Minggu, 03 Mei 2009

Cerita Michael

Berikut ini adalah sebuah surat,
yang ditulis oleh seorang pelaut muda
untuk ibunya ketika ia dirawat di rumah sakit
karena luka perang di Korea,
tahun 1950.

Surat itu tiba di tangan seorang pastor
Angkatan Laut yang membacakannya
di hadapan 5000 pelaut di Pangkalan Angkatan Laut San Diego,
tahun 1951.

Pastor Angkatan Laut itu telah berbicara dengan pelaut muda
dimaksud, ibunya, dan dengan Sersan dari patroli yang bertugas.
Pastor Angkatan Laut ini, Pastor Walter Muldy,
meyakinkan semua orang yang bertanya, bahwa cerita
ini adalah nyata.

Surat ini pernah dibaca sekali di tahun 1960 di sebuah
stasiun radio di Midwestern pada saat Natal.
Kini kami menghadirkan surat
itu di sini dan kami biarkan surat itu
untuk bisa menempatkan nilai-nilainya
sendiri.

Ibu Yang Terkasih,

Saya tak berani menulis surat ini ke orang lain
selain kepada Ibu karena tak
ada orang yang bakal mempercayainya.
Mungkin Ibu juga akan merasa sulit
untuk mempercayainya,
tapi saya harus menceritakan hal ini ke seseorang.

Pertama-tama, saya sekarang sedang di rumah sakit.
Jangan khawatir, Ibu
dengar saya, jangan khawatir.
Saya terluka, tapi saya baik-baik saja
sekarang.

Dokter mengatakan kalau saya bisa bangun
dan berkeliling dalam waktu satu bulan.
Tetapi, bukan itu yang ingin saya ceritakan pada Ibu.

Ibu ingat, ketika saya bergabung dengan Angkatan Laut tahun lalu;
ingat ketika saya pergi, bagaimana Ibu berkata
pada saya untuk selalu berdoa
kepada St. Michael, setiap hari?

Ibu sebetulnya tidak perlu mengatakan hal itu.
Semenjak itu, saya ingat kata-kata Ibu
untuk selalu berdoa kepada St. Michael,
Sang Malaikat Tertinggi.

Ibu bahkan memberikan saya nama itu.
Saya selalu berdoa kepada St. Michael.
Ketika saya tiba di Korea, saya bahkan
berdoa lebih keras.

Ibu ingat doa yang Ibu ajarkan pada saya?
"Michael, Michael dari kesatuan balatentara yang menghiasi surga."
Ibu tahu kelanjut-annya.
Saya mengucapkan doa itu setiap hari,
kadang-kadang ketika
saya sedang berbaris atau beristirahat,
tetapi selalu sebelum saya pergi tidur.
Saya bahkan mengajak beberapa teman saya untuk berdoa itu.

Suatu hari, saya mendapat tugas di barisan depan.
Waktu itu kami sedang mengintai musuh.
Saya bergerak perlahan dalam cuaca yang sangat dingin;
napas saya seperti asap cerutu.
Saya pikir saya tahu tiap orang yang sedang
patroli, ketika di sebelah saya ada seorang pelaut
yang belum pernah saya temui.
Dia lebih besar dari seluruh pelaut yang pernah saya lihat.
Tingginya lebih dari 6 kaki 4 inci
dan badannya proporsional.

Hal itu membuat saya merasa aman berada dekat orang
yang bertubuh tinggi besar seperti itu.

Bagaimana pun juga,
di sanalah kami susah payah berjalan.
Sebagian patroli menyebar.
Untuk memulai pembicaraan, saya berkata,
"Dingin ya", lalu saya tertawa.
Saya berbicara mengenai cuaca
di tengah-tengah kemungkinan terbunuh
dalam tiap menitnya!

Teman seperjalanan saya kelihatannya mengerti.
Saya dengar dia tertawa kecil.
Saya memandangnya,
"Saya belum pernah melihat kamu sebelumnya.
Saya pikir saya sudah tahu setiap orang berseragam di sini."

"Saya baru saja bergabung,"
dia menjawab, "Nama saya Michael."

"Begitu ya,"
Saya berkata terkejut, "Itu juga nama saya."

"Saya tahu," katanya dan kemudian mulai berdoa,
"Michael, Michael dari pagi."

Saya sangat tercengang sampai
tidak bisa berkata apa-apa selama semenit.
Bagaimana dia tahu nama saya,
dan doa yang Ibu ajarkan pada saya?

Lalu saya tertawa pada diri saya sendiri,
setiap orang berseragam di sini tahu
mengenai saya.
Kan saya pernah mengajarkan doa tersebut
pada setiap orang
yang mau mendengarkannya.
Maka terkadang, mereka juga menghubung-hubungkan
saya sebagai St. Michael.

Tak satu pun dari kami berbicara
selama beberapa saat, ketika kemudian dia
memecah kesunyian.

"Kita akan mempunyai masalah di depan."
Orang ini pasti kondisi fisiknya
sedang bagus karena ketika dia bernapas,
saya tak dapat melihat napasnya.
Napas saya keluar bagai kabut.
Tak ada senyum tersungging lagi dari pria itu
sekarang.
Masalah di depan,
saya berpikir pada diri saya sendiri; dengan
seluruh musuh di sekitar kita,
tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.

Salju mulai turun dalam butiran-nya
yang tebal-tebal.
Dalam sekejap, seluruh sisi kota sudah
tertutup salju, dan saya berbaris
dalam kabut putih dari
butiran-butiran salju yang basah dan lengket.

Teman seperjalanan saya menghilang.

"Michael!" Saya berteriak cemas.
Saya merasakan tangannya di tangan saya;
suaranya kuat.
"Sebentar lagi ini akan berhenti."

Ramalannya terbukti benar.
Dalam beberapa menit salju berhenti tiba-tiba
seperti waktu mulainya,
matahari bagaikan sebuah pelat yang bersinar terang.
Saya menengok ke belakang untuk melihat sebagian patroli.

Tidak ada orang
dalam pandangan saya.
Kami kehilangan mereka waktu salju tebal turun.
Saya melihat ke depan
ketika kami melewati sebuah tanjakan kecil.

Ibu, jantung saya berhenti.
Mereka ada tujuh, tujuh musuh berseragam celana
panjang, jaket dan topi yang lucu.
Hanya saja tidak ada yang lucu dari
mereka sekarang.
Tujuh senapan diarahkan ke kami.

"Tiarap, Michael!"
Saya berteriak, dan menghantam bumi yang membeku.
Saya mendengar senapan-senapan itu
menembak secara hampir bersamaan.
Saya mendengar desingan peluru-pelurunya.
Michael masih tetap berdiri.

Ibu, musuh-musuh itu tak mungkin salah sasaran,
tidak dalam jarak itu.
Saya menunggu untuk melihat Michael
benar-benar kehabisan napas,
tetapi dia tetap berdiri,
tidak bergerak terhadap tembakan-tembakan
yang mengarah padanya.

Dia lumpuh karena ketakutan.
Kadang-kadang itu terjadi, Bu,
bahkan kepada yang paling berani sekali pun.
Dia seperti seekor burung yang dikejutkan
oleh seekor ular.

Paling tidak itu yang kemudian terpikir oleh saya.
Saya melompat untuk menarik dia ke bawah
dan saat itulah saya mendengar tembakan.
Saya tiba-tiba merasakan panas di dada saya.
Saya bahkan sempat berpikir
apakah ini rasanya jika tertembak. Sekarang saya tahu.

Saya ingat saya merasakan tangan-tangan
yang kuat melingkupi saya,
tangan-tangan yang membaringkan saya
dengan hati-hati sekali di sebuah
bantal salju.
Saya membuka sepasang mata saya,
untuk pandangan yang
terakhir. Saya pikir saya sedang sekarat.
Malah mungkin saya sudah mati.

Saya ingat waktu itu saya berpikir,
ini tidaklah terlalu buruk.

Mungkin saya sedang memandang matahari.
Mungkin saya sedang dalam keadaan
shock, tetapi sepertinya saya melihat
Michael berdiri tegak kembali, hanya
saja kali ini wajahnya bersinar dengan sangat megah.

Seperti yang saya katakan,
mungkin karena matahari di mata saya, dia
kelihatan berubah setiap kali saya melihatnya.
Dia bertumbuh lebih besar,
tangan-tangannya terbentang lebar;
mungkin karena salju yang turun lagi,
saya melihat ada kecemerlangan di sekitar dia
seperti sayap-sayap dari
seorang malaikat.

Di salah satu tangannya ada sebuah pedang,
pedang yang bergerak cepat dengan sejuta cahaya.

Itulah hal terakhir yang saya ingat
sampai sebagian teman-teman saya datang
dan mendapatkan saya;
saya tidak tahu berapa lama telah berlalu.
Kadang-kadang rasa sakit dan demam saya
bisa hilang untuk sesaat.

Saya ingat mengatakan pada mereka
akan adanya musuh di depan.

"Michael, engkau dimana?" saya bertanya.
Saya lihat mereka saling
berpandangan.
"Siapa yang dimana?"
tanya salah seorang di antara mereka.

"Michael, pelaut yang besar itu.
Saya sedang berjalan dengan dia tepat
sebelum hujan badai salju menghantam kita."

"Nak," Sersan berkata,
"Kamu ti-dak sedang berjalan dengan siapa pun.
Saya mengawasimu setiap saat.
Kamu bergerak terlalu jauh.
Saya baru saja mau
memanggilmu untuk kembali,
ketika kamu menghilang di tengah salju."
Dia memandang saya dengan penuh curiga.
"Bagaimana kamu melakukan hal itu, Nak?"

"Bagaimana saya melakukan apa?"
saya bertanya setengah marah, tanpa
memikirkan luka saya.
"Pelaut itu bernama Michael dan saya baru."
"Nak," kata Sersan dengan ramahnya,
"Saya sendiri yang memilih orang-orang
berseragam di sini dan tidak ada Michael
yang lain di kesatuan kita. Hanya
kamu satu-satunya Mike di sini."

Dia jeda untuk semenit,
"Bagaimana kamu melakukannya, Nak?
Kami mendengar beberapa tembakan,
bukan dari senapanmu,
dan tak ada satu pun petunjuk
mengenai bagaimana tujuh musuh itu
bisa berada di lembah sana."

Saya tidak berkata apa-apa;
apa yang dapat saya katakan?
Saya hanya dapat
memandang mereka dengan
mulut terbuka karena heran.

Setelah itu, Sersan berbicara lagi.
"Nak," dia berkata dengan hati-hati,
"Setiap orang dari ketujuh musuh itu
terbunuh oleh sambaran pedang."

Hanya itu yang mau saya ceritakan pada Ibu.
Seperti yang saya katakan, itu
mungkin karena sinar matahari
yang mengenai mata saya, mungkin karena demam
atau sakit yang saya rasakan,
tapi itulah yang terjadi.

Salam Sayang,

Michael

Sumber: Majalah AVE MARIA edisi AM-53, Maret-April 2009

Penterjemah: Ursula Brigitta Tiwow

Tidak ada komentar: