa diketahui sejak 12 minggu.
Dokter mengingatkan untuk siap-siap
‘hamil gajah’ karena baby tidak bisa menelan air ketuban
dan ginjalnya abnormal,

sehingga cairan ketubannya akan banyak sekali.

Hal ini justru bagus biar baby
kesempitan di dalam
dan lebih cepat lahir atau meninggal di dalam
sebelum
waktunya, diperkiraan sekitar umur 5 bulan.

Dokter menceritakan bahwa dia

pernah menemani temannya seorang pendeta,
anaknya menderita DS.
Teman ini protes
ke pdt. Stephen Tong,
kenapa dia yang suka mendoakan orang,
yang pendeta tapi
diberi anak DS.
Stephen Tong bilang,
kalau semua manusia sempurna,
manusia tidak
ada sisi kemanusiaannya lagi.
Kita nonton tv, kita kunjungan ke orang cacat,

kita lihat…tapi tidak akan timbul rasa kasihan.
Baru bisa merasakan bila kita
benar-benar hidup
bersamanya dan merawatnya.
Dengan merasakan penderitaan baru

kita bisa mengerti penderitaan orang lain.

Dokter mengingatkan bila aborsi

masalah akan cepat beres,
tapi ibu akan selamanya dikejar perasaan bersalah

karena telah membunuh bayinya,
hatinya tidak akan tenang,
untuk itu harus
hati-hati
jangan sampai ibu depresi bahkan gila.

Dokter meminta Jc untuk support

penuh kepada saya karena saat ini
adalah saat yang paling sulit
dilewati.
Selesai kontrol dengan Dr Calvin,
kami menunggu hasil di luar dan

proses admin pembayaran.

Tiba-tiba seorang suster menghampiri saya, katanya

Dr. Ronny ingin bertemu sebentar.
Saya sempat bingung, kan baru ketemu
beberapa
hari lalu.
Setelah menunggu satu pasien,
suster memperbolehkan kami masuk.
Di
dalam, dokter sudah memegang satu copy
surat rekomendasi dari Dr Calvin dan

beberapa foto USG.
Sama persis seperti yang ada di tangan saya.


Mata dokter
berkaca-kaca ketika dia mengamati foto baby,
air matanya nyaris tumpah,

hidungnya memerah.
Satu tangannya memegang foto,
satunya lagi menekap mulutnya
rapat-rapat.
Dokter belum bicara apa-apa tapi saya sudah menangis lagi,
padahal
selama satu setengah jam bersama Dr Calvin
saya cukup kuat untuk tidak menangis

dan dapat bertanya sebanyak-banyaknya.

“Yenny, saya ikut sedih..,” katanya

pelan, menaruh tangannya di atas tangan saya,
“tapi lu nggak usah takut.., baby
nggak kesakitan apa-apa,
tiap hari dia makan enak dari mamanya,
dia merasa
hangat, dia senang-senang aja di perut mamanya.”

Lalu dokter menatap Jc
dalam-dalam,
katanya, “saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil.
Roh
itu kekal, tidak akan mati.
Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk

bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik,
sudah merasakan kasih sayang
orang tuanya.”
Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.


“Saya juga punya satu
pasien,” lanjutnya,
“babynya cacat jantung, parah banget,
tidak mungkin untuk
hidup.
Dari awal dia minta saya dikeluarin,
tapi saya bilang, jangan bunuh dia,

pelihara dia sampai waktunya tiba.
Akhirnya, waktu umur tujuh bulan,
babynya
meninggal di dalam.
Ketika dilahirkan, ibu itu bilang
kalau dia terlanjur sayang
dengan anak ini,
apalagi ketika anak ini sudah mulai tendang-tendang
di
perutnya, dia makin sayang ama anak ini.
Ibu itu berterima kasih karena dia
nggak jadi menggugurkan.
Dia sangat-sangat sedih, tapi juga bersyukur karena

masih sempat menggendong babynya sesaat setelah dilahirkan.”

“Kalau baby
meninggal…,”
kata saya diantara isak tangis,
“biasanya disimpan dimana,
Dok?”
“Biasanya langsung dibawa pulang keluarganya
karena rumah sakit nggak
bisa simpan lama,
kita nggak punya alat seperti freezer.”


“Dok, dokter Calvin

bilang saya akan hamil gajah,
ginjal baby nggak bagus,
mungkin hanya sampai lima
bulan meninggal..”
“Mungkin.., mungkin juga nggak,” kata dokter.
“Lu nggak
usah pikirin gimana nanti.
Kalau lu rasa baby nggak gerak-gerak lagi di perut,

lu kontrol ya.
Lu pasti bisa tahu kalau dia udah nggak ada.
Kalau dia meninggal
di dalam,
nanti kita lahirkan dia.
Lu udah betul, pelihara dia baik-baik,

kalaupun dia meninggal nanti,
lu nggak akan menyesal sudah pelihara dia,
sudah
sayang dia..”
Lalu dokter mengantar kami berdua sampai ke pintu ruangan.

Dokter menepuk-nepuk punggung Jc dan berpesan,
“yang kuat ya, dampingi dia
terus.”
Dada saya sesak sekali,
cobaan satu belum selesai sudah datang cobaan
lain,
bertubi-tubi. Air mata ini juga tidak bisa berhenti mengalir.
Malam
semakin larut, kami pulang tambah berduka,
melewati hari-hari yang sangat berat,

tidak ada harapan lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan.

Ancillo dikandung
penuh dengan doa.
Saat novena meminta baby,
memang saya berkeinginan agar dapat

lebih dekat dengan Tuhan.
Saat hamil adalah saat saya penuh harap kepada Tuhan,

begitu tak berdaya dihadapanNya.
Kadang hari Sabtu kami misa pagi,
semua
untuk kesembuhan baby.
Dalam beberapa misa, kami persembahkan baby sebagai

intensi misa.

Kadang siang hari, jam tiga siang, kami mampir ke gereja,
berdoa
di depan tabernakel, doa koronka dan rosario,
karena seperti ditulis di buku
harian St. Faustina,
Yesus senang bila ada yang mengenangNya di jam kematianNya,

banyak permohonan dikabulkan bila kita memintanya
di jam kematianNya, yang kita
minta dalam sengsaraNya yang pedih.

Hari-hari bersama baby sangat
menyenangkan,
dia tumbuh seperti kakaknya dalam kandungan,
malah dia sangat
aktif dan suka menendang.
Saya sempat bilang ke dokter,
sepertinya baby tidak
pernah tidur,
dia seharian menendang-nendang.
Tapi dokter malah jawab sambil

menahan tawa, masa sih, baby juga tidur kok.
Baby selalu terbangun saat doa subuh,
setiap misa, seakan dia ikut berdoa.

Pada saat misa menjelang komuni,
saat konsekrasi,
saya selalu minta kesembuhan baby,
dan saya selalu mengganti

doa prajurit romawi menjadi

‘Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya,

tetapi bersabdalah saja maka Ancillo akan sembuh.’

Setelah menerima komuni,

saya memohon, Yesus yang sudah datang ke dalam hatiku,
Kau berada hanya beberapa
senti dari baby,
sembuhkanlah baby, temani dia selalu.

Kakak saya menyarankan ke Rm. Yohanes,
seorang teman menyarankan saya ke Rm. Rohadi,
karena beberapa
mujijat penyembuhan terjadi
dan seorang teman lain menyarankan ke Pdt. Pariadji,

karena ada mujijat bayi hidup padahal sudah divonis mati
dalam kandungan dan
bayi hidrocefalus disembuhkan.
Saya sendiri ingin ke Rm. Somar karena saat

mengandung Vincent umur lima minggu,
romo mendoakan saya sehingga kista sebesar

10 cm hilang. Dr Yani sampai bingung saat itu.
Semuanya begitu menggoda.

Tapi Jc
bilang, kita devosi aja,
tidak perlu pergi ke satupun dari mereka.
Yang
menyembuhkan tetap Yesus,
jadi minta ama Yesus,
kalau tidak sembuh juga tidak
apa-apa.

Saya sempat berkaul seperti dokter,
barangkali Tuhan mau berbelas
kasih.
Kalau Ancillo sembuh,
saya akan serahkan dia untuk Tuhan,
saya akan
dirikan panti asuhan,
saya akan wartakan kemuliaan Tuhan.
Tapi kemudian saya
bertanya-tanya sendiri,
bagaimana caranya mewartakan kemuliaan Tuhan?
Apa Tuhan
mau dengan diri saya yang percaya Tuhan
hanya diomong saja, yang tidak
sungguh-sungguh mengenalNya?
Yang hanya mencari Tuhan untuk kesembuhan Ancillo.

Setiap hari selama berbulan-bulan saya berdoa memohon mujijat.

Saya bertanya
ke seorang teman yang banyak kenalan romo,
kira-kira siapa yang enak diajak
konsultasi.
Tahunya romo juga banyak spesialisasinya, mengenai narkoba,

perkawinan, penyakit, hukum gereja, dan lain-lain.
Akhirnya teman saya
memilihkan romo yang paling bisa
diajak konsultasi, Rm. Rolly Untu Msc. dari

gereja Kemakmuran.

Waktu yang disediakan romo hanya setengah jam
karena pagi itu
romo sudah janji mau dijemput
untuk memberikan perminyakan suci ke seorang ibu

yang menderita sakit tua berumur 94 tahun.
Saya hanya ingin bertanya mengenai

upacara bila baby meninggal nanti dan
bertanya mengenai donor organ apakah

diperbolehkan gereja.
Tahunya romo belum pernah misa untuk baby meninggal,
walaupun adiknya sendiri meninggal saat lahir,
waktu itu dia masih kelas 6 SD.

Menurutnya, misanya akan sama seperti orang dewasa.
Bila baby sempat hidup, dia
akan dibaptis dulu,
baru perminyakan suci.
Untuk donor organ, selama tujuannya

untuk menolong sesama dan
donor dari yang sudah meninggal, diperbolehkan.

Tapi
kalau untuk ilmu pengetahuan misalnya
bila diserahkan ke Patologi UI untuk

dipelajari, romo tidak dapat menjawab.
“Apakah rohnya akan selamanya baby?”
tanya saya.
Saya benar-benar tidak bisa membayangkan
baby yang setiap hari
saya ajak berdoa ini
harus diajak berbicara seperti baby atau orang

dewasa.
Romo mengeleng-gelengkan kepala,
tidak bisa menjawab, katanya,
“Roh
itu tidak bisa dibandingkan dengan badan manusia
yang melalui proses dari baby,

merangkak, berjalan, dewasa, tua dan meninggal. Di alkitab ditulis,
bagi manusia
seribu tahun tapi bagi Tuhan hanya sehari.”

“Romo, apakah mujijat itu benar
ada?” tanya saya.
“Mujijat ada,” jawabnya pendek.
“Apakah romo pernah lihat langsung?”
“Satu kali,” jawabnya.
“Saya lihat orang lumpuh berjalan
sesaat di KKR.
Tapi saya tidak tahu apakah dia bisa berjalan besok dan

besok-besoknya. Kalau Yesus yang sembuhin,
selamanya orang itu akan berjalan.

Ada juga yang sudah direkayasa.
Sulit sekali terjadi mujijat,
tidak
semurah-meriah yang kita lihat di tv.
Kita tidak tahu yang mana yang benar-benar
mujijat.
Sama seperti manusia bila akan meninggal,
di detik-detik terakhir,

tiba-tiba dia makan, minum, sehat, jalan, seakan sembuh,
tapi besoknya
meninggal. Itu yang namanya kekuatan terakhir.
Gereja Katolik sangat hati-hati

dalam menyebut mujijat.
Seperti di Lourdes, kalau kita ke sana, ada ribuan kruk

tergantung, belum lagi kursi roda yang ditinggal,
tapi hanya sedikit mujijat
yang diakui gereja.”

21 minggu

Hari itu lebih ramai dari biasanya,
ketika kami menaruh buku kesiangan
sepuluh menit saja sudah dapat
nomer belasan.
Dokter menyambut kami dengan gembira
dan memeriksa baby dengan
seksama.
Setelah selesai periksa, dokter menceritakan
kalau dia baru dimarahi
oleh seorang ibu.
Babynya terkena tokso, telapak tangan kiri tidak ada.


Di
awal kehamilan dokter sudah menemukannya
dan menulis di bukunya, tapi dokter

prefer tidak memberitahukan ke orangtua baby,
dia merahasiakannya, biar
bagaimanapun baby ini harus dilahirkan.
“Untuk cacat minor,
tidak seorang
dokter pun boleh aborsi,” katanya.

Orang tua baby itu begitu marah saat
melihat baby cacat.
Kata mereka, kalau tahu baby akan cacat, dari awal mereka

akan keluarkan.

“Ibu..,” kata dokter, “bayi ibu tidak kurang apa-apa,
dia
cuma tidak punya telapak tangan,
masih banyak bayi yang cacatnya lebih berat,

tapi ibunya tetap terima dia.”
Ibu itu tetap tidak bisa terima dan tidak bersyukur.
Mungkin sudah insting dokter
untuk mempertahankan baby itu agar

tetap hidup walaupun resikonya dia habis kena marah.

26 minggu

Hari itu mood dokter sedikit jelek,
begitu datang dia langsung
meminta maaf
karena sudah bikin saya menunggu lama.
Senyum menawan yang selalu

menghias wajahnya lenyap.
Dia sedang kesal dengan orang yang suka cari hari
dan jam untuk caesar, karena bikin berantakan
semuanya dan mengorbankan orang
lain.

Biasanya hari Sabtu pagi dokter mulai praktek jam 8.30,
kadang lebih
pagi, tapi hari itu baru mulai jam 11 siang,
karena tiba-tiba didatangi dua
keluarga untuk caesar
tanpa perjanjian sebelumnya karena jamnya bagus.
Jadinya
pagi itu dokter caesar empat orang,
dan setelahnya dokter sekalian visit

pasiennya yang akan pulang.
Saya menunggunya sampai gempor dan kelaparan.
Soalnya suster bilang cuma caesar dua pasien,
itupun dokter sudah stand by dari
jam 6 pagi,
tapi kenapa dokter tidak muncul juga.
Mau pulang juga sudah
tanggung.
Begitu saya masuk dapat nomer 1,
di meja dokter sudah penuh dengan
buku,
membentuk beberapa jejer selebar meja,
sampai hampir tumpah di ujungnya,

hanya meninggalkan sedikit space di tengah-tengah.

Bukunya sudah lebih dari
nomer 60,
di luar suster masih terus tensi,
pasiennya masih terus
berdatangan.
“Manusia kalau dikit-dikit lihat hari, lihat jam, lama lama
manusia jadi terbelakang, percaya tahyul,” kata dokter.
“Nggak usahlah
lihat-lihat hongsui, tanggal, hari atau jam,
Tuhan sudah atur semuanya, dan
semuanya bagus.
Betul nggak?” tanyanya pada Jc, masih sedikit jengkel.

“Iya,” jawab Jc sambil senyum, lucu melihat dokter tumben bete.

Sambil berdiri,
dokter menggeser-geser dan merapatkan
barisan buku-buku di mejanya supaya ada

sedikit space untuk menaruh tangan agar bisa bergerak.

“Saya nggak tahu, dari
mana aja pasien saya sebanyak ini.
Minggu lalu ada yang dari Sumatra.
Bingung
saya, kenapa jauh-jauh cari saya?” tanyanya heran.
“Itu yang namanya rejeki, Dok”
kata suster tinggi berkacamata disampingnya.
Usianya sudah setengah
baya.
“Begitu ya, sus?” tanya Dokter,
matanya tidak lepas menatap suster itu,

menunggu jawaban darinya.
“Rejeki dari Tuhan, Dok,” jawab suster itu dengan
sabar, seperti seorang ibu sedang menasehati putranya.
“Oya. Jalani aja.
Semua dari Tuhan. Begitu kan, Sus?” tolehnya ke suster.
“Iya,” suster
menjawab dengan senyum sabar.
“Saya juga sedih, banyak pasien, banyak juga
fitnah yang saya terima,” katanya sambil menggelengkan kepala,
mukanya meringis.

“Banyak….,” suaranya bergetar. Pasrah.

Dokter menghela napas. “Mau diapain, ya
sudahlah..
toh saya bekerja untuk Tuhan.”

Moodnya berubah cepat, begitu jalan
ke kursinya untuk USG,
wajahnya sudah cerah kembali,
melangkah ringan sambil

bernyanyi-nyanyi.
Dokter mengukur panjang kaki dan tangan baby.
“Yenny, baby lu sehat sekali,” seru dokter.
“Coba lu lihat ini, dia happy,
dia lebih
besar dua minggu dari umurnya.
Ukurannya 28 minggu, lu kan baru 26.”

“Kok gede ya, Dok?” tanya saya.
“Emang yang pertama dan kedua berapa?”
tanyanya
balik.
“Tiga kilo dan tiga enam.”
“Lumayan gede,” kata dokter,
“baby nggak
akan seberat kakaknya,
karena dia nggak punya termpurung.
Tapi ini ukurannya
udah bagus banget,
dia sehat sekali.” Dokter menerangkan sambil

berbinar-binar.

Dokter kembali memperlihatkan
bagian-bagian tubuh baby yang

sudah sempurna terbentuk.
Dia juga memperdengarkan jantung baby,
bagus
semua.
Sekembalinya di mejanya,
dokter berkata,
“jangankan baby cacat,
baby
sehat pun bisa dipanggil Tuhan kapan aja..”
“Kemarin pagi,” ceritanya,
“saya
baru tolong satu ibu melahirkan.
Jam 5.30 pagi ibu itu datang ke kamar bersalin,

kontraksi, 39 minggu. Lalu di CTG selama setengah jam,
kondisi ibu dan baby
bagus tinggal menunggu pembukaan.
Tiba-tiba jam 6, kondisi jantung baby resah,

drop ke 50.
Saya ditelpon suster, terus saya kasih instruksi
supaya ibunya tidur
miring ke kiri
biar oksigennya lebih banyak.
Saya segera datang,
lima belas
menit kemudian,
jam 6.15 langsung siap caesar
karena jantung baby sudah makin
drop.
Begitu baby dikeluarin sudah tidak tertolong,
keburu meninggal di
dalam.”
Dokter terdiam lama.

”Siapa sangka….,” katanya pelan sambil

menggeleng-gelengka n kepala.
“Kita nggak bisa duga…, selama sembilan bulan

kontrol, USG, semua bagus, sampai minggu lalu
kontrol terakhir masih bagus

semua, kenapa pas detik terakhir…
tinggal lahir malah meninggal?
Sebentar aja
udah nggak ada.
Kita nggak tahu Tuhan punya mau.”

Matanya menerawang ke atas.
“Sebelum ke sini,
saya sempat tengokin dia, kasihan sekali dia,
masih
bengong-bengong sendirian di kamarnya.”
Dokter menghela napas panjang dan
termangu menatap kosong lembaran kertas putih
untuk dituliskan resep.


Saya
bisa membayangkan
pasti ibu itu sudah menyiapkan dengan sempurna
semua keperluan
baby mulai dari baju baru,
kaos kaki dan tangan, topi, popok, kain bedong,

minyak telon, bantal, selimut, tempat tidur baru,
kamar baby. Sekarang impiannya
hancur...
Kami ikut diam, memperhatikan dokter.
Kami menunggunya,
sampai
akhirnya dokter mendongakkan kepala dan bertanya,
“Vitamin masih ada,
Yen?”
Nah, dia sudah kembali.

Seperti biasa dokter hanya meresepkan obat

tambah darah dan kalsium karena dokter tahu
saya alergi susu.

Ketika pulang, saya bilang ke Jc,
lain kali kita ke kontrol dokternya ajak anak-anak saja.
Jadi
dokter tidak cerita yang sedih-sedih.
Jc cuma bilang, nggak usahlah,
dokter kan
juga perlu curhat.
Dia cuma bisa curhat ama kita,
kalau pasien yang babynya
baik-baik aja,
mana mungkin dia cerita kayak gini. Bener juga.

Saya sempat bertukar cerita dengan beberapa teman
yang pernah dirawat oleh dokter,
mereka
bilang dokter jarang cerita, cek biasa aja,
yang pasti dokter enak diajak
ngomong,
kalau diSMS pasti dijawab,
segar banget orangnya,
dan ngomongnya
gua-elu.
Bahkan ada seorang teman sering SMS dokter,
iseng aja, katanya senyum
penuh rahasia.

30 Minggu

Saya sempat balik sekali ke Dr. Yani.
Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D.
Dokter tersentak kaget, badannya
mundur,
menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya.
“Ya mau
diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..”
Hanya itu yang dikatakan
olehnya.

Dokter sempat kesal karena lima bulan
saya tidak kontrol dengannya,

malah pindah ke lain hati.
Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin
di keluarga
kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya,
lahir ditangannya.


Sambil USG,
dokter berkata,
“hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin.

Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.
“Apes?” tanya saya,
sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.
Tapi dokter tidak mengiyakan
maupun membatah,
kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.


“Dok, apa saya
musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.
“Percaya sama saya,
ini
bukan karena asam folat
dan hanya terjadi satu kali aja.
Makanya saya bilang,
abis ini langsung hamil lagi.”

“Dok, saya akan hamil gajah ya,
waktu USG
katanya ginjalnya jelek?”
Lalu dokter memeriksa ginjal baby.
“Ini apa, ginjal
kan? Dua-duanya bagus, normal,
kalau nggak perut baby udah bengkak.”


Dokter
kurang sependapat dengan USG 4D
yang menurutnya komersial,
rekomendasinya kurang
bisa dipakai.
“Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya.
Dokter menggeleng-gelengkan kepala.
“Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja

susah untuk di donor.”
“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.
“Udah sering,” jawabnya.
“Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada,

Mutiara waktu belum jadi Family juga ada.
Biasanya hidup tiga hari,
yang paling
lama hidup tujuh hari,
akhirnya meninggal juga.
Nanti melahirkannya biasa aja,

diinduksi dan pakai epidural,
nggak perlu dicaesar.
Kalau nggak diinduksi dan
epidural,
lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”


“Apakah dia
akan telat lahir?” tanya saya cemas.
“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”
Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja,
pas hari melahirkan
juga boleh,
dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.


Kami
tidak balik lagi ke Dr. Yani
karena merasa lebih cocok dengan Dr.
Ronny.

35 minggu

Dokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas,
tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi,
pantatnya lebih berat dari
kepalanya, baby sungsang.
“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.
“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya.
“Apa
lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”
“Kalau babynya kecil, lingkarnya
hampir sama,” jawab dokter.
“Tapi kalau babynya gede bisa bahaya,
bisa nyangkut
di bahu pas lahir.
Lu nggak usah takut,
baby lu nggak besar,
mungkin nggak
sampai tiga kilo.
Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”


Setelah
mengutak-ngatik monitor, dokter berkata,
“alat ini selalu minta lingkar kepala,

sedangkan baby nggak punya lingkar kepala.
Jadi kalau kita masukkin lingkar
kepala nol,
dia nggak mau keluarin beratnya.
Barusan gua ukur dia punya tungkai

kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”
Dokter masih penasaran
mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.

“Baby begini, memang biasanya

sungsang, dia nggak bisa muter,
pantatnya lebih berat dari kepalanya
dan memang
lebih bagus lahir pantat
sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim
bisa
terbuka.”

Sambil USG, dokter cerita,
“pagi ini gua praktek kesiangan karena

diatas tolong satu ibu dulu,
hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah,

baby mau dicoba untuk dipertahankan
satu bulan lagi baru dilahirin,
tapi ibunya
keburu panas tinggi dan kejang,
akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng..


Mata dokter masih di layar monitor,
sambil memperlihatkan baby ke
saya.
”Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?”
tanya saya, selama
ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.
“Mukanya biasa aja,
seperti
muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”
“Bisa dipakein topi?”
“Nggak bisa lho,
karena dia nggak ada lingkar kepala.”


Belakangan
saya baru sadar bahwa dokter berbohong
untuk membesarkan hati saya, baby mukanya

tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly,
matanya menonjol seperti
kodok.
“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc
“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu,
ada penutupnya seperti selaput tipis.”


“Dok, apa
jantung atau ginjalnya bisa didonor?”
“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya
langsung cerah, matanya berbinar-binar.
“Coba lu cek ke Harapan Kita.
Kalau bisa
didonor, dia nggak akan sia-sia kan?
Mungkin masih bisa berguna buat yang lain.

Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”

Dokter pun cerita kalau ada
pasiennya ada juga
yang cacat jantung berat,
babynya tidak ada harapan untuk
hidup.
Kemungkinan saat lahir langsung meninggal.
Tapi orangtuanya bilang mereka

mau coba lahirkan di Singapura,
dan dokter bilang nggak masalah.

Ketika kontrol
sebulan setelah melahirkan,
ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu

di ICU, sempat juga jalani operasi jantung
tapi akhirnya meninggal juga


“Saya
sudah cek di internet,
belum ada mengenai donor jantung baby,” kata
saya.
“Memang… sulit sekali operasi jantung,
apalagi ini jantung baby, kecil
sekali.”
“Dok, kalau lahirin nanti, sebelum digunting,
dibius dulu nggak?”

tanya saya sambil nyengir, ngeri membayangkan harus digunting.

Jc yang sudah
dua kali menemani saya melahirkan
mengatakan kalau yang digunting adalah daging

yang tebal di sekitar pantat,
bukan cuma selaput tipis.
Saat digunting, bunyinya
juga krek-krek-krek.
“Enggak dibius,” jawabnya santai.
“Karena rasa sakitnya
melebihi waktu digunting.”
Saya cuma melongo, pasrah.
“Pas jahitnya baru dibius,”
tambahnya mencoba menenangkan saya,
mengerti betul saya sedang cemas.


Jawaban dokter tetap aja tidak menenangkan hati saya.

“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.
“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja,
nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi,
nggak seperti awal
bulan, lebih ramai.
Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama.
Gua biasanya
menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.

Mau gimana lagi, dokter
memang kesayangan ibu-ibu hamil.
Sejak hari Jumat Agung saya ikut novena
Kerahiman Ilahi. Saya sengaja mengambil cuti
seminggu di kantor.
Novena mulai
jam 12 siang.
Setelah itu saya berdiam lama di depan kanfas besar
bergambar
‘Yesus, Engkau andalanku’ sambil koranka,
rosario dan jalan salib.
Seperti yang
diminta Yesus sendiri
bahwa Dia sangat ingin ditemani di hari-hari itu.
Saya
berada di kapel, kadang di gereja
di depan tabernakel sampai pukul tiga
siang.
Hanya satu pengharapan saya yang terakhir,
mungkin Tuhan mau berbelas
kasih kepada baby.
Segala rahmat yang boleh saya dapatkan,
semuanya ingin saya
mintakan untuk kesembuhan baby.
Saya berharap baby bisa lahir
tanggal 30
Maret, di hari pesta Kerahiman Ilahi,
karena janji Yesus sendiri,
segala rahmat
akan turun dari surga di hari itu.
Ternyata, baby belum mau lahir.
Saya sedikit
kecewa.

Lalu saya kembali masuk kantor.
Teman-teman mengira saya sudah
melahirkan,
karena saat itu sudah 38 minggu.


38 minggu

Hari itu baby muter lagi,
kali ini kepala berada di bawah,
sudah siap dengan posisi
lahir.
Saya sempat bertanya-tanya,
apa ini jawaban dari novena,
karena
cemas akan melahirkan sungsang.
Paru-paru baby sudah matang
dan sudah siap
lahir.
“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu,
nanti kita lihat, kalau
fungsi plasenta
sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter.


Dokter
mengingatkan bila pecah ketuban
atau keluar flek darah, langsung ke kamar

bersalin lantai 2,
nanti suster akan menelpon dokter.


Minggu ini, kata
dokter, ada pasien baru,
kontrol umur 38 minggu.
Baby sudah mau lahir,
tapi si
ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung.
Ibunya kaget, dokter sebelumnya
tidak pernah inform.
Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru,
hanya
menghitung panjang lengan dan kaki,
kalau kepalanya menyumpet tidak dicari.
Saat
memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya
kalau babynya tanpa kepala,
sampai
dokter meminta untuk USG lewat vagina,
karena baby sudah turun kadang sulit

mengecek kepalanya.
Pasiennya ada yang terkena thalasemia,
anak kedua.
Orang
tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor.
Anak pertama sehat,
tapi anak
kedua kemungkinan kena.
Mereka bertanya apa yang harus dilakukan.


Dokter
mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis,
ambil sample air ketuban,
lewat pusar
ibu.
Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur.

Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin
babynya akan tidak apa-apa.
Saat baby sudah
lahir berumur tiga bulan,
mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata,
“baby elu
lucu.”
Tapi mereka menjawab,
“lucu sih lucu.., tapi menyedihkan. .
Benar yang
dokter bilang, dia kena thalasemia.
Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali
transfusi darah,
habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi,

musti transfusi darah lagi.”

Dokter menerangkan bahwa untuk bayi,
transfusi
itu sangat menyakitkan sekali
karena pembuluh darahnya begitu kecil,
susah
mencari nadinya dan ditusuk-tusuk.
Menderita sekali.
Proses ganti darahnya lebih
lama dari orang dewasa.
Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum
di
Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun
lebih maju dan mereka sudah berhasil

menyembuhkan thalasemia.

Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja,

belum termasuk tinggal dan cek rutin.
Mereka bilang ya, saat ini kumpulin
dana untuk berobat.

Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran,
suaminya
baru kena stroke,
sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin.
Bayinya 35
minggu, jantungnya tidak bagus.
Dokter bilang baby mungkin akan meninggal
dalam
seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.
Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi,
dia bilang babynya udah seminggu lebih
tidak
bergerak.

Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam,
baby hanya bisa
dilahirkan.
Lalu enci itu menanyakan
biaya melahirkan ke admin dan kembali ke

dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan.
Dia menanyakan rumah sakit
mana yang murah.
Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang,
setahunya murah
dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.
“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak,
macam-macam cacatnya,” kata dokter,
terdiam
sebentar, “yang meninggal juga ada...”
Dokter menatap lurus mata saya,
“gua
cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu …
kalau lu nggak sendiri.”


Saya
sampai terpana mendengarnya.
Tidak pernah terpikir sejauh ini.

Sambil menuliskan resep,
dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya

hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella.
Dokter sudah mencoba meyakinkan
mereka,
bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun,
divonis kena rubella
saat masih dikandungan,
kemungkinan cacat 90%,
tapi orang tuanya tetap
pertahankan dia,
karena masih ada chance normal 10%.


Orang tua anak itu
sungguh bersyukur tidak buang baby mereka,
nyatanya sampai sekarang anak itu
sehat tanpa pernah diganggu rubella.
“Kalau masih ada chance untuk normal,
biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih.

“Walau nggak ada chance,
cacat pun kita pelihara dia,
kenapa harus dibuang?”

Kemudian dokter menatap kami,
“untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter.
“Badan ada waktunya mati tapi
roh itu kekal,
dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua

dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih
karena mama nggak buang dia.

Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti,
dia akan langsung bilang ‘mama
pembunuh’!”

Dokter menghela napas.
“Makanya banyak pembunuh yang hidupnya

nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”
Iya juga..,
bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.

“Dok, nanti kalau
setelah melahirkan, pas udah boleh pulang,
apakah saya boleh ikut kreamasi?”
tanya saya.
“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh.

Soalnya lu masih belum kuat.”
“Deket kok, di Atmajaya.”
“Kalian sudah ke sana?”
“Udah,” kata Jc.
“Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok.
Baby tiga
hari dibiarin masih bagus,
nggak perlu diformalin juga.
Kita nggak perlu sewa
ruangan
karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya.
Atmajaya juga akan
sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”
“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter.
“Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan

sembarangan, jadi lebih cepat busuk.
Tapi baby kan belum makan, darahnya juga

masih bersih, jadi bisa tahan lama.”

Lalu dokter menjadwalkan kontrol
berikut,
dua minggu yang akan datang.


40 minggu

Sesuai yang dijadwalkan, kami kontrol.
Hari itu hari perkiraan lahir.
Sudah empat hari saya
merasa perut kencang seharian,
tapi mulasnya tidak bertambah,
masih bisa
ditahan.
“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya
yang
saat itu sedang kencang.
“Sakit nggak?”

“Nggak,” jawab saya.
“Ya segini-gini
aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”
“Memang, baby nggak bisa menekan,
dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat,
untuk dorong supaya rahim mau
ada pembukaan.”
“Posisinya udah turun ya, Dok?
Perut atas saya sudah
kosong.”
“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”

Dokter
menjadwalkan jam 8 pagi di kamar bersalin, tanggal 16 April.
Tadinya dokter
meminta tanggal 17 karena dia seharian
di rumah sakit ini, tapi saya minta
tanggal 16
karena saya ingin baby lahir di hari St. Bernadeth,
santa pelindung
saya.
Dokter menyetujui, tidak masalah tanggal 16,
paginya dia praktek di
sini,
siang tempat lain, tapi sore balik lagi praktek di sini.


Ibu saya yang
pintar cari hari
juga mengatakan kalau sampai akhir bulan April,
hanya tanggal
16 yang bagus buat melahirkan, lainnya jelek.
Andaikan ibu saya menyebut tanggal
lainpun,
saya tetap memilih tanggal 16.


“Kita tunggu dia kontraksi alami ya,

sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi.
Gua nggak mau
buru-buru induksi,
nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi

pada nggak tahan, sekalian minta epidural.
Lu kan nggak boleh pakai epidural,”

kata dokter prihatin.
“Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia

mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”
Lalu dokter meresepkan obat
pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya.
Tapi begitu saya minta
disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter
langsung mencoret resepnya,

batal memberikan obat,
“jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu
pendarahan.”

Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan.
“Nanti
aja di kamar bersalin baru gua atur,
induksinya pelan-pelan aja,
jadi lu nggak
perlu diepidural,
gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.


“Dok, nanti
sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.
“Lu tenang aja,” jawab dokter.
“Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya.
Pasien
gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan,
bisa langsung transfusi darah,
lebih cepat.
Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu,

nadinya susah ketemu.”
Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu,
beberapa
suster berlomba mencari nadi di segala penjuru,
kaki, telapak tangan, lengan,
kiri dan kanan,
semuanya ditusuk dengan jarum,
bahkan setelah tusuk masih
dibelok-belokkan,
sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya,
saya diantara
sadar dan tidak.

Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh

suster dan ada satu dokter,
badannya tinggi besar dihadapan saya.
Badan saya
diguncang-guncang dari bahu sampai kaki
oleh beberapa suster,
ada yang
meneriakkan di kuping saya
bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun,
harus
bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan,
serasa terayun-ayun,
semuanya jadi putih, begitu damai..,
dingin.. tidur.. putih..


Suara orang
demikian ramai,
tapi terdengar jauh sekali,
makin lama makin menghilang.
Pikiran
saya melayang jauh,
mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus,
janjiNya
mau jemput… kok nggak datang-datang.
Saya hanya melihat ada satu warna..
putih
yang terang, putih yang dingin, putih yang damai...

“Bener, Dok” jawab saya,

“kalau pendarahan pulihnya lama,
dua bulan masih keleyengan.”

“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.
Lalu dokter menulis resep,
“Vitamin masih, Yen?”
“Abis.”

“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih,
soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah,
lu tetap minum ya buat
tambah darah.
Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”

“Nggak terlalu.”
“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI,
lu kan nanti
nggak nyusuin.”
“Tiap kali ASI suka masalah.
Yang pertama, sempat dibawa ke
UGD,
kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”

“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat.
“Pasien gua banyak kayak lu.”

“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur,
buat sinar, dadanya dipanasin,

nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar.
Kalau nggak mah keras banget, mau
dipompa nggak bisa,
diperas nggak bisa. Sakit banget.”

“Beli dimana alatnya,
biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.
“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”
“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,”
kata dokter gembira.
Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya
sebuah ide sederhana.

Hari H

Hari yang ditunggu semakin dekat.
Saya merapikan pekerjaan kantor
dan bersiap-siap untuk cuti selama satu bulan,

karena tidak ada babynya, tidak perlu cuti lama-lama.
Malam terakhir, kami bersama anak-anak
mempersembahkan doa koronka untuk adik baby yang akan lahir.


Anak-anak sudah kami persiapkan untuk berita kematian,
dengan menceritakan bahwa
saat mereka lahir kelilit tali pusar,
tapi tidak terlalu kencang, masih bisa
terlepas dan bernapas.

Tapi untuk adik baby, belum tahu apakah akan kelilit

atau tidak. Untuk itu kami berdoa agar adik baby tidak kelilit.
Saya berdoa
sambil menahan sedih,
hari ini akan menjadi hari terakhir baby bersama
kakaknya.
Apakah juga akan menjadi malam terakhir bagi saya?
Saya buru-buru
mengenyahkan pikiran itu.

Setelah pesta hari Kerahiman Ilahi tanggal 30
Maret,
baby tidak mau lahir juga,
saya meminta Tuhan supaya bisa lahir tanggal 4
April,
yaitu hari Jumat pertama, tahunya meleset juga.
Terakhir saya meminta
tanggal 16 April,
masa meleset juga, pikir saya.


Tiap hari kami misa pagi
dari jam 6.00 sampai sekitar 6.40,
sehabis itu masih sempat antar anak-anak ke
sekolah.
Sebelum ke gereja, saya menyempatkan novena Hati Kudus Yesus,
ada
kata-kata yang paling saya suka

‘kepada siapa saya berharap, kalau bukan kepada

hatiMu… Yesus, buatlah yang hatiMu kehendaki.’

Romo Andreas pernah mengatakan

kalau Yesus yang kita sembah bukan Yesus seperti
di film-film Bollywood atau di
sinetron-sinetron,
dimana Yesus kita bentuk sesuai maunya kita,
dimana Yesus
yang terbalik melayani maunya kita.
Bukan juga Yesus yang superstar,
yang
ikut Yesus pasti sukses, pasti sehat, yang pasti-pasti,
bukan semua, tapi Yesus
yang selalu mengajak kita mengikutiNya
memanggul salib kehidupan.


Betapa
beratnya mengikuti Yesus, pikir saya.
Misa pagi hari itu,
terbukalah hati
saya yang selama ini
sangat mengharapkan kesembuhan baby.
Romo berkata,
“Yesus
ada dimana kehendakNya terjadi.”

Romo menutup misanya dengan berpesan

mengutip kata-kata Martin Luther,
“kalau kita berjumpa Yesus hari ini,
hanya
empat kalimat yang akan Dia katakan,
I Love You, I Know You, I Understand You…

terakhir… Do You Know Me?
Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu,

apakah kamu mengenalKu?”

Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus,

saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu.
Bagaimana Kau bisa
berkarya di hati seperti ini?
Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo,
tapi kita
seperti orang baru kenalan.
Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu
dari
awal lagi, tambahkanlah imanku.

Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan

mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi.
Hati saya lebih tenang.

Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi kekuatan kita?

Romo
menambahkan,
“Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”


Jam 8 pagi
saya masuk kamar bersalin
setelah mengisi formulir admin
dan menyerahkan buku
medik ke suster.
Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby
dan
kontraksi selama setengah jam,
lalu mengambil darah dan menyiapkan
induksi,
juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga.
Suster juga memberikan
obat mulas untuk cuci perut.

Suster konsultasi dengan dokter lewat telepon

karena dokter sedang operasi caesar.
Ternyata sudah bukaan 1.
Tetesan induksi di
infus elektronik hanya 4 ml.
Selesai operasi caesar,
dokter memeriksa kondisi
saya,
lalu meminta suster untuk menyuntikkan pelunak rahim,
karena mulut rahim
masih sangat tebal,
baby tidak ada penekanan.


Dokter menyarankan untuk
menambah kantong darah
menjadi dua kantong, satu kantong discreening,
satu lagi
tidak.
Setelah satu jam tidak ada kemajuan pembukaan,
dokter mengatakan saya
akan dibalon.
Saya yang masih bisa jalan sendiri pindah ke ruang

tindakan.

“Gua buat lu nggak kesakitan,” dokter menghibur saya.
“Sabar ya,
sayang, memang nggak enak sedikit rasanya,
tapi ini akan buat pembukaan ada
kemajuan.”
Walaupun dokter hafal nama,
tapi dia lebih sering memakai kata
‘sayang’ ke pasien dan suster.
Ada seorang berpakaian suster, sudah berumur,
berambut panjang dan bertubuh kecil mungil,
tugasnya membantu para suster

mengambil obat ke apotik,
mengambil hasil darah ke lab,
dan menyiapkan alat-alat

yang akan dipakai dokter.

Ada satu lagi tugasnya, mencukur rambut bawah,
para
suster menyebutnya ‘cuplis’.
Nama asisten para suster itu mbak Iyem.


Ketika
hendak memasangkan balon,
suster membantu dokter mengikatkan bajunya dari

belakang, bajunya mirip baju anti peluru.
“Eiit… entar dulu,” kata dokter.
“Mau betulin dasi. Nyangkut dikit, biar nggak kena ciprat darah.”

Lalu dokter
menggulung lengan bajunya,
memakai sarung tangan dan bersiap-siap untuk
tindakan.
“Mbak Iyem, mau yang ini dong,” pinta dokter sambil menunjukkan
alat yang dimaksud, “no.. (sekian)”

Lalu mbak Iyem mencarikan sana-sini,

diantara tumpukan alat-alat yang bentuknya mirip-mirip.
Setelah ketemu dia
berikan ke dokter.
“Bukan yang ini, mbak Iyem,” kata dokter.
“Ini kebesaran,
ada yang kecilan lagi.”
Dokter dengan sabar menunggu mbak Iyem mencari
lagi.
“Bukan yang ini juga, coba cari lagi, ini masih kebesaran.”

Lalu
dokter menunggu lagi sambil bernyanyi lagu rohani.
Tidak lama ada telpon masuk,

dokter on-line lewat bluetooth hitamnya
yang menempel di kuping.
Habis on-line,

bernyanyi-nyanyi lagi atau bercanda dengan suster.

“Yang ini?” tanya mbak
Iyem ragu-ragu.
“Masih bukan, udah hampir betul.”
Mbak Iyem masih cari lagi,
dokter menoleh berulang kali,
masih menunggu, tidak terlihat bete
sedikitpun.
“Ini, betul?” tanya mbak Iyem, takut salah lagi.
“Nah, ini dia!” serunya girang sekali,
wajahnya langsung berseri-seri, seperti anak kecil

menemukan harta karun mainan kesayangannya.
“Mbak Iyem… mbak Iyem…, coba dari

tadi ketemu, udah selesai nih pasang balonnya.”

“Udah ah, nggak usah mbak

Iyem, mbak Iyem,” kata mbak Iyem sambil cemberut.
”Kerjain aja sana.”


Mbak
Iyem masih berdiri di belakang dokter.
Barangkali dokter perlu alat
lain.
Dokter melongok ke mbak Iyem, nyengir,
mengedipkan mata dan meledeknya,

“Mbak Iyem, mbak Iyem…”
“Udah sana, kerja,” usir mbak Iyem sambil
mengibas-ngibaskan tangannya.
Dokter tertawa senang, berhasil bikin orang
kesal, mengulanginya, “mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem makin cemberut.
“Coba dari tadi ketemu..,” ujar dokter sambil memasangkan balon,
“udah beres nih sekarang.”

Dokter menoleh lagi, senang sekali menggoda mbak Iyem

yang semakin manyun. “Mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem sudah tidak bisa marah.
Dia mengacuhkan ketika dokter menggodanya terus.
Dokter dicuekin.
Percuma
juga cemberutin, dokter tidak terasa.

Balon yang dimaksud ternyata karet yang

panjang berwarna orange,
mirip balon mainan anak-anak, diisi air sebanyak 50 ml,

balon diikat simpul,
lalu dimasukkan ke mulut rahim
dan sebagian sisa karet

balon tersebut berada di luar.
Memang tidak terasa sakit sama sekali.

“Mbak Iyem,” pinta dokter setelah selesai tindakan,
“disimpan
baik-baik alat ini,
besok-besok saya mau pakai,
udah nggak usah cari-cari
lagi.”
“Iyooo..,” sahut mbak Iyem.
“Mbak Iyem, mbak Iyem…,” kata dokter
sambil tertawa terbahak-bahak dan berjalan keluar.

Saya kembali ke tempat
tidur,
lalu suster mengikatkan tali di ujung karet balon
yang berada di luar
kemudian ujungnya
digantungkan sebotol penuh infus sebagai pemberat.


Saya
harus berbaring lurus,
tidak boleh lagi miring-miring.
Lalu ketika infus
dijatuhkan ke ujung ranjang di ujung kaki,
terasa ada tarikan di mulut rahim.


Makin lama makin terasa.
Sebotol infus itu menjadi pemberat pengganti kepala

bayi yang tidak ada penekanan.
Dokter sempat menengok dan memberi semangat,
“Sabar ya, sayang, kita coba balon ini dulu, biar bukaan lu nambah.”

Sebelum
pergi, dokter berpesan ke suster untuk memberitahukan
perkembangannya karena dia
akan praktek.
Selama satu jam saya menahan sakit sedikit,
sambil memikirkan
apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba balon kecil itu meluncur keluar dari mulut
rahim,
melesat ke tanah, ‘gubrak’ botol infus jatuh ke lantai.


Suster
langsung datang.
Beberapa bercak darah dimana-mana karena balon kecil itu

meluncur diantara kaki dan jatuh ke lantai.
Dua orang suster membersihkan darah di tempat tidur,
besi tempat tidur, dan mengganti seprei,
seorang lagi
langsung mengecek bukaan.
Ternyata bukaan sudah bertambah jadi 3 cm.
Suster
langsung menelpon dokter memberi kabar.

Dokter mengatakan bagus ada kemajuan

tapi biasanya prosesnya lebih lama dan
ketika balon terlepas sudah ada di
pembukaan 5.
Kembali saya diperbolehkan tidur miring-miring,
karena rasanya
memang lebih enak,
tidak menekan tulang belakang.
Suster memasang alat CTG,

katanya dokter ingin tahu kontraksinya apakah ada kemajuan.

Kontraksi setiap
empat menit, jantung baby bagus,
lalu induksi ditambah jadi 12 tetes.


Jam 10
lewat, pembukaan naik ke 4.
Kontraksi per tiga menit,
tapi saya saya tidak
merasakan sakitnya.
Hampir tiap jam suster memeriksa pembukaan,
tidak bertambah
juga.
Jam 2 siang, setelah selesai praktek,
dokter kembali visit.
Dokter
memeriksa kontraksi sudah per 2 menit,
tapi baby masih jauh diatas, belum mau
menekan jalan lahir.
Rahim juga masih keras sehingga disuntikkan lagi pelunak

rahim.

“Kontraksi lu udah bagus sekali, Yenny,” kata dokter
“kalau keadaan
normal, entar sore juga udah lahir.
Tapi ini susah, belum tentu mau lahir hari
ini.
Masih tebal banget rahim lu, sabar ya,
lu tidur-tiduran dulu aja, simpan
tenaga.”

Lalu dokter terdiam sebentar, memperhatikan kontraksi.
“Eh.. ini
lagi kontraksi nih, kencang banget, lu berasa sakit nggak?”
“Nggak sakit sama sekali.”
“Berarti lu tahan sakit…,” katanya.
“Sayangnya nggak ada balon
ukuran 250 ml,
kalau ada gua pasang balon lagi, biar bukaan nambah.
Padahal,
tapi pagi sudah bagus sekali,
dari 1 langsung 3. Cakep banget deh bukaannya.

Sekarang dia lambat lagi. Sabar ya, sayang, kita tungguin aja,
nanti juga
lahir.”

Lalu dokter memberi pengarahan ke suster sambil menerangkan

anencephaly tidak terjadi penekanan dan tidak ada kontraksi
yang bertambah untuk
ibunya.
Dokter sempat bercandain satu suster yang sedang terkantuk-kantuk,
dia menyanyikan lagu,
“tidurlah, tidur, sayang, tidurlah yang nyenyak, matamu

sudah lima watt, terkantuk-kantuk mau nutup…”

Suster dongkol, katanya,

“Dokter, kalau kontrol ya kontrol aja, udah sana,
nggak usah gangguin
orang.”
Dokter tertawa,
“Eh?? Lu ngomong kontrolnya pake r atau nggak..,

woiii..ngantuk nih orang.”

Suster nyamber ngomong jorok, “kont**.”

Dokter langsung nyebut, “masya allah…”
Suasana jadi riuh dan riang,
suster yang
terkantuk-kantuk jadi segar lagi.
Tiap kali dokter visit, suster-suter pada

gembira karena dokternya riang,
suka sekali nyanyi sambil mondar mandir.
Kalau
dokter lain visit, suster pada tegang dan
tidak berani bertanya.


Selain itu
ada juga dokter lain, masih muda, internis,
suka bercanda juga.
Suster
menanyakan obat-obatan asma
buat pasien yang baru aja pulang,
pasiennya si
‘babe’,
panggilan suster untuk Dr. Ronald.
Dokter ini menjelaskan fungsinya

untuk apa saja.

“Dok, masak badanmu gede gini,
tapi tulisan kecil-kecil kayak
semut.
Tulisan bagus dikit dong biar kebaca,” protes suster.


“Eh, dimana-mana

juga yang namanya dokter tulisannya jelek,
memang sengaja, malah kalau
tulisannya bagus,
pasiennya yang protes.
Sama aja kayak gini, kenapa rambut atas

selalu lurus tapi rambut ‘bawah’ selalu keriting?
Coba tebak, kenapa ?”


Saya
senyum-senyum menguping mereka bercanda,
ternyata dimana-mana sama aja,
mau
dokter, mau suster, bercandanya pada jorok.
Saya sempat bertanya ke suster yang sedang hamil juga,
siapa nama dokter muda itu, karena bercandanya lucu.

Lumayan buat hiburan, daripada bengong seharian
di ruangan 2x2 dikelilingi
tembok dan horden.
Saya menyebutnya ruang menunggu pembantaian.

Jadi ingat
Yesus,
seperti domba yang hendak dibawa ke tempat pembantaian,
sama-sama tidak
berdaya,
hanya bisa menunggu eksekusi.

“Dokter Yudistira,” jawab suster yang
hamil itu.
“Yang badannya tinggi-gede, putih, matanya sipit, terus rambutnya
berdiri?” tanya saya.
Suaranya sangat akrab di kuping saya. Teman SMA.
Selama
tiga tahun kami sekelas
dan selalu duduk berdekatan.
Pergi sekolah terkadang
bareng, nebeng bajajnya,
jalan kaki menyusuri sepanjang jalan toko tiga dan

kemenangan, tiada hari tanpa berantem, ngambek,
marahan, nggak ngomong lama,
baikan, ribut lagi,
baikan lagi, siapin contekan, contek-contekan ulangan,

akurin pe-er, tendang-tendangan kursi, timpuk-timpukan
kertas, penghapus,
ngobrol, ngegosip, party, lab, karya wisata,
karya tulis, living-in di kampung,

retret, eks-kul, les, valentine dan pesta perpisahan.
Nostal-gila.

Gayanya
masih sama seperti dulu, bandel-bawel- lucu-cuek,
tipikal anak bontot.
Mukanya
juga tidak berubah sejak SMA.
Tahunya sekarang sudah jadi internis.

“Iya betul, namanya dokter Yudistira,” jawab suster.
“Kok namanya bukan Him Fong,
ya? Waktu SMA namanya gitu.”
“Yang praktek di Rs Atmajaya juga kan?
Tinggalnya di sekitar bandengan, kalau nggak salah?” tanya suster.
“Iya,” jawab saya.

Malahan setiap keluar rumah lewatin jalan Bandengan musti lewat

rumahnya, tambah saya dalam hati.
Beberapa kali bertemu di rumah sakit ini,
tapi dia tidak pernah bilang sudah ganti nama,
pantesan saya mengecek di papan

praktek dokter, namanya tidak ada.

Saya sebenarnya pengen sekali bertanya

suster apa dia sudah married, apa sudah punya anak juga,
tapi tidak jadi
bertanya karena terbayang waktu ketemuan terakhir.

Malam itu di luar hujan
lebat,
Francis sudah lima hari demam.
Kami akan mengambil hasil labnya,

kemungkinan typhus.
Jc menunggu print-out hasil lab tapi suster anak,
Dr.
Stephanus, sudah memanggil gilirannya.

Saya jalan duluan sambil menggandeng

kedua anak saya, satu di kiri, satu di kanan,
plus di tengah perut buncit

delapan bulanan.
Saya tidak menyadari kalau dia sudah berdiri di hadapan saya.

Rupanya dia sengaja menunggu saya lewat untuk meledek.
“Lu hamil lagi neh?

Heran.., doyan banget hamil!”
katanya sambil tersenyum nakal lalu ngeloyor
pergi.
Ampunnnn deh, minta dijitak, tidak berubah,
tidak ada
basa-basi!

Saya menceritakan ke Jc, kok sudah jadi dokter masih aja begitu,

beda banget ama Dr Ronny.
”Iya, kan nggak semua kayak dokter lu,” jawab Jc,
“yang ramah, yang ngomongnya juga enak.
Banyak lagi yang lebih suka ama dokter

yang nggak pakai basa-basi, to the point, biar cepat beres.”
O, kalau cowok
mikirnya gitu, yang praktis aja.

Suster hamil berkata, “Ibu enak ya, hamilnya

kecil, nggak seperti saya, baru hamil tujuh bulan udah gede banget,
udah
berat.”
Saya tertawa.
“Nanti suster kalo udah mau ngelahirin, pasti udah

jago. Bisa periksa dalam sendiri,” saya meledeknya.
Lumayan deh, dari pagi
sampai sore ini, sudah lebih sepuluh kali diperiksa dalam.

Untungnya, dasar
orang Jawa..,
ini sudah anak ketiga, sudah tidak rasa sakit lagi,
cuma malas aja
rasanya.
“Suster pakai dokter siapa?” tanya saya.
“Kita sama. Pakai dokter Tjien,” kata suster itu kedengarannya bangga.
Saya jadi mengerti,
suster di
kamar bersalin yang sehari-hari bersama para dokter,
mengenal dokter lebih
dekat,
bisa memilih dokter mana yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Beruntung
saya tidak salah pilih dokter, pikir saya.

Di kamar bersalin, orang datang
dan pergi.
Ada yang cemas karena sudah kontraksi padahal baru 30 minggu,
jadi ke
kamar ini untuk CTG lalu pulang,
ada juga yang sesak napas, asmanya kambuh,

diberi oksigen dan obat-obat pereda asma,
sebentar juga pulang, ada yang minta
disteril,
bahkan ada seorang ibu dengan anak tiga yang sudah remaja minta

divagina-plastis… Wuah.

Saya juga mendengarkan pembicaraan para suster.

Hampir semua bercita-cita jadi bidan dan punya praktek sendiri.
Di luaran banyak
bidan yang belum punya sertifikat
tapi nekat buka praktek.
Soalnya gaji di rumah
sakit ini terbilang kecil
dan kalau jadi bidan bisa menambah penghasilan sampai

lima jutaan,
jadi mereka pada mencari sertifikat untuk bisa buka praktek

sendiri.

Bagi saya yang sedari kecil hidup di kota
dan cukup mampu bayar
rumah sakit,
rasanya ngeri kalau harus melahirkan di bidan.
Di sini, para suster
tidak lebih dari asisten dokter,
membantu menyiapkan alat-alat, mencatat obat,

dan berada di sisi dokter dan melihat apa yang dokter kerjakan.
Tapi tidak untuk
praktek langsung menolong kelahiran.

Bila ada yang bisa memberi lebih, kenapa
tidak dicoba.
Jc tidak bisa terus-menerus berada di kamar bersalin,
disamping
itu tidak disediakan kursi untuk duduk,
sehingga dia seringnya duduk di lantai,

mojok, dibawah selang infus,
itupun bingung karena kakinya panjang,
duduknya
serba salah.

Jc menunggu saya sambil membaca koran.
Dia baca terus sampai
berita tidak penting juga habis dibaca.
Selain itu dia searching berita di
internet lewat Hp.
Seharian Hp itu tidak lepas dari tangannya
dan bolak-balik
dicharge.
Seringnya sinyal 3G terputus,
mungkin karena ruangan ini mojok dan

dikelilingi tembok.
Saya bilang ke Jc,
sini saya SMS ke company tempat saya
bekerja,
menginformasikan bahwa sinyalnya 3G putus-putus.
Tapi Jc melarang,
jangan kasih tahu company,
nanti kalau sinyalnya diperkuat, kasihan baby-baby di

kamar sebelah, masih baby udah terkena radiasi.
Segini udah cukup, yang penting

bisa buat nelpon.

Saya meminta Jc daripada bengong menunggu koneksi internet,

mendingan bantu doa koronka.
Dia cuma nyengir aja, cuma mau satu kali koronka

waktu jam tiga siang, jam Yesus wafat.
Pernah juga Jc kepergok suster saat
dia lagi duduk di ranjang dekat kaki saya,
suster memberitahukan bahwa

ranjangnya tidak boleh diduduki,
bebannya bukan untuk dua orang.


Suster
sering mengingatkannya
untuk menunggu di luar sambil nonton tv,
biar bisa lebih
santai, karena suster sedikit-dikit
memeriksa saya atau tetangga sebelah,
belum
lagi saat saya bolak-balik ke toilet
pasti dibantu suster untuk me-nonaktifkan

infus elektronik.

Jc tetap bandel, dia bolak-balik menemani saya,
setiap
nongol ke kamar bersalin sering diingatkan suster
untuk buka sandal atau untuk
pakai jubah biru.
Saya menunggu sambil tiduran dan koronka,
entah sudah
berapa putaran,
kadang pikiran dan koronka jalan sendiri-sendiri.
Tidak ada yang
bisa saya lakukan, selain menunggu.
Rasanya seperti berada di sakratulmaut,

dimana hanya bisa dilewati sendirian.

Walaupun Jc berada disisi saya,

memberikan rasa aman dan tenang,
tapi tidak mengurangi rasa sakit atau

mengurangi rasa cemas harus menjalaninya sendiri.

Saya juga berdoa untuk
baby,
menikmati saat-saat terakhir bersamanya,
merasakan gerakannya diantara

kontraksi yang tidak pernah lagi reda.
Saya tidak bisa tidur walaupun lampu
sudah dimatikan oleh suster agar saya bisa beristirahat.
Suara suster,
ketegangan menunggu, suara tetangga,
membuat waktu rasanya berjalan lambat
sekali.

Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya,
pasangan muda dengan
anak pertamanya,
akan melakukan aborsi.
Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi
rubella.
Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu.
Awalnya
mereka pakai Dr Ronny
tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk

mempertahankan baby ini.
Tapi mereka tidak mau baby yang cacat., mungkin saat

lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul
tiba-tiba di umur 2 – 3
tahun,
kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan,
kata suami
itu.

Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana,
sehingga
mereka kelimpungan cari dokter sana-sini,
yang mau melakukan absorsi.


Baby 15
minggu…
hanya beda 2 minggu dari Ancillo sewaktu dokter menvonisnya cacat,
di
umur 17 minggu.
Saat itu semua anggota tubuhnya sudah lengkap,
sudah berbentuk
manusia yang sempurna,
tidak berhenti menendang dan meninju,
jungkil balik di
perut.
Mukanya juga sudah terlihat mata, hidung, telinga
bahkan bibirnya sudah
bisa tersenyum.
Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka,
bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya.

Setelah sembuh,

dua bulan kemudian istrinya hamil.
Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya

dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.
Beberapa sanak saudara menelpon menanyakan kenapa diaborsi
tapi mereka menceritakan dengan tenang,

keputusan mereka sudah bulat.
Tidak ada satu pun dari penelpon yang menghalangi
aborsi ini.
Mereka malah saling bertukar cerita, di bulan berapa aborsi,
berapa
lama dirumah sakit, berapa biayanya.

Dokter bilang chance cacat 75:25.
Dokter
lain juga mengatakaan chancenya memang sekitar segitu.
Suami sempat marah berkali-kali ke suster
kenapa istrinya harus lama diinduksi,
kenapa orang lain
bisa cepat pulang,
kenapa dokter bilang bisa langsung pulang, pulang hari.


Kemana dokter, kenapa sudah seharian tidak visit juga.
Kenapa dokter tidak kasih
penjelasan lebih rinci.
Suster menjelaskan dengan sabar bahwa tiap orang
lain-lain, ada yang cepat pembukaannya, ada yang lambat,
selain itu jalan lahir
tidak bisa buka dengan cepat
karena baby masih kecil. Berbeda dengan baby yang

sudah siap lahir, baby sudah besar dan berat
sehingga bisa cepat bukaan dan

jalan lahir memang sudah alami dipersiapkan,
mulut rahim pun sudah lunak.
Bapak
musti sabar,
kasihan istrinya kalau bapaknya tidak sabar.


“Iya, saya
marah-marah karena kasihan lihat istri saya,
seharian dia kesakitan,” kata suami
itu dengan nada tinggi.
“Sekarang mulai panas badannya. Udah kasih tahu dokter

belum, istri saya panas?”
“Saya ngerti, bapak sabar ya, tadi dokter sudah
instruksi obat buat turunin panasnya.
Ini sudah maksimal induksinya.
Dimana-mana
pasti sakit, kalau nggak sakit,
nggak mulas, nggak kontraksi, nggak akan ada

bukaan, bagaimana baby bisa lahir, memang begitulah jalannya.

Sekarang bapak
tinggal dulu istri bapak, biar dia tidur, istirahat,
perjalanan masih panjang,

ini seharian baru bukaan 1. Biasanya sampai bukaan 10,
tapi karena ini babynya
kecil,
nggak perlu sampe 10 udah bisa lahir.
Kita tunggu aja ya, dokter sebentar
lagi kemari.”
“Kenapa sih harus di induksi segala,
nggak bisa langsung kuret
aja?” tanya suami itu masih dengan nada marah-marah.
“Kuret kalau babynya masih kecil sekali.
Lha, ini kan sudah 3 bulan lebih, sudah lengkap semua,
sudah
sedikit besar, menempelnya juga sudah kuat,
memang prosesnya seperti melahirkan

normal, musti ada pembukaan dulu.”
Istri mulai demam. Sesekali terdengar
rintihan kesakitan diantara isak-tangisnya.

Saya hanya bisa berdoa, semoga
istri tambah demam
sehingga aborsi bisa ditunda atau batal
sekalian.
Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit
dan
mulas sekali.
Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya.
Ada satu baby lagi
yang berada di sakratulmaut,
karena orangtuanya takut cacat.

Saya mendoakan
koronka untuk baby ini,
saya memberi dia nama Ruben,
walaupun saya tidak yakin

doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka,
paling tidak saya berdoa
untuk Ruben di saat menjelang kematiannya.
Saya berkata, Tuhan beri saya

kekuatan untuk bilang jangan diaborsi.
Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya
terjadi.

Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata,

“babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat,
babynya buat saya
saja.”
Saya sendiri kaget,
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut
saya.
Saya yang menginginkan baby,
malah cacat dan pasti meninggal,
mereka yang
ada chance baby normal,
malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.


Suaminya
menjawab,
“kita juga berdua sayang anak-anak,
tapi kasihan kalau dia cacat,

lebih baik dari kecil kita aborsi.
Kita nggak nyangka dia kena rubella.
Dokter
bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga
tapi
babynya nggak masalah, normal-normal aja,
malah sekarang sudah TK,” jawab saya,

jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita
kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan
dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup,
kalau boleh.. , baby itu
boleh untuk saya?”

Andaikan boleh, terpikir oleh saya,
dia akan jadi baby
yang membawa luka batin
sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh
kalau ada
yang menyayanginya.
Suami itu hanya nyengir.
“Kita senasib dong. Putusan kita
sudah bulat kok.”
Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan.
Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.

Tiba-tiba kesedihan
yang mendalam menghampiri saya.
Begitu mudah manusia membunuh babynya,
padahal
masih ada chance untuk normal.
Saya jadi mengerti kenapa sampai sekarang
patung
Maria sering menangis,
bahkan sampai mengeluarkan air mata darah,
pasti karena
Maria sangat sedih.

Dia yang begitu mencintai bayi-bayi
sejak mereka dalam
kandungan,
merasakan sakitnya baby dicabik-cabik,
dibuang oleh kedua orang
tuanya,
dibunuh oleh orang dewasa.


Saya lalu rosario, menghibur Maria dan

meminta maaf saya tidak mampu mencegah apapun
untuk baby itu, mulut ini tidak
pernah dilatih
untuk berkata-kata mengenai Tuhan.


Saat Jc masuk, dia bingung
melihat saya menangis.
“Kenapa, kenapa?” tanyanya cemas.

“Nggak.., cuma mau pilek,” jawab saya berbohong.
Jc tidak bertanya lagi.
Dia cuma berdiri di
samping saya,
memandang saya, mungkin dia berpikir saya sedang babyblue.

Kalau
saya cerita, pasti saya diomelin Jc
karena ikut campur urusan orang
lain.
Hari semakin larut, jam 9 malam belum ada kemajuan,
masih tetap bukaan
4.
Dokter menelpon tiap jam,
sepertinya dia juga cemas,
bagaimana kalau baby
tidak bisa lahir juga.
Suster juga mulai cemas,
mulai membicarakan dokter.

“Kenapa sih dokter nggak caesar aja, kan ibunya kasihan,
kecapean kalau kelamaan
gini.”
“Stt…,” seorang suster mengingatkan
untuk memperkecil volume suara.

“Ini nggak bisa dicaesar atau pakai epidural,
ibunya punya riwayat HPP,

pendarahan waktu melahirkan anak kedua.
Makanya dokter hati-hati
sekali.”
“Kadang nggak abis pikir ama dokter,” sahut seorang suster,
“di satu
sisi dia religius banget,
di satu sisi kadang caranya sulit diterima..”


Saya
bingung, apa hubungannya religius dengan caesar ya.
Mungkin cuma obrolan biasa,

kan suster yang mengenal dokternya.
Tiba-tiba terdengar bunyi telpon,
suster
menanyakan ke pasien yang baru saja selesai kontrol
sudah bukaan berapa.
Apakah
sudah mulas-mulas?
Si ibu menjawab belum bukaan dan belum mulas.
Tapi dia yakin
akan melahirkan malam ini.

Suster menyarankannya ke kamar bersalin untuk di
CTG.
Si ibu datang, seorang yang cerewet tapi riang gembira.
Lalu si ibu
langsung di CTG sambil terus mengobrol.
Saat itu belum ada bukaan.
Suster
bertanya kenapa dia begitu yakin
akan melahirkan malam ini juga.


Si ibu
menjawab karena anak pertamanya
enam jam sudah lahir,
ini anak kedua pasti lebih
cepat, gejalanya sama,
ada kontraksi sebentar-sebentar.

Setelah setengah jam CTG, suster memeriksa lagi,
sudah pembukaan 3!


Mereka tertawa, wah benar juga
ibu ini,
malam ini bisa lahir kalau bukaannya loncat,
kata para suster.

Merekapun bercanda sambil suster mengisi form
administrasi menanyakan umur ibu,

suami, anak pertama dll.
Tak lama, seorang dokter menelpon,
menanyakan apakah
pasiennya sudah sampai ke kamar bersalin.
Dokter mengatakan dia sudah selesai

praktek dan akan segera pulang.

“Jangan pulang dulu ya, Dok,” kata suster,

“sepertinya akan lahir malam ini juga.
Tunggu tiga menit ya, mau periksa dalam
lagi.”
Buru-buru suster memeriksa lagi, sudah bukaan 7!
Si ibu masih mengobrol kadang tawanya tertahan saat mulas datang.
Suaminya menyusul,
membawakan guling bayi kesayangannya,
katanya istrinya tidak bisa tidur kalau

tidak ada guling tersebut.

Saya tersenyum, lucu, seperti Vincent, sudah umur

enam tahun tapi masih tidur dengan guling bayinya.
Suster menelpon dokter,
“Dok, masih di ruangan atau di parkiran? Ayo balik, Dok, udah bukaan 7.
Udah mau
lahir.”
Tidak sampai lima menit dokter muncul,
menyapa semua suster dan

menanyakan apakah mereka mau makan sate.
Semua setuju dan pesan 50 tusuk sate,

10 sate untuk dokter tidak pakai cabai dan lontong.
Dokter bilang, tadinya
dia mau makan seafood di Muara Karang.
Sementara itu, dokter mengobrol dengan

suaminya yang pengusaha alat-alat salon.

Selagi asyik mengobrol, sate baru
dipesan, suster
laporan lagi kalau bukaan sudah lengkap,
pasien sudah di kamar
tindakan.
Dokter bilang enak kalau pasien kayak begini semua,
katanya ke
suami.
Suaminya segera keluar, tidak berani menemani istri,
takut
pingsan.

Lalu terdengar suster mulai ramai memberi semangat,
hayo ibu,
kepalanya sudah keliatan, rambutnya banyak.
Ibu itu terdengar mengedan 2-3 kali,
tidak terdengar suara tangisan atau teriakan,
hanya usaha kerasnya.
Lalu
perlahan kepala bayi keluar,
lalu suster memberi semangat sekali lagi untuk

ngedan yang kuat, untuk keluarkan bahu baby.

Tak lama terdengar baby menangis
keras.
Ibu itu pun tertawa riang gembira, enak, lega,
sudah berlalu
sakitnya.
Baby laki-laki, berat 3,2 kilo, panjang 50 cm.
Berlari-lari suster
memanggil suaminya,
memberitakan kelahiran anak kedua.
Lalu terdengar suster
sibuk membersihkan bayi,
suara tangisnya keras sekali, suster juga menelpon

dokter anak, mencari dokter yang masih stand-by
malam itu sekitar jam 10
malam.

Tak lama, suami dan dokter mengobrol lagi
sambil menunggu sate yang
belum juga dianter ke kamar.
Suami sudah mendapat kamar di VIP.
Istri bilang mau
menunggu di kamar aja, lebih enak,
nanti kalau perlu apa-apa mereka akan panggil
suster.
Biasanya pasien ditahan dua jam untuk pemulihan.
Dokter mengijinkan.


Keluarga besar sudah berkumpul di luar,
memberi selamat untuk kelahiran
baby.
Saya ikut lega, menyenangkan sekali
kalau bisa menggendong baby sekali
lagi,
mendengarkan suara tangisannya yang keras atau
merintih-rintih atau
melihatnya tertidur seperti malaikat.

Apakah saya juga punya kekuatan menahan
sakit seperti ibu itu,
tidak berteriak sekalipun saat melahirkan,
apakah akan
datang saatnya,
dimana saya harus maju sudah gilirannya.


Jc menunggu di kamar
209 yang sudah dipesan dari pagi.
Kamar itu kosong seharian.
Dia stand-by
disana. Mungkin tidur-tiduran.
Mama saya ngotot mau ikut bermalam di rumah sakit,
dia begitu takut saya akan kenapa-kenapa.
Bayang-bayang pendarahan seakan

mengatakan saya akan mati saat melahirkan kali ini.

Saat pendarahan yang lalu,

mama saya mengatakan wajah saya sepucat mayat.

Saya sendiri juga bertanya-tanya,
apakah hari ini adalah hidup saya yang terakhir.
Kalau memang
terakhir, saya musti bagaimana.

Dua bocah menunggu di rumah.
Mereka sangat
menantikan saya kembali
dengan membawa adik baby yang ditunggu-tunggu.
Saya
punya keyakinan,
pada akhirnya tiap manusia harus menghadapi kematian
seorang
diri, anggap aja proses melahirkan ini
latihan menghadapi kematian.
Yesus
sendiri berjanji akan berada di sisi orang-orang
yang percaya padaNya,
menjemputNya.
Saya sama sekali tidak takut menghadapinya
mungkin karena tidak
ada jalan lain.

Suami tetangga juga diperbolehkan pulang,
agar istri bisa
istirahat.
Istrinya tidak mengijinkannya,
meminta supaya suaminya menunggu
luar aja,
tidur di kursi.
Tapi suami malah kesenangan diperbolehkan pulang,
dia
bertanya ke suster, “kalau istri saya kenapa-kenapa,
saya pasti ditelpon,
kan?”
“Iya, pasti dong,” jawab suster.
“Kan sudah ninggalin no Hp,
nomer
rumah, pasti ditelpon, nggak usah takut.”
“Tuh, suster aja bilang boleh pulang. Besok gua datang lagi ya, Sayang.”
“Jam 7 pagi bapak sudah harus disini,” suster mengingatkan.
“Kok pagi sekali, Sus? Jam 10 aja ya?
Saya
bangunnya siang, mana bisa bangun pagi-pagi?” tawar suami.
“Bapak,” suara suster hampir habis sabar,

“istri bapak sedang berjuang disini, bapak kalau

sayang sama istri bapak, jam 7 sudah disini.”
“Iya deh, kalo bangun,”
sahutnya tidak sabar bergegas pergi.

“Pokoknya musti bisa bangun, aku

miss-call terus,” kata istri sambil menangis.
Jam 10 malam dokter menelpon
suster lagi, menanyakan pembukaan saya.
Suster bilang masih sama.
Lalu dokter
berpesan agar induksi saya distop dulu, ganti infus biasa.
Saya diistirahatkan
dulu,
kalau dipaksa lagi bisa pendarahan.
Lalu saya disuruh balik ke kamar
biasa,
supaya bisa istirahat yang tenang karena
kalau di ruang bersalin tidak
bisa istirahat,
banyak kejadian disini.
Besok pagi jam 7 mulai lagi
berjuang.

Saya hanya bisa bilang, Tuhan, sudah dong bercandanya.
Saya set
tiga tanggal, semuanya meleset.
Hari ini meleset juga, padahal pas hari St.
Bernadeth.
Akhirnya saya kembali ke kamar untuk istirahat.
Hampir sama
seperti saat melahirkan Vincent dulu,
seharian di kamar bersalin,
balik ke kamar
lalu seharian lagi di kamar bersalin.

Vincent lahir sedikit kepagian,
umur 37
minggu karena pecah ketuban,
jadi dokter menahannya dua hari untuk mematangkan

paru-parunya.
Mama dan adik saya lalu pulang, tidak jadi bermalam.
Setelah
mengobrol selama satu-dua jam dengan Jc,
saya pun tertidur, sebentar-sebentar
terjaga.
Kiranya waktu bersama baby tinggal sesaat lagi, semakin pendek.
Saya
benar-benar menikmati saat-saat bersamanya,
walaupun tidak dapat saya
membayangkan wajahnya,
wujudnya, tapi lewat tendangannya, gerakannya,
dia telah
setia menemani saya berbulan-bulan.
Kami melewati suka dan duka bersama-sama

seperti teman sehati.

Kami suka bercakap-cakap dalam doa, dia selalu bangun,

seakan bilang, saya menemani mama.
Ranjang saya pun basah dengan air
mata.
Pikiran saya melayang.
Sudah sejauh ini saya berjalan,
sudah sembilan
bulan lebih…
waktu yang tiba-tiba terasa begitu singkat.

Sayang sekali rasanya

sudah mengandungnya sekian lama,
tapi baby tidak bisa dibawa pulang.
Saya sampai
tidak bisa bernapas lagi karena hidung berair,
seperti pilek yang sangat berat

sehingga harus bernapas dengan mulut.

Jam 5 pagi, dua orang suster datang
untuk tensi,
saya hanya memberi tangan saya untuk tensi
dan tidak melihat suster
tersebut.
Saya menyembunyikan wajah saya yang pasti sembab.
Tensi normal, lalu
suster yang satu lagi mendopler jantung baby, stabil.
Lalu saya sarapan dan
bersiap-siap karena suster sebentar lagi akan menjemput.

Belum jam 7 suster
sudah datang dengan kursi roda,
membawa saya kembali ke kamar bersalin di lantai

yang sama.
Suster yang tadi malam masih sama,
menyapa saya dengan ramah.

“Bisa tidur? Hayo kita berjuang lagi ya,
moga-moga hari ini bisa lahir.”

Saya membalas senyumnya, pasrah.
Suster memeriksa pembukaan, masih 4,
dan dopler
bagus.
Suster mengganti infus biasa dengan infus induksi.

Sepagian para suster ramai sekali,
semuanya terdengar ceria,
rupanya jam pergantian shift.


Pasiennya juga hanya saya dan tetangga.
Bukaannya sudah mencapai 3,
sudah tidak
panas lagi.
Saya mendengarnya sedang menangis.

Terdengar suster mengobrol.
“Kemarin malam Dr. Tjien praktek sampai jam berapa?”
“Tengah malem deh,”
jawab seorang suster.
“Yee…tepatnya jam berapa dong?” suster lain
menimbrung.
“Jam setengah satu, pasien terakhir,” jawabnya santai.
“Masa sih?” potong seorang suster.
“Padahal jam 6 kurang, saya nelpon untuk bangunin

dia, operasinya dimajuin jam 6.30 karena dokter anak bisanya lebih pagi.
Eh
begitu saya mau ganti baju dinas di ruang prakteknya,
jam 6, dia sudah duduk di
kursinya, senyum-senyum,
seger banget, seneng dia bisa ngangetin orang.
Saya
sampai loncat saking kagetnya.”
Semua suster tertawa.
“Apa dia nggak tidur
ya?
Dia itu orang atau bukan sih?
Kok kuat banget, nggak ada
capenya.”
Obrolan pagi yang menyegarkan.

Tidak lama suster menghampiri
saya,
“Ibu, saya periksa dalam dulu ya.”

“Lha, barusan udah. Masih sama, 4,”
kata saya sedikit protes.
“Ini pergantian shift, jadi harus ada serah terima.”
Ampun, pikir saya dalam hati, mau gimana lagi.
Setelah periksa,
suster bilang sebentar lagi dokter visit,
jadi boleh istirahat lagi, simpan
tenaga dulu.
Terdengar di kamar tetangga,
istri berkata ke suaminya,
“gua mau
pulang aja.
Daripada gua dan baby kesakitan,
mending nanti aja pas sembilan
bulan,
sakitnya sama.”
istri makin keras menangisnya, gelisih
sekali.

Suaminya malah membentaknya.
“Terserah lu deh.
Dulu, siapa yang
bilang mau aborsi?
Lu berani tanggung akibatnya?
Lu mau kita berdua susah?
Gua
sih nggak mau.
Udah deh, nggak perlu nangis-nangis gitu.
Lu kalau mau pulang,

ayo pulang sekarang.
Nggak usah tunggu dokter,
kita langsung bilang suster mau

pulang sekarang juga.”
“Gua bingung…,” kata istri perlahan, tangisnya makin
kencang.
“Nggak usah bingung-bingung,” kata suami tambah marah.
“Gimana dong? Perut gua sakit sekali.
Gua nggak tahan lagi kalau harus tunggu bukaan

lagi. Gua mau pulang… mau pulang…pokoknya mau pulang..”
“Sus!” teriak suami
dari dalam kamar tidak sabar.

“Sekarang gimana?
Istri saya mau sampai kapan
ditahan disini?
Kasih saya penjelasan dong.
Mau tunggu sampai bukaan berapa ?

Dokter mana, pagi ini visit jam berapa?”

Di depan semua suster membisu,

suasana tegang.
Tidak lama ada seorang suster menghampiri suami itu.
“Bapak
sabar ya, sebentar lagi dokter visit,
tadi sudah nelpon.”


Lalu suster itu
buru-buru keluar lagi,
tidak berani berlama-lama di hadapannya.

Dalam hati saya bilang, jangan aborsi, jangan aborsi,
ayo masih keburu, ayo fight.


Sepertinya istri mulai berubah pikiran
untuk mempertahankan babynya.

Tidak lama terdengar dokternya datang.
Akhirnya saya menemukan jawaban atas
pertanyaan saya selama ini.

Saya ingin sekali menanyakan ke Dr. Ronny,
sekiranya
waktu itu saya mau aborsi,
dokter siapa yang akan dia rekomen.
Tapi saya tidak
berani bertanya,
mungkin juga selamanya dokter tidak mau menjawab.

Dokter mana
yang hati nuraninya sudah tidak peka lagi.
Soalnya dari semua dokter di rumah
sakit ini,
semuanya saya pernah lihat.
Karisma dokter selalu membuat saya
terpesona.
Suara dokter itu sangat familiar di kuping saya.
Vincent
diplanning olehnya tujuh tahun lalu.
Juga, sehari sebelum Francis lahir,
saya
sempat kontrol ke dia karena dokter Yani
sedang cuti panjang.
Kenapa hari ini
suaranya terdengar begitu dingin.
Saya menggigil. Saya menarik selimut tebal

menutupi leher. Saat eksekusi semakin dekat.

Kemarin siang saat dari toilet,

saya sempat bertatapan dengan dokter ini,
jaraknya berdiri kira-kira lima meter
dari saya.
Saya berada di ruang tindakan di pojok kanan
sedangkan dia berdiri
di tengah-tengah ruangan.
Auranya menyebar ke seluruh ruangan.

Kaki saya langsung berhenti melangkah.
Berdiri tak bergeming di sana.
Kenapa tampangnya
begitu gelap?
Kenapa saya ketakutan melihat dia?

Begitu dokter melihat saya,
dokter langsung memanggil suster,
suaranya penuh wibawa,
“Suster, itu ada
pasien, kenapa dibiarkan sendirian ke toilet?
Bawa-bawa infus lagi.”


Seorang
suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri saya,
mengambil alih botol infus yang
saya pegang,
membantu memegang belakang baju saya yang sedikit terbuka,

menggandeng sebelah tangan saya.
Barulah saya berani melangkah.

Saya gemetar melewati dokter, was-was.
Matanya yang tajam menatap saya,
mengikuti langkah
saya.
Semoga dia tidak ingat saya pernah jadi pasiennya,
kata saya dalam
hati.

Dokter memeriksa pembukaan.
“Oke,” kata dokter singkat. “Bukaan 3.

Cukup. Pindah ke kamar tindakan,”
suaranya seakan memerintah para
suster.
“Sebentar lagi kuret,” kata dokter pada suami.
“Sekarang lagi
disiapin alatnya.”
“Pagi ini juga, Dok?” tanya suami antusias.
“Berarti siang
ini boleh pulang?” tanyanya lagi, penuh harap.
Penantian panjangnya segera
berakhir.
“Iya. Siang ini boleh pulang,” jawab dokter pendek,
seperti enggan
berbicara, harus melakukan sesuatu
yang sama sekali tidak disukainya,
tapi
terpaksa harus tetap dilakukannya juga.

Harus ada satu orang, untuk mengeksekusi
tindakan ini.
Dengan demikian, roda rumah sakit ini dapat terus

berputar.
Lalu suster menghantar suami itu sampai ke pintu keluar,
katanya,

“bapak tunggu di depan sampai selesai tindakan ya,
jangan jauh-jauh, jangan
kemana-mana.”
Suster tendengar menyiapkan peralatan,
suara besi-besi kecil
beradu,
ada juga suara suster berlari-lari
mencari alat yang biasa dipakai
dokter ini,
terdengar suaranya cemas, siapa sih yang pinjam alat si dokter
dan
tidak mengembalikannya di tempat semula.
Sebelum kena marah dokter,
alat itu
harus sudah ketemu.
Suasana tegang.
Istri terdengar melangkah lunglai,
perlahan memasuki kamar tindakan,
masih terdengar isak tangisannya tertahan.


Kenapa waktu tidak dapat berhenti atau diputar mundur,
kembali ke masa pacaran
yang indah.
Sapu tangan tebal yang sejak semalam menutup dahinya
supaya tidak
silau terpapar sinar lampu yang berada tepat
diatas kepalanya, sempat juga buat

kompres saat panas tinggi, digenggamnya erat-erat,
terasa setengah basah, sudah
buat lap airmata dan ingus,
terlihat lusuh, jadi saksi bisunya.


Saya hanya
bisa berdiam diri, bersembunyi di balik horden
abu-abu tebal yang tinggi,

tertutup rapat hingga tidak ada celah sedikitpun untuk mengintip,
semua begitu
mencekam.
Saya menangis diam-diam.
Perih sekali rasanya. Jangan dibuang..,

jangan dibunuh..
Namun, seberapa kuat saya berteriak dalam hati,
mulut ini
terkunci rapat.
Siapa berani bersuara di saat begini?

Air mata saya mengalir terus.

Tuhan, dimana Engkau?
Bukankan Engkau ada dimana kehendakMu terlaksana?

Apakah ini juga kehendakMu?
Bunda, jangan menangis lagi.
HatiMu sudah cukup
lama berduka hebat.
Sesosok bayi mungil akan dipaksa lahir,
dicabik-cabik,
diremas, diperas,
disakiti sedemikian parah,
hingga sosoknya tidak lagi berupa

malaikat kecil yang dikirim Tuhan ke bumi.
Kemana dia dapat berlari, kemana
dia dapat bersembunyi, kemana dia dapat meminta tolong?

Seperti sebuah kisah
tentang bayi dan malaikatnya,
kali ini malaikat pelindung mengikari janjinya
sendiri,
malaikat pelindung surga itu telah berkata bohong padanya.


Kata
malaikat itu sesaat dia meninggalkan surga menuju bumi,
bahwa akan ada malaikat
lain yang akan melindunginya di bumi,
taman mirip surga, yang akan mengajarinya

bahasa bumi yang tidak dimengertinya,
bahasa paling indah yang akan pernah

didengarnya, puisi penuh makna cinta,
bahwa malaikat itu akan melindungi dirinya

walaupun tahu dapat membahayakan nyawa malaikat itu sendiri,
malaikat yang akan
menemani sepanjang hidupnya di bumi,
menjaganya, merawatnya, memberinya
kehangatan,
mendekapnya, mengajarinya segala hal yang indah-indah, malaikat yang

akan menunjukkan jalan kembali ke surga,
malaikat yang akan dia panggil
‘ibu’.

Namun rahim ibunya sekarang,
tempat perlindungannya yang paling aman
dan nyaman,
yang telah membuaikan tidurnya selama berbulan bulan
dengan mimpi
indah berceritakan kasih sayang,
tempatnya menggantungkan harapan akan sebuah

kehidupan baru yang akan membuatnya takjub,
akan segera dilewati oleh bilah
pisau yang tajam mengkilat,
menyayatnya sedikit demi sedikit mulai dari kaki

tangannya, perutnya, dadanya, menikam jantungnya,
kemudian mengikis paru-parunya

yang selama ini merindukan udara pertama,
menghancurkan anggota-anggota tubuhnya

yang hampir terbentuk sempurna, mengiris satu-persatu dagingnya,
mematahkan
tulangnya, mengoyakkan nadinya,
merampas jiwanya perlahan sampai seutuhnya

terhempas, kemudian menyeretnya keluar
tak dibiarkan bersisa
sedikitpun.
Siapakah yang akan mendengar dia menjerit kesakitan?
Siapa yang
peduli?
Salahkah aku bila terlahir cacat?


Saya tidak dapat bernapas, saya
berusaha keras
menghirup sebanyaknya udara yang pekat
dan menyesakkan ini dengan
mulut terbuka lebar,
lalu membuangnya sedikit-sedikit, begitu perlahan,
takut
suaranya kedengaran keluar.
Tidak lama semua suara lenyap.
Pintu kamar
tindakan ditutup rapat-rapat,
tidak dibuka lebar seperti biasanya.

Kengerian memenuhi seluruh ruangan.
Sunyi. Hampa.
Bahkan tidak ada seorang suster pun yang

berani bersuara.
Berduka.

Seorang bayi tak dikenal, bukan anak, bukan

saudara, mati di hadapan semua.
Kemudian disemayamkan di dalam sebuah plastik

kresek hitam murahan.
Wujudnya tinggal berupa potongan-potongan tubuh

berwarna-warni, merah nadi, putih tulang, ungu hati,
kuning plasenta, tinggal
dijinjing dibawa pulang orang tuanya,
mau dikremasi atau di kubur, sama saja,

sudah berada di luar dimensi yang bernama kehidupan.

Satu jiwa tak berdosa
kembali ke surga
di tangan orang dewasa yang berprofesi mulia,
berjubah putih
mengkilat sama mengkilatnya
dengan pisau yang dipakainya untuk membunuh,
seperti
yang diminta oleh orang dewasa
yang menyebut dirinya orang tua,
yang rela
membayar harga ini dalam bilangan jutaan rupiah,
yang mengenyahkannya demi
sepotong harapan
tidak ada kesusahan berkepanjangan di masa depan,
yang takut
menerimanya baik cacat maupun tanpa cacat,
yang tidak
mengharapkannya.
Seketika itu juga malaikat pelindungnya
datang dari surga
menjemputnya,
karena malaikat lain di bumi telah ingkar akan janjinya
untuk
menunjukkannya jalan kembali ke surga.

Saya koronka, hanya doa yang bisa

menemani Ruben kembali ke sisi yang ilahi.
Tiba-tiba, seorang suster mengejutkan saya,
menjengukkan kepala dari balik horden,
“ibu…,” bisiknya hampir
tak terdengar,
“dokter sudah mau visit..”

Set,set,set, set terdengar suara
kaki dokter yang bergerak cepat. Bruk, terdengar pintu terbuka
lebar.
“Selamat pagi!” sapa dokter riang gembira,
memecah keheningan
ruangan.
Sapaan dokter kali ini tidak ada yang menjawab.
Mungkin juga tidak
ada yang menoleh.
Suster-suster masih mematung. Membisu.

Dari tengah ruangan
dokter berseru dengan semangat,
“Yenny, lu yang dimana?”

Dokter menunggu
jawaban di antara tiga ruangan berhorden.
“Paling pojok, Dok, dekat tembok,”
kata saya.
Dokter celinguk.
“Gimana, sayang, lu bisa tidur semalem?”
tanyanya sambil tersenyum.

“Habis bukaan lu nggak maju-maju, mending lu

diistirahatkan dulu. Hari ini kita coba lagi. Sini, gua periksa.”
Seorang suster buru-buru menyusul masuk,
soalnya Dokter terlalu gesit,
mendahului
susternya.
“Eh?” dokter menatap heran begitu melihat wajah saya dari dekat.
“Kenapa lu? Pilek ya?” tanyanya cemas.
“Iya nih, tiba-tiba pilek..”
padahal
mata saya pasti sembab,
habis menangis barusan.

Lalu saya menarik turun bantal

kepala, menutupi sprei yang basah airmata.
“Sus, ” pesan dokter,
“abis ini
langsung kasih Yenny clarinase ya, 2x1 ya.”
Dokter langsung memeriksa, masih
bukaan 4, setelah menekan perut saya sana-sini,
mendorong baby untuk lebih turun
lagi,
dengan sedikit kecewa katanya,
“hari ini kita coba induksi, kalau sampe

siang belum nambah juga, lu pulang dulu deh,
jalan-jalan dulu, seminggu balik
sini lagi.
Baby belum mau lahir, kita juga nggak bisa paksa.
Lu juga nggak bisa
dinduksi terus,
ini sudah maksimal,
percuma juga kalau nggak nambah bukaan.
Jadi
biar dia alami aja.
Mulut rahim juga masih tebal banget.
Nah, nih kencang lagi,

tapi nggak mau nambah. Sakit?”
“Nggak. Kalau hadap tengah berasa sakit dikit,
kalau miring, nggak sakit sama sekali.
Mungkin musti setengah duduk kali, Dok,

biar baby lebih nekan ke bawah,” kata saya.
“Oya?” alisnya terangkat, dahinya
berkerut, dokter langsung menyetujuinya.
“Oke, kita coba.”


Suster segera
memutar tuas di ujung ranjang
menaikkan bagian kepala sehingga posisinya

setengah duduk.
“Coba baby mau muter pantat dulu..,”
kata dokter sambil
berpikir keras.
“Mustinya lebih ada penekanan.
Sekarang kepala di bawah, lebih

susah dia mau nekan. ”
“Kalau ketubannya dipecahin, Dok?” tanya suster.
“Lebih gampang nggak?”
“Jangan,” jawab dokter cepat.
“Justru ini bagus, masih
ada ketuban,
dia lebih berat, nanti lahir lebih licin.
Kalau ketuban dipecahin,

penekanan berkurang, lahirinnya juga lebih susah.”

Lalu dokter kasih
instruksi ke suster untuk menaikkan
induksi jadi 40.

Saya kaget campur bingung karena
dokter menyuruh pulang lagi.
Padahal saya berharap pagi ini

dokter akan bilang kita caesar aja
atau kita coba epidural.
Frustasi sudah 24
jam masih pembukaan 4.
Kalau pulang rumah, repot juga,
kalau kenapa-napa,
siapa yang mengantar ke rumah sakit,
Jc musti ngantor, tidak bisa temani saya

lama-lama.
Lagian, mau jalan-jalan kemana dengan bukaan 4 ini,
atau masuk kantor
lagi. Bisa kacau.
Baru setengah jam dengan posisi setengah duduk,
jam 9.30
tiba-tiba ketuban pecah.
Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”


Bukan
karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas
tiba-tiba pengikatnya
ditarik, terbuka dan tumpah.
Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di
Hp langsung loncat berdiri, panik,
“Ha? Kenapa? Kenapa?”

“Ketubannya pecah,
banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster,
entar gua call ya kalau udah
beres.”

Jc buru-buru keluar sebelum suster datang,
dia masih
khawatir.
“Sus,” panggil saya.
“Ketubannya pecah.”

Dua orang suster langsung datang,
seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub.

Lalu suster menolong saya menggantikan baju,
mengganti sprei dan selimut.

Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar.
Tak lama, seorang
suster lain datang,
mengepel lantai, karena basah kemana-mana,

tumpah-ruah.

Perut langsung mengecil, lebih ringan.

Setelah rapi dan bersih semua,
Jc diperbolehkan menemani saya lagi.

Dia kembali duduk di pojokan,
tangannya tidak bisa lepas dari Hp searching berita.
Bosan juga dia
menunggu, koran hari ini juga sudah habis dibacanya.
Saya memintanya menghitung mulas saya pakai stopwatch dengan Hp,
tapi karena dia tidak konsen,

jadinya timingnya juga tidak pas,
akhirnya dia menyuruh saya coba stopwatch

sendiri.
Jadilah saya main stopwatch,
menghitung mulas,
tahunya sudah dua
menitan.

Jc membantu memberi saya minum pakai sedotan
karena mulut saya
kering terus.
Saat kontraksi datang,
saya membuang napas perlahan melalui mulut.

Hampir tiap lima menit saya minum seteguk air.
Saya sudah tidak boleh sendiri ke
toilet lagi,
karena sudah pecah ketuban, terpaksa pipis di ranjang,
pakai
pispot.
Jam 11 siang, bukaan bertambah, jadi 5.
Baby sudah muter tanpa saya sadari.
Mungkin baby mendengar kata-kata dokter tadi pagi,
suster yang
memeriksa bukaan menunjukkan satu tangannya
penuh mekonium baby,
ee pertama
baby, warnya hijau kehitam-hitaman.
“Nggak mungkin,” kata saya. “Masa muter,
kapan dia muternya? Kok nggak terasa?”
Suster berkeras kalau memang mekonium
itu diambilnya dari pantat baby.

Lalu suster melapor ke rekannya yang lain,

suster lainnya juga tidak percaya kalau baby mutar,
kata mereka belum pernah ada

kejadian baby di kamar bersalin masih mau mutar,
apalagi ini sudah masuk 42
minggu.

Saya masih sempat SMSan dengan beberapa teman kantor
mengabarkan
bukaan. Tadi saya sempat bercanda,
kalau disuruh pulang seminggu
nanti saya ke
kantor aja, biar deket ama Jc
yang kantornya hanya di depan mata,
bisa jalan
kaki. Teman saya malah balas SMS,
katanya, belanja mainan aja di Pasar pagi.

Mereka ikut deg-degan mengikuti proses melahirkan normal.
Karena sering bernapas dengan mulut,
tenggorokan saya terasa kering dan membuat saya kesedak

batuk-batuk.

Ketika batuk yang kencang sekali,
air ketuban keluar lagi

lumayan banyak sehingga baju saya basah semua.
Kembali suster menggantikan

seprei dan baju saya lagi,
kali ini baju saya kotor karena air ketubannya sudah

tercampur dengan mekonium baby.
Saya akui, suster di rumah sakit ini baik
semua, sabar, tidak seperti di rs lain.
Sewaktu saya melahirkan Francis, saat

pendarahan, saya sendirian di kamar,
karena Jc tidak diperbolehkan menemani

setelah lewat pemulihan.

Seorang suster malah memarahi saya.
“Ibu, kalau mau ee
jangan sembarangan dong,
kan saya jadi repot.”

“Rasanya bukan ee, Sus,
keluarnya beda,” kata saya lemah
, karena masih ada pengaruh epidural setelah

melahirkan, jadi saya tidak tahu cairan apa
yang keluar memenuhi ranjang
saya.
Begitu suster menggantikan alas tidur saya,
saya sempat melihat bahwa

itu darah segar, bukan ee,
banyaknya sekantong plastik besar.

Tidak lama darah keluar lagi,
sebanyak yang pertama.
Saya sempat memanggil suster itu dan

bilang,
”Sus, sorry, kayaknya keluar lagi…”

Suster marah-marah, katanya,
“Ibu
tahan dong ee-nya..”
Setelah itu saya tidak mendengar apa-apa lagi, tiba-tiba

tidak sadarkan diri. Saya kapok melahirkan di rumah sakit itu.

Di sini
berbeda, suster menggantikan selimut saya
juga walaupun kena air ketuban
sedikit,
saya melarang suster menggantinya, sayang, baru saja diganti.

Tapi suster bilang, biarin diganti aja, nanti dokter marah kalau tahu.

Biar ibu rapi,
ranjang rapi, jadi kalau dokter visit,
juga enak lihatnya.

Jam 12.30 mulas mulai sering terasa.
Makan siang sudah tersedia.
Lalu saya makan disuapin oleh

Jc, disela-sela mulas.
Jc ikutan makan, dia kelaparannya lagi.
Menunya begitu
menggoda.
Satu jam sebelumnya dia sudah makan bihun goreng di bawah,
tapi
buru-buru.
Lagian makanan di bawah kurang enak.

Jadinya saya makan satu sendok, buru-buru menelan,
lalu saya akan mengeluarkan napas panjang dan suara

‘aaa..aa’ kecil-kecil menahan sakit.

Saya berpikir kalau sakitnya sampai

lahir segini aja, masih bisa tahan.
Ketika mulasnya lewat, saya pasti berkata,

“ah, leganya… ayo cerita lagi, ayo makan lagi, suapin lagi.”
Seru. Berlomba dengan waktu.
Bistik ayamnya enak sekali.
Supnya juga enak, enak semua, ada

pudding pink juga.
Saya makan setengah piring,
cukup banyak juga karena takut

tidak ada tenaga.
Mulas datang tiap menit,
lamanya sekitar 30 detik baru
pergi.
Saya masih sambil main stopwatch.
Abis itu saya SMS ke teman bilang bahwa

SMSnya stop dulu, karena sudah mulai mulas.
Tidak keburu ketik SMS lagi, belum
send udah datang lagi mulasnya.
Saya coba mengatur napas seperti yang saya baca

di buku-buku.

Ternyata buku banyak bohongnya, saat mulas datang,
mau tarik
napas panjang atau tarik napas dikit-dikit
atau buang napas panjang, sakitnya
tidak berkurang,
cuma bisa menahan sakit sampai dia pergi sendiri.

Induksi sudah dinaikkan ke 60 sejak pembukaan 5,
tetesannya mengalir cepat.


Selesai
makan, suster memeriksa pembukaan lagi,
sudah hampir 7, katanya riang, jadi juga

lahir hari ini.
Jam 13.30 pembukaan 8, jantung baby didopler masih bagus.
Suster bilang kalau kali ini dia pastikan
memegang pantat dan scortum baby.
Kali
ini mekonium baby juga banyak,
kata suster, babynya ee dulu, biar lahir nanti

perutnya sudah bersih.
Saat mau diperiksa dalam, saya sempat bilang tunggu
sebentar, karena pas mulasnya datang,
begitu mulasnya pergi baru boleh
cek.
Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter.

Jc
langsung menelpon adik dan mama saya
karena sudah diwanti-wanti untuk kasih

kabar kalau sudah bukaan 8,
mereka mau ikut menunggu kelahiran.

Pas jam 14.00
dokter muncul dengan riang gembira,
jalannya super cepat.
Memang begitu
gayanya.

Saya teringat sewaktu Vincent diopname,
saat dia bobo, saya sempat

duduk-duduk di ruang tunggu anak di lantai 1
sambil nonton tv di dekat balkon.

Dari sana terlihat ruang praktek dokter
di hall lantai dasar. Tiba-tiba terlihat

dokter bergegas keluar dari ruang prakteknya,
menghilang lewat pintu samping,

dalam sekejap mata dokter muncul di kamar bersalin lantai 2,
tidak lama dokter
menghilang,
muncul lagi lewat pintu samping di lantai dasar,
langkahnya begitu
ringan seperti orang lari,
masuk kembali ke ruang prakteknya.


Saya tersenyum
sendiri waktu itu.
Keren. Seperti menonton pertunjukkan sulap.
Bisa menghilang.

Sebentar muncul disini, sebentar muncul disana.
“Yenny, lu udah siap?” kata
dokter penuh semangat.
“Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga

udah habis.”

Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir
dan mengobrol
ama suster yang sedang
menyiapkan kamar tindakan.
Dokter juga memeriksa dan
menyemangati satu pasien
yang baru masuk, hendak dipasangkan
epidural.
Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya,
katanya,

“ibu, kalau mau ee bilang ya.”
“Saya belum mau ee,” kata saya.
Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi,
“Sus, mau ee, gimana
nih?”
“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”
Saya masih bingung, gimana
caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.
Suster langsung beres-beres,
melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya,

mendorong ranjang saya ke kamar tindakan.
Lalu saya pindah ke ranjang tindakan.


Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir.

Ruangan tindakan dingin sekali
sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal.
Lalu kedua kaki dibentangkan.

Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit
selimut kain putih yang
tipis biar hangat.
Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan

sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”
“Sttt, jangan teriak, ibu,”
buru-buru suster memperingatkan saya.
“Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya

untuk ngedan saja.”
“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil
mengatur napas.
Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.
“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?”
tanya saya sambil mencengkram lengan

suster erat-erat.

Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil,
untuk
refresh memory saat mengedan,
tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena

tiap hari dari kantor pulang malam.
Boro-boro mau latihan napas.
Sampai di rumah
langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil
yang cerewet ditambah dua unyil

lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.

“Ibu, tarik napas panjang… terus
buang ‘haaaa’,”
kata suster yang juga guru senam hamil.

Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang,
tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir

saya, yang penting masih bisa napas.
Jc berada di sisi saya.
Saya selalu
kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan.
Suster mengingatkan minum
hanya untuk membasahi mulut aja,
jangan banyak-banyak.

Tiba-tiba kedua tangan
saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal,
“Sus, kaku nih, gimana?”

tanya saya.

“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata

suster sambil menggiring tangan saya memegang besi
untuk menarik badan saat
ngedan.
Mengurut-urut tangan saya.

Jc membantu menekukkan jari saya sebelah
kanan untuk memegang besi itu.
“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,”
pinta saya.
“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup,
nanti tangan kamu

biru-biru.”
“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.
“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru,
besok baru berasa sakitnya,” jawab suster

dengan sabar.
Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi,
menggulung lengan kemeja panjangnya,
memakai sarung tangan dan siap-siap duduk

di kursi tindakan.
“Hebat dia,” puji dokter.
”Untung mutar pantat dulu, kalau
nggak, bisa lebih lama lahirnya.
Padahal pas gua cek terakhir, masih
kepala.”
“Dok..,” tanya saya,
“sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?”

saya takut banget digunting.
Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya

lagi.
“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,”
janjinya.
Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray
betadin.
“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat.
“Tuh
udah keliatan pantatnya,
tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat
ya.”
Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya,
padahal dari tadi AC udah gua matiin.”
“Iya.. dingin banget,” sahut saya
menggigil.
“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua
stop,” kata dokter.
Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya
terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga.

Suster
mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah,
seperti hendak ee yang keras
sekali seperti batu.
Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar.
Saya
mengedan beberapa kali.
Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan. Bagus,

bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.
Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong,
tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda

pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”
“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai.
Dokter dan suster berhenti

menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.

Dengan sabar dokter menunggu

sambil mengobrol dengan suster-suster.
“Lu orang pada mau makan padang
nggak?”
“Nggak mau ah, kalo padang, baru aja makan,” jawab suster.
“Emang Dok
belum makan? Udah jam berapa nih?”
“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya?
Bosan makan soto.”
Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya
sumringah, kocak banget, katanya,
“Lu orang cakep bener sih hari ini.”

“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.
“Pakai safari biru. Nggak kayak suster
deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini
resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua
suster tertawa.

Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada
bercanda.
Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster,
mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.
“Kalau di desa,” kata dokter,
“mau lahir sungsang nggak masalah.
Tapi orang kota malah takut setengah mati,

pada minta dicasesar.
Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau

caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain.”
“Betul, Dok,” jawab suster,
“sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”

Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.
“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter.
“Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo

dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.

Lalu dokter dan suster
kembali bercanda disela-sela saya ambil napas.
Semuanya santai.

Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya
untuk menjadi pijakan bagi kaki
saya.
“Dok, nahannya musti gini, nih,”
kata suster sambil menyampingkan
badannya.
“Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”

“Pinter betul lu!” dokter memuji.
“Jadi seperti pijakan ya.”

Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga
sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya

seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat.
Satu suster berada di atas kepala saya,
melap muka saya yang keringatan.


Jc bertugas
membantu angkat kepala saya saat ngedan,
“Ayo, dikit lagi, semangat,” bisiknya
di kuping saya.
Jc melihat saya seperti mau tidur-tiduran,
padahal saya sedang
menghimpun tenaga buat ngedan
berikut sambil tunggu puncak mulas datang
lagi.
Suster sempat akan memasangkan oksigen ke hidung saya,
tapi saya
menolak karena bikin ribet.
“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya
terengah-engah hampir kehabisan napas.
“Dikii.iiit lagi...,” jawab dokter sambil tersenyum.
“Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat.

Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa.

“Ayo, coba lagi, gua tungguin kok,

kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.
Lalu saya mengedan lagi beberapa kali.
Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat,

baru gua gunting, ya.”
Kata ini yang paling membuat saya lega.
Sampai juga di
ujung. Kirain tidak berujung.
Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari
Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata.
Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati,
lalu saya meminta selimut tebal di

atas dada saya dilepas, karena kepanasan,
dan supaya tangan suster bisa bantu

mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat,
napas juga sanggupnya
pendek-pendek, lelah, mulas.
Saya menarik napas panjang, menahan dan
mendorong sekuat tenaga,
dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang

bulat perlahan keluar.

Saat yang sama dokter menggunting perineum,
rasanya
lebih enak karena keluarnya jadi lancar,
tidak terasa sama sekali saat
digunting.
Suster bantu mendorong dengan tangannya yang kuat,
saya menarik
napas kedua,
semuanya terlihat, punggung bayi keluar perlahan.
Dokter sudah
menangkap baby dengan kedua tangannya,
dan … bayi melesat keluar! Utuh, menekuk

mencium lutut, seperti dipress.
Whuaaa! Selesai! Leganya! Semua sakitnya
hilang. Lenyap begitu aja.

Saya menaruh kepala saya, tenaga saya habis, baru

bisa bernapas sedikit panjang, tapi masih ngos-ngosan juga.
Dokter memegang baby dengan kedua tangannya,
mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa

melihatnya.
Baby tidak menangis, dia terkulai diam.
“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.
“Ya…,” jawab dokter pelan.
“Baru aja meninggal.., masih

merah, sesaat mau lahir, dia pergi...”

Dokter membetulkan posisi baby yang

masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati,
satu tangan
lagi menahan pantat baby,
terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah

menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…

Saya melihat jam di
dinding, jam 2.30 siang,
jam yang sama ketika Yesus berada di salib menjelang
wafatNya.
Jc langsung menangis begitu melihat baby.
Saya tidak menangis,

tidak punya tenaga lagi untuk menangis.
Jc merangkul kepala saya, dia

menyembunyikan wajahnya dan menangis di kuping saya.
“Jangan nangis..,” pinta
saya perlahan sambil meraih kepala Jc.
“Saya aja nggak nangis..”

Saya tidak
bisa memikirkan apa-apa lagi.

Dokter menyerahkan baby ke suster.

Suster bertanya ke saya,
“mau lihat?”

“Ya…,” kata saya lirih.
”Saya mau lihat siapa

yang selama ini nakal di perut saya.”

Perlahan Jc mengangkat wajahnya,

tetes-tetes air matanya berjatuhan.
Mencoba berdiri tegar di sisi saya.
Lalu Jc
meninggalkan saya dan menghampiri suster.
Saya melihat baby sebentar, serasa
tidak percaya, baby cakep sekali.
Perlahan saya membelai dengkulnya yang masih

menekuk,
membelainya sampai ke kakinya. Kecil sekali kaki-kakinya.
Mungil
sekali. Masih ada sedikit bercak darah di sana sini.
Kulitnya masih terlihat
keriput.
Ancillo telah pergi diam-diam.

Lalu suster membawanya pergi, tidak
memberi saya kesempatan lebih lama sedikit untuk memperhatikan
baby.

“Yenny..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga….,

dia menunggu lu di surga.”
Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah
pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.

Seorang suster yang berdiri di dekat

saya berkata perlahan, “Dok.., saya juga punya satu tabungan di surga.”
“Saya nggak tahu.., kapan?” tanya dokter menoleh padanya.
“Pergi umur dua tahun, Dok,” jawabnya sedih. ”DS”
“Dia juga sedang menunggu lu di surga,” hibur
dokter.

Jc terus berada di samping suster, mendampingi baby.

“Mirip siapa?” saya bertanya pada Jc.
“Antara Vincent dan Francis,” jawab Jc.
Lalu dokter meminta saya untuk sekali lagi mengedan,
tidak perlu
kuat-kuat, untuk keluarkan plasentanya.
Sambil menekan perut saya, plasentapun

keluar dengan mudah. Tidak terasa sakit.
Dokter lalu menyuntikkan bius local
sebelum menjahit, “gua tambahin satu suntikan,
jadi tiga, biar lu nggak rasa
sakit ya.”
Saya diam aja, memperhatikan suster menimbang baby.
“Beratnya 2410,” suster melapor.

Dokter langsung membalikkan badan, menoleh ke suster,

“coba timbang lagi, masa cuma 2410, gede kok.”
“Bener kok, Dok, tuh 2410,”
suster sambil menunjukkan jarinya di timbangan.
“Cuma segitu ya..,” guman dokter.
Badan baby cukup besar, sebesar baby 3 kilo lebih,
ternyata otak dan
tempurung beratnya sekitar sekilo sendiri.
Panjangnya 46 cm.

Jc mengambil beberapa foto baby.
Sehabis menyuntik dokter langsung menjahit.
Saya sempat
terpikir, apa nggak kecepatan,
rasanya obatnya belum berfungsi.
Tapi memang
tidak terasa sakit.

Saya bertanya perlahan, tenaga saya belum pulih,
“Dok..,
disini ada nggak orang yang nggak mau babynya,
terus babynya ditinggal?”

“Gua nggak tahu. Kenapa?” tanya dokter.
“Kalau ada.., saya mau adopsi.” Saat ini
saya ingin sekali bisa membawa pulang seorang baby.
“Ngapain lu adopsi?”
tanyanya heran, tangannya berhenti bekerja.
“Kalau lu masih bisa lahir sendiri,

lu nggak bisa sayang anak adopsi.”
“Mau yang instant.., cape hamilnya..”
“Lu habis ini hamil lagi. Satu lagi.”
“Jangan deh, Dok..,” potong Jc, sambil menghampiri saya,
menanyakan dimana saya menyimpan baju
baby.
“Kenapa?” tanya dokter, menoleh pada Jc.
“Ngeri ngelihat dia lahirin. Nggak lagi deh,” jawab Jc.
“Dia mah takut banget saya mati, Dok”
jawab saya masih bisa senyum.
Jc memang selalu ketakutan bila di kamar bersalin.

Tapi dia juga selalu setia menemani saya sampai tiga kali.
Saya memberitahu Jc kalau baju baby ada di tas tersendiri, di kamar.
Lalu Jc pergi
mengambilnya.

Dokter melanjutkan, “lu lahir satu lagi, masih bisa, tapi next

time lu pakai epidural aja,
jadi lu nggak perlu kesakitan kayak gini.
Kali ini
kan nggak pendarahan, jadi boleh epidural,”
kata dokter sambil menekan-nekan

perut, “kontraksi baliknya bagus kok.”
“Nanti mama saya marah kalau saya
hamil lagi.” kata saya.
“Lu yang hamil, kok pakai nanya-nanya mama.
Lu kan
udah gede, putusin sendiri dong.”
“Lihat nanti deh… tapi nanti bisa keropos
tulang lagi, kayak mama teman saya.”
“Nggaklah, asal lu rajin minum
susu.”
“Nggak bisa minum..”
“Lu minum kalsium aja.”

Dalam benak saya
cuma mau pulang rumah,
terbayang wajah Vincent dan Francis,
sudah dua hari saya
tidak bertemu mereka.
Kangen ama mereka.

“Dok..” panggil saya
“Ya?” dokter menoleh.
“Teman saya waktu itu suruh saya ke satu pendeta,
yang katanya bisa
sembuhin baby yang hidrocefalus,
terus bisa sembuhin baby yang sudah meninggal

dalam kandungan,” kata saya padanya.
“Trus, lu gimana?” tanya dokter.
“Nggak mau aja,” jawab saya pendek.
“Gua juga pernah dengar tentang dia,” sahutnya tenang.
“Menurut gua ya, sampai sekarang.., belum ada

manusia yang bisa bangkitkan manusia. Yang bisa cuma Yesus.”

Saya cukup
terkejut mendengar jawabannya.
Sekeliling saya sudah sepi, tinggal saya dan
dokter, sebagian suster sibuk dengan baby, sebagian lagi sudah bubar.
Aneh rasanya, saya masih hidup ya.
Saya mencoba memahami yang baru saja terjadi.
Iya
betul, saya masih bernapas walaupun terengah-engah.
Saya masih merasakan tangan
saya membuka dan menutup,
ngilu bila terkena dingin, belum hilang juga sejak

mulai hamil besar.

“Dok, kalau mau steril kapan?” tanya saya.

“Sekarang gini,” jawab dokter kembali menoleh.
“Bisa langsung?” tanya saya.
“Serius lu?” tanya dokter. “Lha.., gua udah jahit setengah baru bilang, mustinya tadi,
pas gua belum jahit,” kata dokter.
Tidak terdengar nada marah sedikitpun.

Matanya menanti jawaban saya.
“Nanya doang kok,” kata saya.
“Lu ngagetin gua aja,” sahutnya lega.
“Nanti aja kalau mau steril, pas lu kontrol lagi.

Jangan sekarang ya, lu pikir dulu baik-baik, bukannya lu masih coba satu
lagi?”
“Dok…”
“Hmm..?”
“Kenapa kalau udah tiga bulan musti dilahirin
normal ya, bukan langsung kuret?” tanya saya.
“Ya, kan babynya udah gede.
Lu
lagi ngomongin yang barusan ya?”
“Iya, tadi pagi, dikuret ama Dr.
****”
“Gua juga baru tahu, tadi suster barusan cerita,” kata dokter pelan.
“Dulu, dia pasien gua, kena rubella, gua minta dia pertahanin babynya
tapi dia
nggak mau..”
“Dia cerita kalau dokter nggak mau aborsi.”
“Ngapain aborsi?”
suaranya datar,
“rubella nggak napa-napa kok.”

“Mereka takut babynya cacat.”
“Tapi kan masih ada chance untuk normal? Kenapa musti
aborsi?”
“Istrinya sempat berubah pikiran tadi pagi,
tapi suaminya tetap
nggak mau.”
“Gua pernah cerita ke lu kan pasien gua yang kena rubella juga?
Sudah umur lima tahun sekarang, sehat-sehat aja.”
“Pernah.”
“Memang..,”
kata dokter tertahan, “kalau rubella diaborsi, secara medis dibenarkan…”
Suaranya berat, terdengar begitu terpukul, kecewa dan pasrah, semuanya sudah
terjadi...

“Kenapa dokter nggak langsung bilangin ke Dr. ****
aja?”
“Ngapain?” tanya dokter, enggan.
“Dia sampai kelimpungan cari-cari dokter yang mau.”
“Dulu memang gua menyebut nama dokternya, tapi sekarang gua
nggak mau rekomen siapa, biarin dia cari sendiri. Kalau baby diaborsi,
kasihan..”
“Stop, Dok,” potong saya segera, “jangan cerita lagi, nanti saya
nangis..”
Saya tidak mau menangis, untuk napas aja udah susah
payah.

Dokter kembali bekerja. Tidak lama dokter merasa benangnya kurang.

“Sus,” katanya, “tolong benang lagi dong, kayaknya kurang dikit.”
“Nanti musti lepas jahitan nggak?” tanya saya.
“Nggak, benangnya langsung menyatu
dengan daging.”
“O begitu..” kata saya. ”Emang berapa jahitan, Dok? Parah
ya?”
“Sus, ini berapa jahitan?” dokter balik bertanya ke susternya.
“Dulu orang memang ngitungin berapa jahitan,”
jawab suster sambil memberikan benang

yang diminta dokter.
“Sekarang nggak lagi, udah nggak dijahit, teknik jahitnya

beda, jadi nggak bisa dihitung. Disulam ya, Dok, namanya?”
Dokter cuma senyum
mengangkat bahu.
“Udah cukup, Sus, nggak jadi nambah benang deh, kayaknya
benangnya pas banget panjangnya.”
Lalu suster pergi, menyimpan balik benang
di lemari.

“Dok, yang seperti ini pasien ke berapa?” tanya saya.

“Kedua,” jawabnya pelan.
“Yang pertama waktu gua masih di kampung, sama seperti lu,

sungsang juga.”
Dokter menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak.
“Pas tengah-tengah lahiran, mendadak ibunya emboli, jantungnya langsung
berhenti.”
Dokter terdiam sesaat.
Saya menunggu dokter melanjutkan
ceritanya. Emboli, pikir saya, udara masuk ke pembuluh darah, selalu
fatal.

“Ibunya kejang-kejang. .,” lanjut dokter, “langsung pakai segala cara

untuk pacu jantung ibunya, berjuang mati-matian untuk selamatin
ibunya..”
“Selamat nggak ibunya?” tanya saya pelan dengan napas
tertahan.
“Selamat….,” kalimatnya menggantung.
“Terus?” tanya saya
berbisik.
“Tapinya..,” kata dokter dengan sangat lemah, “abis itu ibu udah
nggak bisa apa-apa lagi…”
Deg! Jantung saya terasa berhenti. Mati otak? tanya
saya dalam hati, saya tidak berani bertanya lagi.
Hening. Kepedihan
melintas.
Lama terdiam.
Pasti berat sekali buat dokter saat itu. Kejadian
ini seakan membuka kembali lembaran lamanya,
kenangan yang menakutkan, juga

menyedihkan.
Saya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata,
lalu membukanya
kembali, mengamati sekeliling saya,
masih sama seperti sebelum saya memejamkan

mata. Untung saya tidak kenapa-napa.
Mata saya menerawang ke sudut atas
ruangan yang putih bersih ini,
saya melihat bayangan diri saya di sana,
berdiri
melayang di sudut atas,
matanya memandang kosong ke depan, tatapannya hampa,

sambil menggandeng baby.

Dia memakai baju putih panjang yang sama seperti baju

baby yang juga panjang.
Matanya menyapu sekeliling ruangan ini, tampak punggung

dokter dari belakang, kepalanya sedang menunduk,
tampak pula diri saya yang
sedang berbaring tak berdaya,
wajahnya pucat, sedangkan di pojok ruangan tampak

baby yang terbaring sendirian, tertidur dalam damainya,
perlahan-lahan bayangan
itu memudar, bergerak menjauh,
semakin samar tertutup kabut putih, semakin

mengecil…

“Gua nggak berani cerita ini ke lu,”
suara dokter seakan menarik

kembali roh saya ke tempatnya semula.
“Kalo gua cerita, nanti lu tambah
ketakutan..”
Saya terdiam.
Terima kasih atas kebaikanMu, Tuhan, telah
memberi saya kesempatan hidup kedua.
Pakailah diri saya yang sekarang ini

seperti yang Kau ingini,
untuk mencegah aborsi,
seperti janji saya pada malam
yang lalu.
Kau berikan mujijat bertubi-tubi di saat-saat terakhir, di
saat
saya sudah tidak berani meminta apapun...
Saya menoleh ke kiri kanan, ruangan
tambah sepi, hanya tinggal satu suster berdiri menemani baby,
menunggu Jc
membawakan baju untuknya.
Cukup lama Jc balik ke kamar untuk mengambil tas
berisi baju baby.
Sepertinya dia sekalian mengabarkan ke mama saya di ruang

tunggu bahwa saya selamat tapi baby tidak.

Begitu melihat wajah Jc, adik saya

langsung tahu bahwa mujijat kesembuhan baby tidak terjadi.
Wajah Jc begitu
sembab, matanya berair,
mencoba tegar menghadapi ini semua.
Dalam mimpinya, dia
melihat seorang baby putih mungil
tanpa cacat sedang tertidur pulas.
Namun Tuhan
telah menjawab doanya yang lain,
kakaknya selamat.


Tadi saya sempat mendengar

Jc menelpon ke Atmajaya, untuk penjemputan baby.
Tiga bulan lalu kami sempat ke
sana
untuk menanyakan kremasi untuk baby.
Kami menyimpan kartu nama contact

person tersebut.
Sayangnya, beliau tersebut sedang tidak
ditempat.
Sebelumnya, kami ingin baby dimakamkan
di pemakaman yang baru di
Krawang,
dengan latar belakang bukit hijau,
agar menjadi tempat peristirahatan

terakhirnya yang damai,
saya ingin kedua kakaknya mengetahui bahwa adiknya

tertidur di sana,
agar setiap tahun kami dapat mengunjunginya dan mengenangnya.

Tapi mama saya tidak memperbolehkan,
menurutnya kepercayaannya, baby sebaiknya

dikremasi agar rohnya cepat kembali.
Dia adalah Buddha yang menjalani

reinkarnasi terakhir,
perlu sekali lagi reinkarnasi agar sempurna menjadi

Buddha.
Jadi selama ini saya mengandung seorang Buddha?

“Jam berapa dijemput?” tanya dokter,
sejenak perhatiannya beralih pada Jc yang kembali

membawa tas baby.
“Nanti, Dok,” kata Jc, “sekitar jam 5 sore.”
“Atmajaya udah tahu musti ke sini, lantai 2?”
“Udah, udah dikasih tahu.”
Dokter memberitahukan suster agar nanti baby ditempatkan
di ruang tindakan satu lagi
yang lebih kecil,
soalnya di sana tidak banyak orang yang mundar-mandir,

ruangannya sedikit tersembunyi.

Saya kembali bertanya-tanya sendiri,

kira-kira tadi berapa kali ngedan ya baru baby mau lahir.
Mungkin sekitar
duapuluh kali… untung saya tidak buta.
Terima kasih sekali lagi ya,
Tuhan.
“Satu jahitan lagi selesai.
Gua pastikan lu nggak pendarahan,” kata

dokter lega.
“Terima kasih ya, Dok..”
Hanya itu yang mampu saya katakan
padanya,
saya tidak punya kata-kata lain untuk semua supportnya
sampai detik
ini.
“Sama-sama,” balasnya tulus.
Tidak lama kemudian dokter selesai,
dia
membuka sarung tangannya, menepuk-nepuk kaki saya,
lalu bangkit berdiri perlahan

dan langsung menghampiri baby.
Lama Dokter berdiri di sana.
Dia memperhatikan
baby, mengucapkan selamat jalan
dan melepas kepergiannya sambil berkata perlahan

pada baby,
“De.., inget-inget ama Om ya di surga…”

Dokter masih berdiam di sana, termenung.
Saya terharu mendengar kata-kata dokter.
Tanpa saya sadari
air mata pertama mengalir perlahan
di kedua pipi saya.
Sedari tadi saya belum
menangis.

“De, ingat mama juga ya di surga,” bisik saya lirih.


Suster
merapikan saya dan memakaikan baju biasa,
sarung dan korset.
Saya berbaring
lemah, dinginnya ruangan kembali terasa
menusuk tulang,
suster lalu menyelimuti
saya dengan selimut tebal berwarna coklat,
hangat sekali.

Ancillo sudah pergi, begitu tenang,
bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya.
Dia juga tidak
meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya.
Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari,
dimana dia akan
diletakkan, di kamar bersalin,
di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi

saya...
bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga

sambil memperhatikan napasnya satu-persatu,
menemaninya terus di sisi saya,

memandanginya sampai ajal menjemputnya.
Dia benar-benar anak yang baik,
tidak
menyusahkan saya sama sekali.
Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan.
Begitu
istimewa. Begitu sempurna di mata saya.
Satu jam lalu dia masih bersama saya,

tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…

Dokter membalikkan
badan,
melangkah pelan sampai ke dekat gantungan baju di sudut ruangan,
baru aja
mau melepas jubahnya,
namun seorang suster mengingatkannya kalau masih ada satu

pasien lagi, sudah mau lahir.
Dokter teringat kembali, ada seorang ibu lain
yang tengah menunggunya untuk menolong kelahiran seorang baby
yang telah
dinantikannya selama berbulan-bulan.

Dirinya yang dipakai Tuhan menjadi

perantara untuk menghadirkan buah cinta bagi kedua orang tuanya
dan
menjadikannya malaikat kecil di tengah keluarganya.
Tangannya yang dipinjam
Tuhan untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Dokter bergegas meninggalkan ruangan,

menghampiri ibu itu.

Jc menemui saya, dia tampak kebingungan memilihkan baju

untuk baby, beberapa baju baru kami bawakan,
karena saya pikir baby dapat

bertahan hidup beberapa hari.
Saya memilihkan baju biru dasar putih,
bergambar anak-anak domba, baju yang paling saya suka.

Saya tidak mau baby
memakai baju putih-putih,
dalam benak saya, baby sedang tertidur nyenyak.
Dia
tidak mati, tidak pernah mati.
Dia selalu hidup di hati saya. Selamanya.

Jc lalu memilihkan kaos kaki dan kaos tangan
yang warnanya senada.
Topi dipilihnya
yang putih.
Jc sudah tidak menangis.
Tak lama saya sudah boleh dijenguk,
mama saya langsung menghampiri saya,
wajahnya gembira sekali, anaknya selamat,

begitu leganya melihat saya,
lalu Jc menemaninya ke ruangan lain untuk melihat

baby.
Adik saya dan ipar saya bergantian menjenguk.

Mama kembali menemui saya
dan bilang babynya cakep,
badannya bagus, dadanya bidang, seperti atlit,

perutnya juga kempes tidak seperti baby lainnya
yang buncit, baby perutnya rata,

mekoniumnya sudah dikeluarkan saat bukaan delapan,
bahkan baby pergi dengan
benar-benar bersih.
Pahanya gendut berisi, keliatan ada dua lipatan, tandanya

kalau punya adik lagi pasti laki-laki.

Selama dua jam pemulihan, sakitnya
sudah hilang.
Dokter memang memberikan dua kapsul voltaren untuk anti sakit,

tapi memang begitu baby lahir sudah tidak terasa sakit lagi.
Seperti mimpi, perut saya kempes, kosong,
tidak ada baby lagi yang menemani saya selama

berbulan-bulan, dia telah pergi meninggalkan saya sendiri ...

Saya SMS ke
satu teman kantor mengabarkan
kalau saya sudah melahirkan dengan selamat dan

sang malaikat kecil, Ancillo Dominic,
telah kembali ke surga pada jam yang sama.

Saya memintanya untuk tidak menelpon atau SMS,
saya tidak mau
diganggu.

Berulang kali saya mencoba memejamkan mata untuk beristirahat,
tapi
tidak bisa, mungkin terlalu lelah.
Setelah dua jam, saya didorong keluar oleh
suster dari ruang tindakan.
Sore itu sepi sekali, tidak ada pasien lain,
suster juga bekerja dalam diam.
Hanya terlihat tiga orang suster, biasanya cukup
ramai.

Tidak semua lampu dinyalakan
sehingga ruangan tampak sedikit redup.

Ketika saya melintas di ruang tengah,
dalam keremangan cahaya, saya melihat

dokter sedang seorang diri, senderan dengan santai di kursi kayu,
lengan bajunya
masih tergulung, sementar jari tangannya asyik
bermain Hp sambil menunggu jam 5
sore untuk praktek
sampai tengah malam lagi. Dokter tidak sempat pulang rumah

untuk beristirahat.
Suster sempat ragu mau membawa saya kemana,
langsung ke
kamar atau tetap di kamar bersalin.

Mereka menoleh ke dokter, tapi dokter sudah

tenggelam di dunia maya, mereka tidak jadi mengusiknya.
Akhirnya suster
memutuskan untuk tetap di kamar bersalin sesaat lagi.
Jc menemani saya sambil sekali-kali menelpon ke Atmajaya,
sore ini banyak yang meninggal sehingga jadwal

penjemputan baby berubah-berubah.
Saya berhenti menangis.

Antara lega karena
selamat dan
berhasil melewati hal yang paling saya takuti selama ini.
Jc juga
sudah biasa.
Saya bertanya Jc,
“Emang lu kelihatan babynya makin turun setiap

kali ngedan?”
“Nggak” jawabnya santai. “Gua cuma ikutan-ikutan suster dan
dokter kasih semangat terus. Mana kelihatan, gua kan berdirinya di
kepala.”
“Dasar lu orang, tahunya semuanya cheerleader.”
“Lha lu nggak tahu, si dokter dan suster sengaja lagi
bercanda-canda, biar nggak tegang. Tadi

pas dokter nawarin makan padang ke suster,
gua pengen nyahut tuh, ya pada nggak

maulah, abis nawarinnya cuma padang.” katanya sambil tertawa.

“Gua sampe
frustasi ngedannya, nggak nyampe-nyampe.
Udah nggak bisa mikir.”

“Lu kan juga dibohongin ama dokter
waktu dia bilang induksinya sudah di stop,” ledek Jc.

Mata
saya langsung melotot ke arahnya, hari ini dibohongin terus.
“Tadi susternya mainin infusnya,” lanjut Jc,
“dinaik-turunin tetesannya, sampai cepat banget

netesnya. Dokter diam-diam kasih aba-aba.”
“Kapan?” tanya saya.
Jc tertawa lagi, “lu nggak tau kan?”
Jc senang banget melihat saya kesal
dibohongin.
“Tapi… hebat juga ya, bisa lahir..,” kata saya, “eh tadi aku
sempat teriak kenceng banget ya, lu kaget nggak?”
“Udah lupa,” sahut Jc.
“Udah panik soalnya.”
Jam 5 sore kami dipindah ke kamar. Saat akan pindah,
terdengar di ruang tindakan,
seorang ibu sedang menahan kesakitan.
Sebentar lagi
mau melahirkan.

Saya langsung berkata ke Jc,
“bilangin Sus dong, mau buru-buru

pindah kamar, deg-degan dengernya, bikin terulang.”
Ketika sampai di kamar,
tahunya mama, adik dan ipar saya sudah menunggu di sana.
Jc masih sibuk dengan Atmajaya.
Janji mereka jam 5 sore, tapi belum datang juga, katanya

jalanan di jembatan tiga juga macet total.

Akhirnya Atmajaya datang juga
menjemput baby.
Tadinya Jc mau menyusul sendirian ke sana,
untuk mengurus
masalah administrasi, peti, jadwal misa,
jadwal kremasi, tapi adik dan ipar saya
menemaninya,
karena Jc masih terlihat bingung.
Ini pertama kalinya dia mengurus
kematian.

Sampai jam sembilan malam keluarga saya berdatangan,
mereka melihat
foto-foto baby di kamera.
Mereka mengatakan kalau babynya bagus, badannya sehat,

berisi, mukanya bagus, meninggalnya juga tenang.
Saya sudah tidak
sedih.

Ketika malam hari sudah pulang semua,
Jc mengurut kaki tangan saya

dengan minyak telon, mulai terasa pegal-pegal.
Enak diurut-urut,
hangat.
Seluruh bengkak di telapak kaki, paha, lengan,
jari tangan hilang
semua,
airnya seperti diserap semua oleh tubuh.
Tubuh manusia memang penuh
keajaiban.
“Saya masih mau satu baby lagi,” pinta saya.
“Abis ini, kita
treatment ya ama dokter, biar baby nggak gini lagi…”
“Nggak lagi deh..” kata Jc menawar.
“Yang tadi kan sakitnya udah maksimal, udah diinduksi,
baby nggak
bantu dorong, gede, sungsang pula,
masih bisa tahan kok. Lain kali pasti nggak

sesakit gini, lahirin normal lagi juga berani, nggak trauma,”
kata saya berusaha
meyakinkan Jc.
“Nggak deh..,” kata Jc sambil mencium pipi saya.
“ Ini
peringatan dari Tuhan, kalau minta nggak boleh berlebih.
Udah punya dua, masih
minta satu lagi sih…”
“Nanti ya kita planning lagi,” kata saya berkeras.

Penderitaan dan penantian panjang selama sembilan bulan sudah lupa.

Sakitnya melahirkan juga udah lupa semua.
Berlalu begitu aja.
Saya memang
short-memory,
teman saya sampai bilang saya seperti Dori, temannya
Nemo.
Malam itu saya tertidur, walau sebentar-sebentar terbangun.
Untaian
rosario menggantung dekat selang infus,
menemani saya saat terjaga, langsung

saya teringat untuk menitipkan Ancillo pada Yesus.
Saya kesepian sekali.

Kembali menangis membayangkan Ancillo.
Tadi suster begitu cepat membawanya
pergi.
Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak
terbayang-bayang akan
babynya.
Saya belum sempat memeluknya,
belum mencium pipinya, belum
mendekapnya,
rindu ini tidak tertahankan.
Saya ingin sekali lagi bisa

membelainya, mengulanginya.

Saya mengambil kamera,
mengamati fotonya satu
persatu.
Suster mengikat kedua tangannya dengan kain kanfas putih,
begitu juga
kedua kakiny.
Jc bilang, suster sempat mengatur mulut baby agar tidak terbuka,

dan hendak mengikat rahangnya dengan kain kanfas putih.
Tapi Jc melarangnya, dia
tidak mau babynya diikat-ikat
seperti orang mati. Biarkan dia berpenampilan

seperti baby lainnya,
seakan sedang tidur yang nyenyak.
Matanya sedikit
terpejam,
tidak sampai menutup rapat,
bola matanya kelihatan,
baby seperti
sedang terkantuk-kantuk.

Kulitnya putih bersih, dadanya bidang,
lengannya
putih-bersih berisi,
pahanya juga berisi, sehat sekali,
telapak kakinya kecil,
jari tangan kecil,
begitu mungil, pipinya tembem, mulutnya mungil,
hidungnya
mungil, mancung, wajahnya imut-imut.

Suster menutup atas kepalanya dengan

kain bedong biru,
baby tidak dapat dipakaikan topi karena topinya kebesaran,

bila dipaksa pakai topi
akan menyarungi seluruh mukanya.


Foto lain
memperlihatkan baby sudah dipakaikan
pakai baju overall biru tangan panjang

bergambar anak-anak domba,
baby kelihatan begitu manis dengan bajunya yang

kebesaran sedikit,
kalau dipakaikan pampers pasti bajunya pas.

Baby memakai kaos
tangan dan kaos kaki,
siap dibawa pulang… kalau saja dia tidak meninggal.


Jc
bilang, ketika dijemput tadi,
dia sempat melihat kalau baby sudah mulai kaku,

jari-jari kakinya membiru.
Tapi mukanya belum membiru, masih sama.

Saat ini baby sedang sendirian di Atmajaya,
tidak ada yang menemani disana,
udah masuk
peti, dititip di ruangan F1 di lantai dasar.

H+1

Jam 6 pagi
kami sudah jalan-jalan ke lantai dasar.
Sudah lewat dari delapan jam setelah
melahirkan,
saya sudah boleh belajar berjalan.

Saat pertama berjalan, masih
sedikit limbung, sambil memakai kain sarung,
saya berjalan keluar, Jc menuntun
saya.
Luka jahitan tidak terasa sakit,
hanya saja ketika duduk saya harus

mencari posisi sedikit miring. Lantai dasar kosong,
beberapa lampu menyala.

Tempat ini begitu tenang,
tidak ada keramaian seperti biasanya.


Mama saya
datang jam 7 pagi,
dia akan menemani saya sampai siang nanti
karena Jc akan ke
Atmajaya sebelum jam 8
bersama kakak saya dan ipar sesuai rencana.


Sambil
menunggu dokter visit,
saya sempatkan membalas beberapa SMS turut berduka cita

dari teman-teman senusantara,
rupanya berita meninggalnya baby di email ke all

user dalam berita duka-cita company,
Hp saya sampai full, email saya juga full.

Tiba-tiba jadi orang beken. Sedihnya..

Jam 9 pagi, dokter visit.
Mama saya
menanyakan kapan boleh pulang
dalam bahasa mandarin.
Kata dokter, sebentar
siangan juga boleh pulang.
Tapi saya minta diperpanjang sehari lagi untuk

istirahat. Dokter mengijinkan.

“Dok, apa boleh minum Pien Zhe Huang?” tanya

mama masih dalam bahasa mandarin.
Lalu dokter menjelaskan ke mama saya kalau
untuk luka yang terbuka seperti akibatan bacokan,
habis dijahit kan
pendarahannya sudah stop,
boleh makan obat ini.
Tapi ini kan di rahim,

pendarahannya di dalam,
darahnya harus dikeluarin,
kalau makan obat ini malah

bikin tambah pendarahan.

Bahkan rumah sakit di Shanghai sendiri, habis

melahirkan tidak dibolehkan lagi pakai obat ini.
Saya mengerti sedikit-sedikit

apa yang mereka percakapkan.
Mama menanyakan satu obat lagi,
bagaimana kalau
So Hap.
“O itu boleh, untuk buang angin”
kata dokter meyakinkan mama saya.

“Minum aja, boleh, nggak apa-apa.”
Dokter menerangkan lagi kalau kemarin kan
rahimnya gede, sekarang kecil, kosong,
otomatis masih ada angin di dalam.
Lalu
dokter bilang ke suster,
“Sus, nanti resepin Rantin ya, biar perutnya nggak

kembung.”
Setelah dokter pergi, mama saya masih terkesima ama
dokter.
“Cakep ya, Ma?” tanya saya.
“Handsome, kayak bangsawan kerajaan,”
jawab mama senyum-senyum.
“Ada belajar kedokteran di Shanghai lagi.”

Ha? Saya sampai terheran-heran,
kapan dokter bilang belajar kedokteran disana,
nggak tahu
deh..,
saya yang tidak dengar bagian ini
atau memang saya yang tidak mengerti

ketika mereka asyik mengobrol pakai bahasa mandarin tadi.

Jc pulang menjelang
makan siang,
terjadi sedikit kekacauan di Atmajaya.
Kemarin dia pesan agar ada
misa keluarga,
pihak Atmajaya menyanggupi karena mereka
punya kerjasama dengan
pastur gereja Stella Maris.
Tahunya pagi ini yang datang hanya petugas dari

seksi sosial untuk doa keluarga, bukan misa.

Untung kakak saya kenal dengan
Rm. John,
kebetulan romo tidak keberatan langsung dijemput
walaupun dia sudah
janji dengan orang lain.
Jadinya, serba mendadak, acara mulai agak siang karena

kakak saya menjemput romo dulu.
Romo John bilang kalau Tuhan begitu sayang
dengan Ancillo yang sejak dari kandungan
sudah begitu menderita sehingga begitu

lahir,
Yesus langsung memanggilnya ke dalam
pelukanNya untuk menjadikannya

malaikat kecil di surga dan untuk
menjadi malaikat kecil bagi keluarganya,

menjaga ibunya supaya cepat pulih,
ayahnya yang menyayanginya, dan keluarganya,

walaupun dia langsung dipanggil Tuhan,
setidaknya dalam waktu sembilan bulan
dia
sudah merasakan kehangatan dan kasih sayang
ibu dan ayahnya, tetap menerima dan

menjaga dia dan tetap mempertahankannya
sampai lahir dan tidak mengambil

tindakan apapun yang bisa melenyapkannya.
Ancillo sekarang sudah di surga,

menjadi malaikan dan suatu hari nanti,
dia juga yang akan berdiri menyambut

ibunya untuk mengucapkan terima kasih
atas kasih sayang yang dirasakan sewaktu

dalam kandungan.

Dalam misanya romo mengatakan,
“bahwa ayah ibunya yang telah

menantikan dengan kasih sayang,
namun rencanaMu lain dari kerinduan manusia.

Anak ini hanya Kau titipkan sebentar saja
dalam pangkuan mereka, tapi sekarang

Kau ingin dia kembali ke pangkuanMu.
Biarlah Kau menguduskan dia sepenuhnya

dengan rahmat dan tebusan dari PutraMu
agar dia kembali kepadaMu,
Kau jemput
dia, sambut dia dan
Kau berikan tempat dalam kedamaian yang abadi”.


Lalu romo
mencipratkan air suci pada Ancillo
yang tertidur di peti kayunya, katanya,
”Air
suci akan diurapkan bagi dia sebagai tanda baptis,
yang diimani keluarganya
sebagai lambang kasih
dari orang tua dan keluarganya yang mengharapkan Engkau

berbelas kasih kepada anak ini
dan menyambut dia dalam suka cita yang
sempurna.”

Romo menutup misa dengan memberikan berkat,
“Atas nama keluarga,

atas nama gereja, yang mencintai engkau,
saya menyerahkan kau kembali.
Pergilah
dalam damai anakku,
semuanya sudah selesai buat engkau di dalam dunia ini.


Berangkatlah membawa tanda kemenangan
yang telah dimateraikan untukmu sejak

engkau masih dalam kandungan,
biarlah engkau diterima dalam malaikat-malaikat
yang kudus,
dan engkau akan dijemput oleh kalangan pilihan Allah.
Berangkat dan
temuilah Allah Bapa yang menciptakan engkau,
temui Yesus yang menebus engkau
dengan kuasa darah salibNya
dan Roh Kudus yang menuntun engkau selama berada di

dunia ini.

Datanglah dan tinggallah bersama para kudus,
untuk selamanya
memuliakan Tuhan dalam kerajaan yang abadi.
Doakan juga orang tua dan seluruh
keluarga
agar mereka selamat dan sehat sejahtera di dunia
sampai Bapa di surga
mengumpulkan kamu semua
dan kita sekalian dalam rumah yang abadi di surga.

Pergilah dalam damai anakku,
demi nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin”


Jc
menghantar Ancillo sampai ke mobil jenasah,
pihak Atmajaya yang akan membawanya

ke Nirvana, untuk kremasi kemudian abunya disebar di laut.
Untuk baby yang
meninggal, biasanya pihak keluarga tidak menemani.
Selamat jalan, Ancillo,
malaikat kecilku, malaikat kesayanganku. ..
Saya meminta mama saya untuk
mencarikan nama mandarin untuk Ancillo,
namun mama saya bilang kalau dia sendiri

kaget begitu tahu nama baby adalah Ancillo,
kenapa namanya bisa begitu pas,

dalam bahasa mandarin artinya
‘Istirahat dalam damai’.

An dari phing an, Si dari
sui si,
Lo dari khuai lo artinya gembira-damai- tenang,
An Si artinya istirahat.


Kata ini biasa dipakai oleh gereja
untuk orang yang meninggal.
Sedangkan Budha
memakai kata lain chien ku atau sien yu.
Istirahat dalam damai…

Ya, nama yang
pantas diberikan untuk dirinya.
Istirahat dalam damai bersama Yesus di
surga…
Kami melewati seharian di rumah sakit berdua,
seperti honey moon
kedua.
Tapi kali ini penuh dengan kesedihan
walaupun kami sudah merelakan baby
pergi.

Sejak pagi badan saya sakit semua,
lebih sakit dari kemarin,
seperti
orang baru olahraga berat.
Seperti baru pulang hiking.
Mungkin saya terlalu
banyak mengeluarkan tenaga
untuk ngedan.
Memang enakan memakai epidural,
badan
tidak sakit-sakit,
karena tenaga tidak habis untuk menahan sakit.


Saya belum
dapat berdiri lama,
lebih banyak duduk atau setengah tiduran.
Ajaib, bekas
jahitan sudah tidak terasa sakit,
biasanya sampai dua minggu baru
hilang.
Ketika sore hari, saya jalan-jalan ditemani Jc.
Kaki kami selalu
berjalan menjauhi ruang baby,
menghindarinya, tidak berani melihat baby-baby

yang dipajang,
pasti semuanya menggemaskan entah yang sedang
menangis maupun
yang sedang tidur pulas.

Malam hari keluarga Jc datang,
mama mertua saya baru
diberitahu sore harinya.
Jc sengaja menyembunyikannya berbulan-bulan,
agar
mamanya tidak sedih.
Dia juga tidak memberi kabar sejak kemarin,
menunda
menceritakan,
katanya biar semua beres baru dia cerita.


Mama dan kakaknya
melihat foto baby,
cucu ketujuh bagi keluarganya.
Mama hanya bilang kalau di
kampung Riau dulu,
dua puluh tahun yang lalu juga ada saudara yang lahir tanpa

tempurung.
Mamanya cukup berduka,
dia begitu menyayangi cucu,
jauh melebihi mama
saya sendiri.
Hidupnya sejak muda hanya untuk keluarga
menjadi ibu rumah tangga
yang penuh cinta.

H + 2

Pagi-pagi kami sudah merapikan kamar
dan menaruh semua barang ke mobil.
Saya sempat duduk-duduk di lantai dasar lagi,

terkenang akan hari-hari Sabtu pagi yang lalu,
hari biasa kami konsultasi dengan
dokter,
kami biasa drop buku pagi hari sebelum jam 6,
misa pagi di gereja mulai
jam 6,
makan pagi di sekitar pluit,
baru balik ke sini untuk tensi.


Semua
tinggal kenangan,
seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang,
mimpi
akan kerinduan menggendong seorang bayi mungil.
Mimpi itu telah dikubur bersama

debur ombak di laut luas,
di bawah langit yang terbentang tak
berujung.
Kursi-kursi masih kosong, lampu juga masih gelap.
Sebentar lagi
satu hall ini akan penuh dengan pasien ibu-ibu hamil,
dari hamil kecil sampai
hamil besar,
semua punya harapan yang sama,
menantikan kelahiran seorang bayi

yang sehat dan sempurna.

Apakah saya masih ada kesempatan, mengulanginya
sekali lagi?
Entahlah, mungkin saya harus menunggu lama,
atau selamanya
kesempatan itu tidak pernah datang.
Ayo semangat,
saya mengingatkan diri saya
sendiri,
masih ada dua anak tercinta menunggu di rumah,
tunjukkan dirimu yang
baru,
di kesempatan hidup kedua ini.


Kamar sudah kosong, sehingga nanti

sehabis dokter visit,
kami bisa langsung angkat kaki untuk pulang.
Anak-anak
sudah tidak sabar,
Vincent bahkan sudah menelpon dari pagi hari
mengingatkan Jc
untuk mengantarnya ke sekolah
untuk pesan seragam baru, seragam SD.

Francis juga
bilang kalau dia mau ikut ke sekolah.
Sebentar saja baby-baby itu sudah besar,

serasa baru kemarin saya membawanya pulang dari rumah sakit,
sekarang sudah mau
masuk SD,
tahun depan Francis pun menyusul masuk SD.


Sejak kemarin anak-anak
sudah mau datang menjenguk,
tapi Jc tidak memperbolehkan,
karena kami belum siap

untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mereka hanya diberitahu bahwa adiknya sudah

lahir tapi masih belum sehat.
Jam 8 pagi, dokter visit, seperti biasa dengan
senyumnya yang hangat, sehangat matahari pagi hari itu.

Dokter memeriksa
sebentar, semua oke,
saya diperbolehkan pulang.
Saya diingatkan untuk kontrol
minggu depan.
Jam 8.30 semua sudah beres,
kami sudah meminta bagian
administrasi sejak pagi,
jadi bisa secepatnya pulang.
Saya duduk di kursi
tunggu,
tempat biasa keluarga menunggu kelahiran.
Tidak sampai lima orang sedang
menunggu,
tampangnya cemas, menantikan kelahiran.

Sama seperti Jc
kemarin-kemarin.
Saya melihat dokter muncul dari pintu samping,
rupanya
dokter sudah selesai visit,
lalu dia sempat bicara sebentar dengan seorang

keluarga pasien, mendengarkan dengan telaten,
salaman lalu bergegas turun lewat

tangga samping.

Dari balkon saya melihat, pasiennya sudah banyak menunggu.

Thanks ya, Dok, kata saya dalam hati,
entah bagaimana saya bisa melewati ini

semua tanpa bantuanmu, dokter yang penuh dedikasi.
Ancillo telah begitu
banyak meninggalkan kenangan indah bagi saya,
dia begitu berarti bagi saya.
Saya
beruntung bisa menjalaninya
semua ini dengan begitu indah.


Sesampai di rumah,

anak-anak sudah menyambut dengan begitu gembira,
mereka berteriak, rebutan
cium,
tapi mereka tidak berani menanyakan dimana adik babynya.
Mereka mengira
adiknya masih belum sehat,
sehingga masih ditinggal di rumah sakit.


Adik saya
membisikkan ke saya,
bahwa sebelum mobil saya masuk rumah,
Francis berkata
kepadanya dengan bangga,
“sekarang aku sudah jadi koko lho,
aku sudah punya dede
baby.”

Adik saya hanya bisa mengelus kepalanya sambil
tersenyum
pahit.
Francis sangat ingin jadi anak tengah,
menurutnya lebih hebat dari

pada jadi anak bungsu,
makanya dia begitu menantikan adik bayinya lahir,

sehingga dia boleh disebut anak tengah,
bukan lagi si bungsu.

Kami buru-buru mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
Sudah hampir kesiangan,
Jc langsung
mengantar Vincent ke sekolah. Semua ikut.
Saya istirahat di rumah.
Sepi
sekali, tanpa anak-anak.
Bayangan baby kembali menghampiri.
Saya sangat
merindukannya.
Biarkan saya menangis sekali lagi, sendirian,
selagi anak-anak
tidak ada.
Biarkan saya mengenangnya sendirian...


Saat tidur siang, kami
menceritakan
bahwa adik baby nakal di perut sehingga terlilit tali pusar,
begitu
kencangnya sehingga meninggal.
Vincent langsung menangis,
sedih sekali, dia
begitu terpukul,
dia sudah cukup mengerti akan arti kehilangan,
kepergian dan
kematian.

Dia bilang, pokoknya dia tetap mau punya adik baby,
ayo kita doa,
minta ama Tuhan,
tahun depan kirim lagi seorang baby.


Francis bilang, nanti
kalau Tuhan kirim adik baby lagi,
setiap hari dia akan bilang baby supaya tidak

nakal di perut mama, supaya tidak kelilit lagi.

Kami memperlihatkan foto
adiknya yang sedang
tertidur di peti mati. Sosoknya begitu mungil,
hanya
terlihat wajahnya,
dibalut selimut putih dari leher hingga kaki,
bahkan
dikelilingi kain putih di peti matinya.

Kami menyembunyikan foto di kamera,

dimana kepalanya terlihat tidak utuh.
Suatu hari nanti, kami akan
memperlihatkannya.
Suster Vincent memberitahukan bahwa
kemarin subuh sekitar
jam 2-3 subuh,
Vincent sempat terbangun dan memanggilnya.

Begitu suster
menghampirinya,
Vincent sedang duduk di ranjangnya,
dia menunjuk di sudut kamar,

tempat Vincent menyimpan mainannya, i
tu siapa sus, katanya, sambil mengucek

matanya, itu dede baby ya.
Sus.., dede sudah pulang, tuh disana.


Suster
melihat tidak ada siapa-siapa disana.
Lalu menemani Vincent bobo lagi.


Jumat
subuh, pikir saya,
Jumat siangnya baru dipersembahkan misa untuk baby.

Mungkinkah Ancillo memang pulang ke rumah
untuk pamit kepada kakak-kakaknya yang

begitu merindukannya, begitu mencintainya.

Beberapa hari saya masih sering

menangis saat malam hari dan pagi hari
di saat rumah kosong dimana anak-anak

berangkat sekolah.

Kemudian saya mulai menulis cerita ini,
sebelum memory
saya menghapusnya seiring waktu.
Kenangan akan baby begitu indah, saya tak ingin

melupakannya. Dia begitu berarti bagi saya.

H+10.

Jam 5 pagi
saya sudah bangun, hari ini jadwal kontrol.
Kami berangkat jam 5.30, lebih pagi

lagi dari biasanya.
Saya menaruh buku seperti biasa.
Lalu buru-buru ke gereja
Stella Maris sebelum jam 6,
saya harus menyerahkan amplop berisikan tiga intensi

misa hari ini,
pertama-tama berterima kasih atas keselamatan saya,
kedua untuk
sepuluh hari meninggalnya Ancillo
dan terakhir untuk baby yang diaborsi karena
cacat.
Tapi Romo Yos hanya menyebutkan dua intensi yang pertama.
Romo mungkin
bingung, untuk baby yang diaborsi,
jumlahnya begitu banyak di dunia
ini.

Sehabis misa,
saya mampir membeli bermacam-macam roti untuk para suster

di kamar bersalin.
Harus pagi ini juga,
pas pergantian shift,
saat itu susternya
paling ramai.
Saya sangat ingin berterima kasih kepada semua suster,
atas
kesabaran mereka merawat saya selama dua hari.

Kemudian saya antri dokter
seperti biasa,
tensi dan timbang.
Berat badan turun drastis, sembilan kilo,

sampai suster menggeleng-gelengkan kepala,
menanyakan resep cepat balik.

Saya
juga tidak tahu kenapa,
dari dulu selalu turun sepuluh kilo
begitu pulang dari
rumah sakit.
Dokter datang lebih pagi hari ini,
jadwalnya sedikit berantakan
hari ini,
operasi caesar yang biasanya pagi,
banyak bergeser jadi siang hari.


Hari ini penuh sekali, lebih penuh dari Sabtu biasanya.

Dokter memeriksa rahim saya lewat USG,
bagus, jahitan bagus.
Saya hanya mengeluh bagian kiri

perut saya sedikit sakit.
Kata dokter, memang biasanya masih sedikit sakit,

karena rahim juga masih besar.

Dia menyarankan untuk meneruskan minum obat anti

sakit, tapi saya mengatakan kalau sejak pulang
rumah sakit saya tidak minum
lagi,
selama saya masih bisa tahan.

“Dok, rahim saya turun nggak?” tanya saya
“Lu ke tukang urut, ya?” tembaknya.
Saya hanya bisa senyum malu, ketahuan.
“Perutnya nggak diurut kok.”

“Jangan diurut ya, makin lu urut makin
sakit. Pas diurutnya sih enak, tapi udahannya, lu lebih sakit.”
“Emang kalau rahimnya turun, diapain, Dok?” tanya saya.
“Ya nggak diapa-apain. Lu nggak
angkat berat, kan?” tanyanya.
“Nggak.”
“Ya udah, asal lu nggak angkat
berat, nggak usah takut rahimnya turun,”
jawabannya menenangkan saya.


Dokter
masih saja tersenyum,
tiba-tiba dia geli sendiri.
“Kalau rahim diurut bisa naik,

apa bedanya dengan payudara?”
tanyanya sambil memegang dadanya membentuk dua

mangkok.
“Apa payudara yang udah turun kalau diurut bisa naik lagi?
Kan
sama-sama otot.” Tampangnya nakal sekali.
“Kalau bisa, boleh juga tuh,”
katanya sambil menahan ketawa,
“sekalian pasang plang besar, ‘Payudara Kendor,

Diurut Bisa Kencang Lagi’.
Akhirnya meledak juga tawanya.
“Wah bisa rame deh

tukang urutnya.”
Kami ikut tertawa, kocak banget si Dokter.
“Eh Dok, emang tidurnya musti setengah duduk ya,
biar darahnya keluar lancar?” tanya saya
lagi.
Dokter berusaha pasang tampang serius,
tapi tidak berhasil. “Kata
siapa?
Wah, lu pegel-pegel dong.” katanya kembali menahan ketawa.

“Kata mbak Jawa,” jawab saya.

Sepertinya salah nanya lagi deh, kata saya dalam hati.
Emang
lumayan pegel,
sudah beberapa hari saya tidurnya setengah duduk,
mengikuti
nasehat bidan tukang urut.
“Ini, ada mbak Jawa,” katanya sambil mengerling ke
arah suster kesayangannya,
suster tinggi berkacamata,
“Sus, emang orang Jawa
gitu ya?”
“Ya nggaklah, orang Jawa abis melahirkan juga biasa aja tidurnya,”
jawab suster sambil senyum-senyum.
“Tuh, tidurnya biasa aja, ya,” ujarnya
menasehati sambil senyum-seyum.
“Biar lu istirahatnya juga enak.
Lu aktifitas
juga seperti biasa aja,
biar darah keluarnya lancar.
Asal jangan angkat
berat-berat.”

Lalu dokter menanyakan sisa obat yang dibawa pulang dari rumah
sakit.
“ASI lu dulu banyak nggak?” tanyanya.
“Dikit.”
“Gua resepin Parlodel aja ya, buat stop lu punya ASI,” nadanya baru serius.
“Walaupun
keliatannya ASI lu udah stop,
lu tetap musti lanjutin minum, nanti dia bisa

produksi ASI lagi. Lebih bagus lagi kalau dada lu dibebat.”
“Kapan boleh ngantor, Dok?” tanya saya.
“Dapat cuti tiga bulan kan dari kantor?” tanyanya
balik.
“Cutinya sebulan aja, boleh?” tawar saya.
“Ngapain lu buru-buru ngantor?
Nyantai aja lagi di rumah, istirahat dulu, ngapain kek.”

“Banyak kerjaan, Dok. Sebulan aja ya?” ulang saya.
“Nggak boleh,” jawabnya cepat.
“Bulan depan lu balik, kontrol ama gua sekali lagi, baru gua bolehin.
Tunggu 40
hari dulu deh baru ngantor.”
“Iya deh,” kata saya mengalah.
“Lu kontrol sebulan dari sekarang ya, terserah lu kapan,” pesannya.
Lalu dokter mengulurkan
tangannya memberikan salam
sambil tersenyum manis, senyum khasnya.

“Oke deh,” jawab saya ringan.