Jumat, 08 Mei 2009

BUKU HARIAN AYAH

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun,
saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.

Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini
selalu menjadi teladan bagi saya,
juga selalu berusaha keras
agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik,
seorang suami yang baik seperti ayah saya.
Namun harapan tinggallah harapan,
sementara penerapannya sangatlah sulit.

Tak lama setelah menikah,
saya dan istri mulai sering bertengkar
hanya akibat hal - hal kecil dalam rumah tangga.

Malam minggu pulang ke kampung halaman,
saya tidak kuasa menahan diri
hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun
ayah mendengarkan segala keluhan saya,
dan setelah beliau berdiri
dan masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar
belasan buku catatan
dan ditumpuknya begitu saja
di hadapan saya.

Sebagian besar buku tersebut
halamannya telah menguning,
kelihatannya buku-buku tersebut
telah disimpan selama puluhantahun.

Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan,
apa bisa beliau menulis buku harian?
Dengan penuh rasa ingin tahu
saya mengambil salah satu dari buku-buku itu.

Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah,
agak miring dan sangat aneh sekali,
ada yang sangat jelas,
ada juga yang semrawut,
bahkan ada yang tulisannya
sampai menembus beberapa halaman kertas.

Saya segera tertarik dengan hal tersebut,
mulailah saya baca dengan seksama
halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele,
"Suhu udara mulai berubah menjadi dingin,
ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya."

"Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia."


Sedikit demi sedikit tercatat,
semua itu adalah catatan mengenai
berbagai macam kebaikan
dan cinta ibu kepada ayah,
mengenai cinta ibu terhadap anak-anak
dan terhadap keluarga ini.

Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku,
arus hangat mengalir di dalam hati saya,
mata saya berlinang air mata.

Saya mengangkat kepala,
dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah
"Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."


Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Tidak perlu kagum, kamu juga bisa."

Ayah berkata lagi,
"Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya,
Tidak mungkin sama sekali
tidak terjadi pertengkaran dan benturan"


Intinya adalah harus bisa belajar
untuk saling pengertian dan toleran.
Setiap orang memiliki masa emosional,
ibumu terkadang kalau sedang kesal,
juga suka mencari gara - gara,
melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel.

Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah,
di dalam buku catatan
saya tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan
demi rumah tangga ini.

Sering kali dalam hati saya penuh dengan amarah
waktu menulis kertasnya sobek
akibat tembus oleh pena.
Tapi saya masih saja terus menulis
satu demi satu kebaikannya,
saya renungkan bolak balik
dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi,
yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya.
Lalu saya bertanya pada ayah,
"Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"


Ayah hanya tertawa dan berkata,
"Ibumu juga memiliki buku catatan.
Dalam buku catatannya
itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku.

Kadang kala dimalam hari,
Menjelang tidur,
kami saling bertukar buku catatan,
dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."


Memandang wajah ayah
yang dipenuhi senyuman
dan setumpuk buku catatan
yang berada di atas meja,
tiba - tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan :

"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana,
ingat dan catat kebaikan dari orang lain..
Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."

Tidak ada komentar: