4 Hal Bodoh Kala Jatuh Cinta
Jatuh cinta memang membuat perasaan seseorang berbunga-bunga.
Tetapi terlalu cepat jatuh cinta juga
sering membuat seseorang melakukan hal-hal yang bodoh.
Agar tidak melakukan hal-hal bodoh tersebut,
mulailah untuk melakukan beberapa perubahan yang sederhana.
Bila Anda memiliki tujuan yang positif
dan berhenti melakukan hal-hal yang negatif,
kehidupan percintaan Anda akan menguntungkan.
Berikut ini lima kebodohan yang harus segera dihentikan
plus saran bagaimana melakukannya
sehingga Anda bisa menemukan romantisme yang diinginkan.
Kebodohan 1:
Percaya pada cinta yang menggebu-gebu
pada pandangan pertama.
Rasa tertarik yang begitu kuat pada pertemuan pertama
memang menyenangkan,
tetapi cinta berkembang sesuai dengan berjalannya waktu,
dan bukan melalui pandangan sekilas atau 1-2 kali makan malam.
Bila pada pertemuan pertama
Anda sudah memiliki sedikit perasaan tertarik,
tidak ada salahnya melakukan pertemuan berikutnya.
Ingat, Anda tidak dapat menilai seseorang
bila baru pertama kali bertemu
dan berkenalan karena biasanya seseorang
masih canggung pada kencan pertama.
Cinta pada pandangan pertama
hanya ada di dalam mitos.
Oleh sebab itu, penting untuk mengenal
dan memberikan kesempatan kepada beberapa orang.
Bersikap terbuka dapat merupakan langkah penting
untuk menemukan pasangan yang tepat.
Kebodohan 2:
Jatuh cinta pada seseorang yang sudah terikat.
Tidak dapat disalahkan bila Anda jatuh cinta
dengan seseorang yang simpatik,
punya daya tarik kuat, pintar berbicara, dan kharismatik.
Tapi percayalah.
Anda akan menderita bila berkencan dengan seseorang
yang tidak seratus persen terikat dengan diri Anda
dan tidak pernah ada pada saat Anda membutuhkannya.
Tidak peduli bila Anda mengatakan bahwa
Anda tidak memerlukan seseorang
yang harus seratus persen siap untuk Anda.
Karena pada kenyataannya,
Anda tetap akan merasa sedih.
Sebaiknya perluas pergaulan, ikut kelompok diskusi,
atau kursus suatu bidang yang diminati.
Buka diri untuk berkenalan dengan orang-orang baru.
Anda berhak untuk dicintai, dikasihi, dan dipedulikan.
Kebodohan 3:
Tidak mengatakan pada orang-orang terdekat
bahwa Anda memang sedang mencari seorang kekasih.
Bila bosan dan lelah dengan kesendirian Anda,
katakan kepada orang-orang terdekat bahwa
Anda ingin memiliki seseorang
yang lebih dari sekadar teman. Tidak perlu malu.
Bila Anda tertutup,
belum tentu orang-orang terdekat mengerti keinginan Anda.
Bisa saja mereka berpikir,
Anda memang menikmati kesendirian Anda.
Dengan mengatakan keinginan kepada orang-orang terdekat,
tanpa disadari, Anda akan sibuk menerima undangan
dari orang-orang terdekat untuk menghadiri
acara makan malam ataupun
untuk menghadiri acara-acara kegiatan sosial.
Kebodohan 4:
Mengabaikan bahaya yang sudah jelas-jelas kelihatan.
Pernahkan Anda mengatakan
"Dia hebat walaupun peminum berat,"
atau "Dia sangat menarik,
kelihatannya cocok untuk saya, tapi dia playboy."
Bila jatuh cinta memang mudah
untuk mengabaikan masalah-masalah dasar
yang dapat mengancam hubungan masa depan yang serius.
Setiap kali berkencan dengannya,
Anda selalu mengabaikan masalah yang ada.
Jika ada hal-hal prinsip yang Anda rasakan,
bicarakan dengannya.
Ajukan pertanyaan-pertanyaan.
Pertimbangkan apakah alasan yang diberikannya
dapat Anda terima, masuk akal,
dan tidak akan menjadi masalah
untuk hubungan jangka panjang yang serius.
Tetapi bila dia tidak tertarik untuk terikat
dengan suatu hubungan jangka panjang
yang serius, tinggalkan dia.
Mungkin Anda tetap bisa bersahabat,
tetapi jangan buang waktu
untuk seseorang seperti dia.
Buka hati untuk orang lain,
siapa tahu tanpa Anda sadari,
ada teman dari sahabat ataupun teman lama
yang ternyata tertarik dan menyukai Anda.
Bila Anda jatuh cinta,
utamakan prioritas Anda dan tetap berpegang
pada prinsip yang telah ditentukan agar Anda tidak kecewa.
Yang manakah Anda????
Senin, 22 Desember 2008
Rabu, 17 Desember 2008
ENAM BATU UJIAN CINTA: NOTHING LAST FOREVER
Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami
cukup dalam untuk menghantar kami ke
arah berdampingan seumur hidup,
menuju kepada kesetiaan yang sempurna?
Bagaimana kami dapat yakin bahwa
cinta kami ini cukup matang untuk diikat
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan
seumur hidup sampai maut memisahkan?
*Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama*.
Cinta sejati ingin merasakan bersama,
memberi, mengulurkan tangan.
Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya,
bukan memikirkan diri sendiri.
Jika kalian membaca sesuatu,
pernahkah kalian berpikir,
aku ingin membagi ini bersama sahabatku?
Jika kalian merencanakan sesuatu,
adakah kalian hanya berpikir
tentang apa yang ingin kalian lakukan,
ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?
Sebagaimana Herman Oeser,
seorang penulis Jerman pernah mengatakan,
"Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin.
Karena yang penting dalam perkawinan ialah
membuat pihak yang lain bahagia.
Mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin.
Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya.
Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"
*Kedua, Ujian kekuatan*.
Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta,
tapi sedang risau hatinya.
Dia pernah membaca entah di mana,
bahwa berat badan seseorang akan berkurang
kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.
Meskipun dia sendiri mencurahkan
segala perasaan cintanya,
dia tidak kehilangan berat badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya.
Memang benar, bahwa pengalaman cinta
itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani.
Tapi dalam jangka panjang
cinta sejati tidak akan menghilangkan
kekuatan kalian; bahkan sebaliknya
akan memberikan kekuatan
dan tenaga baru pada kalian.
Cinta akan memenuhi kalian dengan
kegembiraan serta membuat kalian kreaktif,
dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.
Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru
dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif,
ataukah cinta kita justru menghilangkan
kekuatan dan tenaga kita?"
*Ketiga, Ujian penghargaan.
*Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain.
Seorang gadis mungkin mengagumi seorang jejaka,
ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol.
Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ",
jawabnya sering sekali menjadi negatif.
Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis,
yang dilihatnya sedang berdansa.
Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku? ",
gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.
Pertanyaannya ialah:
"Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang
tinggi satu kepada yang lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"
*Keempat, Ujian kebiasaan.
*Pada suatu hari seorang gadis Eropa
yang sudah bertunangan datang pada saya.
Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya,
"tapi aku tak tahan caranya dia makan apel."
Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan.
"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya.
Jangan kawin berdasarkan paham cicilan,
lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan
berubah di kemudian hari.
Kemungkinan besar itu takkan terjadi.
Kalian harus menerima pasanganmu
sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan
kekurangannya.
Pertanyaannya:
"Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling
menyukai?"
*Kelima, Ujian pertengkaran .
*Bilamana sepasang muda mudi datang
mengatakan ingin kawin,
saya selalu menanyakan mereka,
apakah mereka pernah sesekali
benar-benar bertengkar -
tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil,
tetapi benar-benar bagaikan berperang.
Seringkali mereka menjawab,
"Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai."
Saya katakan kepada mereka,
"Bertengkarlah dahulu barulah akan kukawinkan kalian."
Persoalannya tentulah, bukan
pertengkarannya,
tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi.
Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin.
Bukan seks, tapi batu ujian
pertengkaranlah yang merupakan
pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum kawin.
Pertanyaannya:
"Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"
*Keenam, Ujian waktu*.
Sepasang muda mudi datang
kepada saya untuk dikawinkan.
"Sudah berapa lama kalian saling mencintai?" tanya saya.
"Sudah tiga, hampir empat minggu," jawab mereka.
Ini terlalu singkat.
Menurut saya minimum satu tahun
bolehlah.
Dua tahun lebih baik lagi.
Ada baiknya untuk saling bertemu,
bukan saja pada hari-hari libur
atau hari minggu dengan berpakaian rapih,
tapi juga pada saat bekerja
di dalam hidup sehari-hari,
waktu belum rapi, atau cukur,
masih mengenakan kaos oblong,
belum cuci muka, rambut masih awut-awutan,
dalam suasana yang tegang atau berbahaya.
Ada suatu peribahasa kuno,
"Jangan kawin sebelum mengalami musim panas
dan musim dingin bersama dengan pasanganmu."
Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu,
sang waktu akan memberi kepastian.
Tanyakan:
"Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin?
Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"
Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami
cukup dalam untuk menghantar kami ke
arah berdampingan seumur hidup,
menuju kepada kesetiaan yang sempurna?
Bagaimana kami dapat yakin bahwa
cinta kami ini cukup matang untuk diikat
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan
seumur hidup sampai maut memisahkan?
*Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama*.
Cinta sejati ingin merasakan bersama,
memberi, mengulurkan tangan.
Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya,
bukan memikirkan diri sendiri.
Jika kalian membaca sesuatu,
pernahkah kalian berpikir,
aku ingin membagi ini bersama sahabatku?
Jika kalian merencanakan sesuatu,
adakah kalian hanya berpikir
tentang apa yang ingin kalian lakukan,
ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?
Sebagaimana Herman Oeser,
seorang penulis Jerman pernah mengatakan,
"Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin.
Karena yang penting dalam perkawinan ialah
membuat pihak yang lain bahagia.
Mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin.
Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya.
Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"
*Kedua, Ujian kekuatan*.
Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta,
tapi sedang risau hatinya.
Dia pernah membaca entah di mana,
bahwa berat badan seseorang akan berkurang
kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.
Meskipun dia sendiri mencurahkan
segala perasaan cintanya,
dia tidak kehilangan berat badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya.
Memang benar, bahwa pengalaman cinta
itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani.
Tapi dalam jangka panjang
cinta sejati tidak akan menghilangkan
kekuatan kalian; bahkan sebaliknya
akan memberikan kekuatan
dan tenaga baru pada kalian.
Cinta akan memenuhi kalian dengan
kegembiraan serta membuat kalian kreaktif,
dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.
Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru
dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif,
ataukah cinta kita justru menghilangkan
kekuatan dan tenaga kita?"
*Ketiga, Ujian penghargaan.
*Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain.
Seorang gadis mungkin mengagumi seorang jejaka,
ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol.
Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ",
jawabnya sering sekali menjadi negatif.
Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis,
yang dilihatnya sedang berdansa.
Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku? ",
gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.
Pertanyaannya ialah:
"Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang
tinggi satu kepada yang lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"
*Keempat, Ujian kebiasaan.
*Pada suatu hari seorang gadis Eropa
yang sudah bertunangan datang pada saya.
Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya,
"tapi aku tak tahan caranya dia makan apel."
Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan.
"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya.
Jangan kawin berdasarkan paham cicilan,
lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan
berubah di kemudian hari.
Kemungkinan besar itu takkan terjadi.
Kalian harus menerima pasanganmu
sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan
kekurangannya.
Pertanyaannya:
"Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling
menyukai?"
*Kelima, Ujian pertengkaran .
*Bilamana sepasang muda mudi datang
mengatakan ingin kawin,
saya selalu menanyakan mereka,
apakah mereka pernah sesekali
benar-benar bertengkar -
tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil,
tetapi benar-benar bagaikan berperang.
Seringkali mereka menjawab,
"Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai."
Saya katakan kepada mereka,
"Bertengkarlah dahulu barulah akan kukawinkan kalian."
Persoalannya tentulah, bukan
pertengkarannya,
tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi.
Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin.
Bukan seks, tapi batu ujian
pertengkaranlah yang merupakan
pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum kawin.
Pertanyaannya:
"Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"
*Keenam, Ujian waktu*.
Sepasang muda mudi datang
kepada saya untuk dikawinkan.
"Sudah berapa lama kalian saling mencintai?" tanya saya.
"Sudah tiga, hampir empat minggu," jawab mereka.
Ini terlalu singkat.
Menurut saya minimum satu tahun
bolehlah.
Dua tahun lebih baik lagi.
Ada baiknya untuk saling bertemu,
bukan saja pada hari-hari libur
atau hari minggu dengan berpakaian rapih,
tapi juga pada saat bekerja
di dalam hidup sehari-hari,
waktu belum rapi, atau cukur,
masih mengenakan kaos oblong,
belum cuci muka, rambut masih awut-awutan,
dalam suasana yang tegang atau berbahaya.
Ada suatu peribahasa kuno,
"Jangan kawin sebelum mengalami musim panas
dan musim dingin bersama dengan pasanganmu."
Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu,
sang waktu akan memberi kepastian.
Tanyakan:
"Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin?
Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"
Minggu, 30 November 2008
Yang engkau alami selama ini ?
Hal yang sangat menyedihkan adalah
saat kau Jujur pada temanmu,
Dia berdusta padamu...
Saat dia telah berjanji padamu,
Dia mengingkarinya. ...
Saat kau memberikan perhatian,
Dia tidak menghargainya. ..
Hal yang sangat menyakitkan adalah
saat kau mengirimkan e-mail pada temanmu,
Dia menghapus tanpa membacanya.. .
Saat kau membutuhkan jawaban dari e-mailmu,
Dia tidak menjawab Dan mengacuhkannya. ..
Saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Saat kau mencintainya dengan tulus tapi
Dia tidak mencintamu.. .
Saat dia yang kau sayangi tiba2 memutuskan
Hubungannya denganmu...
Hal yang sangat mengecewakan adalah
Kau dibutuhkan hanya pada saat dia dalam kesulitan...
Saat kau bersikap ramah,
Dia terkadang bersikap sinis padamu...
Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..
Jangan pernah menyesali atas apa yang terjadi padamu...
Sebenarnya hal-hal yang kau alami sedang mengajarimu. ..
Saat temanmu berdusta padamu
Atau tidak menepati janjinya padamu
Atau dia tidak menghargai perhatian yang kau berikan....
Sebenarnya dia telah mengajarimu
Agar kau tidak berprilaku seperti dia...
Saat temanmu menghapus e-mail yang kau kirim
Sebelum membacanya
Atau saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Agar tidak berprasangka buruk &
Selalu berpikiran positif
Bahwa mungkin saja dia pernah
Membaca E-mail yang kau kirim...
Atau mungkin saja dia tidak melihatmu...
Dan saat dia tidak menjawab e-mailmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Untuk menjawab e-mail temanmu
Yang membutuhkan jawaban
Walaupun kau sedang sibuk
Dan jika kau tidak bisa menjawabnya
Katakan kalau kau belum bisa menjawabnya
Jangan biarkan e-mailnya tanpa jawaban
Karena mungkin dia sedang menunggu jawabanmu...
Saat kau mencintainya dengan tulus
Tapi dia tidak mencintaimu
Atau dia yang kau sayangi
Tiba2 memutuskan hubungannya denganmu
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menerima rencanaNya.. .
Saat kau bersikap ramah
Tapi dia terkadang bersikap sinis padamu...
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk selalu bersikap ramah pada siapapun...
Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menjadi seorang teman
Yang bisa diajak berbagi cerita,
Mau mendengarkan keluhan
Temanmu Dan membantunya. ..
Bila kau dibutuhkan hanya pada saat
Dia sedang dalam kesulitan...
Sebenarnya juga telah mengajarimu
Untuk menjadi orang yang arif & santun,
Kau telah membantunya saat dia dalam kesulitan...
Begitu banyak hal yang tidak menyenangkan
Yang sering kau alami
Atau bertemu dengan orang2 yang menjengkelkan,
Egois Dan sikap yang tidak mengenakkan. ..
Dan betapa tidak menyenangkan
menjadi orang yang dikecewakan, disakiti,
Tidak dipedulikan / dicuekin, tidak dihargai,
Atau bahkan mungkin dicaci Dan dihina...
Sebenarnya orang2 tsb sedang mengajarimu
Untuk melatih membersihkan hati & jiwa,
Melatih untuk menjadi orang yang sabar
Dan mengajarimu untuk tidak berprilaku seperti itu...
Mungkin Tuhan menginginkan kau bertemu orang
Dengan berbagai macam karakter yang tidak menyenangkan
Sebelum kau bertemu dengan orang yang menyenangkan
Dalam kehidupanmu
Dan kau harus mengerti
Bagaimana berterimakasih atas
Karunia itu yang telah mengajarkan sesuatu yang
Paling berharga dalam hidupmu...
Hal yang sangat menyedihkan adalah
saat kau Jujur pada temanmu,
Dia berdusta padamu...
Saat dia telah berjanji padamu,
Dia mengingkarinya. ...
Saat kau memberikan perhatian,
Dia tidak menghargainya. ..
Hal yang sangat menyakitkan adalah
saat kau mengirimkan e-mail pada temanmu,
Dia menghapus tanpa membacanya.. .
Saat kau membutuhkan jawaban dari e-mailmu,
Dia tidak menjawab Dan mengacuhkannya. ..
Saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Saat kau mencintainya dengan tulus tapi
Dia tidak mencintamu.. .
Saat dia yang kau sayangi tiba2 memutuskan
Hubungannya denganmu...
Hal yang sangat mengecewakan adalah
Kau dibutuhkan hanya pada saat dia dalam kesulitan...
Saat kau bersikap ramah,
Dia terkadang bersikap sinis padamu...
Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..
Jangan pernah menyesali atas apa yang terjadi padamu...
Sebenarnya hal-hal yang kau alami sedang mengajarimu. ..
Saat temanmu berdusta padamu
Atau tidak menepati janjinya padamu
Atau dia tidak menghargai perhatian yang kau berikan....
Sebenarnya dia telah mengajarimu
Agar kau tidak berprilaku seperti dia...
Saat temanmu menghapus e-mail yang kau kirim
Sebelum membacanya
Atau saat bertemu dengannya Dan ingin menyapa,
Dia pura2 tidak melihatmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Agar tidak berprasangka buruk &
Selalu berpikiran positif
Bahwa mungkin saja dia pernah
Membaca E-mail yang kau kirim...
Atau mungkin saja dia tidak melihatmu...
Dan saat dia tidak menjawab e-mailmu...
Sebenarnya dia telah mengajarkanmu
Untuk menjawab e-mail temanmu
Yang membutuhkan jawaban
Walaupun kau sedang sibuk
Dan jika kau tidak bisa menjawabnya
Katakan kalau kau belum bisa menjawabnya
Jangan biarkan e-mailnya tanpa jawaban
Karena mungkin dia sedang menunggu jawabanmu...
Saat kau mencintainya dengan tulus
Tapi dia tidak mencintaimu
Atau dia yang kau sayangi
Tiba2 memutuskan hubungannya denganmu
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menerima rencanaNya.. .
Saat kau bersikap ramah
Tapi dia terkadang bersikap sinis padamu...
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk selalu bersikap ramah pada siapapun...
Saat kau butuh dia untuk berbagi cerita,
Dia berusaha untuk menghindarimu. ..
Sebenarnya dia sedang mengajarimu
Untuk menjadi seorang teman
Yang bisa diajak berbagi cerita,
Mau mendengarkan keluhan
Temanmu Dan membantunya. ..
Bila kau dibutuhkan hanya pada saat
Dia sedang dalam kesulitan...
Sebenarnya juga telah mengajarimu
Untuk menjadi orang yang arif & santun,
Kau telah membantunya saat dia dalam kesulitan...
Begitu banyak hal yang tidak menyenangkan
Yang sering kau alami
Atau bertemu dengan orang2 yang menjengkelkan,
Egois Dan sikap yang tidak mengenakkan. ..
Dan betapa tidak menyenangkan
menjadi orang yang dikecewakan, disakiti,
Tidak dipedulikan / dicuekin, tidak dihargai,
Atau bahkan mungkin dicaci Dan dihina...
Sebenarnya orang2 tsb sedang mengajarimu
Untuk melatih membersihkan hati & jiwa,
Melatih untuk menjadi orang yang sabar
Dan mengajarimu untuk tidak berprilaku seperti itu...
Mungkin Tuhan menginginkan kau bertemu orang
Dengan berbagai macam karakter yang tidak menyenangkan
Sebelum kau bertemu dengan orang yang menyenangkan
Dalam kehidupanmu
Dan kau harus mengerti
Bagaimana berterimakasih atas
Karunia itu yang telah mengajarkan sesuatu yang
Paling berharga dalam hidupmu...
Kamis, 06 November 2008
"Four People You Will Meet In Live"
Four people you will meet in life.
Life is the process of finding love;
every person will need to find four people in their life.
First person is you,
second person is the one you love most,
third person is the one who love you most,
and the fourth is the one you spend the rest of your life with.
In life, firstly you will meet with the one you love most,
and learn how love feels.
Because you know how love feels,
so you can find the person who loves you most.
When you have experienced the feeling
of loving others and being loved,
you will then know what it is you need most.
Then you will find the person who is most suitable for you,
to be able to spend the rest of your life with.
Sadly, in real life, these three people are usually not the same person.
The one you love most doesn´t love you.
The one, who love you most, is never the one you love most.
And the one you spend your life with,
is never the one you love most or
the one who love you most.
He is just the person who happens
to be at the right place at the right time.
Which person are you in other people´s life?
No person will purposely have a change of heart.
At the point in time when he loves you,
he really loves you.
But when he doesn´t love you anymore,
he really doesn´t love you anymore.
When he loves you,
he can´t pretend that he doesn´t.
Same goes, when he loves you no more,
there´s no way he can pretend he loves you.
When a person doesn´t love you and wants to leave you.
You must ask yourself
if you still love him,
if you also don´t love him anymore,
do not keep him just to save your pride.
If you still love him,
you should wish him happiness,
and hope that he will be with the one he loves most,
not stop him from it.
If you stop him from finding true happiness
with the one he loves,
it shows you already don´t love him,
and if you don´t love him,
what rights do you have to blame him
for a change of heart?
Love is not possessive,
if you like the moon,
you can´t just take it down
and put it in your basin,
but the moonlight still shines upon you.
In other words, when you love a person,
you can use another method of
possessing the person.
Let him become a permanent memory in you life.
If you really love a person,
you must love him for what he is.
Love him for his good points,
and the bad,
you can´t wish for him to become like
what you like him to be just
because you love him.
If he can´t change to become what you like him to be,
you don´t love him anymore.
When you really love a person,
you cannot find a reason why you love him,
you only know that no matter when and where,
good mood or bad mood,
you will wish to have this person be with you.
Real love is when two people
can go through the toughest problems
without asking for promises or
listing criterias.
In a relationship,
you have to put in effort and
give in at times,
not always be on the receiving end.
Being away from each other is a type of test,
If the relationship isn´t strong,
then you can only admit defeat.
Real love will never become hate.
When two people are in love,
they love to ask each other to swear,
to make promises.
Why do they ask each other to swear and promise?
Because they don´t trust each other,
they don´t trust their lover.
These swear and promises are useless;
Till the sky falls, till the ocean dry,
my love for you will never change!
We all know that the sky will never fall;
the ocean will never dry,
even if it does happen,
are we still alive by then?
Be careful when making promises;
don´t make promises that you cannot keep.
Swear by things that can never happen,
because it can never happen,
so no harm just saying it casually.
Remember,
swearing by things that can never happen
are the most touching!!
In a relationship, what you say is one thing,
but what you do is another;
The one saying, doesn´t believe;
the one listening,
also doesn´t believe.
NB:
I always felt that my love life seems
doesn´t go well as I wish.
It always hurt.
Those words really have a great great meaning
and too easy to be written
but it´s absolutely difficult to do..
Four people you will meet in life.
Life is the process of finding love;
every person will need to find four people in their life.
First person is you,
second person is the one you love most,
third person is the one who love you most,
and the fourth is the one you spend the rest of your life with.
In life, firstly you will meet with the one you love most,
and learn how love feels.
Because you know how love feels,
so you can find the person who loves you most.
When you have experienced the feeling
of loving others and being loved,
you will then know what it is you need most.
Then you will find the person who is most suitable for you,
to be able to spend the rest of your life with.
Sadly, in real life, these three people are usually not the same person.
The one you love most doesn´t love you.
The one, who love you most, is never the one you love most.
And the one you spend your life with,
is never the one you love most or
the one who love you most.
He is just the person who happens
to be at the right place at the right time.
Which person are you in other people´s life?
No person will purposely have a change of heart.
At the point in time when he loves you,
he really loves you.
But when he doesn´t love you anymore,
he really doesn´t love you anymore.
When he loves you,
he can´t pretend that he doesn´t.
Same goes, when he loves you no more,
there´s no way he can pretend he loves you.
When a person doesn´t love you and wants to leave you.
You must ask yourself
if you still love him,
if you also don´t love him anymore,
do not keep him just to save your pride.
If you still love him,
you should wish him happiness,
and hope that he will be with the one he loves most,
not stop him from it.
If you stop him from finding true happiness
with the one he loves,
it shows you already don´t love him,
and if you don´t love him,
what rights do you have to blame him
for a change of heart?
Love is not possessive,
if you like the moon,
you can´t just take it down
and put it in your basin,
but the moonlight still shines upon you.
In other words, when you love a person,
you can use another method of
possessing the person.
Let him become a permanent memory in you life.
If you really love a person,
you must love him for what he is.
Love him for his good points,
and the bad,
you can´t wish for him to become like
what you like him to be just
because you love him.
If he can´t change to become what you like him to be,
you don´t love him anymore.
When you really love a person,
you cannot find a reason why you love him,
you only know that no matter when and where,
good mood or bad mood,
you will wish to have this person be with you.
Real love is when two people
can go through the toughest problems
without asking for promises or
listing criterias.
In a relationship,
you have to put in effort and
give in at times,
not always be on the receiving end.
Being away from each other is a type of test,
If the relationship isn´t strong,
then you can only admit defeat.
Real love will never become hate.
When two people are in love,
they love to ask each other to swear,
to make promises.
Why do they ask each other to swear and promise?
Because they don´t trust each other,
they don´t trust their lover.
These swear and promises are useless;
Till the sky falls, till the ocean dry,
my love for you will never change!
We all know that the sky will never fall;
the ocean will never dry,
even if it does happen,
are we still alive by then?
Be careful when making promises;
don´t make promises that you cannot keep.
Swear by things that can never happen,
because it can never happen,
so no harm just saying it casually.
Remember,
swearing by things that can never happen
are the most touching!!
In a relationship, what you say is one thing,
but what you do is another;
The one saying, doesn´t believe;
the one listening,
also doesn´t believe.
NB:
I always felt that my love life seems
doesn´t go well as I wish.
It always hurt.
Those words really have a great great meaning
and too easy to be written
but it´s absolutely difficult to do..
Rabu, 22 Oktober 2008
Cara Mudah Mendapatkan Pria Idaman
Bukanlah hal yang mudah bagi banyak perempuan
untuk mendapatkan pria yang baik.
Sebaliknya, jujur saja,
juga tak mudah bagi pria
untuk mendapatkan perempuan yang baik.
Berikut ini ada perspektif untuk membantu para wanita
di ambang frustrasi, yang ingin mencari seorang pria yang baik
yang sampai saat ini belum berhasil didapatkannya.
Ini dia langkah-langkahnya!
1. Jadi Diri Sendiri
Ketika pertama kali bertemu seseorang,
Anda mungkin tergoda untuk jadi seseorang yang bukan diri Anda,
misalnya berusaha berpenampilan sebaik mungkin.
Memang tak salah jika ingin memberikan kesan yang baik,
tetapi jika berlebihan mungkin bisa membuat sang pria mundur.
2. Punya Kehidupan Sendiri
Hubungan yang dipaksakan, dramatis, dan posesif
sering merupakan ekspresi dari perasaan
yang sangat membutuhkan pria di dalam kehidupan Anda.
Sebaiknya, ikuti target Anda, kembangkan minat dan hobi,
miliki kehidupan yang menarik,
lakukan hal-hal yang membawa Anda keluar dari lingkaran rutin.
Dan jangan bersikap berlebihan.
Pelahan belajarlah membangun jaringan pertemanan,
agar teman kencan Anda bukan satu-satunya orang
yang ada di dalam kehidupan Anda.
3. Santai & Tenang
Sebagian besar pria tak senang wanita yang agresif,
posesif, liar, manja dan lainnya.
Belajarlah lebih santai dan bersenang-senang.
Jadi, jaga perilaku Anda.
Bila harus berpacaran dengan wanita
yang membuat hidupnya makin sulit,
pasti akan membuat pria tak berminat.
Jika Anda melakukan segala hal dengan tulus,
pria akan menghargainya.
Ingat, sebagian besar pria, terutama yang baik,
mencari seseorang yang bisa membuatnya nyaman,
bukan yang selalu membuatnya kesal dan ingin marah.
4. Menyadari Perbedaan Komunikasi
Pria sering tak bisa menangkap pesan samar-samar
yang dikirimkan wanita melalui bahasa tubuhnya.
Jangan menyalahkannya, karena memang begitulah pria.
Bahasa tubuh yang samar-samar seperti senyuman
yang membuat pria tak yakin,
apakah Anda sungguh-sungguh menyukainya.
Mereka tak bisa berasumsi,
senyuman berarti Anda tertarik padanya.
5. Sehat mental dan minat
Penelitian psikologis menunjukkan,
seseorang mencari pasangan
untuk mengisi kekosongan psikologis.
Terkadang kekosongan ini tak sehat,
misalnya wanita hanya mencari seorang pria
hanya untuk menggoda dan merasa dibutuhkan.
Lihat diri Anda dan tanyakan
mengapa sangat menginginkan pria,
bersikaplah jujur pada diri sendiri.
Wanita yang bermasalah hanya akan menarik pria
yang juga bermasalah,
dan pria yang baik dan sejati
tak ingin punya pasangan yang memiliki
masalah lebih besar darinya.
Jika Anda menginginkan hubungan yang sehat
dengan pria sejati, pastikan keadaan mental
dan minat Anda juga sehat.
6. Jangan Mempermainkan
Tak seorang pun senang dipermainkan.
Mempermainkan berarti mengelabui
dan akan menyakiti orang yang percaya pada Anda.
Jangan bermain dengan perasaan.
Pria yang baik akan menghormati,
bahkan mengejar Anda.
Jika Anda tak serius,
hanya akan membuat pria baik pergi meninggalkan Anda.
Jika Anda menyenangi seorang pria,
jangan bersikap seolah tak menyukainya.
Katakan saja terus terang.
Memang ada pria yang senang tantangan,
tetapi pria baik akan menghargai diri dan harapan Anda,
dan akan pergi jika terus dipaksa.
Ingat, pria berkomunikasi secara langsung.
7. Perlakukan Dengan Baik
Ini merupakan hal paling penting!
Pria tak senang berada bersama wanita yang meremehkannya,
dan pria baik tak akan membutuhkan waktu lama
untuk meninggalkan wanita seperti ini.
Jadi, jangan takut untuk membantu pria
menaikkan harga dirinya.
Pria sama seperti wanita, sering merasa tidak aman.
Jika pria berada bersama teman-temannya atau keluarganya,
tunjukkan Anda menghargai dan bangga terhadap dirinya.
Percayalah, Anda akan memenangkan cinta dan hormatnya.
8. Pujilah, Tapi Jangan Berlebihan
Pria baik tidak nekat dalam mencari wanita.
Mereka senang bertemu wanita yang juga baik.
Pria baik akan menghargai pujian
atas daya tarik yang dimilikinya.
Bagaimanapun juga,
jangan melakukannya dengan cara berlebihan.
Jika ia belum tertarik kepada Anda,
jangan nekat karena semakin Anda nekat,
ia akan semakin tak tertarik.
Sebaiknya, jadilah diri sendiri.
9. Hormati diri Anda
Jika Anda mengatakan tidak, ia harus berhenti.
Jika ia tak berhenti, sebaiknya tinggalkan.
Jangan ragu-ragu untuk mengatakan tidak'.
Jangan bersikap melawan moral Anda
untuk mencoba mempertahankannya.
Jika Anda merasa perlu meninggalkannya,
berarti ia bukan pria yang baik atau cocok
untuk Anda secara spesifik.
Anda pun tak boleh ragu-ragu untuk mengatakan ya'.
Jika Anda merasa waktunya tepat,
percaya dengan keberuntungan,
yakinlah pria idaman Anda akan muncul.
10. Ikuti Aturan Emas
Artinya, terapkan aturan Anda untuk orang lain,
termasuk untuk dia, pada diri sendiri.
Pria sejati pasti memerhatikan hal ini,
namun mereka tak mengatakannya.
Perlakukanlah dirinya dengan hormat dan menghargai.
Siapa tahu, jika pria tahu Anda menginginkan pria yang baik,
sejati, dan belum memiliki anak,
mungkin ada di antara mereka yang memenuhi kriteria
lalu memperkenalkan diri ke Anda.
11. Jangan posesif
Artinya, jangan perlihatkan kepada teman kencan
bahwa Anda selalu ingin berada di dekatnya.
Pria memerlukan ruang
dan tak ingin Anda mengikuti ke mana pun mereka pergi,
karena Anda juga punya kehidupan sendiri.
Bukanlah hal yang mudah bagi banyak perempuan
untuk mendapatkan pria yang baik.
Sebaliknya, jujur saja,
juga tak mudah bagi pria
untuk mendapatkan perempuan yang baik.
Berikut ini ada perspektif untuk membantu para wanita
di ambang frustrasi, yang ingin mencari seorang pria yang baik
yang sampai saat ini belum berhasil didapatkannya.
Ini dia langkah-langkahnya!
1. Jadi Diri Sendiri
Ketika pertama kali bertemu seseorang,
Anda mungkin tergoda untuk jadi seseorang yang bukan diri Anda,
misalnya berusaha berpenampilan sebaik mungkin.
Memang tak salah jika ingin memberikan kesan yang baik,
tetapi jika berlebihan mungkin bisa membuat sang pria mundur.
2. Punya Kehidupan Sendiri
Hubungan yang dipaksakan, dramatis, dan posesif
sering merupakan ekspresi dari perasaan
yang sangat membutuhkan pria di dalam kehidupan Anda.
Sebaiknya, ikuti target Anda, kembangkan minat dan hobi,
miliki kehidupan yang menarik,
lakukan hal-hal yang membawa Anda keluar dari lingkaran rutin.
Dan jangan bersikap berlebihan.
Pelahan belajarlah membangun jaringan pertemanan,
agar teman kencan Anda bukan satu-satunya orang
yang ada di dalam kehidupan Anda.
3. Santai & Tenang
Sebagian besar pria tak senang wanita yang agresif,
posesif, liar, manja dan lainnya.
Belajarlah lebih santai dan bersenang-senang.
Jadi, jaga perilaku Anda.
Bila harus berpacaran dengan wanita
yang membuat hidupnya makin sulit,
pasti akan membuat pria tak berminat.
Jika Anda melakukan segala hal dengan tulus,
pria akan menghargainya.
Ingat, sebagian besar pria, terutama yang baik,
mencari seseorang yang bisa membuatnya nyaman,
bukan yang selalu membuatnya kesal dan ingin marah.
4. Menyadari Perbedaan Komunikasi
Pria sering tak bisa menangkap pesan samar-samar
yang dikirimkan wanita melalui bahasa tubuhnya.
Jangan menyalahkannya, karena memang begitulah pria.
Bahasa tubuh yang samar-samar seperti senyuman
yang membuat pria tak yakin,
apakah Anda sungguh-sungguh menyukainya.
Mereka tak bisa berasumsi,
senyuman berarti Anda tertarik padanya.
5. Sehat mental dan minat
Penelitian psikologis menunjukkan,
seseorang mencari pasangan
untuk mengisi kekosongan psikologis.
Terkadang kekosongan ini tak sehat,
misalnya wanita hanya mencari seorang pria
hanya untuk menggoda dan merasa dibutuhkan.
Lihat diri Anda dan tanyakan
mengapa sangat menginginkan pria,
bersikaplah jujur pada diri sendiri.
Wanita yang bermasalah hanya akan menarik pria
yang juga bermasalah,
dan pria yang baik dan sejati
tak ingin punya pasangan yang memiliki
masalah lebih besar darinya.
Jika Anda menginginkan hubungan yang sehat
dengan pria sejati, pastikan keadaan mental
dan minat Anda juga sehat.
6. Jangan Mempermainkan
Tak seorang pun senang dipermainkan.
Mempermainkan berarti mengelabui
dan akan menyakiti orang yang percaya pada Anda.
Jangan bermain dengan perasaan.
Pria yang baik akan menghormati,
bahkan mengejar Anda.
Jika Anda tak serius,
hanya akan membuat pria baik pergi meninggalkan Anda.
Jika Anda menyenangi seorang pria,
jangan bersikap seolah tak menyukainya.
Katakan saja terus terang.
Memang ada pria yang senang tantangan,
tetapi pria baik akan menghargai diri dan harapan Anda,
dan akan pergi jika terus dipaksa.
Ingat, pria berkomunikasi secara langsung.
7. Perlakukan Dengan Baik
Ini merupakan hal paling penting!
Pria tak senang berada bersama wanita yang meremehkannya,
dan pria baik tak akan membutuhkan waktu lama
untuk meninggalkan wanita seperti ini.
Jadi, jangan takut untuk membantu pria
menaikkan harga dirinya.
Pria sama seperti wanita, sering merasa tidak aman.
Jika pria berada bersama teman-temannya atau keluarganya,
tunjukkan Anda menghargai dan bangga terhadap dirinya.
Percayalah, Anda akan memenangkan cinta dan hormatnya.
8. Pujilah, Tapi Jangan Berlebihan
Pria baik tidak nekat dalam mencari wanita.
Mereka senang bertemu wanita yang juga baik.
Pria baik akan menghargai pujian
atas daya tarik yang dimilikinya.
Bagaimanapun juga,
jangan melakukannya dengan cara berlebihan.
Jika ia belum tertarik kepada Anda,
jangan nekat karena semakin Anda nekat,
ia akan semakin tak tertarik.
Sebaiknya, jadilah diri sendiri.
9. Hormati diri Anda
Jika Anda mengatakan tidak, ia harus berhenti.
Jika ia tak berhenti, sebaiknya tinggalkan.
Jangan ragu-ragu untuk mengatakan tidak'.
Jangan bersikap melawan moral Anda
untuk mencoba mempertahankannya.
Jika Anda merasa perlu meninggalkannya,
berarti ia bukan pria yang baik atau cocok
untuk Anda secara spesifik.
Anda pun tak boleh ragu-ragu untuk mengatakan ya'.
Jika Anda merasa waktunya tepat,
percaya dengan keberuntungan,
yakinlah pria idaman Anda akan muncul.
10. Ikuti Aturan Emas
Artinya, terapkan aturan Anda untuk orang lain,
termasuk untuk dia, pada diri sendiri.
Pria sejati pasti memerhatikan hal ini,
namun mereka tak mengatakannya.
Perlakukanlah dirinya dengan hormat dan menghargai.
Siapa tahu, jika pria tahu Anda menginginkan pria yang baik,
sejati, dan belum memiliki anak,
mungkin ada di antara mereka yang memenuhi kriteria
lalu memperkenalkan diri ke Anda.
11. Jangan posesif
Artinya, jangan perlihatkan kepada teman kencan
bahwa Anda selalu ingin berada di dekatnya.
Pria memerlukan ruang
dan tak ingin Anda mengikuti ke mana pun mereka pergi,
karena Anda juga punya kehidupan sendiri.
Senin, 15 September 2008
Please Don't Cry
Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita menangis ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita membayangkan
sesuatu ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita berciuman ?
Hal hal yang terindah di dunia ini biasanya tidak
terlihat
Ada hal hal yang tidak ingin kita lepaskan
dan ada orang orang yang tidak ingin kita tinggalkan
Tapi ingatlah, melepaskan bukan berarti akhir dari dunia
melainkan awal dari kehidupan yang baru
Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah tersakiti
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah mencari
dan telah mencoba
Karena merekalah yang bisa menghargai
Betapa pentingnya orang yang telah menyentuh
kehidupan mereka
Cinta adalah ketika kamu menitikkan air mata,
tetapi masih peduli terhadapnya
Cinta adalah ketika dia tidak mempedulikanmu,
kamu masih menunggunya dengan setia
Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata ,
" Aku turut berbahagia untukmu "
Apabila cintamu tidak berhasil,
bebaskanlah dirimu
Biarkanlah hatimu kembali melebarkan sayapnya dan
terbang ke alam bebas lagi
Ingatlah,
kamu mungkin menemukan cinta dan
kehilangannya..
Tetapi saat cinta itu dimatikan,
kamu tidak perlu mati bersamanya..
Orang yang terkuat
bukanlah orang yang selalu
menang dalam segala hal
Tetapi mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana,
dalam perjalanan kehidupanmu,
Kamu akan belajar tentang dirimu sendiri
dan suatu saat kamu akan menyadari
Bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada di dalam hidupmu
Hanyalah penghargaan abadi
atas pilihan pilihan kehidupan
yang telah kau buat
Yang seharusnya ada di dalam hidupmu
Sahabat sejati akan mengerti ketika kamu berkata,
" Aku lupa "
Sahabat sejati akan tetap setia menunggu
ketika kamu berkata,
" Tunggu sebentar "
Sahabat sejati hatinya akan tetap tinggal,
terikat kepadamu ketika kamu berkata,
" Tinggalkan aku sendiri"
Saat kamu berkata untuk meninggalkannya,
Mungkin dia akan pergi meninggalkanmu sesaat,
Memberimu waktu untuk menenangkan dirimu sendiri,
Tetapi pada saat saat itu, hatinya tidak akan
pernah meninggalkanmu
Dan sewaktu dia jauh darimu,
dia akan selalu mendoakanmu
dengan air mata
Lebih berbahaya mencucurkan air mata di dalam hati
daripada air mata yang keluar dari mata kita
Air mata yang keluar dari mata kita dapat dihapus,
Sementara air mata yang tersembunyi,
Akan menggoreskan luka di dalam hatimu
yang bekasnya tidak akan pernah hilang
Walaupun dalam urusan cinta,
kita sangat jarang menang,
Tetapi ketika cinta itu tulus...
meskipun mungkin kelihatannya kamu kalah,
Tetapi sebenarnya kamu menang
karena kamu berbahagia
sewaktu kamu dapat mencintai seseorang
Lebih dari kamu mencintai diri kamu sendiri...
Akan tiba saatnya
dimana kamu harus berhenti
mencintai seseorang
Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita
Atau karena ia tidak mempedulikan kita
Melainkan saat kita menyadari
bahwa orang itu akan lebih berbahagia
apabila kita melepasnya
Tetapi apabila kamu benar benar mencintai seseorang,
Jangan dengan mudah kita melepaskannya
Berjuanglah demi cintamu...
Fight for your dream !
Itulah cinta yang sejati..
Bukannya seperti prinsip
" Easy come.. Easy go..."
Lebih baik menunggu orang
yang benar benar kamu inginkan
Daripada berjalan bersama orang
" yang tersedia "
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
Daripada orang yang berada di " sekelilingmu "
Lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidup ini terlalu berharga
dan terlalu singkat Untuk dibuang
dengan hanya " seseorang "
Atau untuk dibuang
dengan orang yang tidak tepat
Kadang kala,
orang yang kamu cintai
adalah orang yang paling menyakiti hatimu
Dan kadang kala teman
yang membawamu di dalam pelukannya
Dan menangis bersamamu
adalah cinta yang tidak kamu sadari
Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat membangun orang lain,
tetapi dapat juga menjatuhkannya
Bila bukan diucapkan pada orang,
waktu, dan tempat yang benar
Ini jelas bukan sesuatu yang bijaksana
Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat berupa kebenaran ataupun kebohongan
untuk menutupi isi hati
Kita dapat mengatakan apa saja
dengan mulut kita
Tetapi isi hati kita yang sebenarnya
tidak akan dapat dipungkiri
Apabila kamu hendak mengatakan sesuatu..
Tataplah matamu di cermin
dan lihatlah kepada matamu
Dari situ akan terpancar seluruh isi hatimu
Dan kebenaran akan dapat dilihat dari sana
Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita menangis ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita membayangkan
sesuatu ?
Kenapa kita menutup mata ketika kita berciuman ?
Hal hal yang terindah di dunia ini biasanya tidak
terlihat
Ada hal hal yang tidak ingin kita lepaskan
dan ada orang orang yang tidak ingin kita tinggalkan
Tapi ingatlah, melepaskan bukan berarti akhir dari dunia
melainkan awal dari kehidupan yang baru
Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah tersakiti
Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah mencari
dan telah mencoba
Karena merekalah yang bisa menghargai
Betapa pentingnya orang yang telah menyentuh
kehidupan mereka
Cinta adalah ketika kamu menitikkan air mata,
tetapi masih peduli terhadapnya
Cinta adalah ketika dia tidak mempedulikanmu,
kamu masih menunggunya dengan setia
Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata ,
" Aku turut berbahagia untukmu "
Apabila cintamu tidak berhasil,
bebaskanlah dirimu
Biarkanlah hatimu kembali melebarkan sayapnya dan
terbang ke alam bebas lagi
Ingatlah,
kamu mungkin menemukan cinta dan
kehilangannya..
Tetapi saat cinta itu dimatikan,
kamu tidak perlu mati bersamanya..
Orang yang terkuat
bukanlah orang yang selalu
menang dalam segala hal
Tetapi mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana,
dalam perjalanan kehidupanmu,
Kamu akan belajar tentang dirimu sendiri
dan suatu saat kamu akan menyadari
Bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada di dalam hidupmu
Hanyalah penghargaan abadi
atas pilihan pilihan kehidupan
yang telah kau buat
Yang seharusnya ada di dalam hidupmu
Sahabat sejati akan mengerti ketika kamu berkata,
" Aku lupa "
Sahabat sejati akan tetap setia menunggu
ketika kamu berkata,
" Tunggu sebentar "
Sahabat sejati hatinya akan tetap tinggal,
terikat kepadamu ketika kamu berkata,
" Tinggalkan aku sendiri"
Saat kamu berkata untuk meninggalkannya,
Mungkin dia akan pergi meninggalkanmu sesaat,
Memberimu waktu untuk menenangkan dirimu sendiri,
Tetapi pada saat saat itu, hatinya tidak akan
pernah meninggalkanmu
Dan sewaktu dia jauh darimu,
dia akan selalu mendoakanmu
dengan air mata
Lebih berbahaya mencucurkan air mata di dalam hati
daripada air mata yang keluar dari mata kita
Air mata yang keluar dari mata kita dapat dihapus,
Sementara air mata yang tersembunyi,
Akan menggoreskan luka di dalam hatimu
yang bekasnya tidak akan pernah hilang
Walaupun dalam urusan cinta,
kita sangat jarang menang,
Tetapi ketika cinta itu tulus...
meskipun mungkin kelihatannya kamu kalah,
Tetapi sebenarnya kamu menang
karena kamu berbahagia
sewaktu kamu dapat mencintai seseorang
Lebih dari kamu mencintai diri kamu sendiri...
Akan tiba saatnya
dimana kamu harus berhenti
mencintai seseorang
Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita
Atau karena ia tidak mempedulikan kita
Melainkan saat kita menyadari
bahwa orang itu akan lebih berbahagia
apabila kita melepasnya
Tetapi apabila kamu benar benar mencintai seseorang,
Jangan dengan mudah kita melepaskannya
Berjuanglah demi cintamu...
Fight for your dream !
Itulah cinta yang sejati..
Bukannya seperti prinsip
" Easy come.. Easy go..."
Lebih baik menunggu orang
yang benar benar kamu inginkan
Daripada berjalan bersama orang
" yang tersedia "
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
Daripada orang yang berada di " sekelilingmu "
Lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidup ini terlalu berharga
dan terlalu singkat Untuk dibuang
dengan hanya " seseorang "
Atau untuk dibuang
dengan orang yang tidak tepat
Kadang kala,
orang yang kamu cintai
adalah orang yang paling menyakiti hatimu
Dan kadang kala teman
yang membawamu di dalam pelukannya
Dan menangis bersamamu
adalah cinta yang tidak kamu sadari
Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat membangun orang lain,
tetapi dapat juga menjatuhkannya
Bila bukan diucapkan pada orang,
waktu, dan tempat yang benar
Ini jelas bukan sesuatu yang bijaksana
Ucapan yang keluar dari mulut seseorang
Dapat berupa kebenaran ataupun kebohongan
untuk menutupi isi hati
Kita dapat mengatakan apa saja
dengan mulut kita
Tetapi isi hati kita yang sebenarnya
tidak akan dapat dipungkiri
Apabila kamu hendak mengatakan sesuatu..
Tataplah matamu di cermin
dan lihatlah kepada matamu
Dari situ akan terpancar seluruh isi hatimu
Dan kebenaran akan dapat dilihat dari sana
All Is Good
You have planned all things
from the beginning
for all you'have prepared for me
my life is in your hands oh Lord
i trust that your plans
are purposed for my good
for all future full of hope
and for abundant life
reff :
all is good, all is good
everything that you have done
in my life
all is good,truly good
i have meaning in my life
because of You
All blessings,
You have planned all things
from the beginning
for all you'have prepared for me
my life is in your hands oh Lord
i trust that your plans
are purposed for my good
for all future full of hope
and for abundant life
reff :
all is good, all is good
everything that you have done
in my life
all is good,truly good
i have meaning in my life
because of You
All blessings,
Kamis, 11 September 2008
CINTA DAN KASIH
Kalau engkau terperangkap olehnya,
cinta itu menjadi kematian bagimu.
Cinta bagai misteri,
datang dan pergi tanpa permisi.
Anda tak perlu mencarinya
karena cinta akan datang dengan sendiri.
Anda tak dapat membelinya
karena cinta tak dapat dihargai.
Cinta akan lahir dengan sendirinya
tanpa kita ketahui kapan,
dan tanpa kita ketahui kepada siapa.
Jika suatu hari pasangan Anda mengatakan
" Aku tak mencintaimu lagi. " Let it go.
Biarkan berlalu
karena cinta tak dapat dipaksakan.
Jika dipaksakan
cinta tersebut layaknya sebuah bom waktu,
yang akan meledak menjadi kebencian.
Let it go.
Cinta akan datang kembali kepada Anda suatu waktu,
mungkin dari orang yang pernah Anda cintai
atau dari seseorang lainnya,
Tuhan tak akan membiarkan Anda sendirian.
Lalu bagaimana dengan perasaan Anda yang ditinggalkan cinta?
Simpanlah dalam-dalam cinta tersebut.
Kenanglah sebagai bagian dari masa lalu.
Menangislah jika perlu.
Berbahagialah karena Anda pernah dicintai,
berbahagia karena cinta pernah singgah di hati Anda.
Bagaimana jika cinta hilang dalam sebuah perkawinan?
Dalam suatu perkawinan
cinta adalah cinta yang harus dipertanggungjawabkan,
kepada Tuhan dan kepada suami atau istri
dan kepada anak ( jika ada ).
Anda tak dapat pergi begitu saja dengan mengatakan
" Aku tak mencintai kamu lagi."
Dalam sebuah perkawinan
" Anda " adalah
dua yang menjadi satu.
" Anda " adalah suami/istri dan anda sendiri.
Jangan turuti kemauan anda tapi turuti kemauan "Anda".
Bagi Anda yang mencintai,
ubahlah makna cinta menjadi KASIH.
Cinta itu bersemayam di dalam hati
( bukan di otak atau pikiran ),
jika hati anda penuh dengan kasih,
cinta tak akan pernah hilang dari diri Anda.
Kasih itu indah
kasih tidak cemburu
kasih itu menerima apa adanya
dan memberi yang ada
kasih itu komitmen
sehingga seseorang yang mempunyai kasih
tak akan melupakan cintanya
kasih itu murah hati
bukan murah cinta ( dalam hubungan asmara )
kasih itu rendah hati bukan merendahkan cinta
kasih itu mengampuni dan memaafkan
kasih adalah cinta sejati karena berasal dari Tuhan.
Tanamkan kasih di dalam hati Anda sejak awal
maka cinta Anda tak akan hilang.
Tanamkan kasih maka Anda akan bertahan
jika kekasih Anda mengatakan,
" Aku tak mencintaimu lagi. "
( Berat memang, apalagi jika kita masih mengasihi dia ).
Jika Anda dan pasangan Anda memiliki kasih,
Anda berdua boleh berujar :
" Orang ke tiga ? Siapa takuttt..... ......... .."
Sebab ada tiga hal yang terpenting dalam hidup ini
yaitu iman, pengharapan dan kasih
dan yang terbesar diantaranya adalah kasih.
Kamis, 24 Juli 2008
SUMMERTIME (NKOTB)
[Verse 1] Joey McIntyre
Do you remember or should I rewind
To that summer when you caught my eye
I played it cool! the weather was hot!
You had the beauty and the beach on lock
[Verse 2] Donnie Wahlberg
With your flip flops half shirt, short shorts, mini skirt
Walkin' on the beach so pretty
You wasn't lookin' for a man when you saw me in the sand
But you fell for the boy from the city
(I was like)
[Verse 3] Jordan Knight
Hey girl can I get your number
I remember what you told me, too
Don't call after 10 but you know that I did
Cause I couldn't stop thinking bout you~~~~
Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~~~)
[Verse 4] Joey McIntyre
Do you remember I¡¯ll never forget
Touchin' your body all soakin' wet
The water was cool! the feelin' was hot!
Kissin' on you while the ocean rocked
[Verse 5] Donnie Wahlberg
In your strapless sundress kickin' back, no stress
As long as we was together
Cause we were feelin' young love and we couldn't get enough
Baby I could reminisce forever
(And now I¡¯m like)
[Verse 6] Jordan Knight
Hey girl don't you know I miss it
And I wonder if you miss it, too
Never thought it would end til' it did now I'm here and I can't stop
Thinking bout you
Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~)
Oh~~~
Summer ended winter started
It got colder when we parted ways (I like this part)
As the seasons change (Bring it front, bring it back)
Winter melted spring I felt it
Summertime will never be the same (Without you)
(My summertime~)
My summer time~~~~~~~~~~~
Chorus:
I think about you in the summertime
And all the good times we had, baby
It's been a few years and I can't deny
The thought of you still makes me crazy
I think about you in the summertime
I'm sittin' here in the sun with you on my mind
(My summertime~)
Oh~ O Ooh Oh Oh Oh~ oh oh oh yeah~~
Selasa, 22 Juli 2008
Semoga kisah nyata ini bisa buat refleksi semua orang...
In Memoriam Ancillo Dominic
In Memoriam
Ancillo Dominic
Malaikat kecil yg menanti orang tuanya
di pintu surga.
Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family
Pluit
Misa : 18 April 2008, 11.00 di Rd Atmajaya,
Rm. John Lefteuw Msc.
Kremasi : 18 April 2008, 13.00 di Nirvana
Cerita ini ditulis untuk :
- Orang tua yang ingin menggugurkan bayinya karena cacat
- Vincent (6 thn) dan Francis (4 thn),
yang belum mengerti kenapa adiknya
dipanggil Tuhan begitu cepat
- Jc, suami yang penuh cinta menemani dalam suka dan duka
- Dr. Tjien Ronny, SpOG, many thanks
Bayi yang dinantikan
Setelah Vincent berumur 5,5 tahun dan Francis berumur 3,5 tahun,
saya merindukan seorang baby lagi.
Perlu waktu setahun sampai akhirnya
Jc setuju dengan keputusan saya untuk hamil lagi.
Dia selalu menunda memberikan jawaban,
alasannya menunggu tahun tikus,
biar shionya sama seperti dia.
Sebenarnya, ketakutannya adalah saat melahirkan Francis,
saya sempat pendarahan hingga tak sadarkan diri
dan perlu waktu dua bulan lebih untuk pulih.
Saat itu tidak ada satu dokterpun
baik dokter pengganti melahirkan maupun
dokter merawat yang menjelaskan penyebabnya.
Jc meminta saya untuk memberikan alasan
yang meyakinkannya kenapa harus punya anak tiga,
kenapa dua anak tidak cukup.
Setahun saya mencari jawabannya,
tapi tidak ketemu, mungkin karena
saya dan Jc sama-sama anak ketiga.
Alasan lain, dua anak yang lucu dan nakal,
kalau tambah satu lagi rasanya tidak masalah.
Membesarkan dua anak atau tiga
anak sama saja.
Akhirnya Jc menyerah karena saya
begitu menginginkan seorang baby.
Kami pun pergi ke Dr. Yani Toehgiono,
dokter langganan keluarga kami,
untuk cek pra-kehamilan.
Sebelumnya saya sudah minum asam folat
selama setahun untuk mencegah bayi DS.
Setelah cek darah dan bersih dari segala virus TORCH,
kami meminta dokter untuk sekalian program baby girl.
Sebenarnya saya lebih suka baby boy
karena sudah terbiasa, tapi sekeliling saya ribut
untuk satu lagi harus girl.
Ternyata untuk baby girl harus melewati
beberapa kali pemeriksaan dalam
untuk memastikan kematangan telur dan saat yg tepat.
Kami tidak mau karena kalau terlalu banyak aturan
nanti malah susah hamil.
Bulan pertama gagal karena
tidak ada telur yang bagus, banyak telur tapi kecil-kecil.
Dokter menyarankan untuk skip telur bulan ini.
“Nggak buru-buru, kan? Kita coba lagi bulan depan.”
Dokter meresepkan Provula agar bertelur
kemudian dokter menjadwalkan
kapan harus kontrol lagi untuk melihat kematangan telur
disamping itu kami diminta untuk mengisi grafik harian suhu tubuh.
5 s/d 10 minggu
Kami tidak balik ke dokter sampai bulan depannya
test-pack positif. Saya sangat gembira karena ini
merupakan hadiah ulang tahun terindah untuk saya.
Ketika kami kontrol, dokter langsung bertanya,
“kemarin ‘bikin’nya pakai cuka nggak?”
“Nggak,” jawab saya heran.
“Kemarin saya
jadwalin datang hari ke sepuluh, kenapa nggak datang?”
tanyanya lagi.
Saya cuma senyum, takut dokter marah
kalau saya memberi jawaban malas.
“Kalau lihat dari grafik, kemungkinan besar udah hamil,”
kata dokter sambil senyum-senyum.
“Cowok lagi nih, bikinnya pas hari subur sih.”
“Apa aja deh, Dok. Yang penting sehat.
Bisa hamil aja udah syukur.”
Ketika di USG sudah terlihat satu bintik hitam,
tapi kantong kehamilannya belum kelihatan.
“Dok, kira-kira bisa kembar nggak?
Kalau kembar, repot juga,” kata saya.
“Belum kelihatan,” jawab dokter.
“Kembar juga apa-apa, biar satu orang jaga satu,
adil.” Dokter tertawa.
Dokter lalu menasehati untuk hati-hati menjaga baby.
Dokter belum meresepkan obat penguat, hanya asam folat.
Untuk memastikan kehamilan,
kami diminta kembali ke dokter seminggu kemudian.
Ketika berumur 6 minggu,
baby sudah terlihat lebih besar di monitor
tapi belum terdengar suara jantungnya.
Umur 8 minggu, jantung baby sudah terdengar
seperti baling-baling pesawat,
di monitor sudah terlihat detak yang stabil.
Umur 10 minggu, baby sudah kelihatan bergerak-gerak,
tangan dan kaki sudah terlihat,
masih berbentuk kecil, ukurannya masih 2.5 cm.
Lega rasanya ketika dipastikan hamil,
walaupun harus melewati mual di pagi dan sore hari,
di luar jam kantor.
Benar-benar anak yang mengerti orang tuanya.
12 Minggu
Kami memutuskan untuk pindah ke Dr. Tjien Ronny.
Kebetulan Rs. Family hanya lima menit dari rumah
dan dokternya terkenal bagus.
Julukannya di kantor ‘dokter sejuta umat’.
Sebagian besar teman di kantor konsultasi
dengan dia dan semuanya bilang oke banget.
Sebelum bertemu dokter,
di luar suster mengisi catatan medik dan
data-data kehamilan sebelumnya,
sempat berpesan kalau kontrol dengan dokter ini
musti sabar, soalnya dokter periksanya lama dan teliti.
Kesan pada pertemuaan pertama,
dokternya sangat simpatik, muda, ganteng,
mau mendengarkan, tidak buru-buru
dan vitaminnya tidak aneh-aneh.
Saat itu dokter mengecek tengkuk leher baby
untuk memastikan tidak ada penebalan cairan,
semuanya bagus, tidak DS.
Dokter dengan teliti memperlihatkan
tangan dan kaki baby yang semuanya sudah proporsional.
Saya senang sekali, setelah menunggu beberapa minggu,
sekarang bisa melihat cukup lama
baby yang mengagumkan di monitor.
Tangannya seakan melambai-lambai
dan kaki-kaki kecilnya belajar menendang.
Panjangnya sudah 6 cm.
Dokter juga sangat sabar menjawab pertanyaan kami.
Saking kinclongnya dokter,
Jc berkata ke saya,
“pasti deh si dokter minum vitamin yang jutaan,
kalau nggak gimana bisa segar gitu.”
Jc langsung setuju untuk seterusnya pakai Dr Ronny
walaupun hari Sabtu harus menaruh buku
dari jam 6 pagi dan mengantri cukup lama,
toh cuma sebulan sekali.
Saya sempat bertanya ke suster di luar,
hari apa yang pasiennya lebih sepi.
Kata suster, tiap hari ramai sampai tengah malem.
Lalu saya diajarkan untuk menaruh buku dulu,
tensi dan telpon ke extention untuk
menanyakan nomernya sudah dekat belum.
Suster menambahkan, dokter apa-apa sendiri,
jahit caesar pun dilakukan sendiri, tidak pakai asisten.
Saat teman saya melahirkan, dia pernah menghitung,
dari 35 baby yang lahir,
15 diantaranya lahir di tangan dokter.
Dokter punya begitu banyak waktu dan perhatian
untuk pasiennya, apa masih punya waktu untuk keluarganya.
Entahlah.
17 Minggu
Dokter riang sekali pagi itu,
menyalami kami lalu bernyanyi-nyanyi
menuju alat USG.
Kemudian mulai USG dengan serius dan
menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor.
Kali ini dokter periksa lama sekali
dan sesaat dokter terdiam.
Akhirnya dengan suara berat dokter berkata,
“lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny…..
Ini kepalanya, … ada kelainan.
Tidak ada batok kepalanya.…
Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny.
Ini sudah pasti cacat.”
“Kok bisa?” tanya saya.
Kata-kata dokter bagaikan petir di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya.
Istilahnya Anencephaly atau anencephalus.
Lu ada minum asam folat nggak?”
“Ada, malah dari setahun sebelum hamil.”
“Sampai sekarang, memang diduga karena
kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum,
berarti yang lain.
Dia cacat, mungkin meninggal di dalam,
kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia.
Bisa juga hidup sampai waktunya dilahirkan,
kita lahirkan dia.”
Air mata saya langsung berderai.
Kenapa baby saya?
Baby ini saya minta lewat misa novena sembilan hari,
kenapa Tuhan beri baby seperti ini?
Jc terpaku.
Tangannya yang sedang menvideokan monitor USG
dengan Hp untuk memperlihatkan ke anak-anak,
langsung dimatikan.
Jc berdiri mematung di samping dokter.
Mukanya langsung pucat.
Dokter masih di depan monitor,
dia menunjukkan kepala baby hanya
sampai batas alis.
Tubuh lainnya sempurna,
baby sudah punya tangan kaki yang lengkap,
tidak berhenti meninju dan menendang,
semua jari sudah lengkap,
jenis kelamin laki-laki,
sum-sum tulang belakang berjejer rapi,
tapi sampai pangkal leher,
tempurung kepalanya hanya separuh,
separuh diatas tidak ada.
Kepalanya terbuka.
Penyebabnya bukan virus atau genetik,
tapi karena satu sel tidak menutup,
kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka.
Kejadiannya saat hamil tiga-empat minggu.
Sekitar satu minggu setelah pembuahan.
Sebelum diketahui hamil.
Dokter menerangkan satu persatu kepada kami.
Tidak adanya otak tidak memungkinkan baby untuk hidup
karena otak adalah koordinator dari jantung, paru-paru.
Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari.
Biasanya langsung meninggal saat lahir.
Baby juga akan terlambat lahir
karena kepalanya tidak ada tempurung
untuk menekan jalan lahir dan
baby tidak produksi hormon di otaknya
untuk perintahkan kontraksi ke ibu.
“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami.
”Biarkan dia hidup,” pintanya,
“ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati,
tapi roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”
Saya menggeleng-gelengkan kepala,
saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.
“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,”
lanjut dokter.
“Kita nggak berhak membunuh dia,
secacat apapun dia, kita pelihara dia.
Toh dia tidak menyakiti ibunya, dia tidak minta biaya,
dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan hidup lama.
Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny,
ini Tuhan punya rencana.”
Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong.
Jc di sisi saya langsung merangkul bahu saya.
Wajahnya penuh air mata.
“Saya bisa bicara begini,
karena saya pernah alami yang sama,” kata dokter.
“Anak saya waktu umur enam bulan divonis mati,
kena leukemia. Dia tidak mungkin hidup karena
kena leukemia yang paling ganas
dan paling jarang di dunia.
Saya cari dokter di mana-mana, ke Amerika, Belanda,
Inggris, semuanya suruh saya bawa pulang lagi
anak ini, karena dia tidak mungkin tertolong.
Sampai akhirnya Hongkong mau coba kemo dia,
dengan catatan akan meninggal juga pada akhirnya.
Dokter sana bilang sudah tidak ada harapan lagi.
Tapi saya bilang, coba, coba aja kemo dia,
saya sudah rela kalau dia harus meninggal.
Saya sempat marah ama Tuhan, kenapa Tuhan,
saya sudah tolong orang, saya tidak berbuat jahat,
kenapa Tuhan beri anak seperti ini?
Seorang biarawati sampai nangis saya omelin.
Saya bernazar ama Tuhan, kalau anak ini sembuh,
saya akan bekerja untuk Tuhan, saya serahkan anak
ini untuk Tuhan pakai, saya akan bawakan kesaksian,
saya akan bangun rumah untuk Tuhan.
Setahun lamanya dikemo, akhirnya anak saya sembuh.
Sekarang sudah delapan tahun..”
Dokter menceritakan sambil menahan dirinya
untuk tidak ikut menangis, menggigit bibirnya,
air matanya penuh di pelupuk mata,
hidungnya merah.
“Jadi..,” suaranya parau, “jangan bunuh dia, Yenny…
biarkan dia hidup, pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya
dengan kenyataan pahit ini.
Lama kami semua terdiam.
Mengapa semua ini terjadi?
“Saya serahkan pada kalian..,”
suara dokter nyaris tak terdengar,
matanya menatap kami dalam-dalam,
“kalau memang kalian nggak mau dia..,
saya nggak bisa apa-apa, ini anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.
“Saya akan rujukkan ke dokter lain…,”
kata dokter dengan suara sangat berat,
“yang mau keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama,
menatap kami berdua dan menunggu jawaban.
”Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,”
katanya dengan suara tercekat.
“Dulu saya pernah keluarkan baby cacat,
waktu itu saya belum mengenal Tuhan.
Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya,
Ronny, kenapa kamu lakukan ini?
Kenapa kamu bunuh dia?
Kenapa kamu buat hal yang paling Saya benci?
Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya
….”
Dokter mengambil napas dalam-dalam.
“Saat saya melakukan aborsi,
saya dikejar perasaan bersalah
dan nggak akan bisa lupa selamanya,
bayangan bayi saat dikeluarkan masih menggelepar- lepar,”
dokter memejamkan matanya rapat-rapat
seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap
yang selalu menghantuinya.
“Buat apa saya yang aborsi,
kalau masih ada orang lain yang mau melakukannya. .”
“Jangan diaborsi..,” potong saya.
Hanya itu yang dapat saya katakan.
Biarpun baby akan cacat, akan mati,
tapi jangan dibunuh, saya sangat mencintai dia.
Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya,
tendangannya sudah mulai terasa sesekali.
Biarkan dia hidup.
“Kalau dilahirkan sekarang atau nanti…,
mana yang lebih berbahaya Dok,
saya takut istri saya pendarahan lagi,”
tanya Jc.
“Pendarahan atau tidak, sulit dipastikan.
Mungkin aja saat aborsi terjadi pendarahan,
mungkin juga tidak.
Dan belum tentu juga nanti melahirkan
terjadi pendarahan.
Nggak ada yang bisa jamin.
Gua tidak tahu gimana dulu bisa
terjadi pendarahan,
dokter lu ada kasih penjelasan?” tanya dokter.
Saya menggeleng.
“Enam jam setelah melahirkan.”
“Mungkin karena kontraksi balik
rahim lu nggak bagus sehabis melahirkan.
Jadi, gua saranin kali ini lu nggak boleh caesar,
nggak boleh pakai epidural, kita coba lahirin normal.
Caesar atau epidural itu kan bius,
nanti bikin rahim lu kontraksinya makin lemah,
bisa bikin lu pendarahan.
Lu kan udah punya riwayat pendarahan,
kita coba hindari.
Nanti sambil jalan kita lihat.”
Lahir normal? Saya tercekat.
Dua kali saya keenakan memakai epidural saat melahirkan,
tidak terbayang kalau kali ini harus
melahirkan normal.
Saya pernah bilang ke Jc kalau tidak ada epidural,
saya tidak mau punya anak lagi.
Kali ini saya tidak punya pilihan…
“Dok, perlu USG 4D nggak?” tanya saya sambil menangis.
“Nggak perlu,” jawab dokter.
“Karena ini sudah jelas sekali anencephaly.
Lu nggak perlu buang-buang duit.
Tapi kalo lu diganti kantor atau asuransi
atau lu mau second opinion, silahkan,
gua buatin pengantar ke Dr. Calvin.
Nanti lu cek ya di depan kapan dia praktek.”
Kemudian dokter menuliskan surat pengantar
untuk ke Dr. Calvin.
Mata dokter masih berkaca kaca.
Dokter menghapus sedikit air mata di
ujung matanya agar tidak mengalir turun.
“Buat gua berat sekali untuk kasih
tahu pasien kalau babynya cacat,
apalagi kalau tidak ada harapan hidup...
Tapi paling berat kalau babynya cacat spina bifida.. ”
Dokter memberikan tissue kepada saya.
“Tabah ya, Yenny,” katanya perlahan.
“Ini Tuhan punya rencana.
Lu kontrol dua-tiga bulan aja,
nggak perlu antri berjam-jam,
kapan lu sempat,
lu kontrol.
Gua cuma resepin tambah darah
dan kalsium buat lu punya tulang.”
Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc,
“Tabah ya, kita tetap pelihara dia baik-baik.
Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi,
air mata tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini?
Kau bisa buat jantungnya berdetak sempurna,
Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi,
kenapa tidak sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Jc hanya terdiam.
Dia sama shocknya.
Dia hanya bisa mengelus kepala saya,
matanya berlinang dan menangis diam-diam.
Tubuhnya bergetar.
Saat menyetir pulang, baru terdengar suaranya,
“kita kena juga ya…,
kirain cuma kena ke orang lain...”
Kami pulang penuh duka.
Anak anak menyambut kami dengan gembira.
Mereka sudah diberitahu kalau akan punya
adik baby.
Ketika anak-anak tidur siang,
kami searching di internet mengenai anencephaly.
Sama seperti yang dijelaskan dokter,
kekurangan asam folat diduga
sebagai salah satu penyebabnya.
Lalu kami menngecek nama baby di internet :
Ancillo Dominic.
Yang ada hanya Ancilla Domini,
nama perempuan,
artinya Hamba Tuhan, nama kecil bunda Maria.
Kami telah menyiapkan dua nama laki laki.
Anak-anak lebih menyukai adiknya
bernama Ancillo Dominic daripada Dominic Xavio,
santo temannya Don Bosco.
Di internet tidak banyak yang bernama Ancillo.
Hari itu kami putusan baby bernama Ancillo.
Hari pertama rasanya panjang,
air mata tidak bisa berhenti,
untunglah ada anak-anak
sehingga saya tidak berani menangis
di hadapan mereka yang belum mengerti.
Setiap malam sebelum tidur, kedua kakaknya
meminta kepada papa Yesus dan mama Maria
agar adik baby bisa lahir dengan sehat dan selamat.
Hati saya sedih setiap kali mendengar doa anak-anak
yang polos.
Hampir setiap subuh jam 3-4 saya terjaga,
saya pindah ke kamar di lantai lain
untuk menyendiri berdoa koronka, rosario, novena Hati Kudus Yesus,
novena Tiga Salam Maria, bercakap-cakap dengan Tuhan,
memohon kesembuhan baby.
Biasanya saya berdoa sampai ketiduran
dengan baju dan bantal basah dengan airmata.
Jc sering membangunkan saya jam 6 pagi, katanya
“Jangan sering sendirian, ya.”
Saya menceritakan hal ini ke adik dan kakak saya,
tapi tidak ke mama saya,
karena saya tahu dia pasti minta menggugurkan
kandungan ini.
Selain itu saya hanya cerita ke dua orang teman
di kantor dan satu teman di kantor lain.
Saya menjalani kehamilan di kantor dengan biasa-biasa saja,
tidak pernah saya menangis di kantor.
Saya tidak mau orang lain mengetahui,
mengasihiani saya atau bertanya-tanya.
Nanti, kalau saatnya saya sendiri sudah recovery,
saya akan menceritakannya.
Tiga hari kemudian kami menemui Dr. Calvin Cong.
Suster dokter ini sempat menolak
karena umur kandungan saya tanggung,
yaitu 17 minggu, biasanya screening
di umur 11-13 minggu untuk cek DS,
kemudian 20-24 minggu untuk mengecek jantung,
kemudian di akhir kehamilan.
Saya membohongi suster ini dan mengatakan bahwa
Dr. Ronny yang minta,
akhirnya Dr. Calvin mau.
Saya sangat menantikan pemeriksaan ini,
saya sangat berharap ada dokter lain
yang berkata bahwa diagnosa Dr. Ronny salah,
bahwa baby sehat-sehat aja,
bahwa USG 2D memang sering salah.
Tapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan.
Malam itu, sekitar jam 7 malam, kami menemui Dr. Calvin,
tampangnya cool, saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan,
soalnya saya takut menangis sehingga tidak bisa bertanya.
Menurut dokter,
penyebabnya bukan genetik, makanan, virus maupun asam folat.
Di Indonesia berbeda dengan di German,
jelas dokter yang german-minded,
karena baru kembali dari sana, di German,
wanita sejak remaja sudah minum asam folat dosis tinggi yaitu 4 mg,
untuk mencegah DS.
Sedangkan di Indonesia, dosisnya hanya sepersepuluh dari yang
diminum orang German,
dengan kandungan obat yang dipertanyakan.
Obat di Indonesia, sebagian isinya sampah,
tidak sesuai dosis.
Bahkan di Singapura pun
tidak menjual asam folat dosis tinggi.
Anencephaly pertama ditemukan di Skotlandia,
banyak terjadi di Eropa, di Asia sangat jarang.
Biasanya orang akan mengaborsinya,
atau bila dibiarkan sampai lahir akan langsung menguburnya,
jarang sekali diotopsi sehingga tidak banyak penelitian
mengenai cacat ini.
Dokter memeriksa USG 4D di ruang gelap
dengan layar besar terpampang seperti bioskop kecil,
suara musik klasik mengalun perlahan di ruangan.
Kami juga menceritakan riwayat pendarahan yang lalu.
Dokter sedikit terkejut.
Seharusnya saya tidak boleh hamil lagi
apalagi kalau pendarahannya lebih dari 500cc.
Seingat saya lebih dari itu,
lebih banyak dari dua kantong darah untuk
ukuran pria.
Dokter memulainya dengan jari tangan dan kaki baby.
Semuanya sudah lengkap.
Kedua ginjal tidak bagus, berkapur.
Jantung bagus.
Satu jam sendiri untuk mengecek jantung,
untuk mengetahui bocor atau tidak.
Saya sempat tidak sabar kenapa harus berlama-lama
mengecek jantung,
kalau nantinya baby tidak akan hidup.
Saya ingin dokter segera mengecek kepalanya.
Dokter menjelaskan kalau jantung bocor besar
bila didengar dengan stetoskop,
alat yang sederhana,
bunyinya hampir sama dengan jantung normal.
Tapi kalau jantung bocor kecil malah terdengar,
seperti suara mendesis.
Biasanya dokter sulit menemukan
jantung bocor besar sehingga berakibat fatal dan
terlambat penanganannya.
Menurutnya, beberapa bayi yang lahir mati,
biasanya disebabkan oleh jantung yang bocor.
Tetapi dokter sini lebih suka bilang kelilit,
karena lebih muda diterangkan ke orang awam.
Padahal bayi belum bernapas dengan
tenggorokan dan paru-paru,
sehingga kelilit bukan alasan lahir mati.
Dokter pun menolak aborsi.
Masih terbayang di matanya ketika bayi yang diaborsi
meninggal di tangannya,
karena tidak ada pilihan lain.
Seorang wanita German,
idiot, dihamili tidak jelas.
Bayinya menderita cacat tulang,
seluruh tulangnya rapuh tulang patah-patah di dalam.
Bayinya sangat kesakitan.
Si ibu tidak memungkinkan untuk memelihara bayi ini.
Dokter German yang dikenal tidak beragama,
walaupun mengakui Tuhan ada,
tidak mau melakukan aborsi.
Bagi yang menemukan kasus,
dia sendiri yang harus membereskan.
Akhirnya baby disuntik mati
dengan alasan baby sangat kesakitan sekali
dan hal ini dibenarkan secara medis.
Kepala baby bersembunyi di tulang panggul
sehingga dokter musti mengelitiknya
dan dengan sabar menunggu baby balik badan
untuk mengecek kepalanya.
Matanya lengkap, hidung dan bibirnya sudah terbentuk.
Mukanya tidak sempurna,
kata dokter mirip kodok.
Kepalanya terbuka, otaknya ada,
tapi makin lama makin mengecil karena cairannya terserap tubuh.
Makanya, ketika USG di umur 12 minggu belum kelihatan,
masih kelihatan normal.
Dokter memuji Dr. Ronny yang menurutnya teliti,
dokter lain mungkin tidak akan menemukan ini di usia ini.
Di luar negripun biasanya ditemukannya di usia 24 minggu,
kalau USG 4D sudah bisa diketahui sejak 12 minggu.
Dokter mengingatkan untuk siap-siap
‘hamil gajah’ karena baby tidak bisa menelan air ketuban
dan ginjalnya abnormal,
sehingga cairan ketubannya akan banyak sekali.
Hal ini justru bagus biar baby kesempitan di dalam
dan lebih cepat lahir atau meninggal di dalam
sebelum waktunya, diperkiraan sekitar umur 5 bulan.
Dokter menceritakan bahwa dia
pernah menemani temannya seorang pendeta,
anaknya menderita DS.
Teman ini protes ke pdt. Stephen Tong,
kenapa dia yang suka mendoakan orang,
yang pendeta tapi diberi anak DS.
Stephen Tong bilang,
kalau semua manusia sempurna,
manusia tidak ada sisi kemanusiaannya lagi.
Kita nonton tv, kita kunjungan ke orang cacat,
kita lihat…tapi tidak akan timbul rasa kasihan.
Baru bisa merasakan bila kita benar-benar hidup
bersamanya dan merawatnya.
Dengan merasakan penderitaan baru
kita bisa mengerti penderitaan orang lain.
Dokter mengingatkan bila aborsi
masalah akan cepat beres,
tapi ibu akan selamanya dikejar perasaan bersalah
karena telah membunuh bayinya,
hatinya tidak akan tenang,
untuk itu harus hati-hati
jangan sampai ibu depresi bahkan gila.
Dokter meminta Jc untuk support
penuh kepada saya karena saat ini
adalah saat yang paling sulit dilewati.
Selesai kontrol dengan Dr Calvin,
kami menunggu hasil di luar dan
proses admin pembayaran.
Tiba-tiba seorang suster menghampiri saya, katanya
Dr. Ronny ingin bertemu sebentar.
Saya sempat bingung, kan baru ketemu
beberapa hari lalu.
Setelah menunggu satu pasien,
suster memperbolehkan kami masuk.
Di dalam, dokter sudah memegang satu copy
surat rekomendasi dari Dr Calvin dan
beberapa foto USG.
Sama persis seperti yang ada di tangan saya.
Mata dokter berkaca-kaca ketika dia mengamati foto baby,
air matanya nyaris tumpah,
hidungnya memerah.
Satu tangannya memegang foto,
satunya lagi menekap mulutnya rapat-rapat.
Dokter belum bicara apa-apa tapi saya sudah menangis lagi,
padahal selama satu setengah jam bersama Dr Calvin
saya cukup kuat untuk tidak menangis
dan dapat bertanya sebanyak-banyaknya.
“Yenny, saya ikut sedih..,” katanya
pelan, menaruh tangannya di atas tangan saya,
“tapi lu nggak usah takut.., baby nggak kesakitan apa-apa,
tiap hari dia makan enak dari mamanya,
dia merasa hangat, dia senang-senang aja di perut mamanya.”
Lalu dokter menatap Jc dalam-dalam,
katanya, “saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil.
Roh itu kekal, tidak akan mati.
Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk
bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik,
sudah merasakan kasih sayang orang tuanya.”
Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.
“Saya juga punya satu pasien,” lanjutnya,
“babynya cacat jantung, parah banget,
tidak mungkin untuk hidup.
Dari awal dia minta saya dikeluarin,
tapi saya bilang, jangan bunuh dia,
pelihara dia sampai waktunya tiba.
Akhirnya, waktu umur tujuh bulan,
babynya meninggal di dalam.
Ketika dilahirkan, ibu itu bilang
kalau dia terlanjur sayang dengan anak ini,
apalagi ketika anak ini sudah mulai tendang-tendang
di perutnya, dia makin sayang ama anak ini.
Ibu itu berterima kasih karena dia nggak jadi menggugurkan.
Dia sangat-sangat sedih, tapi juga bersyukur karena
masih sempat menggendong babynya sesaat setelah dilahirkan.”
“Kalau baby meninggal…,”
kata saya diantara isak tangis,
“biasanya disimpan dimana, Dok?”
“Biasanya langsung dibawa pulang keluarganya
karena rumah sakit nggak bisa simpan lama,
kita nggak punya alat seperti freezer.”
“Dok, dokter Calvin
bilang saya akan hamil gajah,
ginjal baby nggak bagus,
mungkin hanya sampai lima bulan meninggal..”
“Mungkin.., mungkin juga nggak,” kata dokter.
“Lu nggak usah pikirin gimana nanti.
Kalau lu rasa baby nggak gerak-gerak lagi di perut,
lu kontrol ya.
Lu pasti bisa tahu kalau dia udah nggak ada.
Kalau dia meninggal di dalam,
nanti kita lahirkan dia.
Lu udah betul, pelihara dia baik-baik,
kalaupun dia meninggal nanti,
lu nggak akan menyesal sudah pelihara dia,
sudah sayang dia..”
Lalu dokter mengantar kami berdua sampai ke pintu ruangan.
Dokter menepuk-nepuk punggung Jc dan berpesan,
“yang kuat ya, dampingi dia terus.”
Dada saya sesak sekali,
cobaan satu belum selesai sudah datang cobaan lain,
bertubi-tubi. Air mata ini juga tidak bisa berhenti mengalir.
Malam semakin larut, kami pulang tambah berduka,
melewati hari-hari yang sangat berat,
tidak ada harapan lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
Ancillo dikandung penuh dengan doa.
Saat novena meminta baby,
memang saya berkeinginan agar dapat
lebih dekat dengan Tuhan.
Saat hamil adalah saat saya penuh harap kepada Tuhan,
begitu tak berdaya dihadapanNya.
Kadang hari Sabtu kami misa pagi,
semua untuk kesembuhan baby.
Dalam beberapa misa, kami persembahkan baby sebagai
intensi misa.
Kadang siang hari, jam tiga siang, kami mampir ke gereja,
berdoa di depan tabernakel, doa koronka dan rosario,
karena seperti ditulis di buku harian St. Faustina,
Yesus senang bila ada yang mengenangNya di jam kematianNya,
banyak permohonan dikabulkan bila kita memintanya
di jam kematianNya, yang kita minta dalam sengsaraNya yang pedih.
Hari-hari bersama baby sangat menyenangkan,
dia tumbuh seperti kakaknya dalam kandungan,
malah dia sangat aktif dan suka menendang.
Saya sempat bilang ke dokter,
sepertinya baby tidak pernah tidur,
dia seharian menendang-nendang.
Tapi dokter malah jawab sambil
menahan tawa, masa sih, baby juga tidur kok.
Baby selalu terbangun saat doa subuh,
setiap misa, seakan dia ikut berdoa.
Pada saat misa menjelang komuni,
saat konsekrasi,
saya selalu minta kesembuhan baby,
dan saya selalu mengganti
doa prajurit romawi menjadi
‘Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya,
tetapi bersabdalah saja maka Ancillo akan sembuh.’
Setelah menerima komuni,
saya memohon, Yesus yang sudah datang ke dalam hatiku,
Kau berada hanya beberapa senti dari baby,
sembuhkanlah baby, temani dia selalu.
Kakak saya menyarankan ke Rm. Yohanes,
seorang teman menyarankan saya ke Rm. Rohadi,
karena beberapa mujijat penyembuhan terjadi
dan seorang teman lain menyarankan ke Pdt. Pariadji,
karena ada mujijat bayi hidup padahal sudah divonis mati
dalam kandungan dan bayi hidrocefalus disembuhkan.
Saya sendiri ingin ke Rm. Somar karena saat
mengandung Vincent umur lima minggu,
romo mendoakan saya sehingga kista sebesar
10 cm hilang. Dr Yani sampai bingung saat itu.
Semuanya begitu menggoda.
Tapi Jc bilang, kita devosi aja,
tidak perlu pergi ke satupun dari mereka.
Yang menyembuhkan tetap Yesus,
jadi minta ama Yesus,
kalau tidak sembuh juga tidak apa-apa.
Saya sempat berkaul seperti dokter,
barangkali Tuhan mau berbelas kasih.
Kalau Ancillo sembuh,
saya akan serahkan dia untuk Tuhan,
saya akan dirikan panti asuhan,
saya akan wartakan kemuliaan Tuhan.
Tapi kemudian saya bertanya-tanya sendiri,
bagaimana caranya mewartakan kemuliaan Tuhan?
Apa Tuhan mau dengan diri saya yang percaya Tuhan
hanya diomong saja, yang tidak sungguh-sungguh mengenalNya?
Yang hanya mencari Tuhan untuk kesembuhan Ancillo.
Setiap hari selama berbulan-bulan saya berdoa memohon mujijat.
Saya bertanya ke seorang teman yang banyak kenalan romo,
kira-kira siapa yang enak diajak konsultasi.
Tahunya romo juga banyak spesialisasinya, mengenai narkoba,
perkawinan, penyakit, hukum gereja, dan lain-lain.
Akhirnya teman saya memilihkan romo yang paling bisa
diajak konsultasi, Rm. Rolly Untu Msc. dari
gereja Kemakmuran.
Waktu yang disediakan romo hanya setengah jam
karena pagi itu romo sudah janji mau dijemput
untuk memberikan perminyakan suci ke seorang ibu
yang menderita sakit tua berumur 94 tahun.
Saya hanya ingin bertanya mengenai
upacara bila baby meninggal nanti dan
bertanya mengenai donor organ apakah
diperbolehkan gereja.
Tahunya romo belum pernah misa untuk baby meninggal,
walaupun adiknya sendiri meninggal saat lahir,
waktu itu dia masih kelas 6 SD.
Menurutnya, misanya akan sama seperti orang dewasa.
Bila baby sempat hidup, dia akan dibaptis dulu,
baru perminyakan suci.
Untuk donor organ, selama tujuannya
untuk menolong sesama dan
donor dari yang sudah meninggal, diperbolehkan.
Tapi kalau untuk ilmu pengetahuan misalnya
bila diserahkan ke Patologi UI untuk
dipelajari, romo tidak dapat menjawab.
“Apakah rohnya akan selamanya baby?”
tanya saya.
Saya benar-benar tidak bisa membayangkan
baby yang setiap hari saya ajak berdoa ini
harus diajak berbicara seperti baby atau orang
dewasa.
Romo mengeleng-gelengkan kepala,
tidak bisa menjawab, katanya,
“Roh itu tidak bisa dibandingkan dengan badan manusia
yang melalui proses dari baby,
merangkak, berjalan, dewasa, tua dan meninggal. Di alkitab ditulis,
bagi manusia seribu tahun tapi bagi Tuhan hanya sehari.”
“Romo, apakah mujijat itu benar ada?” tanya saya.
“Mujijat ada,” jawabnya pendek.
“Apakah romo pernah lihat langsung?”
“Satu kali,” jawabnya.
“Saya lihat orang lumpuh berjalan sesaat di KKR.
Tapi saya tidak tahu apakah dia bisa berjalan besok dan
besok-besoknya. Kalau Yesus yang sembuhin,
selamanya orang itu akan berjalan.
Ada juga yang sudah direkayasa.
Sulit sekali terjadi mujijat,
tidak semurah-meriah yang kita lihat di tv.
Kita tidak tahu yang mana yang benar-benar mujijat.
Sama seperti manusia bila akan meninggal,
di detik-detik terakhir,
tiba-tiba dia makan, minum, sehat, jalan, seakan sembuh,
tapi besoknya meninggal. Itu yang namanya kekuatan terakhir.
Gereja Katolik sangat hati-hati
dalam menyebut mujijat.
Seperti di Lourdes, kalau kita ke sana, ada ribuan kruk
tergantung, belum lagi kursi roda yang ditinggal,
tapi hanya sedikit mujijat yang diakui gereja.”
21 minggu
Hari itu lebih ramai dari biasanya,
ketika kami menaruh buku kesiangan
sepuluh menit saja sudah dapat nomer belasan.
Dokter menyambut kami dengan gembira
dan memeriksa baby dengan seksama.
Setelah selesai periksa, dokter menceritakan
kalau dia baru dimarahi oleh seorang ibu.
Babynya terkena tokso, telapak tangan kiri tidak ada.
Di awal kehamilan dokter sudah menemukannya
dan menulis di bukunya, tapi dokter
prefer tidak memberitahukan ke orangtua baby,
dia merahasiakannya, biar bagaimanapun baby ini harus dilahirkan.
“Untuk cacat minor,
tidak seorang dokter pun boleh aborsi,” katanya.
Orang tua baby itu begitu marah saat melihat baby cacat.
Kata mereka, kalau tahu baby akan cacat, dari awal mereka
akan keluarkan.
“Ibu..,” kata dokter, “bayi ibu tidak kurang apa-apa,
dia cuma tidak punya telapak tangan,
masih banyak bayi yang cacatnya lebih berat,
tapi ibunya tetap terima dia.”
Ibu itu tetap tidak bisa terima dan tidak bersyukur.
Mungkin sudah insting dokter
untuk mempertahankan baby itu agar
tetap hidup walaupun resikonya dia habis kena marah.
26 minggu
Hari itu mood dokter sedikit jelek,
begitu datang dia langsung meminta maaf
karena sudah bikin saya menunggu lama.
Senyum menawan yang selalu
menghias wajahnya lenyap.
Dia sedang kesal dengan orang yang suka cari hari
dan jam untuk caesar, karena bikin berantakan
semuanya dan mengorbankan orang lain.
Biasanya hari Sabtu pagi dokter mulai praktek jam 8.30,
kadang lebih pagi, tapi hari itu baru mulai jam 11 siang,
karena tiba-tiba didatangi dua keluarga untuk caesar
tanpa perjanjian sebelumnya karena jamnya bagus.
Jadinya pagi itu dokter caesar empat orang,
dan setelahnya dokter sekalian visit
pasiennya yang akan pulang.
Saya menunggunya sampai gempor dan kelaparan.
Soalnya suster bilang cuma caesar dua pasien,
itupun dokter sudah stand by dari jam 6 pagi,
tapi kenapa dokter tidak muncul juga.
Mau pulang juga sudah tanggung.
Begitu saya masuk dapat nomer 1,
di meja dokter sudah penuh dengan buku,
membentuk beberapa jejer selebar meja,
sampai hampir tumpah di ujungnya,
hanya meninggalkan sedikit space di tengah-tengah.
Bukunya sudah lebih dari nomer 60,
di luar suster masih terus tensi,
pasiennya masih terus berdatangan.
“Manusia kalau dikit-dikit lihat hari, lihat jam, lama lama
manusia jadi terbelakang, percaya tahyul,” kata dokter.
“Nggak usahlah lihat-lihat hongsui, tanggal, hari atau jam,
Tuhan sudah atur semuanya, dan semuanya bagus.
Betul nggak?” tanyanya pada Jc, masih sedikit jengkel.
“Iya,” jawab Jc sambil senyum, lucu melihat dokter tumben bete.
Sambil berdiri, dokter menggeser-geser dan merapatkan
barisan buku-buku di mejanya supaya ada
sedikit space untuk menaruh tangan agar bisa bergerak.
“Saya nggak tahu, dari mana aja pasien saya sebanyak ini.
Minggu lalu ada yang dari Sumatra.
Bingung saya, kenapa jauh-jauh cari saya?” tanyanya heran.
“Itu yang namanya rejeki, Dok”
kata suster tinggi berkacamata disampingnya.
Usianya sudah setengah baya.
“Begitu ya, sus?” tanya Dokter,
matanya tidak lepas menatap suster itu,
menunggu jawaban darinya.
“Rejeki dari Tuhan, Dok,” jawab suster itu dengan
sabar, seperti seorang ibu sedang menasehati putranya.
“Oya. Jalani aja.
Semua dari Tuhan. Begitu kan, Sus?” tolehnya ke suster.
“Iya,” suster
menjawab dengan senyum sabar.
“Saya juga sedih, banyak pasien, banyak juga
fitnah yang saya terima,” katanya sambil menggelengkan kepala,
mukanya meringis.
“Banyak….,” suaranya bergetar. Pasrah.
Dokter menghela napas. “Mau diapain, ya sudahlah..
toh saya bekerja untuk Tuhan.”
Moodnya berubah cepat, begitu jalan
ke kursinya untuk USG,
wajahnya sudah cerah kembali,
melangkah ringan sambil
bernyanyi-nyanyi.
Dokter mengukur panjang kaki dan tangan baby.
“Yenny, baby lu sehat sekali,” seru dokter.
“Coba lu lihat ini, dia happy,
dia lebih besar dua minggu dari umurnya.
Ukurannya 28 minggu, lu kan baru 26.”
“Kok gede ya, Dok?” tanya saya.
“Emang yang pertama dan kedua berapa?”
tanyanya balik.
“Tiga kilo dan tiga enam.”
“Lumayan gede,” kata dokter,
“baby nggak akan seberat kakaknya,
karena dia nggak punya termpurung.
Tapi ini ukurannya udah bagus banget,
dia sehat sekali.” Dokter menerangkan sambil
berbinar-binar.
Dokter kembali memperlihatkan
bagian-bagian tubuh baby yang
sudah sempurna terbentuk.
Dia juga memperdengarkan jantung baby,
bagus semua.
Sekembalinya di mejanya,
dokter berkata,
“jangankan baby cacat,
baby sehat pun bisa dipanggil Tuhan kapan aja..”
“Kemarin pagi,” ceritanya,
“saya baru tolong satu ibu melahirkan.
Jam 5.30 pagi ibu itu datang ke kamar bersalin,
kontraksi, 39 minggu. Lalu di CTG selama setengah jam,
kondisi ibu dan baby bagus tinggal menunggu pembukaan.
Tiba-tiba jam 6, kondisi jantung baby resah,
drop ke 50.
Saya ditelpon suster, terus saya kasih instruksi
supaya ibunya tidur miring ke kiri
biar oksigennya lebih banyak.
Saya segera datang,
lima belas menit kemudian,
jam 6.15 langsung siap caesar
karena jantung baby sudah makin drop.
Begitu baby dikeluarin sudah tidak tertolong,
keburu meninggal di dalam.”
Dokter terdiam lama.
”Siapa sangka….,” katanya pelan sambil
menggeleng-gelengka n kepala.
“Kita nggak bisa duga…, selama sembilan bulan
kontrol, USG, semua bagus, sampai minggu lalu
kontrol terakhir masih bagus
semua, kenapa pas detik terakhir…
tinggal lahir malah meninggal?
Sebentar aja udah nggak ada.
Kita nggak tahu Tuhan punya mau.”
Matanya menerawang ke atas.
“Sebelum ke sini,
saya sempat tengokin dia, kasihan sekali dia,
masih bengong-bengong sendirian di kamarnya.”
Dokter menghela napas panjang dan
termangu menatap kosong lembaran kertas putih
untuk dituliskan resep.
Saya bisa membayangkan
pasti ibu itu sudah menyiapkan dengan sempurna
semua keperluan baby mulai dari baju baru,
kaos kaki dan tangan, topi, popok, kain bedong,
minyak telon, bantal, selimut, tempat tidur baru,
kamar baby. Sekarang impiannya hancur...
Kami ikut diam, memperhatikan dokter.
Kami menunggunya,
sampai akhirnya dokter mendongakkan kepala dan bertanya,
“Vitamin masih ada, Yen?”
Nah, dia sudah kembali.
Seperti biasa dokter hanya meresepkan obat
tambah darah dan kalsium karena dokter tahu
saya alergi susu.
Ketika pulang, saya bilang ke Jc,
lain kali kita ke kontrol dokternya ajak anak-anak saja.
Jadi dokter tidak cerita yang sedih-sedih.
Jc cuma bilang, nggak usahlah,
dokter kan juga perlu curhat.
Dia cuma bisa curhat ama kita,
kalau pasien yang babynya baik-baik aja,
mana mungkin dia cerita kayak gini. Bener juga.
Saya sempat bertukar cerita dengan beberapa teman
yang pernah dirawat oleh dokter,
mereka bilang dokter jarang cerita, cek biasa aja,
yang pasti dokter enak diajak ngomong,
kalau diSMS pasti dijawab,
segar banget orangnya,
dan ngomongnya gua-elu.
Bahkan ada seorang teman sering SMS dokter,
iseng aja, katanya senyum penuh rahasia.
30 Minggu
Saya sempat balik sekali ke Dr. Yani.
Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D.
Dokter tersentak kaget, badannya mundur,
menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya.
“Ya mau diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..”
Hanya itu yang dikatakan olehnya.
Dokter sempat kesal karena lima bulan
saya tidak kontrol dengannya,
malah pindah ke lain hati.
Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin
di keluarga kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya,
lahir ditangannya.
Sambil USG, dokter berkata,
“hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin.
Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.
“Apes?” tanya saya,
sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.
Tapi dokter tidak mengiyakan
maupun membatah,
kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.
“Dok, apa saya musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.
“Percaya sama saya,
ini bukan karena asam folat
dan hanya terjadi satu kali aja.
Makanya saya bilang, abis ini langsung hamil lagi.”
“Dok, saya akan hamil gajah ya,
waktu USG katanya ginjalnya jelek?”
Lalu dokter memeriksa ginjal baby.
“Ini apa, ginjal kan? Dua-duanya bagus, normal,
kalau nggak perut baby udah bengkak.”
Dokter kurang sependapat dengan USG 4D
yang menurutnya komersial,
rekomendasinya kurang bisa dipakai.
“Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya.
Dokter menggeleng-gelengkan kepala.
“Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja
susah untuk di donor.”
“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.
“Udah sering,” jawabnya.
“Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada,
Mutiara waktu belum jadi Family juga ada.
Biasanya hidup tiga hari,
yang paling lama hidup tujuh hari,
akhirnya meninggal juga.
Nanti melahirkannya biasa aja,
diinduksi dan pakai epidural,
nggak perlu dicaesar.
Kalau nggak diinduksi dan epidural,
lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”
“Apakah dia akan telat lahir?” tanya saya cemas.
“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”
Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja,
pas hari melahirkan juga boleh,
dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.
Kami tidak balik lagi ke Dr. Yani
karena merasa lebih cocok dengan Dr. Ronny.
35 minggu
Dokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas,
tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi,
pantatnya lebih berat dari kepalanya, baby sungsang.
“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.
“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya.
“Apa lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”
“Kalau babynya kecil, lingkarnya
hampir sama,” jawab dokter.
“Tapi kalau babynya gede bisa bahaya,
bisa nyangkut di bahu pas lahir.
Lu nggak usah takut,
baby lu nggak besar,
mungkin nggak sampai tiga kilo.
Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”
Setelah mengutak-ngatik monitor, dokter berkata,
“alat ini selalu minta lingkar kepala,
sedangkan baby nggak punya lingkar kepala.
Jadi kalau kita masukkin lingkar kepala nol,
dia nggak mau keluarin beratnya.
Barusan gua ukur dia punya tungkai
kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”
Dokter masih penasaran
mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.
“Baby begini, memang biasanya
sungsang, dia nggak bisa muter,
pantatnya lebih berat dari kepalanya
dan memang lebih bagus lahir pantat
sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim
bisa terbuka.”
Sambil USG, dokter cerita,
“pagi ini gua praktek kesiangan karena
diatas tolong satu ibu dulu,
hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah,
baby mau dicoba untuk dipertahankan
satu bulan lagi baru dilahirin,
tapi ibunya keburu panas tinggi dan kejang,
akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng..
”
Mata dokter masih di layar monitor,
sambil memperlihatkan baby ke saya.
”Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?”
tanya saya, selama ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.
“Mukanya biasa aja,
seperti muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”
“Bisa dipakein topi?”
“Nggak bisa lho,
karena dia nggak ada lingkar kepala.”
Belakangan saya baru sadar bahwa dokter berbohong
untuk membesarkan hati saya, baby mukanya
tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly,
matanya menonjol seperti kodok.
“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc
“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu,
ada penutupnya seperti selaput tipis.”
“Dok, apa jantung atau ginjalnya bisa didonor?”
“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya
langsung cerah, matanya berbinar-binar.
“Coba lu cek ke Harapan Kita.
Kalau bisa didonor, dia nggak akan sia-sia kan?
Mungkin masih bisa berguna buat yang lain.
Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”
Dokter pun cerita kalau ada pasiennya ada juga
yang cacat jantung berat,
babynya tidak ada harapan untuk hidup.
Kemungkinan saat lahir langsung meninggal.
Tapi orangtuanya bilang mereka
mau coba lahirkan di Singapura,
dan dokter bilang nggak masalah.
Ketika kontrol sebulan setelah melahirkan,
ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu
di ICU, sempat juga jalani operasi jantung
tapi akhirnya meninggal juga
“Saya sudah cek di internet,
belum ada mengenai donor jantung baby,” kata saya.
“Memang… sulit sekali operasi jantung,
apalagi ini jantung baby, kecil sekali.”
“Dok, kalau lahirin nanti, sebelum digunting,
dibius dulu nggak?”
tanya saya sambil nyengir, ngeri membayangkan harus digunting.
Jc yang sudah dua kali menemani saya melahirkan
mengatakan kalau yang digunting adalah daging
yang tebal di sekitar pantat,
bukan cuma selaput tipis.
Saat digunting, bunyinya juga krek-krek-krek.
“Enggak dibius,” jawabnya santai.
“Karena rasa sakitnya melebihi waktu digunting.”
Saya cuma melongo, pasrah.
“Pas jahitnya baru dibius,”
tambahnya mencoba menenangkan saya,
mengerti betul saya sedang cemas.
Jawaban dokter tetap aja tidak menenangkan hati saya.
“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.
“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja,
nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi,
nggak seperti awal bulan, lebih ramai.
Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama.
Gua biasanya menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.
Mau gimana lagi, dokter memang kesayangan ibu-ibu hamil.
Sejak hari Jumat Agung saya ikut novena
Kerahiman Ilahi. Saya sengaja mengambil cuti
seminggu di kantor.
Novena mulai jam 12 siang.
Setelah itu saya berdiam lama di depan kanfas besar
bergambar ‘Yesus, Engkau andalanku’ sambil koranka,
rosario dan jalan salib.
Seperti yang diminta Yesus sendiri
bahwa Dia sangat ingin ditemani di hari-hari itu.
Saya berada di kapel, kadang di gereja
di depan tabernakel sampai pukul tiga siang.
Hanya satu pengharapan saya yang terakhir,
mungkin Tuhan mau berbelas kasih kepada baby.
Segala rahmat yang boleh saya dapatkan,
semuanya ingin saya mintakan untuk kesembuhan baby.
Saya berharap baby bisa lahir
tanggal 30 Maret, di hari pesta Kerahiman Ilahi,
karena janji Yesus sendiri,
segala rahmat akan turun dari surga di hari itu.
Ternyata, baby belum mau lahir.
Saya sedikit kecewa.
Lalu saya kembali masuk kantor.
Teman-teman mengira saya sudah melahirkan,
karena saat itu sudah 38 minggu.
38 minggu
Hari itu baby muter lagi,
kali ini kepala berada di bawah,
sudah siap dengan posisi lahir.
Saya sempat bertanya-tanya,
apa ini jawaban dari novena,
karena cemas akan melahirkan sungsang.
Paru-paru baby sudah matang
dan sudah siap lahir.
“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu,
nanti kita lihat, kalau fungsi plasenta
sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter.
Dokter mengingatkan bila pecah ketuban
atau keluar flek darah, langsung ke kamar
bersalin lantai 2,
nanti suster akan menelpon dokter.
Minggu ini, kata dokter, ada pasien baru,
kontrol umur 38 minggu.
Baby sudah mau lahir,
tapi si ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung.
Ibunya kaget, dokter sebelumnya tidak pernah inform.
Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru,
hanya menghitung panjang lengan dan kaki,
kalau kepalanya menyumpet tidak dicari.
Saat memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya
kalau babynya tanpa kepala,
sampai dokter meminta untuk USG lewat vagina,
karena baby sudah turun kadang sulit
mengecek kepalanya.
Pasiennya ada yang terkena thalasemia,
anak kedua.
Orang tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor.
Anak pertama sehat,
tapi anak kedua kemungkinan kena.
Mereka bertanya apa yang harus dilakukan.
Dokter mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis,
ambil sample air ketuban,
lewat pusar ibu.
Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur.
Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin
babynya akan tidak apa-apa.
Saat baby sudah lahir berumur tiga bulan,
mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata,
“baby elu lucu.”
Tapi mereka menjawab,
“lucu sih lucu.., tapi menyedihkan. .
Benar yang dokter bilang, dia kena thalasemia.
Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali transfusi darah,
habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi,
musti transfusi darah lagi.”
Dokter menerangkan bahwa untuk bayi,
transfusi itu sangat menyakitkan sekali
karena pembuluh darahnya begitu kecil,
susah mencari nadinya dan ditusuk-tusuk.
Menderita sekali.
Proses ganti darahnya lebih lama dari orang dewasa.
Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum
di Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun
lebih maju dan mereka sudah berhasil
menyembuhkan thalasemia.
Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja,
belum termasuk tinggal dan cek rutin.
Mereka bilang ya, saat ini kumpulin
dana untuk berobat.
Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran,
suaminya baru kena stroke,
sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin.
Bayinya 35 minggu, jantungnya tidak bagus.
Dokter bilang baby mungkin akan meninggal
dalam seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.
Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi,
dia bilang babynya udah seminggu lebih
tidak bergerak.
Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam,
baby hanya bisa dilahirkan.
Lalu enci itu menanyakan
biaya melahirkan ke admin dan kembali ke
dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan.
Dia menanyakan rumah sakit mana yang murah.
Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang,
setahunya murah dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.
“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak,
macam-macam cacatnya,” kata dokter,
terdiam sebentar, “yang meninggal juga ada...”
Dokter menatap lurus mata saya,
“gua cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu …
kalau lu nggak sendiri.”
Sayasampai terpana mendengarnya.
Tidak pernah terpikir sejauh ini.
Sambil menuliskan resep,
dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya
hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella.
Dokter sudah mencoba meyakinkan mereka,
bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun,
divonis kena rubella saat masih dikandungan,
kemungkinan cacat 90%,
tapi orang tuanya tetap pertahankan dia,
karena masih ada chance normal 10%.
Orang tua anak itu sungguh bersyukur tidak buang baby mereka,
nyatanya sampai sekarang anak itu sehat tanpa pernah diganggu rubella.
“Kalau masih ada chance untuk normal,
biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih.
“Walau nggak ada chance, cacat pun kita pelihara dia,
kenapa harus dibuang?”
Kemudian dokter menatap kami,
“untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter.
“Badan ada waktunya mati tapi roh itu kekal,
dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua
dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih
karena mama nggak buang dia.
Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti,
dia akan langsung bilang ‘mama pembunuh’!”
Dokter menghela napas.
“Makanya banyak pembunuh yang hidupnya
nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”
Iya juga..,
bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.
“Dok, nanti kalau setelah melahirkan, pas udah boleh pulang,
apakah saya boleh ikut kreamasi?” tanya saya.
“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh.
Soalnya lu masih belum kuat.”
“Deket kok, di Atmajaya.”
“Kalian sudah ke sana?”
“Udah,” kata Jc.
“Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok.
Baby tiga hari dibiarin masih bagus,
nggak perlu diformalin juga.
Kita nggak perlu sewa ruangan
karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya.
Atmajaya juga akan sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”
“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter.
“Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan
sembarangan, jadi lebih cepat busuk.
Tapi baby kan belum makan, darahnya juga
masih bersih, jadi bisa tahan lama.”
Lalu dokter menjadwalkan kontrol berikut,
dua minggu yang akan datang.
40 minggu
Sesuai yang dijadwalkan, kami kontrol.
Hari itu hari perkiraan lahir.
Sudah empat hari saya merasa perut kencang seharian,
tapi mulasnya tidak bertambah,
masih bisa ditahan.
“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya
yang saat itu sedang kencang.
“Sakit nggak?”
“Nggak,” jawab saya.
“Ya segini-gini aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”
“Memang, baby nggak bisa menekan,
dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat,
untuk dorong supaya rahim mau ada pembukaan.”
“Posisinya udah turun ya, Dok?
Perut atas saya sudah kosong.”
“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”
Dokter menjadwalkan jam 8 pagi di kamar bersalin, tanggal 16 April.
Tadinya dokter meminta tanggal 17 karena dia seharian
di rumah sakit ini, tapi saya minta tanggal 16
karena saya ingin baby lahir di hari St. Bernadeth,
santa pelindung saya.
Dokter menyetujui, tidak masalah tanggal 16,
paginya dia praktek di sini,
siang tempat lain, tapi sore balik lagi praktek di sini.
Ibu saya yang pintar cari hari
juga mengatakan kalau sampai akhir bulan April,
hanya tanggal 16 yang bagus buat melahirkan, lainnya jelek.
Andaikan ibu saya menyebut tanggal lainpun,
saya tetap memilih tanggal 16.
“Kita tunggu dia kontraksi alami ya,
sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi.
Gua nggak mau buru-buru induksi,
nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi
pada nggak tahan, sekalian minta epidural.
Lu kan nggak boleh pakai epidural,”
kata dokter prihatin.
“Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia
mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”
Lalu dokter meresepkan obat
pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya.
Tapi begitu saya minta disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter
langsung mencoret resepnya,
batal memberikan obat,
“jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu pendarahan.”
Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan.
“Nanti aja di kamar bersalin baru gua atur,
induksinya pelan-pelan aja,
jadi lu nggak perlu diepidural,
gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.
“Dok, nanti sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.
“Lu tenang aja,” jawab dokter.
“Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya.
Pasien gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan,
bisa langsung transfusi darah, lebih cepat.
Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu,
nadinya susah ketemu.”
Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu,
beberapa suster berlomba mencari nadi di segala penjuru,
kaki, telapak tangan, lengan, kiri dan kanan,
semuanya ditusuk dengan jarum,
bahkan setelah tusuk masih dibelok-belokkan,
sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya,
saya diantara sadar dan tidak.
Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh
suster dan ada satu dokter,
badannya tinggi besar dihadapan saya.
Badan saya diguncang-guncang dari bahu sampai kaki
oleh beberapa suster,
ada yang meneriakkan di kuping saya
bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun,
harus bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan,
serasa terayun-ayun, semuanya jadi putih, begitu damai..,
dingin.. tidur.. putih..
Suara orang demikian ramai,
tapi terdengar jauh sekali,
makin lama makin menghilang.
Pikiran saya melayang jauh,
mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus,
janjiNya mau jemput… kok nggak datang-datang.
Saya hanya melihat ada satu warna..
putih yang terang, putih yang dingin, putih yang damai...
“Bener, Dok” jawab saya,
“kalau pendarahan pulihnya lama,
dua bulan masih keleyengan.”
“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.
Lalu dokter menulis resep,
“Vitamin masih, Yen?”
“Abis.”
“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih,
soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah,
lu tetap minum ya buat tambah darah.
Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”
“Nggak terlalu.”
“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI,
lu kan nanti nggak nyusuin.”
“Tiap kali ASI suka masalah.
Yang pertama, sempat dibawa ke UGD,
kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”
“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat.
“Pasien gua banyak kayak lu.”
“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur,
buat sinar, dadanya dipanasin,
nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar.
Kalau nggak mah keras banget, mau dipompa nggak bisa,
diperas nggak bisa. Sakit banget.”
“Beli dimana alatnya,
biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.
“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”
“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,”
kata dokter gembira.
Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya
sebuah ide sederhana.
Hari H
Hari yang ditunggu semakin dekat.
Saya merapikan pekerjaan kantor
dan bersiap-siap untuk cuti selama satu bulan,
karena tidak ada babynya, tidak perlu cuti lama-lama.
Malam terakhir, kami bersama anak-anak
mempersembahkan doa koronka untuk adik baby yang akan lahir.
Anak-anak sudah kami persiapkan untuk berita kematian,
dengan menceritakan bahwa saat mereka lahir kelilit tali pusar,
tapi tidak terlalu kencang, masih bisa terlepas dan bernapas.
Tapi untuk adik baby, belum tahu apakah akan kelilit
atau tidak. Untuk itu kami berdoa agar adik baby tidak kelilit.
Saya berdoa sambil menahan sedih,
hari ini akan menjadi hari terakhir baby bersama kakaknya.
Apakah juga akan menjadi malam terakhir bagi saya?
Saya buru-buru mengenyahkan pikiran itu.
Setelah pesta hari Kerahiman Ilahi tanggal 30 Maret,
baby tidak mau lahir juga,
saya meminta Tuhan supaya bisa lahir tanggal 4 April,
yaitu hari Jumat pertama, tahunya meleset juga.
Terakhir saya meminta tanggal 16 April,
masa meleset juga, pikir saya.
Tiap hari kami misa pagi dari jam 6.00 sampai sekitar 6.40,
sehabis itu masih sempat antar anak-anak ke sekolah.
Sebelum ke gereja, saya menyempatkan novena Hati Kudus Yesus,
ada kata-kata yang paling saya suka
‘kepada siapa saya berharap, kalau bukan kepada
hatiMu… Yesus, buatlah yang hatiMu kehendaki.’
Romo Andreas pernah mengatakan
kalau Yesus yang kita sembah bukan Yesus seperti
di film-film Bollywood atau di sinetron-sinetron,
dimana Yesus kita bentuk sesuai maunya kita,
dimana Yesus yang terbalik melayani maunya kita.
Bukan juga Yesus yang superstar,
yang ikut Yesus pasti sukses, pasti sehat, yang pasti-pasti,
bukan semua, tapi Yesus yang selalu mengajak kita mengikutiNya
memanggul salib kehidupan.
Betapa beratnya mengikuti Yesus, pikir saya.
Misa pagi hari itu,
terbukalah hati saya yang selama ini
sangat mengharapkan kesembuhan baby.
Romo berkata,
“Yesus ada dimana kehendakNya terjadi.”
Romo menutup misanya dengan berpesan
mengutip kata-kata Martin Luther,
“kalau kita berjumpa Yesus hari ini,
hanya empat kalimat yang akan Dia katakan,
I Love You, I Know You, I Understand You…
terakhir… Do You Know Me?
Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu,
apakah kamu mengenalKu?”
Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus,
saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu.
Bagaimana Kau bisa berkarya di hati seperti ini?
Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo,
tapi kita seperti orang baru kenalan.
Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu
dari awal lagi, tambahkanlah imanku.
Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan
mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi.
Hati saya lebih tenang.
Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi kekuatan kita?
Romo menambahkan,
“Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”
Jam 8 pagi saya masuk kamar bersalin
setelah mengisi formulir admin
dan menyerahkan buku medik ke suster.
Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby
dan kontraksi selama setengah jam,
lalu mengambil darah dan menyiapkan induksi,
juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga.
Suster juga memberikan obat mulas untuk cuci perut.
Suster konsultasi dengan dokter lewat telepon
karena dokter sedang operasi caesar.
Ternyata sudah bukaan 1.
Tetesan induksi di infus elektronik hanya 4 ml.
Selesai operasi caesar,
dokter memeriksa kondisi saya,
lalu meminta suster untuk menyuntikkan pelunak rahim,
karena mulut rahim masih sangat tebal,
baby tidak ada penekanan.
Dokter menyarankan untuk menambah kantong darah
menjadi dua kantong, satu kantong discreening,
satu lagi tidak.
Setelah satu jam tidak ada kemajuan pembukaan,
dokter mengatakan saya akan dibalon.
Saya yang masih bisa jalan sendiri pindah ke ruang
tindakan.
“Gua buat lu nggak kesakitan,” dokter menghibur saya.
“Sabar ya, sayang, memang nggak enak sedikit rasanya,
tapi ini akan buat pembukaan ada kemajuan.”
Walaupun dokter hafal nama,
tapi dia lebih sering memakai kata ‘sayang’ ke pasien dan suster.
Ada seorang berpakaian suster, sudah berumur,
berambut panjang dan bertubuh kecil mungil,
tugasnya membantu para suster
mengambil obat ke apotik,
mengambil hasil darah ke lab,
dan menyiapkan alat-alat
yang akan dipakai dokter.
Ada satu lagi tugasnya, mencukur rambut bawah,
para suster menyebutnya ‘cuplis’.
Nama asisten para suster itu mbak Iyem.
Ketika hendak memasangkan balon,
suster membantu dokter mengikatkan bajunya dari
belakang, bajunya mirip baju anti peluru.
“Eiit… entar dulu,” kata dokter.
“Mau betulin dasi. Nyangkut dikit, biar nggak kena ciprat darah.”
Lalu dokter menggulung lengan bajunya,
memakai sarung tangan dan bersiap-siap untuk tindakan.
“Mbak Iyem, mau yang ini dong,” pinta dokter sambil menunjukkan
alat yang dimaksud, “no.. (sekian)”
Lalu mbak Iyem mencarikan sana-sini,
diantara tumpukan alat-alat yang bentuknya mirip-mirip.
Setelah ketemu dia berikan ke dokter.
“Bukan yang ini, mbak Iyem,” kata dokter.
“Ini kebesaran, ada yang kecilan lagi.”
Dokter dengan sabar menunggu mbak Iyem mencari
lagi.
“Bukan yang ini juga, coba cari lagi, ini masih kebesaran.”
Lalu dokter menunggu lagi sambil bernyanyi lagu rohani.
Tidak lama ada telpon masuk,
dokter on-line lewat bluetooth hitamnya
yang menempel di kuping.
Habis on-line,
bernyanyi-nyanyi lagi atau bercanda dengan suster.
“Yang ini?” tanya mbak Iyem ragu-ragu.
“Masih bukan, udah hampir betul.”
Mbak Iyem masih cari lagi,
dokter menoleh berulang kali,
masih menunggu, tidak terlihat bete sedikitpun.
“Ini, betul?” tanya mbak Iyem, takut salah lagi.
“Nah, ini dia!” serunya girang sekali,
wajahnya langsung berseri-seri, seperti anak kecil
menemukan harta karun mainan kesayangannya.
“Mbak Iyem… mbak Iyem…, coba dari
tadi ketemu, udah selesai nih pasang balonnya.”
“Udah ah, nggak usah mbak
Iyem, mbak Iyem,” kata mbak Iyem sambil cemberut.
”Kerjain aja sana.”
Mbak Iyem masih berdiri di belakang dokter.
Barangkali dokter perlu alat lain.
Dokter melongok ke mbak Iyem, nyengir,
mengedipkan mata dan meledeknya,
“Mbak Iyem, mbak Iyem…”
“Udah sana, kerja,” usir mbak Iyem sambil
mengibas-ngibaskan tangannya.
Dokter tertawa senang, berhasil bikin orang
kesal, mengulanginya, “mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem makin cemberut.
“Coba dari tadi ketemu..,” ujar dokter sambil memasangkan balon,
“udah beres nih sekarang.”
Dokter menoleh lagi, senang sekali menggoda mbak Iyem
yang semakin manyun. “Mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem sudah tidak bisa marah.
Dia mengacuhkan ketika dokter menggodanya terus.
Dokter dicuekin.
Percuma juga cemberutin, dokter tidak terasa.
Balon yang dimaksud ternyata karet yang
panjang berwarna orange,
mirip balon mainan anak-anak, diisi air sebanyak 50 ml,
balon diikat simpul,
lalu dimasukkan ke mulut rahim
dan sebagian sisa karet
balon tersebut berada di luar.
Memang tidak terasa sakit sama sekali.
“Mbak Iyem,” pinta dokter setelah selesai tindakan,
“disimpan baik-baik alat ini,
besok-besok saya mau pakai,
udah nggak usah cari-cari lagi.”
“Iyooo..,” sahut mbak Iyem.
“Mbak Iyem, mbak Iyem…,” kata dokter
sambil tertawa terbahak-bahak dan berjalan keluar.
Saya kembali ke tempat tidur,
lalu suster mengikatkan tali di ujung karet balon
yang berada di luar kemudian ujungnya
digantungkan sebotol penuh infus sebagai pemberat.
Saya harus berbaring lurus,
tidak boleh lagi miring-miring.
Lalu ketika infus dijatuhkan ke ujung ranjang di ujung kaki,
terasa ada tarikan di mulut rahim.
Makin lama makin terasa.
Sebotol infus itu menjadi pemberat pengganti kepala
bayi yang tidak ada penekanan.
Dokter sempat menengok dan memberi semangat,
“Sabar ya, sayang, kita coba balon ini dulu, biar bukaan lu nambah.”
Sebelum pergi, dokter berpesan ke suster untuk memberitahukan
perkembangannya karena dia akan praktek.
Selama satu jam saya menahan sakit sedikit,
sambil memikirkan apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba balon kecil itu meluncur keluar dari mulut rahim,
melesat ke tanah, ‘gubrak’ botol infus jatuh ke lantai.
Suster langsung datang.
Beberapa bercak darah dimana-mana karena balon kecil itu
meluncur diantara kaki dan jatuh ke lantai.
Dua orang suster membersihkan darah di tempat tidur,
besi tempat tidur, dan mengganti seprei,
seorang lagi langsung mengecek bukaan.
Ternyata bukaan sudah bertambah jadi 3 cm.
Suster langsung menelpon dokter memberi kabar.
Dokter mengatakan bagus ada kemajuan
tapi biasanya prosesnya lebih lama dan
ketika balon terlepas sudah ada di pembukaan 5.
Kembali saya diperbolehkan tidur miring-miring,
karena rasanya memang lebih enak,
tidak menekan tulang belakang.
Suster memasang alat CTG,
katanya dokter ingin tahu kontraksinya apakah ada kemajuan.
Kontraksi setiap empat menit, jantung baby bagus,
lalu induksi ditambah jadi 12 tetes.
Jam 10 lewat, pembukaan naik ke 4.
Kontraksi per tiga menit,
tapi saya saya tidak merasakan sakitnya.
Hampir tiap jam suster memeriksa pembukaan,
tidak bertambah juga.
Jam 2 siang, setelah selesai praktek,
dokter kembali visit.
Dokter memeriksa kontraksi sudah per 2 menit,
tapi baby masih jauh diatas, belum mau menekan jalan lahir.
Rahim juga masih keras sehingga disuntikkan lagi pelunak
rahim.
“Kontraksi lu udah bagus sekali, Yenny,” kata dokter
“kalau keadaan normal, entar sore juga udah lahir.
Tapi ini susah, belum tentu mau lahir hari ini.
Masih tebal banget rahim lu, sabar ya,
lu tidur-tiduran dulu aja, simpan tenaga.”
Lalu dokter terdiam sebentar, memperhatikan kontraksi.
“Eh.. ini lagi kontraksi nih, kencang banget, lu berasa sakit nggak?”
“Nggak sakit sama sekali.”
“Berarti lu tahan sakit…,” katanya.
“Sayangnya nggak ada balon ukuran 250 ml,
kalau ada gua pasang balon lagi, biar bukaan nambah.
Padahal, tapi pagi sudah bagus sekali,
dari 1 langsung 3. Cakep banget deh bukaannya.
Sekarang dia lambat lagi. Sabar ya, sayang, kita tungguin aja,
nanti juga lahir.”
Lalu dokter memberi pengarahan ke suster sambil menerangkan
anencephaly tidak terjadi penekanan dan tidak ada kontraksi
yang bertambah untuk ibunya.
Dokter sempat bercandain satu suster yang sedang terkantuk-kantuk,
dia menyanyikan lagu,
“tidurlah, tidur, sayang, tidurlah yang nyenyak, matamu
sudah lima watt, terkantuk-kantuk mau nutup…”
Suster dongkol, katanya,
“Dokter, kalau kontrol ya kontrol aja, udah sana,
nggak usah gangguin orang.”
Dokter tertawa,
“Eh?? Lu ngomong kontrolnya pake r atau nggak..,
woiii..ngantuk nih orang.”
Suster nyamber ngomong jorok, “kont**.”
Dokter langsung nyebut, “masya allah…”
Suasana jadi riuh dan riang,
suster yang terkantuk-kantuk jadi segar lagi.
Tiap kali dokter visit, suster-suter pada
gembira karena dokternya riang,
suka sekali nyanyi sambil mondar mandir.
Kalau dokter lain visit, suster pada tegang dan
tidak berani bertanya.
Selain itu ada juga dokter lain, masih muda, internis,
suka bercanda juga.
Suster menanyakan obat-obatan asma
buat pasien yang baru aja pulang,
pasiennya si ‘babe’,
panggilan suster untuk Dr. Ronald.
Dokter ini menjelaskan fungsinya
untuk apa saja.
“Dok, masak badanmu gede gini,
tapi tulisan kecil-kecil kayak semut.
Tulisan bagus dikit dong biar kebaca,” protes suster.
“Eh, dimana-mana
juga yang namanya dokter tulisannya jelek,
memang sengaja, malah kalau tulisannya bagus,
pasiennya yang protes.
Sama aja kayak gini, kenapa rambut atas
selalu lurus tapi rambut ‘bawah’ selalu keriting?
Coba tebak, kenapa ?”
Saya senyum-senyum menguping mereka bercanda,
ternyata dimana-mana sama aja,
mau dokter, mau suster, bercandanya pada jorok.
Saya sempat bertanya ke suster yang sedang hamil juga,
siapa nama dokter muda itu, karena bercandanya lucu.
Lumayan buat hiburan, daripada bengong seharian
di ruangan 2x2 dikelilingi tembok dan horden.
Saya menyebutnya ruang menunggu pembantaian.
Jadi ingat Yesus,
seperti domba yang hendak dibawa ke tempat pembantaian,
sama-sama tidak berdaya,
hanya bisa menunggu eksekusi.
“Dokter Yudistira,” jawab suster yang
hamil itu.
“Yang badannya tinggi-gede, putih, matanya sipit, terus rambutnya
berdiri?” tanya saya.
Suaranya sangat akrab di kuping saya. Teman SMA.
Selama tiga tahun kami sekelas
dan selalu duduk berdekatan.
Pergi sekolah terkadang bareng, nebeng bajajnya,
jalan kaki menyusuri sepanjang jalan toko tiga dan
kemenangan, tiada hari tanpa berantem, ngambek,
marahan, nggak ngomong lama, baikan, ribut lagi,
baikan lagi, siapin contekan, contek-contekan ulangan,
akurin pe-er, tendang-tendangan kursi, timpuk-timpukan
kertas, penghapus, ngobrol, ngegosip, party, lab, karya wisata,
karya tulis, living-in di kampung,
retret, eks-kul, les, valentine dan pesta perpisahan.
Nostal-gila.
Gayanya masih sama seperti dulu, bandel-bawel- lucu-cuek,
tipikal anak bontot.
Mukanya juga tidak berubah sejak SMA.
Tahunya sekarang sudah jadi internis.
“Iya betul, namanya dokter Yudistira,” jawab suster.
“Kok namanya bukan Him Fong,
ya? Waktu SMA namanya gitu.”
“Yang praktek di Rs Atmajaya juga kan?
Tinggalnya di sekitar bandengan, kalau nggak salah?” tanya suster.
“Iya,” jawab saya.
Malahan setiap keluar rumah lewatin jalan Bandengan musti lewat
rumahnya, tambah saya dalam hati.
Beberapa kali bertemu di rumah sakit ini,
tapi dia tidak pernah bilang sudah ganti nama,
pantesan saya mengecek di papan
praktek dokter, namanya tidak ada.
Saya sebenarnya pengen sekali bertanya
suster apa dia sudah married, apa sudah punya anak juga,
tapi tidak jadi bertanya karena terbayang waktu ketemuan terakhir.
Malam itu di luar hujan lebat,
Francis sudah lima hari demam.
Kami akan mengambil hasil labnya,
kemungkinan typhus.
Jc menunggu print-out hasil lab tapi suster anak,
Dr. Stephanus, sudah memanggil gilirannya.
Saya jalan duluan sambil menggandeng
kedua anak saya, satu di kiri, satu di kanan,
plus di tengah perut buncit
delapan bulanan.
Saya tidak menyadari kalau dia sudah berdiri di hadapan saya.
Rupanya dia sengaja menunggu saya lewat untuk meledek.
“Lu hamil lagi neh?
Heran.., doyan banget hamil!”
katanya sambil tersenyum nakal lalu ngeloyor pergi.
Ampunnnn deh, minta dijitak, tidak berubah,
tidak ada basa-basi!
Saya menceritakan ke Jc, kok sudah jadi dokter masih aja begitu,
beda banget ama Dr Ronny.
”Iya, kan nggak semua kayak dokter lu,” jawab Jc,
“yang ramah, yang ngomongnya juga enak.
Banyak lagi yang lebih suka ama dokter
yang nggak pakai basa-basi, to the point, biar cepat beres.”
O, kalau cowok
mikirnya gitu, yang praktis aja.
Suster hamil berkata, “Ibu enak ya, hamilnya
kecil, nggak seperti saya, baru hamil tujuh bulan udah gede banget,
udah berat.”
Saya tertawa.
“Nanti suster kalo udah mau ngelahirin, pasti udah
jago. Bisa periksa dalam sendiri,” saya meledeknya.
Lumayan deh, dari pagi
sampai sore ini, sudah lebih sepuluh kali diperiksa dalam.
Untungnya, dasar orang Jawa..,
ini sudah anak ketiga, sudah tidak rasa sakit lagi,
cuma malas aja rasanya.
“Suster pakai dokter siapa?” tanya saya.
“Kita sama. Pakai dokter Tjien,” kata suster itu kedengarannya bangga.
Saya jadi mengerti,
suster di kamar bersalin yang sehari-hari bersama para dokter,
mengenal dokter lebih dekat,
bisa memilih dokter mana yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Beruntung saya tidak salah pilih dokter, pikir saya.
Di kamar bersalin, orang datang dan pergi.
Ada yang cemas karena sudah kontraksi padahal baru 30 minggu,
jadi ke kamar ini untuk CTG lalu pulang,
ada juga yang sesak napas, asmanya kambuh,
diberi oksigen dan obat-obat pereda asma,
sebentar juga pulang, ada yang minta disteril,
bahkan ada seorang ibu dengan anak tiga yang sudah remaja minta
divagina-plastis… Wuah.
Saya juga mendengarkan pembicaraan para suster.
Hampir semua bercita-cita jadi bidan dan punya praktek sendiri.
Di luaran banyak bidan yang belum punya sertifikat
tapi nekat buka praktek.
Soalnya gaji di rumah sakit ini terbilang kecil
dan kalau jadi bidan bisa menambah penghasilan sampai
lima jutaan,
jadi mereka pada mencari sertifikat untuk bisa buka praktek
sendiri.
Bagi saya yang sedari kecil hidup di kota
dan cukup mampu bayar rumah sakit,
rasanya ngeri kalau harus melahirkan di bidan.
Di sini, para suster tidak lebih dari asisten dokter,
membantu menyiapkan alat-alat, mencatat obat,
dan berada di sisi dokter dan melihat apa yang dokter kerjakan.
Tapi tidak untuk praktek langsung menolong kelahiran.
Bila ada yang bisa memberi lebih, kenapa tidak dicoba.
Jc tidak bisa terus-menerus berada di kamar bersalin,
disamping itu tidak disediakan kursi untuk duduk,
sehingga dia seringnya duduk di lantai,
mojok, dibawah selang infus,
itupun bingung karena kakinya panjang,
duduknya serba salah.
Jc menunggu saya sambil membaca koran.
Dia baca terus sampai berita tidak penting juga habis dibaca.
Selain itu dia searching berita di internet lewat Hp.
Seharian Hp itu tidak lepas dari tangannya
dan bolak-balik dicharge.
Seringnya sinyal 3G terputus,
mungkin karena ruangan ini mojok dan
dikelilingi tembok.
Saya bilang ke Jc,
sini saya SMS ke company tempat saya bekerja,
menginformasikan bahwa sinyalnya 3G putus-putus.
Tapi Jc melarang, jangan kasih tahu company,
nanti kalau sinyalnya diperkuat, kasihan baby-baby di
kamar sebelah, masih baby udah terkena radiasi.
Segini udah cukup, yang penting
bisa buat nelpon.
Saya meminta Jc daripada bengong menunggu koneksi internet,
mendingan bantu doa koronka.
Dia cuma nyengir aja, cuma mau satu kali koronka
waktu jam tiga siang, jam Yesus wafat.
Pernah juga Jc kepergok suster saat
dia lagi duduk di ranjang dekat kaki saya,
suster memberitahukan bahwa
ranjangnya tidak boleh diduduki,
bebannya bukan untuk dua orang.
Suster sering mengingatkannya
untuk menunggu di luar sambil nonton tv,
biar bisa lebih santai, karena suster sedikit-dikit
memeriksa saya atau tetangga sebelah,
belum lagi saat saya bolak-balik ke toilet
pasti dibantu suster untuk me-nonaktifkan
infus elektronik.
Jc tetap bandel, dia bolak-balik menemani saya,
setiap nongol ke kamar bersalin sering diingatkan suster
untuk buka sandal atau untuk pakai jubah biru.
Saya menunggu sambil tiduran dan koronka,
entah sudah berapa putaran,
kadang pikiran dan koronka jalan sendiri-sendiri.
Tidak ada yang bisa saya lakukan, selain menunggu.
Rasanya seperti berada di sakratulmaut,
dimana hanya bisa dilewati sendirian.
Walaupun Jc berada disisi saya,
memberikan rasa aman dan tenang,
tapi tidak mengurangi rasa sakit atau
mengurangi rasa cemas harus menjalaninya sendiri.
Saya juga berdoa untuk baby,
menikmati saat-saat terakhir bersamanya,
merasakan gerakannya diantara
kontraksi yang tidak pernah lagi reda.
Saya tidak bisa tidur walaupun lampu
sudah dimatikan oleh suster agar saya bisa beristirahat.
Suara suster, ketegangan menunggu, suara tetangga,
membuat waktu rasanya berjalan lambat sekali.
Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya,
pasangan muda dengan anak pertamanya,
akan melakukan aborsi.
Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella.
Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu.
Awalnya mereka pakai Dr Ronny
tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk
mempertahankan baby ini.
Tapi mereka tidak mau baby yang cacat., mungkin saat
lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul
tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun,
kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan,
kata suami itu.
Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana,
sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini,
yang mau melakukan absorsi.
Baby 15 minggu…
hanya beda 2 minggu dari Ancillo sewaktu dokter menvonisnya cacat,
di umur 17 minggu.
Saat itu semua anggota tubuhnya sudah lengkap,
sudah berbentuk manusia yang sempurna,
tidak berhenti menendang dan meninju,
jungkil balik di perut.
Mukanya juga sudah terlihat mata, hidung, telinga
bahkan bibirnya sudah bisa tersenyum.
Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka,
bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya.
Setelah sembuh,
dua bulan kemudian istrinya hamil.
Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya
dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.
Beberapa sanak saudara menelpon menanyakan kenapa diaborsi
tapi mereka menceritakan dengan tenang,
keputusan mereka sudah bulat.
Tidak ada satu pun dari penelpon yang menghalangi aborsi ini.
Mereka malah saling bertukar cerita, di bulan berapa aborsi,
berapa lama dirumah sakit, berapa biayanya.
Dokter bilang chance cacat 75:25.
Dokter lain juga mengatakaan chancenya memang sekitar segitu.
Suami sempat marah berkali-kali ke suster
kenapa istrinya harus lama diinduksi,
kenapa orang lain bisa cepat pulang,
kenapa dokter bilang bisa langsung pulang, pulang hari.
Kemana dokter, kenapa sudah seharian tidak visit juga.
Kenapa dokter tidak kasih penjelasan lebih rinci.
Suster menjelaskan dengan sabar bahwa tiap orang
lain-lain, ada yang cepat pembukaannya, ada yang lambat,
selain itu jalan lahir tidak bisa buka dengan cepat
karena baby masih kecil. Berbeda dengan baby yang
sudah siap lahir, baby sudah besar dan berat
sehingga bisa cepat bukaan dan
jalan lahir memang sudah alami dipersiapkan,
mulut rahim pun sudah lunak.
Bapak musti sabar,
kasihan istrinya kalau bapaknya tidak sabar.
“Iya, saya marah-marah karena kasihan lihat istri saya,
seharian dia kesakitan,” kata suami itu dengan nada tinggi.
“Sekarang mulai panas badannya. Udah kasih tahu dokter
belum, istri saya panas?”
“Saya ngerti, bapak sabar ya, tadi dokter sudah
instruksi obat buat turunin panasnya.
Ini sudah maksimal induksinya.
Dimana-mana pasti sakit, kalau nggak sakit,
nggak mulas, nggak kontraksi, nggak akan ada
bukaan, bagaimana baby bisa lahir, memang begitulah jalannya.
Sekarang bapak tinggal dulu istri bapak, biar dia tidur, istirahat,
perjalanan masih panjang,
ini seharian baru bukaan 1. Biasanya sampai bukaan 10,
tapi karena ini babynya kecil,
nggak perlu sampe 10 udah bisa lahir.
Kita tunggu aja ya, dokter sebentar lagi kemari.”
“Kenapa sih harus di induksi segala,
nggak bisa langsung kuret aja?” tanya suami itu masih dengan nada marah-marah.
“Kuret kalau babynya masih kecil sekali.
Lha, ini kan sudah 3 bulan lebih, sudah lengkap semua,
sudah sedikit besar, menempelnya juga sudah kuat,
memang prosesnya seperti melahirkan
normal, musti ada pembukaan dulu.”
Istri mulai demam. Sesekali terdengar
rintihan kesakitan diantara isak-tangisnya.
Saya hanya bisa berdoa, semoga istri tambah demam
sehingga aborsi bisa ditunda atau batal sekalian.
Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit
dan mulas sekali.
Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya.
Ada satu baby lagi yang berada di sakratulmaut,
karena orangtuanya takut cacat.
Saya mendoakan koronka untuk baby ini,
saya memberi dia nama Ruben,
walaupun saya tidak yakin
doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka,
paling tidak saya berdoa untuk Ruben di saat menjelang kematiannya.
Saya berkata, Tuhan beri saya
kekuatan untuk bilang jangan diaborsi.
Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya terjadi.
Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata,
“babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat,
babynya buat saya saja.”
Saya sendiri kaget,
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya.
Saya yang menginginkan baby,
malah cacat dan pasti meninggal,
mereka yang ada chance baby normal,
malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.
Suaminya menjawab,
“kita juga berdua sayang anak-anak,
tapi kasihan kalau dia cacat,
lebih baik dari kecil kita aborsi.
Kita nggak nyangka dia kena rubella.
Dokter bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga
tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja,
malah sekarang sudah TK,” jawab saya,
jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita
kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan
dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup,
kalau boleh.. , baby itu boleh untuk saya?”
Andaikan boleh, terpikir oleh saya,
dia akan jadi baby yang membawa luka batin
sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh
kalau ada yang menyayanginya.
Suami itu hanya nyengir.
“Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”
Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan.
Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.
Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya.
Begitu mudah manusia membunuh babynya,
padahal masih ada chance untuk normal.
Saya jadi mengerti kenapa sampai sekarang
patung Maria sering menangis,
bahkan sampai mengeluarkan air mata darah,
pasti karena Maria sangat sedih.
Dia yang begitu mencintai bayi-bayi
sejak mereka dalam kandungan,
merasakan sakitnya baby dicabik-cabik,
dibuang oleh kedua orang tuanya,
dibunuh oleh orang dewasa.
Saya lalu rosario, menghibur Maria dan
meminta maaf saya tidak mampu mencegah apapun
untuk baby itu, mulut ini tidak pernah dilatih
untuk berkata-kata mengenai Tuhan.
Saat Jc masuk, dia bingung melihat saya menangis.
“Kenapa, kenapa?” tanyanya cemas.
“Nggak.., cuma mau pilek,” jawab saya berbohong.
Jc tidak bertanya lagi.
Dia cuma berdiri di samping saya,
memandang saya, mungkin dia berpikir saya sedang babyblue.
Kalau saya cerita, pasti saya diomelin Jc
karena ikut campur urusan orang lain.
Hari semakin larut, jam 9 malam belum ada kemajuan,
masih tetap bukaan 4.
Dokter menelpon tiap jam,
sepertinya dia juga cemas,
bagaimana kalau baby tidak bisa lahir juga.
Suster juga mulai cemas,
mulai membicarakan dokter.
“Kenapa sih dokter nggak caesar aja, kan ibunya kasihan,
kecapean kalau kelamaan gini.”
“Stt…,” seorang suster mengingatkan
untuk memperkecil volume suara.
“Ini nggak bisa dicaesar atau pakai epidural,
ibunya punya riwayat HPP,
pendarahan waktu melahirkan anak kedua.
Makanya dokter hati-hati sekali.”
“Kadang nggak abis pikir ama dokter,” sahut seorang suster,
“di satu sisi dia religius banget,
di satu sisi kadang caranya sulit diterima..”
Saya bingung, apa hubungannya religius dengan caesar ya.
Mungkin cuma obrolan biasa,
kan suster yang mengenal dokternya.
Tiba-tiba terdengar bunyi telpon,
suster menanyakan ke pasien yang baru saja selesai kontrol
sudah bukaan berapa.
Apakah sudah mulas-mulas?
Si ibu menjawab belum bukaan dan belum mulas.
Tapi dia yakin akan melahirkan malam ini.
Suster menyarankannya ke kamar bersalin untuk di CTG.
Si ibu datang, seorang yang cerewet tapi riang gembira.
Lalu si ibu langsung di CTG sambil terus mengobrol.
Saat itu belum ada bukaan.
Suster bertanya kenapa dia begitu yakin
akan melahirkan malam ini juga.
Si ibu menjawab karena anak pertamanya
enam jam sudah lahir,
ini anak kedua pasti lebih cepat, gejalanya sama,
ada kontraksi sebentar-sebentar.
Setelah setengah jam CTG, suster memeriksa lagi,
sudah pembukaan 3!
Mereka tertawa, wah benar juga ibu ini,
malam ini bisa lahir kalau bukaannya loncat,
kata para suster.
Merekapun bercanda sambil suster mengisi form
administrasi menanyakan umur ibu,
suami, anak pertama dll.
Tak lama, seorang dokter menelpon,
menanyakan apakah pasiennya sudah sampai ke kamar bersalin.
Dokter mengatakan dia sudah selesai
praktek dan akan segera pulang.
“Jangan pulang dulu ya, Dok,” kata suster,
“sepertinya akan lahir malam ini juga.
Tunggu tiga menit ya, mau periksa dalam lagi.”
Buru-buru suster memeriksa lagi, sudah bukaan 7!
Si ibu masih mengobrol kadang tawanya tertahan saat mulas datang.
Suaminya menyusul, membawakan guling bayi kesayangannya,
katanya istrinya tidak bisa tidur kalau
tidak ada guling tersebut.
Saya tersenyum, lucu, seperti Vincent, sudah umur
enam tahun tapi masih tidur dengan guling bayinya.
Suster menelpon dokter,
“Dok, masih di ruangan atau di parkiran? Ayo balik, Dok, udah bukaan 7.
Udah mau lahir.”
Tidak sampai lima menit dokter muncul,
menyapa semua suster dan
menanyakan apakah mereka mau makan sate.
Semua setuju dan pesan 50 tusuk sate,
10 sate untuk dokter tidak pakai cabai dan lontong.
Dokter bilang, tadinya
dia mau makan seafood di Muara Karang.
Sementara itu, dokter mengobrol dengan
suaminya yang pengusaha alat-alat salon.
Selagi asyik mengobrol, sate baru dipesan, suster
laporan lagi kalau bukaan sudah lengkap,
pasien sudah di kamar tindakan.
Dokter bilang enak kalau pasien kayak begini semua,
katanya ke suami.
Suaminya segera keluar, tidak berani menemani istri,
takut pingsan.
Lalu terdengar suster mulai ramai memberi semangat,
hayo ibu, kepalanya sudah keliatan, rambutnya banyak.
Ibu itu terdengar mengedan 2-3 kali,
tidak terdengar suara tangisan atau teriakan,
hanya usaha kerasnya.
Lalu perlahan kepala bayi keluar,
lalu suster memberi semangat sekali lagi untuk
ngedan yang kuat, untuk keluarkan bahu baby.
Tak lama terdengar baby menangis keras.
Ibu itu pun tertawa riang gembira, enak, lega,
sudah berlalu sakitnya.
Baby laki-laki, berat 3,2 kilo, panjang 50 cm.
Berlari-lari suster memanggil suaminya,
memberitakan kelahiran anak kedua.
Lalu terdengar suster sibuk membersihkan bayi,
suara tangisnya keras sekali, suster juga menelpon
dokter anak, mencari dokter yang masih stand-by
malam itu sekitar jam 10 malam.
Tak lama, suami dan dokter mengobrol lagi
sambil menunggu sate yang belum juga dianter ke kamar.
Suami sudah mendapat kamar di VIP.
Istri bilang mau menunggu di kamar aja, lebih enak,
nanti kalau perlu apa-apa mereka akan panggil suster.
Biasanya pasien ditahan dua jam untuk pemulihan.
Dokter mengijinkan.
Keluarga besar sudah berkumpul di luar,
memberi selamat untuk kelahiran baby.
Saya ikut lega, menyenangkan sekali
kalau bisa menggendong baby sekali lagi,
mendengarkan suara tangisannya yang keras atau
merintih-rintih atau melihatnya tertidur seperti malaikat.
Apakah saya juga punya kekuatan menahan sakit seperti ibu itu,
tidak berteriak sekalipun saat melahirkan,
apakah akan datang saatnya,
dimana saya harus maju sudah gilirannya.
Jc menunggu di kamar 209 yang sudah dipesan dari pagi.
Kamar itu kosong seharian.
Dia stand-by disana. Mungkin tidur-tiduran.
Mama saya ngotot mau ikut bermalam di rumah sakit,
dia begitu takut saya akan kenapa-kenapa.
Bayang-bayang pendarahan seakan
mengatakan saya akan mati saat melahirkan kali ini.
Saat pendarahan yang lalu,
mama saya mengatakan wajah saya sepucat mayat.
Saya sendiri juga bertanya-tanya,
apakah hari ini adalah hidup saya yang terakhir.
Kalau memang terakhir, saya musti bagaimana.
Dua bocah menunggu di rumah.
Mereka sangat menantikan saya kembali
dengan membawa adik baby yang ditunggu-tunggu.
Saya punya keyakinan,
pada akhirnya tiap manusia harus menghadapi kematian
seorang diri, anggap aja proses melahirkan ini
latihan menghadapi kematian.
Yesus sendiri berjanji akan berada di sisi orang-orang
yang percaya padaNya, menjemputNya.
Saya sama sekali tidak takut menghadapinya
mungkin karena tidak ada jalan lain.
Suami tetangga juga diperbolehkan pulang,
agar istri bisa istirahat.
Istrinya tidak mengijinkannya,
meminta supaya suaminya menunggu luar aja,
tidur di kursi.
Tapi suami malah kesenangan diperbolehkan pulang,
dia bertanya ke suster, “kalau istri saya kenapa-kenapa,
saya pasti ditelpon, kan?”
“Iya, pasti dong,” jawab suster.
“Kan sudah ninggalin no Hp,
nomer rumah, pasti ditelpon, nggak usah takut.”
“Tuh, suster aja bilang boleh pulang. Besok gua datang lagi ya, Sayang.”
“Jam 7 pagi bapak sudah harus disini,” suster mengingatkan.
“Kok pagi sekali, Sus? Jam 10 aja ya?
Saya bangunnya siang, mana bisa bangun pagi-pagi?” tawar suami.
“Bapak,” suara suster hampir habis sabar,
“istri bapak sedang berjuang disini, bapak kalau
sayang sama istri bapak, jam 7 sudah disini.”
“Iya deh, kalo bangun,”
sahutnya tidak sabar bergegas pergi.
“Pokoknya musti bisa bangun, aku
miss-call terus,” kata istri sambil menangis.
Jam 10 malam dokter menelpon
suster lagi, menanyakan pembukaan saya.
Suster bilang masih sama.
Lalu dokter berpesan agar induksi saya distop dulu, ganti infus biasa.
Saya diistirahatkan dulu,
kalau dipaksa lagi bisa pendarahan.
Lalu saya disuruh balik ke kamar biasa,
supaya bisa istirahat yang tenang karena
kalau di ruang bersalin tidak bisa istirahat,
banyak kejadian disini.
Besok pagi jam 7 mulai lagi berjuang.
Saya hanya bisa bilang, Tuhan, sudah dong bercandanya.
Saya set tiga tanggal, semuanya meleset.
Hari ini meleset juga, padahal pas hari St. Bernadeth.
Akhirnya saya kembali ke kamar untuk istirahat.
Hampir sama seperti saat melahirkan Vincent dulu,
seharian di kamar bersalin,
balik ke kamar lalu seharian lagi di kamar bersalin.
Vincent lahir sedikit kepagian,
umur 37 minggu karena pecah ketuban,
jadi dokter menahannya dua hari untuk mematangkan
paru-parunya.
Mama dan adik saya lalu pulang, tidak jadi bermalam.
Setelah mengobrol selama satu-dua jam dengan Jc,
saya pun tertidur, sebentar-sebentar terjaga.
Kiranya waktu bersama baby tinggal sesaat lagi, semakin pendek.
Saya benar-benar menikmati saat-saat bersamanya,
walaupun tidak dapat saya membayangkan wajahnya,
wujudnya, tapi lewat tendangannya, gerakannya,
dia telah setia menemani saya berbulan-bulan.
Kami melewati suka dan duka bersama-sama
seperti teman sehati.
Kami suka bercakap-cakap dalam doa, dia selalu bangun,
seakan bilang, saya menemani mama.
Ranjang saya pun basah dengan air mata.
Pikiran saya melayang.
Sudah sejauh ini saya berjalan,
sudah sembilan bulan lebih…
waktu yang tiba-tiba terasa begitu singkat.
Sayang sekali rasanya
sudah mengandungnya sekian lama,
tapi baby tidak bisa dibawa pulang.
Saya sampai tidak bisa bernapas lagi karena hidung berair,
seperti pilek yang sangat berat
sehingga harus bernapas dengan mulut.
Jam 5 pagi, dua orang suster datang untuk tensi,
saya hanya memberi tangan saya untuk tensi
dan tidak melihat suster tersebut.
Saya menyembunyikan wajah saya yang pasti sembab.
Tensi normal, lalu suster yang satu lagi mendopler jantung baby, stabil.
Lalu saya sarapan dan
bersiap-siap karena suster sebentar lagi akan menjemput.
Belum jam 7 suster sudah datang dengan kursi roda,
membawa saya kembali ke kamar bersalin di lantai
yang sama.
Suster yang tadi malam masih sama,
menyapa saya dengan ramah.
“Bisa tidur? Hayo kita berjuang lagi ya,
moga-moga hari ini bisa lahir.”
Saya membalas senyumnya, pasrah.
Suster memeriksa pembukaan, masih 4,
dan dopler bagus.
Suster mengganti infus biasa dengan infus induksi.
Sepagian para suster ramai sekali,
semuanya terdengar ceria,
rupanya jam pergantian shift.
Pasiennya juga hanya saya dan tetangga.
Bukaannya sudah mencapai 3,
sudah tidak panas lagi.
Saya mendengarnya sedang menangis.
Terdengar suster mengobrol.
“Kemarin malam Dr. Tjien praktek sampai jam berapa?”
“Tengah malem deh,”
jawab seorang suster.
“Yee…tepatnya jam berapa dong?” suster lain
menimbrung.
“Jam setengah satu, pasien terakhir,” jawabnya santai.
“Masa sih?” potong seorang suster.
“Padahal jam 6 kurang, saya nelpon untuk bangunin
dia, operasinya dimajuin jam 6.30 karena dokter anak bisanya lebih pagi.
Eh begitu saya mau ganti baju dinas di ruang prakteknya,
jam 6, dia sudah duduk di kursinya, senyum-senyum,
seger banget, seneng dia bisa ngangetin orang.
Saya sampai loncat saking kagetnya.”
Semua suster tertawa.
“Apa dia nggak tidur ya?
Dia itu orang atau bukan sih?
Kok kuat banget, nggak ada capenya.”
Obrolan pagi yang menyegarkan.
Tidak lama suster menghampiri saya,
“Ibu, saya periksa dalam dulu ya.”
“Lha, barusan udah. Masih sama, 4,”
kata saya sedikit protes.
“Ini pergantian shift, jadi harus ada serah terima.”
Ampun, pikir saya dalam hati, mau gimana lagi.
Setelah periksa, suster bilang sebentar lagi dokter visit,
jadi boleh istirahat lagi, simpan tenaga dulu.
Terdengar di kamar tetangga,
istri berkata ke suaminya,
“gua mau pulang aja.
Daripada gua dan baby kesakitan,
mending nanti aja pas sembilan bulan,
sakitnya sama.”
istri makin keras menangisnya, gelisih sekali.
Suaminya malah membentaknya.
“Terserah lu deh.
Dulu, siapa yang bilang mau aborsi?
Lu berani tanggung akibatnya?
Lu mau kita berdua susah?
Gua sih nggak mau.
Udah deh, nggak perlu nangis-nangis gitu.
Lu kalau mau pulang,
ayo pulang sekarang.
Nggak usah tunggu dokter,
kita langsung bilang suster mau
pulang sekarang juga.”
“Gua bingung…,” kata istri perlahan, tangisnya makin
kencang.
“Nggak usah bingung-bingung,” kata suami tambah marah.
“Gimana dong? Perut gua sakit sekali.
Gua nggak tahan lagi kalau harus tunggu bukaan
lagi. Gua mau pulang… mau pulang…pokoknya mau pulang..”
“Sus!” teriak suami
dari dalam kamar tidak sabar.
“Sekarang gimana?
Istri saya mau sampai kapan ditahan disini?
Kasih saya penjelasan dong.
Mau tunggu sampai bukaan berapa ?
Dokter mana, pagi ini visit jam berapa?”
Di depan semua suster membisu,
suasana tegang.
Tidak lama ada seorang suster menghampiri suami itu.
“Bapak sabar ya, sebentar lagi dokter visit,
tadi sudah nelpon.”
Lalu suster itu buru-buru keluar lagi,
tidak berani berlama-lama di hadapannya.
Dalam hati saya bilang, jangan aborsi, jangan aborsi,
ayo masih keburu, ayo fight.
Sepertinya istri mulai berubah pikiran
untuk mempertahankan babynya.
Tidak lama terdengar dokternya datang.
Akhirnya saya menemukan jawaban atas
pertanyaan saya selama ini.
Saya ingin sekali menanyakan ke Dr. Ronny,
sekiranya waktu itu saya mau aborsi,
dokter siapa yang akan dia rekomen.
Tapi saya tidak berani bertanya,
mungkin juga selamanya dokter tidak mau menjawab.
Dokter mana yang hati nuraninya sudah tidak peka lagi.
Soalnya dari semua dokter di rumah sakit ini,
semuanya saya pernah lihat.
Karisma dokter selalu membuat saya terpesona.
Suara dokter itu sangat familiar di kuping saya.
Vincent diplanning olehnya tujuh tahun lalu.
Juga, sehari sebelum Francis lahir,
saya sempat kontrol ke dia karena dokter Yani
sedang cuti panjang.
Kenapa hari ini suaranya terdengar begitu dingin.
Saya menggigil. Saya menarik selimut tebal
menutupi leher. Saat eksekusi semakin dekat.
Kemarin siang saat dari toilet,
saya sempat bertatapan dengan dokter ini,
jaraknya berdiri kira-kira lima meter dari saya.
Saya berada di ruang tindakan di pojok kanan
sedangkan dia berdiri di tengah-tengah ruangan.
Auranya menyebar ke seluruh ruangan.
Kaki saya langsung berhenti melangkah.
Berdiri tak bergeming di sana.
Kenapa tampangnya begitu gelap?
Kenapa saya ketakutan melihat dia?
Begitu dokter melihat saya,
dokter langsung memanggil suster,
suaranya penuh wibawa,
“Suster, itu ada pasien, kenapa dibiarkan sendirian ke toilet?
Bawa-bawa infus lagi.”
Seorang suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri saya,
mengambil alih botol infus yang saya pegang,
membantu memegang belakang baju saya yang sedikit terbuka,
menggandeng sebelah tangan saya.
Barulah saya berani melangkah.
Saya gemetar melewati dokter, was-was.
Matanya yang tajam menatap saya,
mengikuti langkah saya.
Semoga dia tidak ingat saya pernah jadi pasiennya,
kata saya dalam hati.
Dokter memeriksa pembukaan.
“Oke,” kata dokter singkat. “Bukaan 3.
Cukup. Pindah ke kamar tindakan,”
suaranya seakan memerintah para suster.
“Sebentar lagi kuret,” kata dokter pada suami.
“Sekarang lagi disiapin alatnya.”
“Pagi ini juga, Dok?” tanya suami antusias.
“Berarti siang ini boleh pulang?” tanyanya lagi, penuh harap.
Penantian panjangnya segera berakhir.
“Iya. Siang ini boleh pulang,” jawab dokter pendek,
seperti enggan berbicara, harus melakukan sesuatu
yang sama sekali tidak disukainya,
tapi terpaksa harus tetap dilakukannya juga.
Harus ada satu orang, untuk mengeksekusi tindakan ini.
Dengan demikian, roda rumah sakit ini dapat terus
berputar.
Lalu suster menghantar suami itu sampai ke pintu keluar,
katanya,
“bapak tunggu di depan sampai selesai tindakan ya,
jangan jauh-jauh, jangan kemana-mana.”
Suster tendengar menyiapkan peralatan,
suara besi-besi kecil beradu,
ada juga suara suster berlari-lari
mencari alat yang biasa dipakai dokter ini,
terdengar suaranya cemas, siapa sih yang pinjam alat si dokter
dan tidak mengembalikannya di tempat semula.
Sebelum kena marah dokter,
alat itu harus sudah ketemu.
Suasana tegang.
Istri terdengar melangkah lunglai,
perlahan memasuki kamar tindakan,
masih terdengar isak tangisannya tertahan.
Kenapa waktu tidak dapat berhenti atau diputar mundur,
kembali ke masa pacaran yang indah.
Sapu tangan tebal yang sejak semalam menutup dahinya
supaya tidak silau terpapar sinar lampu yang berada tepat
diatas kepalanya, sempat juga buat
kompres saat panas tinggi, digenggamnya erat-erat,
terasa setengah basah, sudah buat lap airmata dan ingus,
terlihat lusuh, jadi saksi bisunya.
Saya hanya bisa berdiam diri, bersembunyi di balik horden
abu-abu tebal yang tinggi,
tertutup rapat hingga tidak ada celah sedikitpun untuk mengintip,
semua begitu mencekam.
Saya menangis diam-diam.
Perih sekali rasanya. Jangan dibuang..,
jangan dibunuh..
Namun, seberapa kuat saya berteriak dalam hati,
mulut ini terkunci rapat.
Siapa berani bersuara di saat begini?
Air mata saya mengalir terus.
Tuhan, dimana Engkau?
Bukankan Engkau ada dimana kehendakMu terlaksana?
Apakah ini juga kehendakMu?
Bunda, jangan menangis lagi.
HatiMu sudah cukup lama berduka hebat.
Sesosok bayi mungil akan dipaksa lahir,
dicabik-cabik, diremas, diperas,
disakiti sedemikian parah,
hingga sosoknya tidak lagi berupa
malaikat kecil yang dikirim Tuhan ke bumi.
Kemana dia dapat berlari, kemana
dia dapat bersembunyi, kemana dia dapat meminta tolong?
Seperti sebuah kisah tentang bayi dan malaikatnya,
kali ini malaikat pelindung mengikari janjinya sendiri,
malaikat pelindung surga itu telah berkata bohong padanya.
Kata malaikat itu sesaat dia meninggalkan surga menuju bumi,
bahwa akan ada malaikat lain yang akan melindunginya di bumi,
taman mirip surga, yang akan mengajarinya
bahasa bumi yang tidak dimengertinya,
bahasa paling indah yang akan pernah
didengarnya, puisi penuh makna cinta,
bahwa malaikat itu akan melindungi dirinya
walaupun tahu dapat membahayakan nyawa malaikat itu sendiri,
malaikat yang akan menemani sepanjang hidupnya di bumi,
menjaganya, merawatnya, memberinya kehangatan,
mendekapnya, mengajarinya segala hal yang indah-indah, malaikat yang
akan menunjukkan jalan kembali ke surga,
malaikat yang akan dia panggil ‘ibu’.
Namun rahim ibunya sekarang,
tempat perlindungannya yang paling aman dan nyaman,
yang telah membuaikan tidurnya selama berbulan bulan
dengan mimpi indah berceritakan kasih sayang,
tempatnya menggantungkan harapan akan sebuah
kehidupan baru yang akan membuatnya takjub,
akan segera dilewati oleh bilah pisau yang tajam mengkilat,
menyayatnya sedikit demi sedikit mulai dari kaki
tangannya, perutnya, dadanya, menikam jantungnya,
kemudian mengikis paru-parunya
yang selama ini merindukan udara pertama,
menghancurkan anggota-anggota tubuhnya
yang hampir terbentuk sempurna, mengiris satu-persatu dagingnya,
mematahkan tulangnya, mengoyakkan nadinya,
merampas jiwanya perlahan sampai seutuhnya
terhempas, kemudian menyeretnya keluar
tak dibiarkan bersisa sedikitpun.
Siapakah yang akan mendengar dia menjerit kesakitan?
Siapa yang peduli?
Salahkah aku bila terlahir cacat?
Saya tidak dapat bernapas, saya berusaha keras
menghirup sebanyaknya udara yang pekat
dan menyesakkan ini dengan mulut terbuka lebar,
lalu membuangnya sedikit-sedikit, begitu perlahan,
takut suaranya kedengaran keluar.
Tidak lama semua suara lenyap.
Pintu kamar tindakan ditutup rapat-rapat,
tidak dibuka lebar seperti biasanya.
Kengerian memenuhi seluruh ruangan.
Sunyi. Hampa.
Bahkan tidak ada seorang suster pun yang
berani bersuara.
Berduka.
Seorang bayi tak dikenal, bukan anak, bukan
saudara, mati di hadapan semua.
Kemudian disemayamkan di dalam sebuah plastik
kresek hitam murahan.
Wujudnya tinggal berupa potongan-potongan tubuh
berwarna-warni, merah nadi, putih tulang, ungu hati,
kuning plasenta, tinggal dijinjing dibawa pulang orang tuanya,
mau dikremasi atau di kubur, sama saja,
sudah berada di luar dimensi yang bernama kehidupan.
Satu jiwa tak berdosa kembali ke surga
di tangan orang dewasa yang berprofesi mulia,
berjubah putih mengkilat sama mengkilatnya
dengan pisau yang dipakainya untuk membunuh,
seperti yang diminta oleh orang dewasa
yang menyebut dirinya orang tua,
yang rela membayar harga ini dalam bilangan jutaan rupiah,
yang mengenyahkannya demi sepotong harapan
tidak ada kesusahan berkepanjangan di masa depan,
yang takut menerimanya baik cacat maupun tanpa cacat,
yang tidak mengharapkannya.
Seketika itu juga malaikat pelindungnya
datang dari surga menjemputnya,
karena malaikat lain di bumi telah ingkar akan janjinya
untuk menunjukkannya jalan kembali ke surga.
Saya koronka, hanya doa yang bisa
menemani Ruben kembali ke sisi yang ilahi.
Tiba-tiba, seorang suster mengejutkan saya,
menjengukkan kepala dari balik horden,
“ibu…,” bisiknya hampir tak terdengar,
“dokter sudah mau visit..”
Set,set,set, set terdengar suara
kaki dokter yang bergerak cepat. Bruk, terdengar pintu terbuka
lebar.
“Selamat pagi!” sapa dokter riang gembira,
memecah keheningan ruangan.
Sapaan dokter kali ini tidak ada yang menjawab.
Mungkin juga tidak ada yang menoleh.
Suster-suster masih mematung. Membisu.
Dari tengah ruangan
dokter berseru dengan semangat,
“Yenny, lu yang dimana?”
Dokter menunggu
jawaban di antara tiga ruangan berhorden.
“Paling pojok, Dok, dekat tembok,”
kata saya.
Dokter celinguk.
“Gimana, sayang, lu bisa tidur semalem?”
tanyanya sambil tersenyum.
“Habis bukaan lu nggak maju-maju, mending lu
diistirahatkan dulu. Hari ini kita coba lagi. Sini, gua periksa.”
Seorang suster buru-buru menyusul masuk,
soalnya Dokter terlalu gesit,
mendahului susternya.
“Eh?” dokter menatap heran begitu melihat wajah saya dari dekat.
“Kenapa lu? Pilek ya?” tanyanya cemas.
“Iya nih, tiba-tiba pilek..”
padahal mata saya pasti sembab,
habis menangis barusan.
Lalu saya menarik turun bantal
kepala, menutupi sprei yang basah airmata.
“Sus, ” pesan dokter,
“abis ini langsung kasih Yenny clarinase ya, 2x1 ya.”
Dokter langsung memeriksa, masih
bukaan 4, setelah menekan perut saya sana-sini,
mendorong baby untuk lebih turun lagi,
dengan sedikit kecewa katanya,
“hari ini kita coba induksi, kalau sampe
siang belum nambah juga, lu pulang dulu deh,
jalan-jalan dulu, seminggu balik sini lagi.
Baby belum mau lahir, kita juga nggak bisa paksa.
Lu juga nggak bisa dinduksi terus,
ini sudah maksimal,
percuma juga kalau nggak nambah bukaan.
Jadi biar dia alami aja.
Mulut rahim juga masih tebal banget.
Nah, nih kencang lagi,
tapi nggak mau nambah. Sakit?”
“Nggak. Kalau hadap tengah berasa sakit dikit,
kalau miring, nggak sakit sama sekali.
Mungkin musti setengah duduk kali, Dok,
biar baby lebih nekan ke bawah,” kata saya.
“Oya?” alisnya terangkat, dahinya
berkerut, dokter langsung menyetujuinya.
“Oke, kita coba.”
Suster segera memutar tuas di ujung ranjang
menaikkan bagian kepala sehingga posisinya
setengah duduk.
“Coba baby mau muter pantat dulu..,”
kata dokter sambil berpikir keras.
“Mustinya lebih ada penekanan.
Sekarang kepala di bawah, lebih
susah dia mau nekan. ”
“Kalau ketubannya dipecahin, Dok?” tanya suster.
“Lebih gampang nggak?”
“Jangan,” jawab dokter cepat.
“Justru ini bagus, masih ada ketuban,
dia lebih berat, nanti lahir lebih licin.
Kalau ketuban dipecahin,
penekanan berkurang, lahirinnya juga lebih susah.”
Lalu dokter kasih instruksi ke suster untuk menaikkan
induksi jadi 40.
Saya kaget campur bingung karena
dokter menyuruh pulang lagi.
Padahal saya berharap pagi ini
dokter akan bilang kita caesar aja
atau kita coba epidural.
Frustasi sudah 24 jam masih pembukaan 4.
Kalau pulang rumah, repot juga,
kalau kenapa-napa, siapa yang mengantar ke rumah sakit,
Jc musti ngantor, tidak bisa temani saya
lama-lama.
Lagian, mau jalan-jalan kemana dengan bukaan 4 ini,
atau masuk kantor lagi. Bisa kacau.
Baru setengah jam dengan posisi setengah duduk,
jam 9.30 tiba-tiba ketuban pecah.
Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”
Bukan karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas
tiba-tiba pengikatnya ditarik, terbuka dan tumpah.
Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di
Hp langsung loncat berdiri, panik,
“Ha? Kenapa? Kenapa?”
“Ketubannya pecah,
banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster,
entar gua call ya kalau udah beres.”
Jc buru-buru keluar sebelum suster datang,
dia masih khawatir.
“Sus,” panggil saya.
“Ketubannya pecah.”
Dua orang suster langsung datang,
seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub.
Lalu suster menolong saya menggantikan baju,
mengganti sprei dan selimut.
Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar.
Tak lama, seorang suster lain datang,
mengepel lantai, karena basah kemana-mana,
tumpah-ruah.
Perut langsung mengecil, lebih ringan.
Setelah rapi dan bersih semua,
Jc diperbolehkan menemani saya lagi.
Dia kembali duduk di pojokan,
tangannya tidak bisa lepas dari Hp searching berita.
Bosan juga dia menunggu, koran hari ini juga sudah habis dibacanya.
Saya memintanya menghitung mulas saya pakai stopwatch dengan Hp,
tapi karena dia tidak konsen,
jadinya timingnya juga tidak pas,
akhirnya dia menyuruh saya coba stopwatch
sendiri.
Jadilah saya main stopwatch,
menghitung mulas,
tahunya sudah dua menitan.
Jc membantu memberi saya minum pakai sedotan
karena mulut saya kering terus.
Saat kontraksi datang,
saya membuang napas perlahan melalui mulut.
Hampir tiap lima menit saya minum seteguk air.
Saya sudah tidak boleh sendiri ke toilet lagi,
karena sudah pecah ketuban, terpaksa pipis di ranjang,
pakai pispot.
Jam 11 siang, bukaan bertambah, jadi 5.
Baby sudah muter tanpa saya sadari.
Mungkin baby mendengar kata-kata dokter tadi pagi,
suster yang memeriksa bukaan menunjukkan satu tangannya
penuh mekonium baby,
ee pertama baby, warnya hijau kehitam-hitaman.
“Nggak mungkin,” kata saya. “Masa muter,
kapan dia muternya? Kok nggak terasa?”
Suster berkeras kalau memang mekonium
itu diambilnya dari pantat baby.
Lalu suster melapor ke rekannya yang lain,
suster lainnya juga tidak percaya kalau baby mutar,
kata mereka belum pernah ada
kejadian baby di kamar bersalin masih mau mutar,
apalagi ini sudah masuk 42 minggu.
Saya masih sempat SMSan dengan beberapa teman kantor
mengabarkan bukaan. Tadi saya sempat bercanda,
kalau disuruh pulang seminggu
nanti saya ke kantor aja, biar deket ama Jc
yang kantornya hanya di depan mata,
bisa jalan kaki. Teman saya malah balas SMS,
katanya, belanja mainan aja di Pasar pagi.
Mereka ikut deg-degan mengikuti proses melahirkan normal.
Karena sering bernapas dengan mulut,
tenggorokan saya terasa kering dan membuat saya kesedak
batuk-batuk.
Ketika batuk yang kencang sekali,
air ketuban keluar lagi
lumayan banyak sehingga baju saya basah semua.
Kembali suster menggantikan
seprei dan baju saya lagi,
kali ini baju saya kotor karena air ketubannya sudah
tercampur dengan mekonium baby.
Saya akui, suster di rumah sakit ini baik
semua, sabar, tidak seperti di rs lain.
Sewaktu saya melahirkan Francis, saat
pendarahan, saya sendirian di kamar,
karena Jc tidak diperbolehkan menemani
setelah lewat pemulihan.
Seorang suster malah memarahi saya.
“Ibu, kalau mau ee jangan sembarangan dong,
kan saya jadi repot.”
“Rasanya bukan ee, Sus,
keluarnya beda,” kata saya lemah
, karena masih ada pengaruh epidural setelah
melahirkan, jadi saya tidak tahu cairan apa
yang keluar memenuhi ranjang saya.
Begitu suster menggantikan alas tidur saya,
saya sempat melihat bahwa
itu darah segar, bukan ee,
banyaknya sekantong plastik besar.
Tidak lama darah keluar lagi,
sebanyak yang pertama.
Saya sempat memanggil suster itu dan
bilang,
”Sus, sorry, kayaknya keluar lagi…”
Suster marah-marah, katanya,
“Ibu tahan dong ee-nya..”
Setelah itu saya tidak mendengar apa-apa lagi, tiba-tiba
tidak sadarkan diri. Saya kapok melahirkan di rumah sakit itu.
Di sini berbeda, suster menggantikan selimut saya
juga walaupun kena air ketuban sedikit,
saya melarang suster menggantinya, sayang, baru saja diganti.
Tapi suster bilang, biarin diganti aja, nanti dokter marah kalau tahu.
Biar ibu rapi, ranjang rapi, jadi kalau dokter visit,
juga enak lihatnya.
Jam 12.30 mulas mulai sering terasa.
Makan siang sudah tersedia.
Lalu saya makan disuapin oleh
Jc, disela-sela mulas.
Jc ikutan makan, dia kelaparannya lagi.
Menunya begitu menggoda.
Satu jam sebelumnya dia sudah makan bihun goreng di bawah,
tapi buru-buru.
Lagian makanan di bawah kurang enak.
Jadinya saya makan satu sendok, buru-buru menelan,
lalu saya akan mengeluarkan napas panjang dan suara
‘aaa..aa’ kecil-kecil menahan sakit.
Saya berpikir kalau sakitnya sampai
lahir segini aja, masih bisa tahan.
Ketika mulasnya lewat, saya pasti berkata,
“ah, leganya… ayo cerita lagi, ayo makan lagi, suapin lagi.”
Seru. Berlomba dengan waktu.
Bistik ayamnya enak sekali.
Supnya juga enak, enak semua, ada
pudding pink juga.
Saya makan setengah piring,
cukup banyak juga karena takut
tidak ada tenaga.
Mulas datang tiap menit,
lamanya sekitar 30 detik baru pergi.
Saya masih sambil main stopwatch.
Abis itu saya SMS ke teman bilang bahwa
SMSnya stop dulu, karena sudah mulai mulas.
Tidak keburu ketik SMS lagi, belum send udah datang lagi mulasnya.
Saya coba mengatur napas seperti yang saya baca
di buku-buku.
Ternyata buku banyak bohongnya, saat mulas datang,
mau tarik napas panjang atau tarik napas dikit-dikit
atau buang napas panjang, sakitnya tidak berkurang,
cuma bisa menahan sakit sampai dia pergi sendiri.
Induksi sudah dinaikkan ke 60 sejak pembukaan 5,
tetesannya mengalir cepat.
Selesai makan, suster memeriksa pembukaan lagi,
sudah hampir 7, katanya riang, jadi juga
lahir hari ini.
Jam 13.30 pembukaan 8, jantung baby didopler masih bagus.
Suster bilang kalau kali ini dia pastikan
memegang pantat dan scortum baby.
Kali ini mekonium baby juga banyak,
kata suster, babynya ee dulu, biar lahir nanti
perutnya sudah bersih.
Saat mau diperiksa dalam, saya sempat bilang tunggu
sebentar, karena pas mulasnya datang,
begitu mulasnya pergi baru boleh cek.
Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter.
Jc langsung menelpon adik dan mama saya
karena sudah diwanti-wanti untuk kasih
kabar kalau sudah bukaan 8,
mereka mau ikut menunggu kelahiran.
Pas jam 14.00
dokter muncul dengan riang gembira,
jalannya super cepat.
Memang begitu gayanya.
Saya teringat sewaktu Vincent diopname,
saat dia bobo, saya sempat
duduk-duduk di ruang tunggu anak di lantai 1
sambil nonton tv di dekat balkon.
Dari sana terlihat ruang praktek dokter
di hall lantai dasar. Tiba-tiba terlihat
dokter bergegas keluar dari ruang prakteknya,
menghilang lewat pintu samping,
dalam sekejap mata dokter muncul di kamar bersalin lantai 2,
tidak lama dokter menghilang,
muncul lagi lewat pintu samping di lantai dasar,
langkahnya begitu ringan seperti orang lari,
masuk kembali ke ruang prakteknya.
Saya tersenyum sendiri waktu itu.
Keren. Seperti menonton pertunjukkan sulap.
Bisa menghilang.
Sebentar muncul disini, sebentar muncul disana.
“Yenny, lu udah siap?” kata
dokter penuh semangat.
“Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga
udah habis.”
Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir
dan mengobrol ama suster yang sedang
menyiapkan kamar tindakan.
Dokter juga memeriksa dan menyemangati satu pasien
yang baru masuk, hendak dipasangkan epidural.
Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya,
katanya,
“ibu, kalau mau ee bilang ya.”
“Saya belum mau ee,” kata saya.
Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi,
“Sus, mau ee, gimana nih?”
“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”
Saya masih bingung, gimana
caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.
Suster langsung beres-beres,
melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya,
mendorong ranjang saya ke kamar tindakan.
Lalu saya pindah ke ranjang tindakan.
Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir.
Ruangan tindakan dingin sekali
sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal.
Lalu kedua kaki dibentangkan.
Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit
selimut kain putih yang tipis biar hangat.
Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan
sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”
“Sttt, jangan teriak, ibu,”
buru-buru suster memperingatkan saya.
“Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya
untuk ngedan saja.”
“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil
mengatur napas.
Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.
“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?”
tanya saya sambil mencengkram lengan
suster erat-erat.
Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil,
untuk refresh memory saat mengedan,
tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena
tiap hari dari kantor pulang malam.
Boro-boro mau latihan napas.
Sampai di rumah langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil
yang cerewet ditambah dua unyil
lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.
“Ibu, tarik napas panjang… terus buang ‘haaaa’,”
kata suster yang juga guru senam hamil.
Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang,
tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir
saya, yang penting masih bisa napas.
Jc berada di sisi saya.
Saya selalu kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan.
Suster mengingatkan minum hanya untuk membasahi mulut aja,
jangan banyak-banyak.
Tiba-tiba kedua tangan
saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal,
“Sus, kaku nih, gimana?”
tanya saya.
“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata
suster sambil menggiring tangan saya memegang besi
untuk menarik badan saat ngedan.
Mengurut-urut tangan saya.
Jc membantu menekukkan jari saya sebelah
kanan untuk memegang besi itu.
“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,”
pinta saya.
“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup,
nanti tangan kamu
biru-biru.”
“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.
“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru,
besok baru berasa sakitnya,” jawab suster
dengan sabar.
Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi,
menggulung lengan kemeja panjangnya,
memakai sarung tangan dan siap-siap duduk
di kursi tindakan.
“Hebat dia,” puji dokter.
”Untung mutar pantat dulu, kalau nggak, bisa lebih lama lahirnya.
Padahal pas gua cek terakhir, masih kepala.”
“Dok..,” tanya saya,
“sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?”
saya takut banget digunting.
Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya
lagi.
“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,”
janjinya.
Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray
betadin.
“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat.
“Tuh udah keliatan pantatnya,
tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat ya.”
Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya,
padahal dari tadi AC udah gua matiin.”
“Iya.. dingin banget,” sahut saya
menggigil.
“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua
stop,” kata dokter.
Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya
terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga.
Suster mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah,
seperti hendak ee yang keras sekali seperti batu.
Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar.
Saya mengedan beberapa kali.
Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan. Bagus,
bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.
Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong,
tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda
pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”
“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai.
Dokter dan suster berhenti
menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.
Dengan sabar dokter menunggu
sambil mengobrol dengan suster-suster.
“Lu orang pada mau makan padang nggak?”
“Nggak mau ah, kalo padang, baru aja makan,” jawab suster.
“Emang Dok belum makan? Udah jam berapa nih?”
“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya?
Bosan makan soto.”
Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya
sumringah, kocak banget, katanya,
“Lu orang cakep bener sih hari ini.”
“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.
“Pakai safari biru. Nggak kayak suster
deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini
resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua
suster tertawa.
Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada bercanda.
Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster,
mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.
“Kalau di desa,” kata dokter,
“mau lahir sungsang nggak masalah.
Tapi orang kota malah takut setengah mati,
pada minta dicasesar.
Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau
caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain.”
“Betul, Dok,” jawab suster,
“sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”
Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.
“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter.
“Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo
dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.
Lalu dokter dan suster kembali bercanda disela-sela saya ambil napas.
Semuanya santai.
Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya
untuk menjadi pijakan bagi kaki saya.
“Dok, nahannya musti gini, nih,”
kata suster sambil menyampingkan badannya.
“Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”
“Pinter betul lu!” dokter memuji.
“Jadi seperti pijakan ya.”
Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga
sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya
seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat.
Satu suster berada di atas kepala saya,
melap muka saya yang keringatan.
Jc bertugas membantu angkat kepala saya saat ngedan,
“Ayo, dikit lagi, semangat,” bisiknya di kuping saya.
Jc melihat saya seperti mau tidur-tiduran,
padahal saya sedang menghimpun tenaga buat ngedan
berikut sambil tunggu puncak mulas datang lagi.
Suster sempat akan memasangkan oksigen ke hidung saya,
tapi saya menolak karena bikin ribet.
“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya
terengah-engah hampir kehabisan napas.
“Dikii.iiit lagi...,” jawab dokter sambil tersenyum.
“Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat.
Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa.
“Ayo, coba lagi, gua tungguin kok,
kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.
Lalu saya mengedan lagi beberapa kali.
Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat,
baru gua gunting, ya.”
Kata ini yang paling membuat saya lega.
Sampai juga di ujung. Kirain tidak berujung.
Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari
Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata.
Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati,
lalu saya meminta selimut tebal di
atas dada saya dilepas, karena kepanasan,
dan supaya tangan suster bisa bantu
mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat,
napas juga sanggupnya pendek-pendek, lelah, mulas.
Saya menarik napas panjang, menahan dan
mendorong sekuat tenaga,
dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang
bulat perlahan keluar.
Saat yang sama dokter menggunting perineum,
rasanya lebih enak karena keluarnya jadi lancar,
tidak terasa sama sekali saat digunting.
Suster bantu mendorong dengan tangannya yang kuat,
saya menarik napas kedua,
semuanya terlihat, punggung bayi keluar perlahan.
Dokter sudah menangkap baby dengan kedua tangannya,
dan … bayi melesat keluar! Utuh, menekuk
mencium lutut, seperti dipress.
Whuaaa! Selesai! Leganya! Semua sakitnya
hilang. Lenyap begitu aja.
Saya menaruh kepala saya, tenaga saya habis, baru
bisa bernapas sedikit panjang, tapi masih ngos-ngosan juga.
Dokter memegang baby dengan kedua tangannya,
mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa
melihatnya.
Baby tidak menangis, dia terkulai diam.
“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.
“Ya…,” jawab dokter pelan.
“Baru aja meninggal.., masih
merah, sesaat mau lahir, dia pergi...”
Dokter membetulkan posisi baby yang
masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati,
satu tangan lagi menahan pantat baby,
terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah
menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…
Saya melihat jam di dinding, jam 2.30 siang,
jam yang sama ketika Yesus berada di salib menjelang wafatNya.
Jc langsung menangis begitu melihat baby.
Saya tidak menangis,
tidak punya tenaga lagi untuk menangis.
Jc merangkul kepala saya, dia
menyembunyikan wajahnya dan menangis di kuping saya.
“Jangan nangis..,” pinta
saya perlahan sambil meraih kepala Jc.
“Saya aja nggak nangis..”
Saya tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.
Dokter menyerahkan baby ke suster.
Suster bertanya ke saya,
“mau lihat?”
“Ya…,” kata saya lirih.
”Saya mau lihat siapa
yang selama ini nakal di perut saya.”
Perlahan Jc mengangkat wajahnya,
tetes-tetes air matanya berjatuhan.
Mencoba berdiri tegar di sisi saya.
Lalu Jc meninggalkan saya dan menghampiri suster.
Saya melihat baby sebentar, serasa
tidak percaya, baby cakep sekali.
Perlahan saya membelai dengkulnya yang masih
menekuk,
membelainya sampai ke kakinya. Kecil sekali kaki-kakinya.
Mungil sekali. Masih ada sedikit bercak darah di sana sini.
Kulitnya masih terlihat keriput.
Ancillo telah pergi diam-diam.
Lalu suster membawanya pergi, tidak
memberi saya kesempatan lebih lama sedikit untuk memperhatikan
baby.
“Yenny..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga….,
dia menunggu lu di surga.”
Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah
pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.
Seorang suster yang berdiri di dekat
saya berkata perlahan, “Dok.., saya juga punya satu tabungan di surga.”
“Saya nggak tahu.., kapan?” tanya dokter menoleh padanya.
“Pergi umur dua tahun, Dok,” jawabnya sedih. ”DS”
“Dia juga sedang menunggu lu di surga,” hibur
dokter.
Jc terus berada di samping suster, mendampingi baby.
“Mirip siapa?” saya bertanya pada Jc.
“Antara Vincent dan Francis,” jawab Jc.
Lalu dokter meminta saya untuk sekali lagi mengedan,
tidak perlu kuat-kuat, untuk keluarkan plasentanya.
Sambil menekan perut saya, plasentapun
keluar dengan mudah. Tidak terasa sakit.
Dokter lalu menyuntikkan bius local
sebelum menjahit, “gua tambahin satu suntikan,
jadi tiga, biar lu nggak rasa sakit ya.”
Saya diam aja, memperhatikan suster menimbang baby.
“Beratnya 2410,” suster melapor.
Dokter langsung membalikkan badan, menoleh ke suster,
“coba timbang lagi, masa cuma 2410, gede kok.”
“Bener kok, Dok, tuh 2410,”
suster sambil menunjukkan jarinya di timbangan.
“Cuma segitu ya..,” guman dokter.
Badan baby cukup besar, sebesar baby 3 kilo lebih,
ternyata otak dan tempurung beratnya sekitar sekilo sendiri.
Panjangnya 46 cm.
Jc mengambil beberapa foto baby.
Sehabis menyuntik dokter langsung menjahit.
Saya sempat terpikir, apa nggak kecepatan,
rasanya obatnya belum berfungsi.
Tapi memang tidak terasa sakit.
Saya bertanya perlahan, tenaga saya belum pulih,
“Dok.., disini ada nggak orang yang nggak mau babynya,
terus babynya ditinggal?”
“Gua nggak tahu. Kenapa?” tanya dokter.
“Kalau ada.., saya mau adopsi.” Saat ini
saya ingin sekali bisa membawa pulang seorang baby.
“Ngapain lu adopsi?”
tanyanya heran, tangannya berhenti bekerja.
“Kalau lu masih bisa lahir sendiri,
lu nggak bisa sayang anak adopsi.”
“Mau yang instant.., cape hamilnya..”
“Lu habis ini hamil lagi. Satu lagi.”
“Jangan deh, Dok..,” potong Jc, sambil menghampiri saya,
menanyakan dimana saya menyimpan baju baby.
“Kenapa?” tanya dokter, menoleh pada Jc.
“Ngeri ngelihat dia lahirin. Nggak lagi deh,” jawab Jc.
“Dia mah takut banget saya mati, Dok”
jawab saya masih bisa senyum.
Jc memang selalu ketakutan bila di kamar bersalin.
Tapi dia juga selalu setia menemani saya sampai tiga kali.
Saya memberitahu Jc kalau baju baby ada di tas tersendiri, di kamar.
Lalu Jc pergi mengambilnya.
Dokter melanjutkan, “lu lahir satu lagi, masih bisa, tapi next
time lu pakai epidural aja,
jadi lu nggak perlu kesakitan kayak gini.
Kali ini kan nggak pendarahan, jadi boleh epidural,”
kata dokter sambil menekan-nekan
perut, “kontraksi baliknya bagus kok.”
“Nanti mama saya marah kalau saya
hamil lagi.” kata saya.
“Lu yang hamil, kok pakai nanya-nanya mama.
Lu kan udah gede, putusin sendiri dong.”
“Lihat nanti deh… tapi nanti bisa keropos
tulang lagi, kayak mama teman saya.”
“Nggaklah, asal lu rajin minum
susu.”
“Nggak bisa minum..”
“Lu minum kalsium aja.”
Dalam benak saya cuma mau pulang rumah,
terbayang wajah Vincent dan Francis,
sudah dua hari saya tidak bertemu mereka.
Kangen ama mereka.
“Dok..” panggil saya
“Ya?” dokter menoleh.
“Teman saya waktu itu suruh saya ke satu pendeta,
yang katanya bisa sembuhin baby yang hidrocefalus,
terus bisa sembuhin baby yang sudah meninggal
dalam kandungan,” kata saya padanya.
“Trus, lu gimana?” tanya dokter.
“Nggak mau aja,” jawab saya pendek.
“Gua juga pernah dengar tentang dia,” sahutnya tenang.
“Menurut gua ya, sampai sekarang.., belum ada
manusia yang bisa bangkitkan manusia. Yang bisa cuma Yesus.”
Saya cukup terkejut mendengar jawabannya.
Sekeliling saya sudah sepi, tinggal saya dan
dokter, sebagian suster sibuk dengan baby, sebagian lagi sudah bubar.
Aneh rasanya, saya masih hidup ya.
Saya mencoba memahami yang baru saja terjadi.
Iya betul, saya masih bernapas walaupun terengah-engah.
Saya masih merasakan tangan saya membuka dan menutup,
ngilu bila terkena dingin, belum hilang juga sejak
mulai hamil besar.
“Dok, kalau mau steril kapan?” tanya saya.
“Sekarang gini,” jawab dokter kembali menoleh.
“Bisa langsung?” tanya saya.
“Serius lu?” tanya dokter. “Lha.., gua udah jahit setengah baru bilang, mustinya tadi,
pas gua belum jahit,” kata dokter.
Tidak terdengar nada marah sedikitpun.
Matanya menanti jawaban saya.
“Nanya doang kok,” kata saya.
“Lu ngagetin gua aja,” sahutnya lega.
“Nanti aja kalau mau steril, pas lu kontrol lagi.
Jangan sekarang ya, lu pikir dulu baik-baik, bukannya lu masih coba satu
lagi?”
“Dok…”
“Hmm..?”
“Kenapa kalau udah tiga bulan musti dilahirin
normal ya, bukan langsung kuret?” tanya saya.
“Ya, kan babynya udah gede.
Lu lagi ngomongin yang barusan ya?”
“Iya, tadi pagi, dikuret ama Dr.
****”
“Gua juga baru tahu, tadi suster barusan cerita,” kata dokter pelan.
“Dulu, dia pasien gua, kena rubella, gua minta dia pertahanin babynya
tapi dia nggak mau..”
“Dia cerita kalau dokter nggak mau aborsi.”
“Ngapain aborsi?”
suaranya datar,
“rubella nggak napa-napa kok.”
“Mereka takut babynya cacat.”
“Tapi kan masih ada chance untuk normal? Kenapa musti
aborsi?”
“Istrinya sempat berubah pikiran tadi pagi,
tapi suaminya tetap nggak mau.”
“Gua pernah cerita ke lu kan pasien gua yang kena rubella juga?
Sudah umur lima tahun sekarang, sehat-sehat aja.”
“Pernah.”
“Memang..,”
kata dokter tertahan, “kalau rubella diaborsi, secara medis dibenarkan…”
Suaranya berat, terdengar begitu terpukul, kecewa dan pasrah, semuanya sudah
terjadi...
“Kenapa dokter nggak langsung bilangin ke Dr. **** aja?”
“Ngapain?” tanya dokter, enggan.
“Dia sampai kelimpungan cari-cari dokter yang mau.”
“Dulu memang gua menyebut nama dokternya, tapi sekarang gua
nggak mau rekomen siapa, biarin dia cari sendiri. Kalau baby diaborsi,
kasihan..”
“Stop, Dok,” potong saya segera, “jangan cerita lagi, nanti saya
nangis..”
Saya tidak mau menangis, untuk napas aja udah susah
payah.
Dokter kembali bekerja. Tidak lama dokter merasa benangnya kurang.
“Sus,” katanya, “tolong benang lagi dong, kayaknya kurang dikit.”
“Nanti musti lepas jahitan nggak?” tanya saya.
“Nggak, benangnya langsung menyatu
dengan daging.”
“O begitu..” kata saya. ”Emang berapa jahitan, Dok? Parah
ya?”
“Sus, ini berapa jahitan?” dokter balik bertanya ke susternya.
“Dulu orang memang ngitungin berapa jahitan,”
jawab suster sambil memberikan benang
yang diminta dokter.
“Sekarang nggak lagi, udah nggak dijahit, teknik jahitnya
beda, jadi nggak bisa dihitung. Disulam ya, Dok, namanya?”
Dokter cuma senyum
mengangkat bahu.
“Udah cukup, Sus, nggak jadi nambah benang deh, kayaknya
benangnya pas banget panjangnya.”
Lalu suster pergi, menyimpan balik benang
di lemari.
“Dok, yang seperti ini pasien ke berapa?” tanya saya.
“Kedua,” jawabnya pelan.
“Yang pertama waktu gua masih di kampung, sama seperti lu,
sungsang juga.”
Dokter menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak.
“Pas tengah-tengah lahiran, mendadak ibunya emboli, jantungnya langsung
berhenti.”
Dokter terdiam sesaat.
Saya menunggu dokter melanjutkan
ceritanya. Emboli, pikir saya, udara masuk ke pembuluh darah, selalu
fatal.
“Ibunya kejang-kejang. .,” lanjut dokter, “langsung pakai segala cara
untuk pacu jantung ibunya, berjuang mati-matian untuk selamatin
ibunya..”
“Selamat nggak ibunya?” tanya saya pelan dengan napas
tertahan.
“Selamat….,” kalimatnya menggantung.
“Terus?” tanya saya
berbisik.
“Tapinya..,” kata dokter dengan sangat lemah, “abis itu ibu udah
nggak bisa apa-apa lagi…”
Deg! Jantung saya terasa berhenti. Mati otak? tanya
saya dalam hati, saya tidak berani bertanya lagi.
Hening. Kepedihan
melintas.
Lama terdiam.
Pasti berat sekali buat dokter saat itu. Kejadian
ini seakan membuka kembali lembaran lamanya,
kenangan yang menakutkan, juga
menyedihkan.
Saya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata,
lalu membukanya kembali, mengamati sekeliling saya,
masih sama seperti sebelum saya memejamkan
mata. Untung saya tidak kenapa-napa.
Mata saya menerawang ke sudut atas
ruangan yang putih bersih ini,
saya melihat bayangan diri saya di sana,
berdiri melayang di sudut atas,
matanya memandang kosong ke depan, tatapannya hampa,
sambil menggandeng baby.
Dia memakai baju putih panjang yang sama seperti baju
baby yang juga panjang.
Matanya menyapu sekeliling ruangan ini, tampak punggung
dokter dari belakang, kepalanya sedang menunduk,
tampak pula diri saya yang sedang berbaring tak berdaya,
wajahnya pucat, sedangkan di pojok ruangan tampak
baby yang terbaring sendirian, tertidur dalam damainya,
perlahan-lahan bayangan itu memudar, bergerak menjauh,
semakin samar tertutup kabut putih, semakin
mengecil…
“Gua nggak berani cerita ini ke lu,”
suara dokter seakan menarik
kembali roh saya ke tempatnya semula.
“Kalo gua cerita, nanti lu tambah ketakutan..”
Saya terdiam.
Terima kasih atas kebaikanMu, Tuhan, telah
memberi saya kesempatan hidup kedua.
Pakailah diri saya yang sekarang ini
seperti yang Kau ingini,
untuk mencegah aborsi,
seperti janji saya pada malam yang lalu.
Kau berikan mujijat bertubi-tubi di saat-saat terakhir, di
saat saya sudah tidak berani meminta apapun...
Saya menoleh ke kiri kanan, ruangan
tambah sepi, hanya tinggal satu suster berdiri menemani baby,
menunggu Jc membawakan baju untuknya.
Cukup lama Jc balik ke kamar untuk mengambil tas
berisi baju baby.
Sepertinya dia sekalian mengabarkan ke mama saya di ruang
tunggu bahwa saya selamat tapi baby tidak.
Begitu melihat wajah Jc, adik saya
langsung tahu bahwa mujijat kesembuhan baby tidak terjadi.
Wajah Jc begitu sembab, matanya berair,
mencoba tegar menghadapi ini semua.
Dalam mimpinya, dia melihat seorang baby putih mungil
tanpa cacat sedang tertidur pulas.
Namun Tuhan telah menjawab doanya yang lain,
kakaknya selamat.
Tadi saya sempat mendengar
Jc menelpon ke Atmajaya, untuk penjemputan baby.
Tiga bulan lalu kami sempat ke sana
untuk menanyakan kremasi untuk baby.
Kami menyimpan kartu nama contact
person tersebut.
Sayangnya, beliau tersebut sedang tidak ditempat.
Sebelumnya, kami ingin baby dimakamkan
di pemakaman yang baru di Krawang,
dengan latar belakang bukit hijau,
agar menjadi tempat peristirahatan
terakhirnya yang damai,
saya ingin kedua kakaknya mengetahui bahwa adiknya
tertidur di sana,
agar setiap tahun kami dapat mengunjunginya dan mengenangnya.
Tapi mama saya tidak memperbolehkan,
menurutnya kepercayaannya, baby sebaiknya
dikremasi agar rohnya cepat kembali.
Dia adalah Buddha yang menjalani
reinkarnasi terakhir,
perlu sekali lagi reinkarnasi agar sempurna menjadi
Buddha.
Jadi selama ini saya mengandung seorang Buddha?
“Jam berapa dijemput?” tanya dokter,
sejenak perhatiannya beralih pada Jc yang kembali
membawa tas baby.
“Nanti, Dok,” kata Jc, “sekitar jam 5 sore.”
“Atmajaya udah tahu musti ke sini, lantai 2?”
“Udah, udah dikasih tahu.”
Dokter memberitahukan suster agar nanti baby ditempatkan
di ruang tindakan satu lagi yang lebih kecil,
soalnya di sana tidak banyak orang yang mundar-mandir,
ruangannya sedikit tersembunyi.
Saya kembali bertanya-tanya sendiri,
kira-kira tadi berapa kali ngedan ya baru baby mau lahir.
Mungkin sekitar duapuluh kali… untung saya tidak buta.
Terima kasih sekali lagi ya, Tuhan.
“Satu jahitan lagi selesai.
Gua pastikan lu nggak pendarahan,” kata
dokter lega.
“Terima kasih ya, Dok..”
Hanya itu yang mampu saya katakan padanya,
saya tidak punya kata-kata lain untuk semua supportnya
sampai detik ini.
“Sama-sama,” balasnya tulus.
Tidak lama kemudian dokter selesai,
dia membuka sarung tangannya, menepuk-nepuk kaki saya,
lalu bangkit berdiri perlahan
dan langsung menghampiri baby.
Lama Dokter berdiri di sana.
Dia memperhatikan baby, mengucapkan selamat jalan
dan melepas kepergiannya sambil berkata perlahan
pada baby,
“De.., inget-inget ama Om ya di surga…”
Dokter masih berdiam di sana, termenung.
Saya terharu mendengar kata-kata dokter.
Tanpa saya sadari air mata pertama mengalir perlahan
di kedua pipi saya.
Sedari tadi saya belum menangis.
“De, ingat mama juga ya di surga,” bisik saya lirih.
Suster merapikan saya dan memakaikan baju biasa,
sarung dan korset.
Saya berbaring lemah, dinginnya ruangan kembali terasa
menusuk tulang,
suster lalu menyelimuti saya dengan selimut tebal berwarna coklat,
hangat sekali.
Ancillo sudah pergi, begitu tenang,
bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya.
Dia juga tidak meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya.
Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari,
dimana dia akan diletakkan, di kamar bersalin,
di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi
saya...
bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga
sambil memperhatikan napasnya satu-persatu,
menemaninya terus di sisi saya,
memandanginya sampai ajal menjemputnya.
Dia benar-benar anak yang baik,
tidak menyusahkan saya sama sekali.
Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan.
Begitu istimewa. Begitu sempurna di mata saya.
Satu jam lalu dia masih bersama saya,
tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…
Dokter membalikkan badan,
melangkah pelan sampai ke dekat gantungan baju di sudut ruangan,
baru aja mau melepas jubahnya,
namun seorang suster mengingatkannya kalau masih ada satu
pasien lagi, sudah mau lahir.
Dokter teringat kembali, ada seorang ibu lain
yang tengah menunggunya untuk menolong kelahiran seorang baby
yang telah dinantikannya selama berbulan-bulan.
Dirinya yang dipakai Tuhan menjadi
perantara untuk menghadirkan buah cinta bagi kedua orang tuanya
dan menjadikannya malaikat kecil di tengah keluarganya.
Tangannya yang dipinjam Tuhan untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Dokter bergegas meninggalkan ruangan,
menghampiri ibu itu.
Jc menemui saya, dia tampak kebingungan memilihkan baju
untuk baby, beberapa baju baru kami bawakan,
karena saya pikir baby dapat
bertahan hidup beberapa hari.
Saya memilihkan baju biru dasar putih,
bergambar anak-anak domba, baju yang paling saya suka.
Saya tidak mau baby memakai baju putih-putih,
dalam benak saya, baby sedang tertidur nyenyak.
Dia tidak mati, tidak pernah mati.
Dia selalu hidup di hati saya. Selamanya.
Jc lalu memilihkan kaos kaki dan kaos tangan
yang warnanya senada.
Topi dipilihnya yang putih.
Jc sudah tidak menangis.
Tak lama saya sudah boleh dijenguk,
mama saya langsung menghampiri saya,
wajahnya gembira sekali, anaknya selamat,
begitu leganya melihat saya,
lalu Jc menemaninya ke ruangan lain untuk melihat
baby.
Adik saya dan ipar saya bergantian menjenguk.
Mama kembali menemui saya
dan bilang babynya cakep,
badannya bagus, dadanya bidang, seperti atlit,
perutnya juga kempes tidak seperti baby lainnya
yang buncit, baby perutnya rata,
mekoniumnya sudah dikeluarkan saat bukaan delapan,
bahkan baby pergi dengan benar-benar bersih.
Pahanya gendut berisi, keliatan ada dua lipatan, tandanya
kalau punya adik lagi pasti laki-laki.
Selama dua jam pemulihan, sakitnya sudah hilang.
Dokter memang memberikan dua kapsul voltaren untuk anti sakit,
tapi memang begitu baby lahir sudah tidak terasa sakit lagi.
Seperti mimpi, perut saya kempes, kosong,
tidak ada baby lagi yang menemani saya selama
berbulan-bulan, dia telah pergi meninggalkan saya sendiri ...
Saya SMS ke satu teman kantor mengabarkan
kalau saya sudah melahirkan dengan selamat dan
sang malaikat kecil, Ancillo Dominic,
telah kembali ke surga pada jam yang sama.
Saya memintanya untuk tidak menelpon atau SMS,
saya tidak mau diganggu.
Berulang kali saya mencoba memejamkan mata untuk beristirahat,
tapi tidak bisa, mungkin terlalu lelah.
Setelah dua jam, saya didorong keluar oleh
suster dari ruang tindakan.
Sore itu sepi sekali, tidak ada pasien lain,
suster juga bekerja dalam diam.
Hanya terlihat tiga orang suster, biasanya cukup ramai.
Tidak semua lampu dinyalakan
sehingga ruangan tampak sedikit redup.
Ketika saya melintas di ruang tengah,
dalam keremangan cahaya, saya melihat
dokter sedang seorang diri, senderan dengan santai di kursi kayu,
lengan bajunya masih tergulung, sementar jari tangannya asyik
bermain Hp sambil menunggu jam 5 sore untuk praktek
sampai tengah malam lagi. Dokter tidak sempat pulang rumah
untuk beristirahat.
Suster sempat ragu mau membawa saya kemana,
langsung ke kamar atau tetap di kamar bersalin.
Mereka menoleh ke dokter, tapi dokter sudah
tenggelam di dunia maya, mereka tidak jadi mengusiknya.
Akhirnya suster memutuskan untuk tetap di kamar bersalin sesaat lagi.
Jc menemani saya sambil sekali-kali menelpon ke Atmajaya,
sore ini banyak yang meninggal sehingga jadwal
penjemputan baby berubah-berubah.
Saya berhenti menangis.
Antara lega karena selamat dan
berhasil melewati hal yang paling saya takuti selama ini.
Jc juga sudah biasa.
Saya bertanya Jc,
“Emang lu kelihatan babynya makin turun setiap
kali ngedan?”
“Nggak” jawabnya santai. “Gua cuma ikutan-ikutan suster dan
dokter kasih semangat terus. Mana kelihatan, gua kan berdirinya di
kepala.”
“Dasar lu orang, tahunya semuanya cheerleader.”
“Lha lu nggak tahu, si dokter dan suster sengaja lagi
bercanda-canda, biar nggak tegang. Tadi
pas dokter nawarin makan padang ke suster,
gua pengen nyahut tuh, ya pada nggak
maulah, abis nawarinnya cuma padang.” katanya sambil tertawa.
“Gua sampe frustasi ngedannya, nggak nyampe-nyampe.
Udah nggak bisa mikir.”
“Lu kan juga dibohongin ama dokter
waktu dia bilang induksinya sudah di stop,” ledek Jc.
Mata saya langsung melotot ke arahnya, hari ini dibohongin terus.
“Tadi susternya mainin infusnya,” lanjut Jc,
“dinaik-turunin tetesannya, sampai cepat banget
netesnya. Dokter diam-diam kasih aba-aba.”
“Kapan?” tanya saya.
Jc tertawa lagi, “lu nggak tau kan?”
Jc senang banget melihat saya kesal
dibohongin.
“Tapi… hebat juga ya, bisa lahir..,” kata saya, “eh tadi aku
sempat teriak kenceng banget ya, lu kaget nggak?”
“Udah lupa,” sahut Jc.
“Udah panik soalnya.”
Jam 5 sore kami dipindah ke kamar. Saat akan pindah,
terdengar di ruang tindakan,
seorang ibu sedang menahan kesakitan.
Sebentar lagi mau melahirkan.
Saya langsung berkata ke Jc,
“bilangin Sus dong, mau buru-buru
pindah kamar, deg-degan dengernya, bikin terulang.”
Ketika sampai di kamar,
tahunya mama, adik dan ipar saya sudah menunggu di sana.
Jc masih sibuk dengan Atmajaya.
Janji mereka jam 5 sore, tapi belum datang juga, katanya
jalanan di jembatan tiga juga macet total.
Akhirnya Atmajaya datang juga menjemput baby.
Tadinya Jc mau menyusul sendirian ke sana,
untuk mengurus masalah administrasi, peti, jadwal misa,
jadwal kremasi, tapi adik dan ipar saya menemaninya,
karena Jc masih terlihat bingung.
Ini pertama kalinya dia mengurus kematian.
Sampai jam sembilan malam keluarga saya berdatangan,
mereka melihat foto-foto baby di kamera.
Mereka mengatakan kalau babynya bagus, badannya sehat,
berisi, mukanya bagus, meninggalnya juga tenang.
Saya sudah tidak sedih.
Ketika malam hari sudah pulang semua,
Jc mengurut kaki tangan saya
dengan minyak telon, mulai terasa pegal-pegal.
Enak diurut-urut, hangat.
Seluruh bengkak di telapak kaki, paha, lengan,
jari tangan hilang semua,
airnya seperti diserap semua oleh tubuh.
Tubuh manusia memang penuh keajaiban.
“Saya masih mau satu baby lagi,” pinta saya.
“Abis ini, kita treatment ya ama dokter, biar baby nggak gini lagi…”
“Nggak lagi deh..” kata Jc menawar.
“Yang tadi kan sakitnya udah maksimal, udah diinduksi,
baby nggak bantu dorong, gede, sungsang pula,
masih bisa tahan kok. Lain kali pasti nggak
sesakit gini, lahirin normal lagi juga berani, nggak trauma,”
kata saya berusaha meyakinkan Jc.
“Nggak deh..,” kata Jc sambil mencium pipi saya.
“ Ini peringatan dari Tuhan, kalau minta nggak boleh berlebih.
Udah punya dua, masih minta satu lagi sih…”
“Nanti ya kita planning lagi,” kata saya berkeras.
Penderitaan dan penantian panjang selama sembilan bulan sudah lupa.
Sakitnya melahirkan juga udah lupa semua.
Berlalu begitu aja.
Saya memang short-memory,
teman saya sampai bilang saya seperti Dori, temannya Nemo.
Malam itu saya tertidur, walau sebentar-sebentar terbangun.
Untaian rosario menggantung dekat selang infus,
menemani saya saat terjaga, langsung
saya teringat untuk menitipkan Ancillo pada Yesus.
Saya kesepian sekali.
Kembali menangis membayangkan Ancillo.
Tadi suster begitu cepat membawanya pergi.
Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak
terbayang-bayang akan babynya.
Saya belum sempat memeluknya,
belum mencium pipinya, belum mendekapnya,
rindu ini tidak tertahankan.
Saya ingin sekali lagi bisa
membelainya, mengulanginya.
Saya mengambil kamera,
mengamati fotonya satu persatu.
Suster mengikat kedua tangannya dengan kain kanfas putih,
begitu juga kedua kakiny.
Jc bilang, suster sempat mengatur mulut baby agar tidak terbuka,
dan hendak mengikat rahangnya dengan kain kanfas putih.
Tapi Jc melarangnya, dia tidak mau babynya diikat-ikat
seperti orang mati. Biarkan dia berpenampilan
seperti baby lainnya,
seakan sedang tidur yang nyenyak.
Matanya sedikit terpejam,
tidak sampai menutup rapat,
bola matanya kelihatan,
baby seperti sedang terkantuk-kantuk.
Kulitnya putih bersih, dadanya bidang,
lengannya putih-bersih berisi,
pahanya juga berisi, sehat sekali,
telapak kakinya kecil, jari tangan kecil,
begitu mungil, pipinya tembem, mulutnya mungil,
hidungnya mungil, mancung, wajahnya imut-imut.
Suster menutup atas kepalanya dengan
kain bedong biru,
baby tidak dapat dipakaikan topi karena topinya kebesaran,
bila dipaksa pakai topi
akan menyarungi seluruh mukanya.
Foto lain memperlihatkan baby sudah dipakaikan
pakai baju overall biru tangan panjang
bergambar anak-anak domba,
baby kelihatan begitu manis dengan bajunya yang
kebesaran sedikit,
kalau dipakaikan pampers pasti bajunya pas.
Baby memakai kaos tangan dan kaos kaki,
siap dibawa pulang… kalau saja dia tidak meninggal.
Jc bilang, ketika dijemput tadi,
dia sempat melihat kalau baby sudah mulai kaku,
jari-jari kakinya membiru.
Tapi mukanya belum membiru, masih sama.
Saat ini baby sedang sendirian di Atmajaya,
tidak ada yang menemani disana,
udah masuk peti, dititip di ruangan F1 di lantai dasar.
H+1
Jam 6 pagi
kami sudah jalan-jalan ke lantai dasar.
Sudah lewat dari delapan jam setelah melahirkan,
saya sudah boleh belajar berjalan.
Saat pertama berjalan, masih
sedikit limbung, sambil memakai kain sarung,
saya berjalan keluar, Jc menuntun saya.
Luka jahitan tidak terasa sakit,
hanya saja ketika duduk saya harus
mencari posisi sedikit miring. Lantai dasar kosong,
beberapa lampu menyala.
Tempat ini begitu tenang,
tidak ada keramaian seperti biasanya.
Mama saya datang jam 7 pagi,
dia akan menemani saya sampai siang nanti
karena Jc akan ke Atmajaya sebelum jam 8
bersama kakak saya dan ipar sesuai rencana.
Sambil menunggu dokter visit,
saya sempatkan membalas beberapa SMS turut berduka cita
dari teman-teman senusantara,
rupanya berita meninggalnya baby di email ke all
user dalam berita duka-cita company,
Hp saya sampai full, email saya juga full.
Tiba-tiba jadi orang beken. Sedihnya..
Jam 9 pagi, dokter visit.
Mama saya menanyakan kapan boleh pulang
dalam bahasa mandarin.
Kata dokter, sebentar siangan juga boleh pulang.
Tapi saya minta diperpanjang sehari lagi untuk
istirahat. Dokter mengijinkan.
“Dok, apa boleh minum Pien Zhe Huang?” tanya
mama masih dalam bahasa mandarin.
Lalu dokter menjelaskan ke mama saya kalau
untuk luka yang terbuka seperti akibatan bacokan,
habis dijahit kan pendarahannya sudah stop,
boleh makan obat ini.
Tapi ini kan di rahim,
pendarahannya di dalam,
darahnya harus dikeluarin,
kalau makan obat ini malah
bikin tambah pendarahan.
Bahkan rumah sakit di Shanghai sendiri, habis
melahirkan tidak dibolehkan lagi pakai obat ini.
Saya mengerti sedikit-sedikit
apa yang mereka percakapkan.
Mama menanyakan satu obat lagi,
bagaimana kalau So Hap.
“O itu boleh, untuk buang angin”
kata dokter meyakinkan mama saya.
“Minum aja, boleh, nggak apa-apa.”
Dokter menerangkan lagi kalau kemarin kan
rahimnya gede, sekarang kecil, kosong,
otomatis masih ada angin di dalam.
Lalu dokter bilang ke suster,
“Sus, nanti resepin Rantin ya, biar perutnya nggak
kembung.”
Setelah dokter pergi, mama saya masih terkesima ama
dokter.
“Cakep ya, Ma?” tanya saya.
“Handsome, kayak bangsawan kerajaan,”
jawab mama senyum-senyum.
“Ada belajar kedokteran di Shanghai lagi.”
Ha? Saya sampai terheran-heran,
kapan dokter bilang belajar kedokteran disana,
nggak tahu deh..,
saya yang tidak dengar bagian ini
atau memang saya yang tidak mengerti
ketika mereka asyik mengobrol pakai bahasa mandarin tadi.
Jc pulang menjelang makan siang,
terjadi sedikit kekacauan di Atmajaya.
Kemarin dia pesan agar ada misa keluarga,
pihak Atmajaya menyanggupi karena mereka
punya kerjasama dengan pastur gereja Stella Maris.
Tahunya pagi ini yang datang hanya petugas dari
seksi sosial untuk doa keluarga, bukan misa.
Untung kakak saya kenal dengan Rm. John,
kebetulan romo tidak keberatan langsung dijemput
walaupun dia sudah janji dengan orang lain.
Jadinya, serba mendadak, acara mulai agak siang karena
kakak saya menjemput romo dulu.
Romo John bilang kalau Tuhan begitu sayang
dengan Ancillo yang sejak dari kandungan
sudah begitu menderita sehingga begitu
lahir,
Yesus langsung memanggilnya ke dalam
pelukanNya untuk menjadikannya
malaikat kecil di surga dan untuk
menjadi malaikat kecil bagi keluarganya,
menjaga ibunya supaya cepat pulih,
ayahnya yang menyayanginya, dan keluarganya,
walaupun dia langsung dipanggil Tuhan,
setidaknya dalam waktu sembilan bulan
dia sudah merasakan kehangatan dan kasih sayang
ibu dan ayahnya, tetap menerima dan
menjaga dia dan tetap mempertahankannya
sampai lahir dan tidak mengambil
tindakan apapun yang bisa melenyapkannya.
Ancillo sekarang sudah di surga,
menjadi malaikan dan suatu hari nanti,
dia juga yang akan berdiri menyambut
ibunya untuk mengucapkan terima kasih
atas kasih sayang yang dirasakan sewaktu
dalam kandungan.
Dalam misanya romo mengatakan,
“bahwa ayah ibunya yang telah
menantikan dengan kasih sayang,
namun rencanaMu lain dari kerinduan manusia.
Anak ini hanya Kau titipkan sebentar saja
dalam pangkuan mereka, tapi sekarang
Kau ingin dia kembali ke pangkuanMu.
Biarlah Kau menguduskan dia sepenuhnya
dengan rahmat dan tebusan dari PutraMu
agar dia kembali kepadaMu,
Kau jemput dia, sambut dia dan
Kau berikan tempat dalam kedamaian yang abadi”.
Lalu romo mencipratkan air suci pada Ancillo
yang tertidur di peti kayunya, katanya,
”Air suci akan diurapkan bagi dia sebagai tanda baptis,
yang diimani keluarganya sebagai lambang kasih
dari orang tua dan keluarganya yang mengharapkan Engkau
berbelas kasih kepada anak ini
dan menyambut dia dalam suka cita yang sempurna.”
Romo menutup misa dengan memberikan berkat,
“Atas nama keluarga,
atas nama gereja, yang mencintai engkau,
saya menyerahkan kau kembali.
Pergilah dalam damai anakku,
semuanya sudah selesai buat engkau di dalam dunia ini.
Berangkatlah membawa tanda kemenangan
yang telah dimateraikan untukmu sejak
engkau masih dalam kandungan,
biarlah engkau diterima dalam malaikat-malaikat yang kudus,
dan engkau akan dijemput oleh kalangan pilihan Allah.
Berangkat dan temuilah Allah Bapa yang menciptakan engkau,
temui Yesus yang menebus engkau dengan kuasa darah salibNya
dan Roh Kudus yang menuntun engkau selama berada di
dunia ini.
Datanglah dan tinggallah bersama para kudus,
untuk selamanya memuliakan Tuhan dalam kerajaan yang abadi.
Doakan juga orang tua dan seluruh keluarga
agar mereka selamat dan sehat sejahtera di dunia
sampai Bapa di surga mengumpulkan kamu semua
dan kita sekalian dalam rumah yang abadi di surga.
Pergilah dalam damai anakku,
demi nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin”
Jc menghantar Ancillo sampai ke mobil jenasah,
pihak Atmajaya yang akan membawanya
ke Nirvana, untuk kremasi kemudian abunya disebar di laut.
Untuk baby yang meninggal, biasanya pihak keluarga tidak menemani.
Selamat jalan, Ancillo,
malaikat kecilku, malaikat kesayanganku. ..
Saya meminta mama saya untuk
mencarikan nama mandarin untuk Ancillo,
namun mama saya bilang kalau dia sendiri
kaget begitu tahu nama baby adalah Ancillo,
kenapa namanya bisa begitu pas,
dalam bahasa mandarin artinya
‘Istirahat dalam damai’.
An dari phing an, Si dari sui si,
Lo dari khuai lo artinya gembira-damai- tenang,
An Si artinya istirahat.
Kata ini biasa dipakai oleh gereja
untuk orang yang meninggal.
Sedangkan Budha memakai kata lain chien ku atau sien yu.
Istirahat dalam damai…
Ya, nama yang pantas diberikan untuk dirinya.
Istirahat dalam damai bersama Yesus di surga…
Kami melewati seharian di rumah sakit berdua,
seperti honey moon kedua.
Tapi kali ini penuh dengan kesedihan
walaupun kami sudah merelakan baby pergi.
Sejak pagi badan saya sakit semua,
lebih sakit dari kemarin,
seperti orang baru olahraga berat.
Seperti baru pulang hiking.
Mungkin saya terlalu banyak mengeluarkan tenaga
untuk ngedan.
Memang enakan memakai epidural,
badan tidak sakit-sakit,
karena tenaga tidak habis untuk menahan sakit.
Saya belum dapat berdiri lama,
lebih banyak duduk atau setengah tiduran.
Ajaib, bekas jahitan sudah tidak terasa sakit,
biasanya sampai dua minggu baru hilang.
Ketika sore hari, saya jalan-jalan ditemani Jc.
Kaki kami selalu berjalan menjauhi ruang baby,
menghindarinya, tidak berani melihat baby-baby
yang dipajang,
pasti semuanya menggemaskan entah yang sedang
menangis maupun yang sedang tidur pulas.
Malam hari keluarga Jc datang,
mama mertua saya baru diberitahu sore harinya.
Jc sengaja menyembunyikannya berbulan-bulan,
agar mamanya tidak sedih.
Dia juga tidak memberi kabar sejak kemarin,
menunda menceritakan,
katanya biar semua beres baru dia cerita.
Mama dan kakaknya melihat foto baby,
cucu ketujuh bagi keluarganya.
Mama hanya bilang kalau di kampung Riau dulu,
dua puluh tahun yang lalu juga ada saudara yang lahir tanpa
tempurung.
Mamanya cukup berduka,
dia begitu menyayangi cucu,
jauh melebihi mama saya sendiri.
Hidupnya sejak muda hanya untuk keluarga
menjadi ibu rumah tangga yang penuh cinta.
H + 2
Pagi-pagi kami sudah merapikan kamar
dan menaruh semua barang ke mobil.
Saya sempat duduk-duduk di lantai dasar lagi,
terkenang akan hari-hari Sabtu pagi yang lalu,
hari biasa kami konsultasi dengan dokter,
kami biasa drop buku pagi hari sebelum jam 6,
misa pagi di gereja mulai jam 6,
makan pagi di sekitar pluit,
baru balik ke sini untuk tensi.
Semua tinggal kenangan,
seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang,
mimpi akan kerinduan menggendong seorang bayi mungil.
Mimpi itu telah dikubur bersama
debur ombak di laut luas,
di bawah langit yang terbentang tak berujung.
Kursi-kursi masih kosong, lampu juga masih gelap.
Sebentar lagi satu hall ini akan penuh dengan pasien ibu-ibu hamil,
dari hamil kecil sampai hamil besar,
semua punya harapan yang sama,
menantikan kelahiran seorang bayi
yang sehat dan sempurna.
Apakah saya masih ada kesempatan, mengulanginya sekali lagi?
Entahlah, mungkin saya harus menunggu lama,
atau selamanya kesempatan itu tidak pernah datang.
Ayo semangat,
saya mengingatkan diri saya sendiri,
masih ada dua anak tercinta menunggu di rumah,
tunjukkan dirimu yang baru,
di kesempatan hidup kedua ini.
Kamar sudah kosong, sehingga nanti
sehabis dokter visit,
kami bisa langsung angkat kaki untuk pulang.
Anak-anak sudah tidak sabar,
Vincent bahkan sudah menelpon dari pagi hari
mengingatkan Jc untuk mengantarnya ke sekolah
untuk pesan seragam baru, seragam SD.
Francis juga bilang kalau dia mau ikut ke sekolah.
Sebentar saja baby-baby itu sudah besar,
serasa baru kemarin saya membawanya pulang dari rumah sakit,
sekarang sudah mau masuk SD,
tahun depan Francis pun menyusul masuk SD.
Sejak kemarin anak-anak sudah mau datang menjenguk,
tapi Jc tidak memperbolehkan,
karena kami belum siap
untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mereka hanya diberitahu bahwa adiknya sudah
lahir tapi masih belum sehat.
Jam 8 pagi, dokter visit, seperti biasa dengan
senyumnya yang hangat, sehangat matahari pagi hari itu.
Dokter memeriksa sebentar, semua oke,
saya diperbolehkan pulang.
Saya diingatkan untuk kontrol minggu depan.
Jam 8.30 semua sudah beres,
kami sudah meminta bagian administrasi sejak pagi,
jadi bisa secepatnya pulang.
Saya duduk di kursi tunggu,
tempat biasa keluarga menunggu kelahiran.
Tidak sampai lima orang sedang menunggu,
tampangnya cemas, menantikan kelahiran.
Sama seperti Jc kemarin-kemarin.
Saya melihat dokter muncul dari pintu samping,
rupanya dokter sudah selesai visit,
lalu dia sempat bicara sebentar dengan seorang
keluarga pasien, mendengarkan dengan telaten,
salaman lalu bergegas turun lewat
tangga samping.
Dari balkon saya melihat, pasiennya sudah banyak menunggu.
Thanks ya, Dok, kata saya dalam hati,
entah bagaimana saya bisa melewati ini
semua tanpa bantuanmu, dokter yang penuh dedikasi.
Ancillo telah begitu
banyak meninggalkan kenangan indah bagi saya,
dia begitu berarti bagi saya.
Saya beruntung bisa menjalaninya
semua ini dengan begitu indah.
Sesampai di rumah,
anak-anak sudah menyambut dengan begitu gembira,
mereka berteriak, rebutan cium,
tapi mereka tidak berani menanyakan dimana adik babynya.
Mereka mengira adiknya masih belum sehat,
sehingga masih ditinggal di rumah sakit.
Adik saya membisikkan ke saya,
bahwa sebelum mobil saya masuk rumah,
Francis berkata kepadanya dengan bangga,
“sekarang aku sudah jadi koko lho,
aku sudah punya dede baby.”
Adik saya hanya bisa mengelus kepalanya sambil
tersenyum pahit.
Francis sangat ingin jadi anak tengah,
menurutnya lebih hebat dari
pada jadi anak bungsu,
makanya dia begitu menantikan adik bayinya lahir,
sehingga dia boleh disebut anak tengah,
bukan lagi si bungsu.
Kami buru-buru mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
Sudah hampir kesiangan,
Jc langsung mengantar Vincent ke sekolah. Semua ikut.
Saya istirahat di rumah.
Sepi sekali, tanpa anak-anak.
Bayangan baby kembali menghampiri.
Saya sangat merindukannya.
Biarkan saya menangis sekali lagi, sendirian,
selagi anak-anak tidak ada.
Biarkan saya mengenangnya sendirian...
Saat tidur siang, kami menceritakan
bahwa adik baby nakal di perut sehingga terlilit tali pusar,
begitu kencangnya sehingga meninggal.
Vincent langsung menangis,
sedih sekali, dia begitu terpukul,
dia sudah cukup mengerti akan arti kehilangan,
kepergian dan kematian.
Dia bilang, pokoknya dia tetap mau punya adik baby,
ayo kita doa, minta ama Tuhan,
tahun depan kirim lagi seorang baby.
Francis bilang, nanti kalau Tuhan kirim adik baby lagi,
setiap hari dia akan bilang baby supaya tidak
nakal di perut mama, supaya tidak kelilit lagi.
Kami memperlihatkan foto adiknya yang sedang
tertidur di peti mati. Sosoknya begitu mungil,
hanya terlihat wajahnya,
dibalut selimut putih dari leher hingga kaki,
bahkan dikelilingi kain putih di peti matinya.
Kami menyembunyikan foto di kamera,
dimana kepalanya terlihat tidak utuh.
Suatu hari nanti, kami akan memperlihatkannya.
Suster Vincent memberitahukan bahwa
kemarin subuh sekitar jam 2-3 subuh,
Vincent sempat terbangun dan memanggilnya.
Begitu suster menghampirinya,
Vincent sedang duduk di ranjangnya,
dia menunjuk di sudut kamar,
tempat Vincent menyimpan mainannya, i
tu siapa sus, katanya, sambil mengucek
matanya, itu dede baby ya.
Sus.., dede sudah pulang, tuh disana.
Suster melihat tidak ada siapa-siapa disana.
Lalu menemani Vincent bobo lagi.
Jumat subuh, pikir saya,
Jumat siangnya baru dipersembahkan misa untuk baby.
Mungkinkah Ancillo memang pulang ke rumah
untuk pamit kepada kakak-kakaknya yang
begitu merindukannya, begitu mencintainya.
Beberapa hari saya masih sering
menangis saat malam hari dan pagi hari
di saat rumah kosong dimana anak-anak
berangkat sekolah.
Kemudian saya mulai menulis cerita ini,
sebelum memory saya menghapusnya seiring waktu.
Kenangan akan baby begitu indah, saya tak ingin
melupakannya. Dia begitu berarti bagi saya.
H+10.
Jam 5 pagi
saya sudah bangun, hari ini jadwal kontrol.
Kami berangkat jam 5.30, lebih pagi
lagi dari biasanya.
Saya menaruh buku seperti biasa.
Lalu buru-buru ke gereja Stella Maris sebelum jam 6,
saya harus menyerahkan amplop berisikan tiga intensi
misa hari ini,
pertama-tama berterima kasih atas keselamatan saya,
kedua untuk sepuluh hari meninggalnya Ancillo
dan terakhir untuk baby yang diaborsi karena cacat.
Tapi Romo Yos hanya menyebutkan dua intensi yang pertama.
Romo mungkin bingung, untuk baby yang diaborsi,
jumlahnya begitu banyak di dunia ini.
Sehabis misa,
saya mampir membeli bermacam-macam roti untuk para suster
di kamar bersalin.
Harus pagi ini juga,
pas pergantian shift,
saat itu susternya paling ramai.
Saya sangat ingin berterima kasih kepada semua suster,
atas kesabaran mereka merawat saya selama dua hari.
Kemudian saya antri dokter seperti biasa,
tensi dan timbang.
Berat badan turun drastis, sembilan kilo,
sampai suster menggeleng-gelengkan kepala,
menanyakan resep cepat balik.
Saya juga tidak tahu kenapa,
dari dulu selalu turun sepuluh kilo
begitu pulang dari rumah sakit.
Dokter datang lebih pagi hari ini,
jadwalnya sedikit berantakan hari ini,
operasi caesar yang biasanya pagi,
banyak bergeser jadi siang hari.
Hari ini penuh sekali, lebih penuh dari Sabtu biasanya.
Dokter memeriksa rahim saya lewat USG,
bagus, jahitan bagus.
Saya hanya mengeluh bagian kiri
perut saya sedikit sakit.
Kata dokter, memang biasanya masih sedikit sakit,
karena rahim juga masih besar.
Dia menyarankan untuk meneruskan minum obat anti
sakit, tapi saya mengatakan kalau sejak pulang
rumah sakit saya tidak minum lagi,
selama saya masih bisa tahan.
“Dok, rahim saya turun nggak?” tanya saya
“Lu ke tukang urut, ya?” tembaknya.
Saya hanya bisa senyum malu, ketahuan.
“Perutnya nggak diurut kok.”
“Jangan diurut ya, makin lu urut makin
sakit. Pas diurutnya sih enak, tapi udahannya, lu lebih sakit.”
“Emang kalau rahimnya turun, diapain, Dok?” tanya saya.
“Ya nggak diapa-apain. Lu nggak
angkat berat, kan?” tanyanya.
“Nggak.”
“Ya udah, asal lu nggak angkat
berat, nggak usah takut rahimnya turun,”
jawabannya menenangkan saya.
Dokter masih saja tersenyum,
tiba-tiba dia geli sendiri.
“Kalau rahim diurut bisa naik,
apa bedanya dengan payudara?”
tanyanya sambil memegang dadanya membentuk dua
mangkok.
“Apa payudara yang udah turun kalau diurut bisa naik lagi?
Kan sama-sama otot.” Tampangnya nakal sekali.
“Kalau bisa, boleh juga tuh,”
katanya sambil menahan ketawa,
“sekalian pasang plang besar, ‘Payudara Kendor,
Diurut Bisa Kencang Lagi’.
Akhirnya meledak juga tawanya.
“Wah bisa rame deh
tukang urutnya.”
Kami ikut tertawa, kocak banget si Dokter.
“Eh Dok, emang tidurnya musti setengah duduk ya,
biar darahnya keluar lancar?” tanya saya lagi.
Dokter berusaha pasang tampang serius,
tapi tidak berhasil. “Kata siapa?
Wah, lu pegel-pegel dong.” katanya kembali menahan ketawa.
“Kata mbak Jawa,” jawab saya.
Sepertinya salah nanya lagi deh, kata saya dalam hati.
Emang lumayan pegel,
sudah beberapa hari saya tidurnya setengah duduk,
mengikuti nasehat bidan tukang urut.
“Ini, ada mbak Jawa,” katanya sambil mengerling ke
arah suster kesayangannya,
suster tinggi berkacamata,
“Sus, emang orang Jawa gitu ya?”
“Ya nggaklah, orang Jawa abis melahirkan juga biasa aja tidurnya,”
jawab suster sambil senyum-senyum.
“Tuh, tidurnya biasa aja, ya,” ujarnya
menasehati sambil senyum-seyum.
“Biar lu istirahatnya juga enak.
Lu aktifitas juga seperti biasa aja,
biar darah keluarnya lancar.
Asal jangan angkat berat-berat.”
Lalu dokter menanyakan sisa obat yang dibawa pulang dari rumah sakit.
“ASI lu dulu banyak nggak?” tanyanya.
“Dikit.”
“Gua resepin Parlodel aja ya, buat stop lu punya ASI,” nadanya baru serius.
“Walaupun keliatannya ASI lu udah stop,
lu tetap musti lanjutin minum, nanti dia bisa
produksi ASI lagi. Lebih bagus lagi kalau dada lu dibebat.”
“Kapan boleh ngantor, Dok?” tanya saya.
“Dapat cuti tiga bulan kan dari kantor?” tanyanya
balik.
“Cutinya sebulan aja, boleh?” tawar saya.
“Ngapain lu buru-buru ngantor?
Nyantai aja lagi di rumah, istirahat dulu, ngapain kek.”
“Banyak kerjaan, Dok. Sebulan aja ya?” ulang saya.
“Nggak boleh,” jawabnya cepat.
“Bulan depan lu balik, kontrol ama gua sekali lagi, baru gua bolehin.
Tunggu 40 hari dulu deh baru ngantor.”
“Iya deh,” kata saya mengalah.
“Lu kontrol sebulan dari sekarang ya, terserah lu kapan,” pesannya.
Lalu dokter mengulurkan tangannya memberikan salam
sambil tersenyum manis, senyum khasnya.
“Oke deh,” jawab saya ringan.
In Memoriam Ancillo Dominic
In Memoriam
Ancillo Dominic
Malaikat kecil yg menanti orang tuanya
di pintu surga.
Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family
Pluit
Misa : 18 April 2008, 11.00 di Rd Atmajaya,
Rm. John Lefteuw Msc.
Kremasi : 18 April 2008, 13.00 di Nirvana
Cerita ini ditulis untuk :
- Orang tua yang ingin menggugurkan bayinya karena cacat
- Vincent (6 thn) dan Francis (4 thn),
yang belum mengerti kenapa adiknya
dipanggil Tuhan begitu cepat
- Jc, suami yang penuh cinta menemani dalam suka dan duka
- Dr. Tjien Ronny, SpOG, many thanks
Bayi yang dinantikan
Setelah Vincent berumur 5,5 tahun dan Francis berumur 3,5 tahun,
saya merindukan seorang baby lagi.
Perlu waktu setahun sampai akhirnya
Jc setuju dengan keputusan saya untuk hamil lagi.
Dia selalu menunda memberikan jawaban,
alasannya menunggu tahun tikus,
biar shionya sama seperti dia.
Sebenarnya, ketakutannya adalah saat melahirkan Francis,
saya sempat pendarahan hingga tak sadarkan diri
dan perlu waktu dua bulan lebih untuk pulih.
Saat itu tidak ada satu dokterpun
baik dokter pengganti melahirkan maupun
dokter merawat yang menjelaskan penyebabnya.
Jc meminta saya untuk memberikan alasan
yang meyakinkannya kenapa harus punya anak tiga,
kenapa dua anak tidak cukup.
Setahun saya mencari jawabannya,
tapi tidak ketemu, mungkin karena
saya dan Jc sama-sama anak ketiga.
Alasan lain, dua anak yang lucu dan nakal,
kalau tambah satu lagi rasanya tidak masalah.
Membesarkan dua anak atau tiga
anak sama saja.
Akhirnya Jc menyerah karena saya
begitu menginginkan seorang baby.
Kami pun pergi ke Dr. Yani Toehgiono,
dokter langganan keluarga kami,
untuk cek pra-kehamilan.
Sebelumnya saya sudah minum asam folat
selama setahun untuk mencegah bayi DS.
Setelah cek darah dan bersih dari segala virus TORCH,
kami meminta dokter untuk sekalian program baby girl.
Sebenarnya saya lebih suka baby boy
karena sudah terbiasa, tapi sekeliling saya ribut
untuk satu lagi harus girl.
Ternyata untuk baby girl harus melewati
beberapa kali pemeriksaan dalam
untuk memastikan kematangan telur dan saat yg tepat.
Kami tidak mau karena kalau terlalu banyak aturan
nanti malah susah hamil.
Bulan pertama gagal karena
tidak ada telur yang bagus, banyak telur tapi kecil-kecil.
Dokter menyarankan untuk skip telur bulan ini.
“Nggak buru-buru, kan? Kita coba lagi bulan depan.”
Dokter meresepkan Provula agar bertelur
kemudian dokter menjadwalkan
kapan harus kontrol lagi untuk melihat kematangan telur
disamping itu kami diminta untuk mengisi grafik harian suhu tubuh.
5 s/d 10 minggu
Kami tidak balik ke dokter sampai bulan depannya
test-pack positif. Saya sangat gembira karena ini
merupakan hadiah ulang tahun terindah untuk saya.
Ketika kami kontrol, dokter langsung bertanya,
“kemarin ‘bikin’nya pakai cuka nggak?”
“Nggak,” jawab saya heran.
“Kemarin saya
jadwalin datang hari ke sepuluh, kenapa nggak datang?”
tanyanya lagi.
Saya cuma senyum, takut dokter marah
kalau saya memberi jawaban malas.
“Kalau lihat dari grafik, kemungkinan besar udah hamil,”
kata dokter sambil senyum-senyum.
“Cowok lagi nih, bikinnya pas hari subur sih.”
“Apa aja deh, Dok. Yang penting sehat.
Bisa hamil aja udah syukur.”
Ketika di USG sudah terlihat satu bintik hitam,
tapi kantong kehamilannya belum kelihatan.
“Dok, kira-kira bisa kembar nggak?
Kalau kembar, repot juga,” kata saya.
“Belum kelihatan,” jawab dokter.
“Kembar juga apa-apa, biar satu orang jaga satu,
adil.” Dokter tertawa.
Dokter lalu menasehati untuk hati-hati menjaga baby.
Dokter belum meresepkan obat penguat, hanya asam folat.
Untuk memastikan kehamilan,
kami diminta kembali ke dokter seminggu kemudian.
Ketika berumur 6 minggu,
baby sudah terlihat lebih besar di monitor
tapi belum terdengar suara jantungnya.
Umur 8 minggu, jantung baby sudah terdengar
seperti baling-baling pesawat,
di monitor sudah terlihat detak yang stabil.
Umur 10 minggu, baby sudah kelihatan bergerak-gerak,
tangan dan kaki sudah terlihat,
masih berbentuk kecil, ukurannya masih 2.5 cm.
Lega rasanya ketika dipastikan hamil,
walaupun harus melewati mual di pagi dan sore hari,
di luar jam kantor.
Benar-benar anak yang mengerti orang tuanya.
12 Minggu
Kami memutuskan untuk pindah ke Dr. Tjien Ronny.
Kebetulan Rs. Family hanya lima menit dari rumah
dan dokternya terkenal bagus.
Julukannya di kantor ‘dokter sejuta umat’.
Sebagian besar teman di kantor konsultasi
dengan dia dan semuanya bilang oke banget.
Sebelum bertemu dokter,
di luar suster mengisi catatan medik dan
data-data kehamilan sebelumnya,
sempat berpesan kalau kontrol dengan dokter ini
musti sabar, soalnya dokter periksanya lama dan teliti.
Kesan pada pertemuaan pertama,
dokternya sangat simpatik, muda, ganteng,
mau mendengarkan, tidak buru-buru
dan vitaminnya tidak aneh-aneh.
Saat itu dokter mengecek tengkuk leher baby
untuk memastikan tidak ada penebalan cairan,
semuanya bagus, tidak DS.
Dokter dengan teliti memperlihatkan
tangan dan kaki baby yang semuanya sudah proporsional.
Saya senang sekali, setelah menunggu beberapa minggu,
sekarang bisa melihat cukup lama
baby yang mengagumkan di monitor.
Tangannya seakan melambai-lambai
dan kaki-kaki kecilnya belajar menendang.
Panjangnya sudah 6 cm.
Dokter juga sangat sabar menjawab pertanyaan kami.
Saking kinclongnya dokter,
Jc berkata ke saya,
“pasti deh si dokter minum vitamin yang jutaan,
kalau nggak gimana bisa segar gitu.”
Jc langsung setuju untuk seterusnya pakai Dr Ronny
walaupun hari Sabtu harus menaruh buku
dari jam 6 pagi dan mengantri cukup lama,
toh cuma sebulan sekali.
Saya sempat bertanya ke suster di luar,
hari apa yang pasiennya lebih sepi.
Kata suster, tiap hari ramai sampai tengah malem.
Lalu saya diajarkan untuk menaruh buku dulu,
tensi dan telpon ke extention untuk
menanyakan nomernya sudah dekat belum.
Suster menambahkan, dokter apa-apa sendiri,
jahit caesar pun dilakukan sendiri, tidak pakai asisten.
Saat teman saya melahirkan, dia pernah menghitung,
dari 35 baby yang lahir,
15 diantaranya lahir di tangan dokter.
Dokter punya begitu banyak waktu dan perhatian
untuk pasiennya, apa masih punya waktu untuk keluarganya.
Entahlah.
17 Minggu
Dokter riang sekali pagi itu,
menyalami kami lalu bernyanyi-nyanyi
menuju alat USG.
Kemudian mulai USG dengan serius dan
menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor.
Kali ini dokter periksa lama sekali
dan sesaat dokter terdiam.
Akhirnya dengan suara berat dokter berkata,
“lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny…..
Ini kepalanya, … ada kelainan.
Tidak ada batok kepalanya.…
Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny.
Ini sudah pasti cacat.”
“Kok bisa?” tanya saya.
Kata-kata dokter bagaikan petir di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya.
Istilahnya Anencephaly atau anencephalus.
Lu ada minum asam folat nggak?”
“Ada, malah dari setahun sebelum hamil.”
“Sampai sekarang, memang diduga karena
kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum,
berarti yang lain.
Dia cacat, mungkin meninggal di dalam,
kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia.
Bisa juga hidup sampai waktunya dilahirkan,
kita lahirkan dia.”
Air mata saya langsung berderai.
Kenapa baby saya?
Baby ini saya minta lewat misa novena sembilan hari,
kenapa Tuhan beri baby seperti ini?
Jc terpaku.
Tangannya yang sedang menvideokan monitor USG
dengan Hp untuk memperlihatkan ke anak-anak,
langsung dimatikan.
Jc berdiri mematung di samping dokter.
Mukanya langsung pucat.
Dokter masih di depan monitor,
dia menunjukkan kepala baby hanya
sampai batas alis.
Tubuh lainnya sempurna,
baby sudah punya tangan kaki yang lengkap,
tidak berhenti meninju dan menendang,
semua jari sudah lengkap,
jenis kelamin laki-laki,
sum-sum tulang belakang berjejer rapi,
tapi sampai pangkal leher,
tempurung kepalanya hanya separuh,
separuh diatas tidak ada.
Kepalanya terbuka.
Penyebabnya bukan virus atau genetik,
tapi karena satu sel tidak menutup,
kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka.
Kejadiannya saat hamil tiga-empat minggu.
Sekitar satu minggu setelah pembuahan.
Sebelum diketahui hamil.
Dokter menerangkan satu persatu kepada kami.
Tidak adanya otak tidak memungkinkan baby untuk hidup
karena otak adalah koordinator dari jantung, paru-paru.
Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari.
Biasanya langsung meninggal saat lahir.
Baby juga akan terlambat lahir
karena kepalanya tidak ada tempurung
untuk menekan jalan lahir dan
baby tidak produksi hormon di otaknya
untuk perintahkan kontraksi ke ibu.
“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami.
”Biarkan dia hidup,” pintanya,
“ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati,
tapi roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”
Saya menggeleng-gelengkan kepala,
saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.
“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,”
lanjut dokter.
“Kita nggak berhak membunuh dia,
secacat apapun dia, kita pelihara dia.
Toh dia tidak menyakiti ibunya, dia tidak minta biaya,
dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan hidup lama.
Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny,
ini Tuhan punya rencana.”
Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong.
Jc di sisi saya langsung merangkul bahu saya.
Wajahnya penuh air mata.
“Saya bisa bicara begini,
karena saya pernah alami yang sama,” kata dokter.
“Anak saya waktu umur enam bulan divonis mati,
kena leukemia. Dia tidak mungkin hidup karena
kena leukemia yang paling ganas
dan paling jarang di dunia.
Saya cari dokter di mana-mana, ke Amerika, Belanda,
Inggris, semuanya suruh saya bawa pulang lagi
anak ini, karena dia tidak mungkin tertolong.
Sampai akhirnya Hongkong mau coba kemo dia,
dengan catatan akan meninggal juga pada akhirnya.
Dokter sana bilang sudah tidak ada harapan lagi.
Tapi saya bilang, coba, coba aja kemo dia,
saya sudah rela kalau dia harus meninggal.
Saya sempat marah ama Tuhan, kenapa Tuhan,
saya sudah tolong orang, saya tidak berbuat jahat,
kenapa Tuhan beri anak seperti ini?
Seorang biarawati sampai nangis saya omelin.
Saya bernazar ama Tuhan, kalau anak ini sembuh,
saya akan bekerja untuk Tuhan, saya serahkan anak
ini untuk Tuhan pakai, saya akan bawakan kesaksian,
saya akan bangun rumah untuk Tuhan.
Setahun lamanya dikemo, akhirnya anak saya sembuh.
Sekarang sudah delapan tahun..”
Dokter menceritakan sambil menahan dirinya
untuk tidak ikut menangis, menggigit bibirnya,
air matanya penuh di pelupuk mata,
hidungnya merah.
“Jadi..,” suaranya parau, “jangan bunuh dia, Yenny…
biarkan dia hidup, pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya
dengan kenyataan pahit ini.
Lama kami semua terdiam.
Mengapa semua ini terjadi?
“Saya serahkan pada kalian..,”
suara dokter nyaris tak terdengar,
matanya menatap kami dalam-dalam,
“kalau memang kalian nggak mau dia..,
saya nggak bisa apa-apa, ini anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.
“Saya akan rujukkan ke dokter lain…,”
kata dokter dengan suara sangat berat,
“yang mau keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama,
menatap kami berdua dan menunggu jawaban.
”Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,”
katanya dengan suara tercekat.
“Dulu saya pernah keluarkan baby cacat,
waktu itu saya belum mengenal Tuhan.
Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya,
Ronny, kenapa kamu lakukan ini?
Kenapa kamu bunuh dia?
Kenapa kamu buat hal yang paling Saya benci?
Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya
….”
Dokter mengambil napas dalam-dalam.
“Saat saya melakukan aborsi,
saya dikejar perasaan bersalah
dan nggak akan bisa lupa selamanya,
bayangan bayi saat dikeluarkan masih menggelepar- lepar,”
dokter memejamkan matanya rapat-rapat
seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap
yang selalu menghantuinya.
“Buat apa saya yang aborsi,
kalau masih ada orang lain yang mau melakukannya. .”
“Jangan diaborsi..,” potong saya.
Hanya itu yang dapat saya katakan.
Biarpun baby akan cacat, akan mati,
tapi jangan dibunuh, saya sangat mencintai dia.
Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya,
tendangannya sudah mulai terasa sesekali.
Biarkan dia hidup.
“Kalau dilahirkan sekarang atau nanti…,
mana yang lebih berbahaya Dok,
saya takut istri saya pendarahan lagi,”
tanya Jc.
“Pendarahan atau tidak, sulit dipastikan.
Mungkin aja saat aborsi terjadi pendarahan,
mungkin juga tidak.
Dan belum tentu juga nanti melahirkan
terjadi pendarahan.
Nggak ada yang bisa jamin.
Gua tidak tahu gimana dulu bisa
terjadi pendarahan,
dokter lu ada kasih penjelasan?” tanya dokter.
Saya menggeleng.
“Enam jam setelah melahirkan.”
“Mungkin karena kontraksi balik
rahim lu nggak bagus sehabis melahirkan.
Jadi, gua saranin kali ini lu nggak boleh caesar,
nggak boleh pakai epidural, kita coba lahirin normal.
Caesar atau epidural itu kan bius,
nanti bikin rahim lu kontraksinya makin lemah,
bisa bikin lu pendarahan.
Lu kan udah punya riwayat pendarahan,
kita coba hindari.
Nanti sambil jalan kita lihat.”
Lahir normal? Saya tercekat.
Dua kali saya keenakan memakai epidural saat melahirkan,
tidak terbayang kalau kali ini harus
melahirkan normal.
Saya pernah bilang ke Jc kalau tidak ada epidural,
saya tidak mau punya anak lagi.
Kali ini saya tidak punya pilihan…
“Dok, perlu USG 4D nggak?” tanya saya sambil menangis.
“Nggak perlu,” jawab dokter.
“Karena ini sudah jelas sekali anencephaly.
Lu nggak perlu buang-buang duit.
Tapi kalo lu diganti kantor atau asuransi
atau lu mau second opinion, silahkan,
gua buatin pengantar ke Dr. Calvin.
Nanti lu cek ya di depan kapan dia praktek.”
Kemudian dokter menuliskan surat pengantar
untuk ke Dr. Calvin.
Mata dokter masih berkaca kaca.
Dokter menghapus sedikit air mata di
ujung matanya agar tidak mengalir turun.
“Buat gua berat sekali untuk kasih
tahu pasien kalau babynya cacat,
apalagi kalau tidak ada harapan hidup...
Tapi paling berat kalau babynya cacat spina bifida.. ”
Dokter memberikan tissue kepada saya.
“Tabah ya, Yenny,” katanya perlahan.
“Ini Tuhan punya rencana.
Lu kontrol dua-tiga bulan aja,
nggak perlu antri berjam-jam,
kapan lu sempat,
lu kontrol.
Gua cuma resepin tambah darah
dan kalsium buat lu punya tulang.”
Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc,
“Tabah ya, kita tetap pelihara dia baik-baik.
Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi,
air mata tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini?
Kau bisa buat jantungnya berdetak sempurna,
Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi,
kenapa tidak sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Jc hanya terdiam.
Dia sama shocknya.
Dia hanya bisa mengelus kepala saya,
matanya berlinang dan menangis diam-diam.
Tubuhnya bergetar.
Saat menyetir pulang, baru terdengar suaranya,
“kita kena juga ya…,
kirain cuma kena ke orang lain...”
Kami pulang penuh duka.
Anak anak menyambut kami dengan gembira.
Mereka sudah diberitahu kalau akan punya
adik baby.
Ketika anak-anak tidur siang,
kami searching di internet mengenai anencephaly.
Sama seperti yang dijelaskan dokter,
kekurangan asam folat diduga
sebagai salah satu penyebabnya.
Lalu kami menngecek nama baby di internet :
Ancillo Dominic.
Yang ada hanya Ancilla Domini,
nama perempuan,
artinya Hamba Tuhan, nama kecil bunda Maria.
Kami telah menyiapkan dua nama laki laki.
Anak-anak lebih menyukai adiknya
bernama Ancillo Dominic daripada Dominic Xavio,
santo temannya Don Bosco.
Di internet tidak banyak yang bernama Ancillo.
Hari itu kami putusan baby bernama Ancillo.
Hari pertama rasanya panjang,
air mata tidak bisa berhenti,
untunglah ada anak-anak
sehingga saya tidak berani menangis
di hadapan mereka yang belum mengerti.
Setiap malam sebelum tidur, kedua kakaknya
meminta kepada papa Yesus dan mama Maria
agar adik baby bisa lahir dengan sehat dan selamat.
Hati saya sedih setiap kali mendengar doa anak-anak
yang polos.
Hampir setiap subuh jam 3-4 saya terjaga,
saya pindah ke kamar di lantai lain
untuk menyendiri berdoa koronka, rosario, novena Hati Kudus Yesus,
novena Tiga Salam Maria, bercakap-cakap dengan Tuhan,
memohon kesembuhan baby.
Biasanya saya berdoa sampai ketiduran
dengan baju dan bantal basah dengan airmata.
Jc sering membangunkan saya jam 6 pagi, katanya
“Jangan sering sendirian, ya.”
Saya menceritakan hal ini ke adik dan kakak saya,
tapi tidak ke mama saya,
karena saya tahu dia pasti minta menggugurkan
kandungan ini.
Selain itu saya hanya cerita ke dua orang teman
di kantor dan satu teman di kantor lain.
Saya menjalani kehamilan di kantor dengan biasa-biasa saja,
tidak pernah saya menangis di kantor.
Saya tidak mau orang lain mengetahui,
mengasihiani saya atau bertanya-tanya.
Nanti, kalau saatnya saya sendiri sudah recovery,
saya akan menceritakannya.
Tiga hari kemudian kami menemui Dr. Calvin Cong.
Suster dokter ini sempat menolak
karena umur kandungan saya tanggung,
yaitu 17 minggu, biasanya screening
di umur 11-13 minggu untuk cek DS,
kemudian 20-24 minggu untuk mengecek jantung,
kemudian di akhir kehamilan.
Saya membohongi suster ini dan mengatakan bahwa
Dr. Ronny yang minta,
akhirnya Dr. Calvin mau.
Saya sangat menantikan pemeriksaan ini,
saya sangat berharap ada dokter lain
yang berkata bahwa diagnosa Dr. Ronny salah,
bahwa baby sehat-sehat aja,
bahwa USG 2D memang sering salah.
Tapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan.
Malam itu, sekitar jam 7 malam, kami menemui Dr. Calvin,
tampangnya cool, saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan,
soalnya saya takut menangis sehingga tidak bisa bertanya.
Menurut dokter,
penyebabnya bukan genetik, makanan, virus maupun asam folat.
Di Indonesia berbeda dengan di German,
jelas dokter yang german-minded,
karena baru kembali dari sana, di German,
wanita sejak remaja sudah minum asam folat dosis tinggi yaitu 4 mg,
untuk mencegah DS.
Sedangkan di Indonesia, dosisnya hanya sepersepuluh dari yang
diminum orang German,
dengan kandungan obat yang dipertanyakan.
Obat di Indonesia, sebagian isinya sampah,
tidak sesuai dosis.
Bahkan di Singapura pun
tidak menjual asam folat dosis tinggi.
Anencephaly pertama ditemukan di Skotlandia,
banyak terjadi di Eropa, di Asia sangat jarang.
Biasanya orang akan mengaborsinya,
atau bila dibiarkan sampai lahir akan langsung menguburnya,
jarang sekali diotopsi sehingga tidak banyak penelitian
mengenai cacat ini.
Dokter memeriksa USG 4D di ruang gelap
dengan layar besar terpampang seperti bioskop kecil,
suara musik klasik mengalun perlahan di ruangan.
Kami juga menceritakan riwayat pendarahan yang lalu.
Dokter sedikit terkejut.
Seharusnya saya tidak boleh hamil lagi
apalagi kalau pendarahannya lebih dari 500cc.
Seingat saya lebih dari itu,
lebih banyak dari dua kantong darah untuk
ukuran pria.
Dokter memulainya dengan jari tangan dan kaki baby.
Semuanya sudah lengkap.
Kedua ginjal tidak bagus, berkapur.
Jantung bagus.
Satu jam sendiri untuk mengecek jantung,
untuk mengetahui bocor atau tidak.
Saya sempat tidak sabar kenapa harus berlama-lama
mengecek jantung,
kalau nantinya baby tidak akan hidup.
Saya ingin dokter segera mengecek kepalanya.
Dokter menjelaskan kalau jantung bocor besar
bila didengar dengan stetoskop,
alat yang sederhana,
bunyinya hampir sama dengan jantung normal.
Tapi kalau jantung bocor kecil malah terdengar,
seperti suara mendesis.
Biasanya dokter sulit menemukan
jantung bocor besar sehingga berakibat fatal dan
terlambat penanganannya.
Menurutnya, beberapa bayi yang lahir mati,
biasanya disebabkan oleh jantung yang bocor.
Tetapi dokter sini lebih suka bilang kelilit,
karena lebih muda diterangkan ke orang awam.
Padahal bayi belum bernapas dengan
tenggorokan dan paru-paru,
sehingga kelilit bukan alasan lahir mati.
Dokter pun menolak aborsi.
Masih terbayang di matanya ketika bayi yang diaborsi
meninggal di tangannya,
karena tidak ada pilihan lain.
Seorang wanita German,
idiot, dihamili tidak jelas.
Bayinya menderita cacat tulang,
seluruh tulangnya rapuh tulang patah-patah di dalam.
Bayinya sangat kesakitan.
Si ibu tidak memungkinkan untuk memelihara bayi ini.
Dokter German yang dikenal tidak beragama,
walaupun mengakui Tuhan ada,
tidak mau melakukan aborsi.
Bagi yang menemukan kasus,
dia sendiri yang harus membereskan.
Akhirnya baby disuntik mati
dengan alasan baby sangat kesakitan sekali
dan hal ini dibenarkan secara medis.
Kepala baby bersembunyi di tulang panggul
sehingga dokter musti mengelitiknya
dan dengan sabar menunggu baby balik badan
untuk mengecek kepalanya.
Matanya lengkap, hidung dan bibirnya sudah terbentuk.
Mukanya tidak sempurna,
kata dokter mirip kodok.
Kepalanya terbuka, otaknya ada,
tapi makin lama makin mengecil karena cairannya terserap tubuh.
Makanya, ketika USG di umur 12 minggu belum kelihatan,
masih kelihatan normal.
Dokter memuji Dr. Ronny yang menurutnya teliti,
dokter lain mungkin tidak akan menemukan ini di usia ini.
Di luar negripun biasanya ditemukannya di usia 24 minggu,
kalau USG 4D sudah bisa diketahui sejak 12 minggu.
Dokter mengingatkan untuk siap-siap
‘hamil gajah’ karena baby tidak bisa menelan air ketuban
dan ginjalnya abnormal,
sehingga cairan ketubannya akan banyak sekali.
Hal ini justru bagus biar baby kesempitan di dalam
dan lebih cepat lahir atau meninggal di dalam
sebelum waktunya, diperkiraan sekitar umur 5 bulan.
Dokter menceritakan bahwa dia
pernah menemani temannya seorang pendeta,
anaknya menderita DS.
Teman ini protes ke pdt. Stephen Tong,
kenapa dia yang suka mendoakan orang,
yang pendeta tapi diberi anak DS.
Stephen Tong bilang,
kalau semua manusia sempurna,
manusia tidak ada sisi kemanusiaannya lagi.
Kita nonton tv, kita kunjungan ke orang cacat,
kita lihat…tapi tidak akan timbul rasa kasihan.
Baru bisa merasakan bila kita benar-benar hidup
bersamanya dan merawatnya.
Dengan merasakan penderitaan baru
kita bisa mengerti penderitaan orang lain.
Dokter mengingatkan bila aborsi
masalah akan cepat beres,
tapi ibu akan selamanya dikejar perasaan bersalah
karena telah membunuh bayinya,
hatinya tidak akan tenang,
untuk itu harus hati-hati
jangan sampai ibu depresi bahkan gila.
Dokter meminta Jc untuk support
penuh kepada saya karena saat ini
adalah saat yang paling sulit dilewati.
Selesai kontrol dengan Dr Calvin,
kami menunggu hasil di luar dan
proses admin pembayaran.
Tiba-tiba seorang suster menghampiri saya, katanya
Dr. Ronny ingin bertemu sebentar.
Saya sempat bingung, kan baru ketemu
beberapa hari lalu.
Setelah menunggu satu pasien,
suster memperbolehkan kami masuk.
Di dalam, dokter sudah memegang satu copy
surat rekomendasi dari Dr Calvin dan
beberapa foto USG.
Sama persis seperti yang ada di tangan saya.
Mata dokter berkaca-kaca ketika dia mengamati foto baby,
air matanya nyaris tumpah,
hidungnya memerah.
Satu tangannya memegang foto,
satunya lagi menekap mulutnya rapat-rapat.
Dokter belum bicara apa-apa tapi saya sudah menangis lagi,
padahal selama satu setengah jam bersama Dr Calvin
saya cukup kuat untuk tidak menangis
dan dapat bertanya sebanyak-banyaknya.
“Yenny, saya ikut sedih..,” katanya
pelan, menaruh tangannya di atas tangan saya,
“tapi lu nggak usah takut.., baby nggak kesakitan apa-apa,
tiap hari dia makan enak dari mamanya,
dia merasa hangat, dia senang-senang aja di perut mamanya.”
Lalu dokter menatap Jc dalam-dalam,
katanya, “saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil.
Roh itu kekal, tidak akan mati.
Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk
bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik,
sudah merasakan kasih sayang orang tuanya.”
Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.
“Saya juga punya satu pasien,” lanjutnya,
“babynya cacat jantung, parah banget,
tidak mungkin untuk hidup.
Dari awal dia minta saya dikeluarin,
tapi saya bilang, jangan bunuh dia,
pelihara dia sampai waktunya tiba.
Akhirnya, waktu umur tujuh bulan,
babynya meninggal di dalam.
Ketika dilahirkan, ibu itu bilang
kalau dia terlanjur sayang dengan anak ini,
apalagi ketika anak ini sudah mulai tendang-tendang
di perutnya, dia makin sayang ama anak ini.
Ibu itu berterima kasih karena dia nggak jadi menggugurkan.
Dia sangat-sangat sedih, tapi juga bersyukur karena
masih sempat menggendong babynya sesaat setelah dilahirkan.”
“Kalau baby meninggal…,”
kata saya diantara isak tangis,
“biasanya disimpan dimana, Dok?”
“Biasanya langsung dibawa pulang keluarganya
karena rumah sakit nggak bisa simpan lama,
kita nggak punya alat seperti freezer.”
“Dok, dokter Calvin
bilang saya akan hamil gajah,
ginjal baby nggak bagus,
mungkin hanya sampai lima bulan meninggal..”
“Mungkin.., mungkin juga nggak,” kata dokter.
“Lu nggak usah pikirin gimana nanti.
Kalau lu rasa baby nggak gerak-gerak lagi di perut,
lu kontrol ya.
Lu pasti bisa tahu kalau dia udah nggak ada.
Kalau dia meninggal di dalam,
nanti kita lahirkan dia.
Lu udah betul, pelihara dia baik-baik,
kalaupun dia meninggal nanti,
lu nggak akan menyesal sudah pelihara dia,
sudah sayang dia..”
Lalu dokter mengantar kami berdua sampai ke pintu ruangan.
Dokter menepuk-nepuk punggung Jc dan berpesan,
“yang kuat ya, dampingi dia terus.”
Dada saya sesak sekali,
cobaan satu belum selesai sudah datang cobaan lain,
bertubi-tubi. Air mata ini juga tidak bisa berhenti mengalir.
Malam semakin larut, kami pulang tambah berduka,
melewati hari-hari yang sangat berat,
tidak ada harapan lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
Ancillo dikandung penuh dengan doa.
Saat novena meminta baby,
memang saya berkeinginan agar dapat
lebih dekat dengan Tuhan.
Saat hamil adalah saat saya penuh harap kepada Tuhan,
begitu tak berdaya dihadapanNya.
Kadang hari Sabtu kami misa pagi,
semua untuk kesembuhan baby.
Dalam beberapa misa, kami persembahkan baby sebagai
intensi misa.
Kadang siang hari, jam tiga siang, kami mampir ke gereja,
berdoa di depan tabernakel, doa koronka dan rosario,
karena seperti ditulis di buku harian St. Faustina,
Yesus senang bila ada yang mengenangNya di jam kematianNya,
banyak permohonan dikabulkan bila kita memintanya
di jam kematianNya, yang kita minta dalam sengsaraNya yang pedih.
Hari-hari bersama baby sangat menyenangkan,
dia tumbuh seperti kakaknya dalam kandungan,
malah dia sangat aktif dan suka menendang.
Saya sempat bilang ke dokter,
sepertinya baby tidak pernah tidur,
dia seharian menendang-nendang.
Tapi dokter malah jawab sambil
menahan tawa, masa sih, baby juga tidur kok.
Baby selalu terbangun saat doa subuh,
setiap misa, seakan dia ikut berdoa.
Pada saat misa menjelang komuni,
saat konsekrasi,
saya selalu minta kesembuhan baby,
dan saya selalu mengganti
doa prajurit romawi menjadi
‘Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya,
tetapi bersabdalah saja maka Ancillo akan sembuh.’
Setelah menerima komuni,
saya memohon, Yesus yang sudah datang ke dalam hatiku,
Kau berada hanya beberapa senti dari baby,
sembuhkanlah baby, temani dia selalu.
Kakak saya menyarankan ke Rm. Yohanes,
seorang teman menyarankan saya ke Rm. Rohadi,
karena beberapa mujijat penyembuhan terjadi
dan seorang teman lain menyarankan ke Pdt. Pariadji,
karena ada mujijat bayi hidup padahal sudah divonis mati
dalam kandungan dan bayi hidrocefalus disembuhkan.
Saya sendiri ingin ke Rm. Somar karena saat
mengandung Vincent umur lima minggu,
romo mendoakan saya sehingga kista sebesar
10 cm hilang. Dr Yani sampai bingung saat itu.
Semuanya begitu menggoda.
Tapi Jc bilang, kita devosi aja,
tidak perlu pergi ke satupun dari mereka.
Yang menyembuhkan tetap Yesus,
jadi minta ama Yesus,
kalau tidak sembuh juga tidak apa-apa.
Saya sempat berkaul seperti dokter,
barangkali Tuhan mau berbelas kasih.
Kalau Ancillo sembuh,
saya akan serahkan dia untuk Tuhan,
saya akan dirikan panti asuhan,
saya akan wartakan kemuliaan Tuhan.
Tapi kemudian saya bertanya-tanya sendiri,
bagaimana caranya mewartakan kemuliaan Tuhan?
Apa Tuhan mau dengan diri saya yang percaya Tuhan
hanya diomong saja, yang tidak sungguh-sungguh mengenalNya?
Yang hanya mencari Tuhan untuk kesembuhan Ancillo.
Setiap hari selama berbulan-bulan saya berdoa memohon mujijat.
Saya bertanya ke seorang teman yang banyak kenalan romo,
kira-kira siapa yang enak diajak konsultasi.
Tahunya romo juga banyak spesialisasinya, mengenai narkoba,
perkawinan, penyakit, hukum gereja, dan lain-lain.
Akhirnya teman saya memilihkan romo yang paling bisa
diajak konsultasi, Rm. Rolly Untu Msc. dari
gereja Kemakmuran.
Waktu yang disediakan romo hanya setengah jam
karena pagi itu romo sudah janji mau dijemput
untuk memberikan perminyakan suci ke seorang ibu
yang menderita sakit tua berumur 94 tahun.
Saya hanya ingin bertanya mengenai
upacara bila baby meninggal nanti dan
bertanya mengenai donor organ apakah
diperbolehkan gereja.
Tahunya romo belum pernah misa untuk baby meninggal,
walaupun adiknya sendiri meninggal saat lahir,
waktu itu dia masih kelas 6 SD.
Menurutnya, misanya akan sama seperti orang dewasa.
Bila baby sempat hidup, dia akan dibaptis dulu,
baru perminyakan suci.
Untuk donor organ, selama tujuannya
untuk menolong sesama dan
donor dari yang sudah meninggal, diperbolehkan.
Tapi kalau untuk ilmu pengetahuan misalnya
bila diserahkan ke Patologi UI untuk
dipelajari, romo tidak dapat menjawab.
“Apakah rohnya akan selamanya baby?”
tanya saya.
Saya benar-benar tidak bisa membayangkan
baby yang setiap hari saya ajak berdoa ini
harus diajak berbicara seperti baby atau orang
dewasa.
Romo mengeleng-gelengkan kepala,
tidak bisa menjawab, katanya,
“Roh itu tidak bisa dibandingkan dengan badan manusia
yang melalui proses dari baby,
merangkak, berjalan, dewasa, tua dan meninggal. Di alkitab ditulis,
bagi manusia seribu tahun tapi bagi Tuhan hanya sehari.”
“Romo, apakah mujijat itu benar ada?” tanya saya.
“Mujijat ada,” jawabnya pendek.
“Apakah romo pernah lihat langsung?”
“Satu kali,” jawabnya.
“Saya lihat orang lumpuh berjalan sesaat di KKR.
Tapi saya tidak tahu apakah dia bisa berjalan besok dan
besok-besoknya. Kalau Yesus yang sembuhin,
selamanya orang itu akan berjalan.
Ada juga yang sudah direkayasa.
Sulit sekali terjadi mujijat,
tidak semurah-meriah yang kita lihat di tv.
Kita tidak tahu yang mana yang benar-benar mujijat.
Sama seperti manusia bila akan meninggal,
di detik-detik terakhir,
tiba-tiba dia makan, minum, sehat, jalan, seakan sembuh,
tapi besoknya meninggal. Itu yang namanya kekuatan terakhir.
Gereja Katolik sangat hati-hati
dalam menyebut mujijat.
Seperti di Lourdes, kalau kita ke sana, ada ribuan kruk
tergantung, belum lagi kursi roda yang ditinggal,
tapi hanya sedikit mujijat yang diakui gereja.”
21 minggu
Hari itu lebih ramai dari biasanya,
ketika kami menaruh buku kesiangan
sepuluh menit saja sudah dapat nomer belasan.
Dokter menyambut kami dengan gembira
dan memeriksa baby dengan seksama.
Setelah selesai periksa, dokter menceritakan
kalau dia baru dimarahi oleh seorang ibu.
Babynya terkena tokso, telapak tangan kiri tidak ada.
Di awal kehamilan dokter sudah menemukannya
dan menulis di bukunya, tapi dokter
prefer tidak memberitahukan ke orangtua baby,
dia merahasiakannya, biar bagaimanapun baby ini harus dilahirkan.
“Untuk cacat minor,
tidak seorang dokter pun boleh aborsi,” katanya.
Orang tua baby itu begitu marah saat melihat baby cacat.
Kata mereka, kalau tahu baby akan cacat, dari awal mereka
akan keluarkan.
“Ibu..,” kata dokter, “bayi ibu tidak kurang apa-apa,
dia cuma tidak punya telapak tangan,
masih banyak bayi yang cacatnya lebih berat,
tapi ibunya tetap terima dia.”
Ibu itu tetap tidak bisa terima dan tidak bersyukur.
Mungkin sudah insting dokter
untuk mempertahankan baby itu agar
tetap hidup walaupun resikonya dia habis kena marah.
26 minggu
Hari itu mood dokter sedikit jelek,
begitu datang dia langsung meminta maaf
karena sudah bikin saya menunggu lama.
Senyum menawan yang selalu
menghias wajahnya lenyap.
Dia sedang kesal dengan orang yang suka cari hari
dan jam untuk caesar, karena bikin berantakan
semuanya dan mengorbankan orang lain.
Biasanya hari Sabtu pagi dokter mulai praktek jam 8.30,
kadang lebih pagi, tapi hari itu baru mulai jam 11 siang,
karena tiba-tiba didatangi dua keluarga untuk caesar
tanpa perjanjian sebelumnya karena jamnya bagus.
Jadinya pagi itu dokter caesar empat orang,
dan setelahnya dokter sekalian visit
pasiennya yang akan pulang.
Saya menunggunya sampai gempor dan kelaparan.
Soalnya suster bilang cuma caesar dua pasien,
itupun dokter sudah stand by dari jam 6 pagi,
tapi kenapa dokter tidak muncul juga.
Mau pulang juga sudah tanggung.
Begitu saya masuk dapat nomer 1,
di meja dokter sudah penuh dengan buku,
membentuk beberapa jejer selebar meja,
sampai hampir tumpah di ujungnya,
hanya meninggalkan sedikit space di tengah-tengah.
Bukunya sudah lebih dari nomer 60,
di luar suster masih terus tensi,
pasiennya masih terus berdatangan.
“Manusia kalau dikit-dikit lihat hari, lihat jam, lama lama
manusia jadi terbelakang, percaya tahyul,” kata dokter.
“Nggak usahlah lihat-lihat hongsui, tanggal, hari atau jam,
Tuhan sudah atur semuanya, dan semuanya bagus.
Betul nggak?” tanyanya pada Jc, masih sedikit jengkel.
“Iya,” jawab Jc sambil senyum, lucu melihat dokter tumben bete.
Sambil berdiri, dokter menggeser-geser dan merapatkan
barisan buku-buku di mejanya supaya ada
sedikit space untuk menaruh tangan agar bisa bergerak.
“Saya nggak tahu, dari mana aja pasien saya sebanyak ini.
Minggu lalu ada yang dari Sumatra.
Bingung saya, kenapa jauh-jauh cari saya?” tanyanya heran.
“Itu yang namanya rejeki, Dok”
kata suster tinggi berkacamata disampingnya.
Usianya sudah setengah baya.
“Begitu ya, sus?” tanya Dokter,
matanya tidak lepas menatap suster itu,
menunggu jawaban darinya.
“Rejeki dari Tuhan, Dok,” jawab suster itu dengan
sabar, seperti seorang ibu sedang menasehati putranya.
“Oya. Jalani aja.
Semua dari Tuhan. Begitu kan, Sus?” tolehnya ke suster.
“Iya,” suster
menjawab dengan senyum sabar.
“Saya juga sedih, banyak pasien, banyak juga
fitnah yang saya terima,” katanya sambil menggelengkan kepala,
mukanya meringis.
“Banyak….,” suaranya bergetar. Pasrah.
Dokter menghela napas. “Mau diapain, ya sudahlah..
toh saya bekerja untuk Tuhan.”
Moodnya berubah cepat, begitu jalan
ke kursinya untuk USG,
wajahnya sudah cerah kembali,
melangkah ringan sambil
bernyanyi-nyanyi.
Dokter mengukur panjang kaki dan tangan baby.
“Yenny, baby lu sehat sekali,” seru dokter.
“Coba lu lihat ini, dia happy,
dia lebih besar dua minggu dari umurnya.
Ukurannya 28 minggu, lu kan baru 26.”
“Kok gede ya, Dok?” tanya saya.
“Emang yang pertama dan kedua berapa?”
tanyanya balik.
“Tiga kilo dan tiga enam.”
“Lumayan gede,” kata dokter,
“baby nggak akan seberat kakaknya,
karena dia nggak punya termpurung.
Tapi ini ukurannya udah bagus banget,
dia sehat sekali.” Dokter menerangkan sambil
berbinar-binar.
Dokter kembali memperlihatkan
bagian-bagian tubuh baby yang
sudah sempurna terbentuk.
Dia juga memperdengarkan jantung baby,
bagus semua.
Sekembalinya di mejanya,
dokter berkata,
“jangankan baby cacat,
baby sehat pun bisa dipanggil Tuhan kapan aja..”
“Kemarin pagi,” ceritanya,
“saya baru tolong satu ibu melahirkan.
Jam 5.30 pagi ibu itu datang ke kamar bersalin,
kontraksi, 39 minggu. Lalu di CTG selama setengah jam,
kondisi ibu dan baby bagus tinggal menunggu pembukaan.
Tiba-tiba jam 6, kondisi jantung baby resah,
drop ke 50.
Saya ditelpon suster, terus saya kasih instruksi
supaya ibunya tidur miring ke kiri
biar oksigennya lebih banyak.
Saya segera datang,
lima belas menit kemudian,
jam 6.15 langsung siap caesar
karena jantung baby sudah makin drop.
Begitu baby dikeluarin sudah tidak tertolong,
keburu meninggal di dalam.”
Dokter terdiam lama.
”Siapa sangka….,” katanya pelan sambil
menggeleng-gelengka n kepala.
“Kita nggak bisa duga…, selama sembilan bulan
kontrol, USG, semua bagus, sampai minggu lalu
kontrol terakhir masih bagus
semua, kenapa pas detik terakhir…
tinggal lahir malah meninggal?
Sebentar aja udah nggak ada.
Kita nggak tahu Tuhan punya mau.”
Matanya menerawang ke atas.
“Sebelum ke sini,
saya sempat tengokin dia, kasihan sekali dia,
masih bengong-bengong sendirian di kamarnya.”
Dokter menghela napas panjang dan
termangu menatap kosong lembaran kertas putih
untuk dituliskan resep.
Saya bisa membayangkan
pasti ibu itu sudah menyiapkan dengan sempurna
semua keperluan baby mulai dari baju baru,
kaos kaki dan tangan, topi, popok, kain bedong,
minyak telon, bantal, selimut, tempat tidur baru,
kamar baby. Sekarang impiannya hancur...
Kami ikut diam, memperhatikan dokter.
Kami menunggunya,
sampai akhirnya dokter mendongakkan kepala dan bertanya,
“Vitamin masih ada, Yen?”
Nah, dia sudah kembali.
Seperti biasa dokter hanya meresepkan obat
tambah darah dan kalsium karena dokter tahu
saya alergi susu.
Ketika pulang, saya bilang ke Jc,
lain kali kita ke kontrol dokternya ajak anak-anak saja.
Jadi dokter tidak cerita yang sedih-sedih.
Jc cuma bilang, nggak usahlah,
dokter kan juga perlu curhat.
Dia cuma bisa curhat ama kita,
kalau pasien yang babynya baik-baik aja,
mana mungkin dia cerita kayak gini. Bener juga.
Saya sempat bertukar cerita dengan beberapa teman
yang pernah dirawat oleh dokter,
mereka bilang dokter jarang cerita, cek biasa aja,
yang pasti dokter enak diajak ngomong,
kalau diSMS pasti dijawab,
segar banget orangnya,
dan ngomongnya gua-elu.
Bahkan ada seorang teman sering SMS dokter,
iseng aja, katanya senyum penuh rahasia.
30 Minggu
Saya sempat balik sekali ke Dr. Yani.
Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D.
Dokter tersentak kaget, badannya mundur,
menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya.
“Ya mau diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..”
Hanya itu yang dikatakan olehnya.
Dokter sempat kesal karena lima bulan
saya tidak kontrol dengannya,
malah pindah ke lain hati.
Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin
di keluarga kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya,
lahir ditangannya.
Sambil USG, dokter berkata,
“hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin.
Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.
“Apes?” tanya saya,
sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.
Tapi dokter tidak mengiyakan
maupun membatah,
kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.
“Dok, apa saya musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.
“Percaya sama saya,
ini bukan karena asam folat
dan hanya terjadi satu kali aja.
Makanya saya bilang, abis ini langsung hamil lagi.”
“Dok, saya akan hamil gajah ya,
waktu USG katanya ginjalnya jelek?”
Lalu dokter memeriksa ginjal baby.
“Ini apa, ginjal kan? Dua-duanya bagus, normal,
kalau nggak perut baby udah bengkak.”
Dokter kurang sependapat dengan USG 4D
yang menurutnya komersial,
rekomendasinya kurang bisa dipakai.
“Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya.
Dokter menggeleng-gelengkan kepala.
“Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja
susah untuk di donor.”
“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.
“Udah sering,” jawabnya.
“Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada,
Mutiara waktu belum jadi Family juga ada.
Biasanya hidup tiga hari,
yang paling lama hidup tujuh hari,
akhirnya meninggal juga.
Nanti melahirkannya biasa aja,
diinduksi dan pakai epidural,
nggak perlu dicaesar.
Kalau nggak diinduksi dan epidural,
lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”
“Apakah dia akan telat lahir?” tanya saya cemas.
“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”
Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja,
pas hari melahirkan juga boleh,
dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.
Kami tidak balik lagi ke Dr. Yani
karena merasa lebih cocok dengan Dr. Ronny.
35 minggu
Dokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas,
tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi,
pantatnya lebih berat dari kepalanya, baby sungsang.
“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.
“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya.
“Apa lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”
“Kalau babynya kecil, lingkarnya
hampir sama,” jawab dokter.
“Tapi kalau babynya gede bisa bahaya,
bisa nyangkut di bahu pas lahir.
Lu nggak usah takut,
baby lu nggak besar,
mungkin nggak sampai tiga kilo.
Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”
Setelah mengutak-ngatik monitor, dokter berkata,
“alat ini selalu minta lingkar kepala,
sedangkan baby nggak punya lingkar kepala.
Jadi kalau kita masukkin lingkar kepala nol,
dia nggak mau keluarin beratnya.
Barusan gua ukur dia punya tungkai
kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”
Dokter masih penasaran
mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.
“Baby begini, memang biasanya
sungsang, dia nggak bisa muter,
pantatnya lebih berat dari kepalanya
dan memang lebih bagus lahir pantat
sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim
bisa terbuka.”
Sambil USG, dokter cerita,
“pagi ini gua praktek kesiangan karena
diatas tolong satu ibu dulu,
hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah,
baby mau dicoba untuk dipertahankan
satu bulan lagi baru dilahirin,
tapi ibunya keburu panas tinggi dan kejang,
akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng..
”
Mata dokter masih di layar monitor,
sambil memperlihatkan baby ke saya.
”Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?”
tanya saya, selama ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.
“Mukanya biasa aja,
seperti muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”
“Bisa dipakein topi?”
“Nggak bisa lho,
karena dia nggak ada lingkar kepala.”
Belakangan saya baru sadar bahwa dokter berbohong
untuk membesarkan hati saya, baby mukanya
tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly,
matanya menonjol seperti kodok.
“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc
“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu,
ada penutupnya seperti selaput tipis.”
“Dok, apa jantung atau ginjalnya bisa didonor?”
“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya
langsung cerah, matanya berbinar-binar.
“Coba lu cek ke Harapan Kita.
Kalau bisa didonor, dia nggak akan sia-sia kan?
Mungkin masih bisa berguna buat yang lain.
Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”
Dokter pun cerita kalau ada pasiennya ada juga
yang cacat jantung berat,
babynya tidak ada harapan untuk hidup.
Kemungkinan saat lahir langsung meninggal.
Tapi orangtuanya bilang mereka
mau coba lahirkan di Singapura,
dan dokter bilang nggak masalah.
Ketika kontrol sebulan setelah melahirkan,
ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu
di ICU, sempat juga jalani operasi jantung
tapi akhirnya meninggal juga
“Saya sudah cek di internet,
belum ada mengenai donor jantung baby,” kata saya.
“Memang… sulit sekali operasi jantung,
apalagi ini jantung baby, kecil sekali.”
“Dok, kalau lahirin nanti, sebelum digunting,
dibius dulu nggak?”
tanya saya sambil nyengir, ngeri membayangkan harus digunting.
Jc yang sudah dua kali menemani saya melahirkan
mengatakan kalau yang digunting adalah daging
yang tebal di sekitar pantat,
bukan cuma selaput tipis.
Saat digunting, bunyinya juga krek-krek-krek.
“Enggak dibius,” jawabnya santai.
“Karena rasa sakitnya melebihi waktu digunting.”
Saya cuma melongo, pasrah.
“Pas jahitnya baru dibius,”
tambahnya mencoba menenangkan saya,
mengerti betul saya sedang cemas.
Jawaban dokter tetap aja tidak menenangkan hati saya.
“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.
“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja,
nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi,
nggak seperti awal bulan, lebih ramai.
Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama.
Gua biasanya menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.
Mau gimana lagi, dokter memang kesayangan ibu-ibu hamil.
Sejak hari Jumat Agung saya ikut novena
Kerahiman Ilahi. Saya sengaja mengambil cuti
seminggu di kantor.
Novena mulai jam 12 siang.
Setelah itu saya berdiam lama di depan kanfas besar
bergambar ‘Yesus, Engkau andalanku’ sambil koranka,
rosario dan jalan salib.
Seperti yang diminta Yesus sendiri
bahwa Dia sangat ingin ditemani di hari-hari itu.
Saya berada di kapel, kadang di gereja
di depan tabernakel sampai pukul tiga siang.
Hanya satu pengharapan saya yang terakhir,
mungkin Tuhan mau berbelas kasih kepada baby.
Segala rahmat yang boleh saya dapatkan,
semuanya ingin saya mintakan untuk kesembuhan baby.
Saya berharap baby bisa lahir
tanggal 30 Maret, di hari pesta Kerahiman Ilahi,
karena janji Yesus sendiri,
segala rahmat akan turun dari surga di hari itu.
Ternyata, baby belum mau lahir.
Saya sedikit kecewa.
Lalu saya kembali masuk kantor.
Teman-teman mengira saya sudah melahirkan,
karena saat itu sudah 38 minggu.
38 minggu
Hari itu baby muter lagi,
kali ini kepala berada di bawah,
sudah siap dengan posisi lahir.
Saya sempat bertanya-tanya,
apa ini jawaban dari novena,
karena cemas akan melahirkan sungsang.
Paru-paru baby sudah matang
dan sudah siap lahir.
“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu,
nanti kita lihat, kalau fungsi plasenta
sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter.
Dokter mengingatkan bila pecah ketuban
atau keluar flek darah, langsung ke kamar
bersalin lantai 2,
nanti suster akan menelpon dokter.
Minggu ini, kata dokter, ada pasien baru,
kontrol umur 38 minggu.
Baby sudah mau lahir,
tapi si ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung.
Ibunya kaget, dokter sebelumnya tidak pernah inform.
Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru,
hanya menghitung panjang lengan dan kaki,
kalau kepalanya menyumpet tidak dicari.
Saat memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya
kalau babynya tanpa kepala,
sampai dokter meminta untuk USG lewat vagina,
karena baby sudah turun kadang sulit
mengecek kepalanya.
Pasiennya ada yang terkena thalasemia,
anak kedua.
Orang tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor.
Anak pertama sehat,
tapi anak kedua kemungkinan kena.
Mereka bertanya apa yang harus dilakukan.
Dokter mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis,
ambil sample air ketuban,
lewat pusar ibu.
Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur.
Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin
babynya akan tidak apa-apa.
Saat baby sudah lahir berumur tiga bulan,
mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata,
“baby elu lucu.”
Tapi mereka menjawab,
“lucu sih lucu.., tapi menyedihkan. .
Benar yang dokter bilang, dia kena thalasemia.
Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali transfusi darah,
habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi,
musti transfusi darah lagi.”
Dokter menerangkan bahwa untuk bayi,
transfusi itu sangat menyakitkan sekali
karena pembuluh darahnya begitu kecil,
susah mencari nadinya dan ditusuk-tusuk.
Menderita sekali.
Proses ganti darahnya lebih lama dari orang dewasa.
Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum
di Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun
lebih maju dan mereka sudah berhasil
menyembuhkan thalasemia.
Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja,
belum termasuk tinggal dan cek rutin.
Mereka bilang ya, saat ini kumpulin
dana untuk berobat.
Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran,
suaminya baru kena stroke,
sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin.
Bayinya 35 minggu, jantungnya tidak bagus.
Dokter bilang baby mungkin akan meninggal
dalam seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.
Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi,
dia bilang babynya udah seminggu lebih
tidak bergerak.
Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam,
baby hanya bisa dilahirkan.
Lalu enci itu menanyakan
biaya melahirkan ke admin dan kembali ke
dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan.
Dia menanyakan rumah sakit mana yang murah.
Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang,
setahunya murah dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.
“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak,
macam-macam cacatnya,” kata dokter,
terdiam sebentar, “yang meninggal juga ada...”
Dokter menatap lurus mata saya,
“gua cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu …
kalau lu nggak sendiri.”
Sayasampai terpana mendengarnya.
Tidak pernah terpikir sejauh ini.
Sambil menuliskan resep,
dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya
hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella.
Dokter sudah mencoba meyakinkan mereka,
bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun,
divonis kena rubella saat masih dikandungan,
kemungkinan cacat 90%,
tapi orang tuanya tetap pertahankan dia,
karena masih ada chance normal 10%.
Orang tua anak itu sungguh bersyukur tidak buang baby mereka,
nyatanya sampai sekarang anak itu sehat tanpa pernah diganggu rubella.
“Kalau masih ada chance untuk normal,
biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih.
“Walau nggak ada chance, cacat pun kita pelihara dia,
kenapa harus dibuang?”
Kemudian dokter menatap kami,
“untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter.
“Badan ada waktunya mati tapi roh itu kekal,
dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua
dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih
karena mama nggak buang dia.
Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti,
dia akan langsung bilang ‘mama pembunuh’!”
Dokter menghela napas.
“Makanya banyak pembunuh yang hidupnya
nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”
Iya juga..,
bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.
“Dok, nanti kalau setelah melahirkan, pas udah boleh pulang,
apakah saya boleh ikut kreamasi?” tanya saya.
“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh.
Soalnya lu masih belum kuat.”
“Deket kok, di Atmajaya.”
“Kalian sudah ke sana?”
“Udah,” kata Jc.
“Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok.
Baby tiga hari dibiarin masih bagus,
nggak perlu diformalin juga.
Kita nggak perlu sewa ruangan
karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya.
Atmajaya juga akan sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”
“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter.
“Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan
sembarangan, jadi lebih cepat busuk.
Tapi baby kan belum makan, darahnya juga
masih bersih, jadi bisa tahan lama.”
Lalu dokter menjadwalkan kontrol berikut,
dua minggu yang akan datang.
40 minggu
Sesuai yang dijadwalkan, kami kontrol.
Hari itu hari perkiraan lahir.
Sudah empat hari saya merasa perut kencang seharian,
tapi mulasnya tidak bertambah,
masih bisa ditahan.
“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya
yang saat itu sedang kencang.
“Sakit nggak?”
“Nggak,” jawab saya.
“Ya segini-gini aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”
“Memang, baby nggak bisa menekan,
dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat,
untuk dorong supaya rahim mau ada pembukaan.”
“Posisinya udah turun ya, Dok?
Perut atas saya sudah kosong.”
“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”
Dokter menjadwalkan jam 8 pagi di kamar bersalin, tanggal 16 April.
Tadinya dokter meminta tanggal 17 karena dia seharian
di rumah sakit ini, tapi saya minta tanggal 16
karena saya ingin baby lahir di hari St. Bernadeth,
santa pelindung saya.
Dokter menyetujui, tidak masalah tanggal 16,
paginya dia praktek di sini,
siang tempat lain, tapi sore balik lagi praktek di sini.
Ibu saya yang pintar cari hari
juga mengatakan kalau sampai akhir bulan April,
hanya tanggal 16 yang bagus buat melahirkan, lainnya jelek.
Andaikan ibu saya menyebut tanggal lainpun,
saya tetap memilih tanggal 16.
“Kita tunggu dia kontraksi alami ya,
sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi.
Gua nggak mau buru-buru induksi,
nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi
pada nggak tahan, sekalian minta epidural.
Lu kan nggak boleh pakai epidural,”
kata dokter prihatin.
“Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia
mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”
Lalu dokter meresepkan obat
pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya.
Tapi begitu saya minta disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter
langsung mencoret resepnya,
batal memberikan obat,
“jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu pendarahan.”
Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan.
“Nanti aja di kamar bersalin baru gua atur,
induksinya pelan-pelan aja,
jadi lu nggak perlu diepidural,
gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.
“Dok, nanti sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.
“Lu tenang aja,” jawab dokter.
“Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya.
Pasien gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan,
bisa langsung transfusi darah, lebih cepat.
Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu,
nadinya susah ketemu.”
Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu,
beberapa suster berlomba mencari nadi di segala penjuru,
kaki, telapak tangan, lengan, kiri dan kanan,
semuanya ditusuk dengan jarum,
bahkan setelah tusuk masih dibelok-belokkan,
sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya,
saya diantara sadar dan tidak.
Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh
suster dan ada satu dokter,
badannya tinggi besar dihadapan saya.
Badan saya diguncang-guncang dari bahu sampai kaki
oleh beberapa suster,
ada yang meneriakkan di kuping saya
bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun,
harus bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan,
serasa terayun-ayun, semuanya jadi putih, begitu damai..,
dingin.. tidur.. putih..
Suara orang demikian ramai,
tapi terdengar jauh sekali,
makin lama makin menghilang.
Pikiran saya melayang jauh,
mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus,
janjiNya mau jemput… kok nggak datang-datang.
Saya hanya melihat ada satu warna..
putih yang terang, putih yang dingin, putih yang damai...
“Bener, Dok” jawab saya,
“kalau pendarahan pulihnya lama,
dua bulan masih keleyengan.”
“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.
Lalu dokter menulis resep,
“Vitamin masih, Yen?”
“Abis.”
“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih,
soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah,
lu tetap minum ya buat tambah darah.
Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”
“Nggak terlalu.”
“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI,
lu kan nanti nggak nyusuin.”
“Tiap kali ASI suka masalah.
Yang pertama, sempat dibawa ke UGD,
kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”
“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat.
“Pasien gua banyak kayak lu.”
“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur,
buat sinar, dadanya dipanasin,
nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar.
Kalau nggak mah keras banget, mau dipompa nggak bisa,
diperas nggak bisa. Sakit banget.”
“Beli dimana alatnya,
biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.
“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”
“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,”
kata dokter gembira.
Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya
sebuah ide sederhana.
Hari H
Hari yang ditunggu semakin dekat.
Saya merapikan pekerjaan kantor
dan bersiap-siap untuk cuti selama satu bulan,
karena tidak ada babynya, tidak perlu cuti lama-lama.
Malam terakhir, kami bersama anak-anak
mempersembahkan doa koronka untuk adik baby yang akan lahir.
Anak-anak sudah kami persiapkan untuk berita kematian,
dengan menceritakan bahwa saat mereka lahir kelilit tali pusar,
tapi tidak terlalu kencang, masih bisa terlepas dan bernapas.
Tapi untuk adik baby, belum tahu apakah akan kelilit
atau tidak. Untuk itu kami berdoa agar adik baby tidak kelilit.
Saya berdoa sambil menahan sedih,
hari ini akan menjadi hari terakhir baby bersama kakaknya.
Apakah juga akan menjadi malam terakhir bagi saya?
Saya buru-buru mengenyahkan pikiran itu.
Setelah pesta hari Kerahiman Ilahi tanggal 30 Maret,
baby tidak mau lahir juga,
saya meminta Tuhan supaya bisa lahir tanggal 4 April,
yaitu hari Jumat pertama, tahunya meleset juga.
Terakhir saya meminta tanggal 16 April,
masa meleset juga, pikir saya.
Tiap hari kami misa pagi dari jam 6.00 sampai sekitar 6.40,
sehabis itu masih sempat antar anak-anak ke sekolah.
Sebelum ke gereja, saya menyempatkan novena Hati Kudus Yesus,
ada kata-kata yang paling saya suka
‘kepada siapa saya berharap, kalau bukan kepada
hatiMu… Yesus, buatlah yang hatiMu kehendaki.’
Romo Andreas pernah mengatakan
kalau Yesus yang kita sembah bukan Yesus seperti
di film-film Bollywood atau di sinetron-sinetron,
dimana Yesus kita bentuk sesuai maunya kita,
dimana Yesus yang terbalik melayani maunya kita.
Bukan juga Yesus yang superstar,
yang ikut Yesus pasti sukses, pasti sehat, yang pasti-pasti,
bukan semua, tapi Yesus yang selalu mengajak kita mengikutiNya
memanggul salib kehidupan.
Betapa beratnya mengikuti Yesus, pikir saya.
Misa pagi hari itu,
terbukalah hati saya yang selama ini
sangat mengharapkan kesembuhan baby.
Romo berkata,
“Yesus ada dimana kehendakNya terjadi.”
Romo menutup misanya dengan berpesan
mengutip kata-kata Martin Luther,
“kalau kita berjumpa Yesus hari ini,
hanya empat kalimat yang akan Dia katakan,
I Love You, I Know You, I Understand You…
terakhir… Do You Know Me?
Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu,
apakah kamu mengenalKu?”
Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus,
saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu.
Bagaimana Kau bisa berkarya di hati seperti ini?
Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo,
tapi kita seperti orang baru kenalan.
Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu
dari awal lagi, tambahkanlah imanku.
Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan
mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi.
Hati saya lebih tenang.
Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi kekuatan kita?
Romo menambahkan,
“Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”
Jam 8 pagi saya masuk kamar bersalin
setelah mengisi formulir admin
dan menyerahkan buku medik ke suster.
Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby
dan kontraksi selama setengah jam,
lalu mengambil darah dan menyiapkan induksi,
juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga.
Suster juga memberikan obat mulas untuk cuci perut.
Suster konsultasi dengan dokter lewat telepon
karena dokter sedang operasi caesar.
Ternyata sudah bukaan 1.
Tetesan induksi di infus elektronik hanya 4 ml.
Selesai operasi caesar,
dokter memeriksa kondisi saya,
lalu meminta suster untuk menyuntikkan pelunak rahim,
karena mulut rahim masih sangat tebal,
baby tidak ada penekanan.
Dokter menyarankan untuk menambah kantong darah
menjadi dua kantong, satu kantong discreening,
satu lagi tidak.
Setelah satu jam tidak ada kemajuan pembukaan,
dokter mengatakan saya akan dibalon.
Saya yang masih bisa jalan sendiri pindah ke ruang
tindakan.
“Gua buat lu nggak kesakitan,” dokter menghibur saya.
“Sabar ya, sayang, memang nggak enak sedikit rasanya,
tapi ini akan buat pembukaan ada kemajuan.”
Walaupun dokter hafal nama,
tapi dia lebih sering memakai kata ‘sayang’ ke pasien dan suster.
Ada seorang berpakaian suster, sudah berumur,
berambut panjang dan bertubuh kecil mungil,
tugasnya membantu para suster
mengambil obat ke apotik,
mengambil hasil darah ke lab,
dan menyiapkan alat-alat
yang akan dipakai dokter.
Ada satu lagi tugasnya, mencukur rambut bawah,
para suster menyebutnya ‘cuplis’.
Nama asisten para suster itu mbak Iyem.
Ketika hendak memasangkan balon,
suster membantu dokter mengikatkan bajunya dari
belakang, bajunya mirip baju anti peluru.
“Eiit… entar dulu,” kata dokter.
“Mau betulin dasi. Nyangkut dikit, biar nggak kena ciprat darah.”
Lalu dokter menggulung lengan bajunya,
memakai sarung tangan dan bersiap-siap untuk tindakan.
“Mbak Iyem, mau yang ini dong,” pinta dokter sambil menunjukkan
alat yang dimaksud, “no.. (sekian)”
Lalu mbak Iyem mencarikan sana-sini,
diantara tumpukan alat-alat yang bentuknya mirip-mirip.
Setelah ketemu dia berikan ke dokter.
“Bukan yang ini, mbak Iyem,” kata dokter.
“Ini kebesaran, ada yang kecilan lagi.”
Dokter dengan sabar menunggu mbak Iyem mencari
lagi.
“Bukan yang ini juga, coba cari lagi, ini masih kebesaran.”
Lalu dokter menunggu lagi sambil bernyanyi lagu rohani.
Tidak lama ada telpon masuk,
dokter on-line lewat bluetooth hitamnya
yang menempel di kuping.
Habis on-line,
bernyanyi-nyanyi lagi atau bercanda dengan suster.
“Yang ini?” tanya mbak Iyem ragu-ragu.
“Masih bukan, udah hampir betul.”
Mbak Iyem masih cari lagi,
dokter menoleh berulang kali,
masih menunggu, tidak terlihat bete sedikitpun.
“Ini, betul?” tanya mbak Iyem, takut salah lagi.
“Nah, ini dia!” serunya girang sekali,
wajahnya langsung berseri-seri, seperti anak kecil
menemukan harta karun mainan kesayangannya.
“Mbak Iyem… mbak Iyem…, coba dari
tadi ketemu, udah selesai nih pasang balonnya.”
“Udah ah, nggak usah mbak
Iyem, mbak Iyem,” kata mbak Iyem sambil cemberut.
”Kerjain aja sana.”
Mbak Iyem masih berdiri di belakang dokter.
Barangkali dokter perlu alat lain.
Dokter melongok ke mbak Iyem, nyengir,
mengedipkan mata dan meledeknya,
“Mbak Iyem, mbak Iyem…”
“Udah sana, kerja,” usir mbak Iyem sambil
mengibas-ngibaskan tangannya.
Dokter tertawa senang, berhasil bikin orang
kesal, mengulanginya, “mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem makin cemberut.
“Coba dari tadi ketemu..,” ujar dokter sambil memasangkan balon,
“udah beres nih sekarang.”
Dokter menoleh lagi, senang sekali menggoda mbak Iyem
yang semakin manyun. “Mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem sudah tidak bisa marah.
Dia mengacuhkan ketika dokter menggodanya terus.
Dokter dicuekin.
Percuma juga cemberutin, dokter tidak terasa.
Balon yang dimaksud ternyata karet yang
panjang berwarna orange,
mirip balon mainan anak-anak, diisi air sebanyak 50 ml,
balon diikat simpul,
lalu dimasukkan ke mulut rahim
dan sebagian sisa karet
balon tersebut berada di luar.
Memang tidak terasa sakit sama sekali.
“Mbak Iyem,” pinta dokter setelah selesai tindakan,
“disimpan baik-baik alat ini,
besok-besok saya mau pakai,
udah nggak usah cari-cari lagi.”
“Iyooo..,” sahut mbak Iyem.
“Mbak Iyem, mbak Iyem…,” kata dokter
sambil tertawa terbahak-bahak dan berjalan keluar.
Saya kembali ke tempat tidur,
lalu suster mengikatkan tali di ujung karet balon
yang berada di luar kemudian ujungnya
digantungkan sebotol penuh infus sebagai pemberat.
Saya harus berbaring lurus,
tidak boleh lagi miring-miring.
Lalu ketika infus dijatuhkan ke ujung ranjang di ujung kaki,
terasa ada tarikan di mulut rahim.
Makin lama makin terasa.
Sebotol infus itu menjadi pemberat pengganti kepala
bayi yang tidak ada penekanan.
Dokter sempat menengok dan memberi semangat,
“Sabar ya, sayang, kita coba balon ini dulu, biar bukaan lu nambah.”
Sebelum pergi, dokter berpesan ke suster untuk memberitahukan
perkembangannya karena dia akan praktek.
Selama satu jam saya menahan sakit sedikit,
sambil memikirkan apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba balon kecil itu meluncur keluar dari mulut rahim,
melesat ke tanah, ‘gubrak’ botol infus jatuh ke lantai.
Suster langsung datang.
Beberapa bercak darah dimana-mana karena balon kecil itu
meluncur diantara kaki dan jatuh ke lantai.
Dua orang suster membersihkan darah di tempat tidur,
besi tempat tidur, dan mengganti seprei,
seorang lagi langsung mengecek bukaan.
Ternyata bukaan sudah bertambah jadi 3 cm.
Suster langsung menelpon dokter memberi kabar.
Dokter mengatakan bagus ada kemajuan
tapi biasanya prosesnya lebih lama dan
ketika balon terlepas sudah ada di pembukaan 5.
Kembali saya diperbolehkan tidur miring-miring,
karena rasanya memang lebih enak,
tidak menekan tulang belakang.
Suster memasang alat CTG,
katanya dokter ingin tahu kontraksinya apakah ada kemajuan.
Kontraksi setiap empat menit, jantung baby bagus,
lalu induksi ditambah jadi 12 tetes.
Jam 10 lewat, pembukaan naik ke 4.
Kontraksi per tiga menit,
tapi saya saya tidak merasakan sakitnya.
Hampir tiap jam suster memeriksa pembukaan,
tidak bertambah juga.
Jam 2 siang, setelah selesai praktek,
dokter kembali visit.
Dokter memeriksa kontraksi sudah per 2 menit,
tapi baby masih jauh diatas, belum mau menekan jalan lahir.
Rahim juga masih keras sehingga disuntikkan lagi pelunak
rahim.
“Kontraksi lu udah bagus sekali, Yenny,” kata dokter
“kalau keadaan normal, entar sore juga udah lahir.
Tapi ini susah, belum tentu mau lahir hari ini.
Masih tebal banget rahim lu, sabar ya,
lu tidur-tiduran dulu aja, simpan tenaga.”
Lalu dokter terdiam sebentar, memperhatikan kontraksi.
“Eh.. ini lagi kontraksi nih, kencang banget, lu berasa sakit nggak?”
“Nggak sakit sama sekali.”
“Berarti lu tahan sakit…,” katanya.
“Sayangnya nggak ada balon ukuran 250 ml,
kalau ada gua pasang balon lagi, biar bukaan nambah.
Padahal, tapi pagi sudah bagus sekali,
dari 1 langsung 3. Cakep banget deh bukaannya.
Sekarang dia lambat lagi. Sabar ya, sayang, kita tungguin aja,
nanti juga lahir.”
Lalu dokter memberi pengarahan ke suster sambil menerangkan
anencephaly tidak terjadi penekanan dan tidak ada kontraksi
yang bertambah untuk ibunya.
Dokter sempat bercandain satu suster yang sedang terkantuk-kantuk,
dia menyanyikan lagu,
“tidurlah, tidur, sayang, tidurlah yang nyenyak, matamu
sudah lima watt, terkantuk-kantuk mau nutup…”
Suster dongkol, katanya,
“Dokter, kalau kontrol ya kontrol aja, udah sana,
nggak usah gangguin orang.”
Dokter tertawa,
“Eh?? Lu ngomong kontrolnya pake r atau nggak..,
woiii..ngantuk nih orang.”
Suster nyamber ngomong jorok, “kont**.”
Dokter langsung nyebut, “masya allah…”
Suasana jadi riuh dan riang,
suster yang terkantuk-kantuk jadi segar lagi.
Tiap kali dokter visit, suster-suter pada
gembira karena dokternya riang,
suka sekali nyanyi sambil mondar mandir.
Kalau dokter lain visit, suster pada tegang dan
tidak berani bertanya.
Selain itu ada juga dokter lain, masih muda, internis,
suka bercanda juga.
Suster menanyakan obat-obatan asma
buat pasien yang baru aja pulang,
pasiennya si ‘babe’,
panggilan suster untuk Dr. Ronald.
Dokter ini menjelaskan fungsinya
untuk apa saja.
“Dok, masak badanmu gede gini,
tapi tulisan kecil-kecil kayak semut.
Tulisan bagus dikit dong biar kebaca,” protes suster.
“Eh, dimana-mana
juga yang namanya dokter tulisannya jelek,
memang sengaja, malah kalau tulisannya bagus,
pasiennya yang protes.
Sama aja kayak gini, kenapa rambut atas
selalu lurus tapi rambut ‘bawah’ selalu keriting?
Coba tebak, kenapa ?”
Saya senyum-senyum menguping mereka bercanda,
ternyata dimana-mana sama aja,
mau dokter, mau suster, bercandanya pada jorok.
Saya sempat bertanya ke suster yang sedang hamil juga,
siapa nama dokter muda itu, karena bercandanya lucu.
Lumayan buat hiburan, daripada bengong seharian
di ruangan 2x2 dikelilingi tembok dan horden.
Saya menyebutnya ruang menunggu pembantaian.
Jadi ingat Yesus,
seperti domba yang hendak dibawa ke tempat pembantaian,
sama-sama tidak berdaya,
hanya bisa menunggu eksekusi.
“Dokter Yudistira,” jawab suster yang
hamil itu.
“Yang badannya tinggi-gede, putih, matanya sipit, terus rambutnya
berdiri?” tanya saya.
Suaranya sangat akrab di kuping saya. Teman SMA.
Selama tiga tahun kami sekelas
dan selalu duduk berdekatan.
Pergi sekolah terkadang bareng, nebeng bajajnya,
jalan kaki menyusuri sepanjang jalan toko tiga dan
kemenangan, tiada hari tanpa berantem, ngambek,
marahan, nggak ngomong lama, baikan, ribut lagi,
baikan lagi, siapin contekan, contek-contekan ulangan,
akurin pe-er, tendang-tendangan kursi, timpuk-timpukan
kertas, penghapus, ngobrol, ngegosip, party, lab, karya wisata,
karya tulis, living-in di kampung,
retret, eks-kul, les, valentine dan pesta perpisahan.
Nostal-gila.
Gayanya masih sama seperti dulu, bandel-bawel- lucu-cuek,
tipikal anak bontot.
Mukanya juga tidak berubah sejak SMA.
Tahunya sekarang sudah jadi internis.
“Iya betul, namanya dokter Yudistira,” jawab suster.
“Kok namanya bukan Him Fong,
ya? Waktu SMA namanya gitu.”
“Yang praktek di Rs Atmajaya juga kan?
Tinggalnya di sekitar bandengan, kalau nggak salah?” tanya suster.
“Iya,” jawab saya.
Malahan setiap keluar rumah lewatin jalan Bandengan musti lewat
rumahnya, tambah saya dalam hati.
Beberapa kali bertemu di rumah sakit ini,
tapi dia tidak pernah bilang sudah ganti nama,
pantesan saya mengecek di papan
praktek dokter, namanya tidak ada.
Saya sebenarnya pengen sekali bertanya
suster apa dia sudah married, apa sudah punya anak juga,
tapi tidak jadi bertanya karena terbayang waktu ketemuan terakhir.
Malam itu di luar hujan lebat,
Francis sudah lima hari demam.
Kami akan mengambil hasil labnya,
kemungkinan typhus.
Jc menunggu print-out hasil lab tapi suster anak,
Dr. Stephanus, sudah memanggil gilirannya.
Saya jalan duluan sambil menggandeng
kedua anak saya, satu di kiri, satu di kanan,
plus di tengah perut buncit
delapan bulanan.
Saya tidak menyadari kalau dia sudah berdiri di hadapan saya.
Rupanya dia sengaja menunggu saya lewat untuk meledek.
“Lu hamil lagi neh?
Heran.., doyan banget hamil!”
katanya sambil tersenyum nakal lalu ngeloyor pergi.
Ampunnnn deh, minta dijitak, tidak berubah,
tidak ada basa-basi!
Saya menceritakan ke Jc, kok sudah jadi dokter masih aja begitu,
beda banget ama Dr Ronny.
”Iya, kan nggak semua kayak dokter lu,” jawab Jc,
“yang ramah, yang ngomongnya juga enak.
Banyak lagi yang lebih suka ama dokter
yang nggak pakai basa-basi, to the point, biar cepat beres.”
O, kalau cowok
mikirnya gitu, yang praktis aja.
Suster hamil berkata, “Ibu enak ya, hamilnya
kecil, nggak seperti saya, baru hamil tujuh bulan udah gede banget,
udah berat.”
Saya tertawa.
“Nanti suster kalo udah mau ngelahirin, pasti udah
jago. Bisa periksa dalam sendiri,” saya meledeknya.
Lumayan deh, dari pagi
sampai sore ini, sudah lebih sepuluh kali diperiksa dalam.
Untungnya, dasar orang Jawa..,
ini sudah anak ketiga, sudah tidak rasa sakit lagi,
cuma malas aja rasanya.
“Suster pakai dokter siapa?” tanya saya.
“Kita sama. Pakai dokter Tjien,” kata suster itu kedengarannya bangga.
Saya jadi mengerti,
suster di kamar bersalin yang sehari-hari bersama para dokter,
mengenal dokter lebih dekat,
bisa memilih dokter mana yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Beruntung saya tidak salah pilih dokter, pikir saya.
Di kamar bersalin, orang datang dan pergi.
Ada yang cemas karena sudah kontraksi padahal baru 30 minggu,
jadi ke kamar ini untuk CTG lalu pulang,
ada juga yang sesak napas, asmanya kambuh,
diberi oksigen dan obat-obat pereda asma,
sebentar juga pulang, ada yang minta disteril,
bahkan ada seorang ibu dengan anak tiga yang sudah remaja minta
divagina-plastis… Wuah.
Saya juga mendengarkan pembicaraan para suster.
Hampir semua bercita-cita jadi bidan dan punya praktek sendiri.
Di luaran banyak bidan yang belum punya sertifikat
tapi nekat buka praktek.
Soalnya gaji di rumah sakit ini terbilang kecil
dan kalau jadi bidan bisa menambah penghasilan sampai
lima jutaan,
jadi mereka pada mencari sertifikat untuk bisa buka praktek
sendiri.
Bagi saya yang sedari kecil hidup di kota
dan cukup mampu bayar rumah sakit,
rasanya ngeri kalau harus melahirkan di bidan.
Di sini, para suster tidak lebih dari asisten dokter,
membantu menyiapkan alat-alat, mencatat obat,
dan berada di sisi dokter dan melihat apa yang dokter kerjakan.
Tapi tidak untuk praktek langsung menolong kelahiran.
Bila ada yang bisa memberi lebih, kenapa tidak dicoba.
Jc tidak bisa terus-menerus berada di kamar bersalin,
disamping itu tidak disediakan kursi untuk duduk,
sehingga dia seringnya duduk di lantai,
mojok, dibawah selang infus,
itupun bingung karena kakinya panjang,
duduknya serba salah.
Jc menunggu saya sambil membaca koran.
Dia baca terus sampai berita tidak penting juga habis dibaca.
Selain itu dia searching berita di internet lewat Hp.
Seharian Hp itu tidak lepas dari tangannya
dan bolak-balik dicharge.
Seringnya sinyal 3G terputus,
mungkin karena ruangan ini mojok dan
dikelilingi tembok.
Saya bilang ke Jc,
sini saya SMS ke company tempat saya bekerja,
menginformasikan bahwa sinyalnya 3G putus-putus.
Tapi Jc melarang, jangan kasih tahu company,
nanti kalau sinyalnya diperkuat, kasihan baby-baby di
kamar sebelah, masih baby udah terkena radiasi.
Segini udah cukup, yang penting
bisa buat nelpon.
Saya meminta Jc daripada bengong menunggu koneksi internet,
mendingan bantu doa koronka.
Dia cuma nyengir aja, cuma mau satu kali koronka
waktu jam tiga siang, jam Yesus wafat.
Pernah juga Jc kepergok suster saat
dia lagi duduk di ranjang dekat kaki saya,
suster memberitahukan bahwa
ranjangnya tidak boleh diduduki,
bebannya bukan untuk dua orang.
Suster sering mengingatkannya
untuk menunggu di luar sambil nonton tv,
biar bisa lebih santai, karena suster sedikit-dikit
memeriksa saya atau tetangga sebelah,
belum lagi saat saya bolak-balik ke toilet
pasti dibantu suster untuk me-nonaktifkan
infus elektronik.
Jc tetap bandel, dia bolak-balik menemani saya,
setiap nongol ke kamar bersalin sering diingatkan suster
untuk buka sandal atau untuk pakai jubah biru.
Saya menunggu sambil tiduran dan koronka,
entah sudah berapa putaran,
kadang pikiran dan koronka jalan sendiri-sendiri.
Tidak ada yang bisa saya lakukan, selain menunggu.
Rasanya seperti berada di sakratulmaut,
dimana hanya bisa dilewati sendirian.
Walaupun Jc berada disisi saya,
memberikan rasa aman dan tenang,
tapi tidak mengurangi rasa sakit atau
mengurangi rasa cemas harus menjalaninya sendiri.
Saya juga berdoa untuk baby,
menikmati saat-saat terakhir bersamanya,
merasakan gerakannya diantara
kontraksi yang tidak pernah lagi reda.
Saya tidak bisa tidur walaupun lampu
sudah dimatikan oleh suster agar saya bisa beristirahat.
Suara suster, ketegangan menunggu, suara tetangga,
membuat waktu rasanya berjalan lambat sekali.
Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya,
pasangan muda dengan anak pertamanya,
akan melakukan aborsi.
Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella.
Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu.
Awalnya mereka pakai Dr Ronny
tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk
mempertahankan baby ini.
Tapi mereka tidak mau baby yang cacat., mungkin saat
lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul
tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun,
kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan,
kata suami itu.
Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana,
sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini,
yang mau melakukan absorsi.
Baby 15 minggu…
hanya beda 2 minggu dari Ancillo sewaktu dokter menvonisnya cacat,
di umur 17 minggu.
Saat itu semua anggota tubuhnya sudah lengkap,
sudah berbentuk manusia yang sempurna,
tidak berhenti menendang dan meninju,
jungkil balik di perut.
Mukanya juga sudah terlihat mata, hidung, telinga
bahkan bibirnya sudah bisa tersenyum.
Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka,
bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya.
Setelah sembuh,
dua bulan kemudian istrinya hamil.
Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya
dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.
Beberapa sanak saudara menelpon menanyakan kenapa diaborsi
tapi mereka menceritakan dengan tenang,
keputusan mereka sudah bulat.
Tidak ada satu pun dari penelpon yang menghalangi aborsi ini.
Mereka malah saling bertukar cerita, di bulan berapa aborsi,
berapa lama dirumah sakit, berapa biayanya.
Dokter bilang chance cacat 75:25.
Dokter lain juga mengatakaan chancenya memang sekitar segitu.
Suami sempat marah berkali-kali ke suster
kenapa istrinya harus lama diinduksi,
kenapa orang lain bisa cepat pulang,
kenapa dokter bilang bisa langsung pulang, pulang hari.
Kemana dokter, kenapa sudah seharian tidak visit juga.
Kenapa dokter tidak kasih penjelasan lebih rinci.
Suster menjelaskan dengan sabar bahwa tiap orang
lain-lain, ada yang cepat pembukaannya, ada yang lambat,
selain itu jalan lahir tidak bisa buka dengan cepat
karena baby masih kecil. Berbeda dengan baby yang
sudah siap lahir, baby sudah besar dan berat
sehingga bisa cepat bukaan dan
jalan lahir memang sudah alami dipersiapkan,
mulut rahim pun sudah lunak.
Bapak musti sabar,
kasihan istrinya kalau bapaknya tidak sabar.
“Iya, saya marah-marah karena kasihan lihat istri saya,
seharian dia kesakitan,” kata suami itu dengan nada tinggi.
“Sekarang mulai panas badannya. Udah kasih tahu dokter
belum, istri saya panas?”
“Saya ngerti, bapak sabar ya, tadi dokter sudah
instruksi obat buat turunin panasnya.
Ini sudah maksimal induksinya.
Dimana-mana pasti sakit, kalau nggak sakit,
nggak mulas, nggak kontraksi, nggak akan ada
bukaan, bagaimana baby bisa lahir, memang begitulah jalannya.
Sekarang bapak tinggal dulu istri bapak, biar dia tidur, istirahat,
perjalanan masih panjang,
ini seharian baru bukaan 1. Biasanya sampai bukaan 10,
tapi karena ini babynya kecil,
nggak perlu sampe 10 udah bisa lahir.
Kita tunggu aja ya, dokter sebentar lagi kemari.”
“Kenapa sih harus di induksi segala,
nggak bisa langsung kuret aja?” tanya suami itu masih dengan nada marah-marah.
“Kuret kalau babynya masih kecil sekali.
Lha, ini kan sudah 3 bulan lebih, sudah lengkap semua,
sudah sedikit besar, menempelnya juga sudah kuat,
memang prosesnya seperti melahirkan
normal, musti ada pembukaan dulu.”
Istri mulai demam. Sesekali terdengar
rintihan kesakitan diantara isak-tangisnya.
Saya hanya bisa berdoa, semoga istri tambah demam
sehingga aborsi bisa ditunda atau batal sekalian.
Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit
dan mulas sekali.
Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya.
Ada satu baby lagi yang berada di sakratulmaut,
karena orangtuanya takut cacat.
Saya mendoakan koronka untuk baby ini,
saya memberi dia nama Ruben,
walaupun saya tidak yakin
doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka,
paling tidak saya berdoa untuk Ruben di saat menjelang kematiannya.
Saya berkata, Tuhan beri saya
kekuatan untuk bilang jangan diaborsi.
Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya terjadi.
Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata,
“babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat,
babynya buat saya saja.”
Saya sendiri kaget,
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya.
Saya yang menginginkan baby,
malah cacat dan pasti meninggal,
mereka yang ada chance baby normal,
malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.
Suaminya menjawab,
“kita juga berdua sayang anak-anak,
tapi kasihan kalau dia cacat,
lebih baik dari kecil kita aborsi.
Kita nggak nyangka dia kena rubella.
Dokter bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga
tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja,
malah sekarang sudah TK,” jawab saya,
jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita
kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan
dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup,
kalau boleh.. , baby itu boleh untuk saya?”
Andaikan boleh, terpikir oleh saya,
dia akan jadi baby yang membawa luka batin
sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh
kalau ada yang menyayanginya.
Suami itu hanya nyengir.
“Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”
Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan.
Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.
Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya.
Begitu mudah manusia membunuh babynya,
padahal masih ada chance untuk normal.
Saya jadi mengerti kenapa sampai sekarang
patung Maria sering menangis,
bahkan sampai mengeluarkan air mata darah,
pasti karena Maria sangat sedih.
Dia yang begitu mencintai bayi-bayi
sejak mereka dalam kandungan,
merasakan sakitnya baby dicabik-cabik,
dibuang oleh kedua orang tuanya,
dibunuh oleh orang dewasa.
Saya lalu rosario, menghibur Maria dan
meminta maaf saya tidak mampu mencegah apapun
untuk baby itu, mulut ini tidak pernah dilatih
untuk berkata-kata mengenai Tuhan.
Saat Jc masuk, dia bingung melihat saya menangis.
“Kenapa, kenapa?” tanyanya cemas.
“Nggak.., cuma mau pilek,” jawab saya berbohong.
Jc tidak bertanya lagi.
Dia cuma berdiri di samping saya,
memandang saya, mungkin dia berpikir saya sedang babyblue.
Kalau saya cerita, pasti saya diomelin Jc
karena ikut campur urusan orang lain.
Hari semakin larut, jam 9 malam belum ada kemajuan,
masih tetap bukaan 4.
Dokter menelpon tiap jam,
sepertinya dia juga cemas,
bagaimana kalau baby tidak bisa lahir juga.
Suster juga mulai cemas,
mulai membicarakan dokter.
“Kenapa sih dokter nggak caesar aja, kan ibunya kasihan,
kecapean kalau kelamaan gini.”
“Stt…,” seorang suster mengingatkan
untuk memperkecil volume suara.
“Ini nggak bisa dicaesar atau pakai epidural,
ibunya punya riwayat HPP,
pendarahan waktu melahirkan anak kedua.
Makanya dokter hati-hati sekali.”
“Kadang nggak abis pikir ama dokter,” sahut seorang suster,
“di satu sisi dia religius banget,
di satu sisi kadang caranya sulit diterima..”
Saya bingung, apa hubungannya religius dengan caesar ya.
Mungkin cuma obrolan biasa,
kan suster yang mengenal dokternya.
Tiba-tiba terdengar bunyi telpon,
suster menanyakan ke pasien yang baru saja selesai kontrol
sudah bukaan berapa.
Apakah sudah mulas-mulas?
Si ibu menjawab belum bukaan dan belum mulas.
Tapi dia yakin akan melahirkan malam ini.
Suster menyarankannya ke kamar bersalin untuk di CTG.
Si ibu datang, seorang yang cerewet tapi riang gembira.
Lalu si ibu langsung di CTG sambil terus mengobrol.
Saat itu belum ada bukaan.
Suster bertanya kenapa dia begitu yakin
akan melahirkan malam ini juga.
Si ibu menjawab karena anak pertamanya
enam jam sudah lahir,
ini anak kedua pasti lebih cepat, gejalanya sama,
ada kontraksi sebentar-sebentar.
Setelah setengah jam CTG, suster memeriksa lagi,
sudah pembukaan 3!
Mereka tertawa, wah benar juga ibu ini,
malam ini bisa lahir kalau bukaannya loncat,
kata para suster.
Merekapun bercanda sambil suster mengisi form
administrasi menanyakan umur ibu,
suami, anak pertama dll.
Tak lama, seorang dokter menelpon,
menanyakan apakah pasiennya sudah sampai ke kamar bersalin.
Dokter mengatakan dia sudah selesai
praktek dan akan segera pulang.
“Jangan pulang dulu ya, Dok,” kata suster,
“sepertinya akan lahir malam ini juga.
Tunggu tiga menit ya, mau periksa dalam lagi.”
Buru-buru suster memeriksa lagi, sudah bukaan 7!
Si ibu masih mengobrol kadang tawanya tertahan saat mulas datang.
Suaminya menyusul, membawakan guling bayi kesayangannya,
katanya istrinya tidak bisa tidur kalau
tidak ada guling tersebut.
Saya tersenyum, lucu, seperti Vincent, sudah umur
enam tahun tapi masih tidur dengan guling bayinya.
Suster menelpon dokter,
“Dok, masih di ruangan atau di parkiran? Ayo balik, Dok, udah bukaan 7.
Udah mau lahir.”
Tidak sampai lima menit dokter muncul,
menyapa semua suster dan
menanyakan apakah mereka mau makan sate.
Semua setuju dan pesan 50 tusuk sate,
10 sate untuk dokter tidak pakai cabai dan lontong.
Dokter bilang, tadinya
dia mau makan seafood di Muara Karang.
Sementara itu, dokter mengobrol dengan
suaminya yang pengusaha alat-alat salon.
Selagi asyik mengobrol, sate baru dipesan, suster
laporan lagi kalau bukaan sudah lengkap,
pasien sudah di kamar tindakan.
Dokter bilang enak kalau pasien kayak begini semua,
katanya ke suami.
Suaminya segera keluar, tidak berani menemani istri,
takut pingsan.
Lalu terdengar suster mulai ramai memberi semangat,
hayo ibu, kepalanya sudah keliatan, rambutnya banyak.
Ibu itu terdengar mengedan 2-3 kali,
tidak terdengar suara tangisan atau teriakan,
hanya usaha kerasnya.
Lalu perlahan kepala bayi keluar,
lalu suster memberi semangat sekali lagi untuk
ngedan yang kuat, untuk keluarkan bahu baby.
Tak lama terdengar baby menangis keras.
Ibu itu pun tertawa riang gembira, enak, lega,
sudah berlalu sakitnya.
Baby laki-laki, berat 3,2 kilo, panjang 50 cm.
Berlari-lari suster memanggil suaminya,
memberitakan kelahiran anak kedua.
Lalu terdengar suster sibuk membersihkan bayi,
suara tangisnya keras sekali, suster juga menelpon
dokter anak, mencari dokter yang masih stand-by
malam itu sekitar jam 10 malam.
Tak lama, suami dan dokter mengobrol lagi
sambil menunggu sate yang belum juga dianter ke kamar.
Suami sudah mendapat kamar di VIP.
Istri bilang mau menunggu di kamar aja, lebih enak,
nanti kalau perlu apa-apa mereka akan panggil suster.
Biasanya pasien ditahan dua jam untuk pemulihan.
Dokter mengijinkan.
Keluarga besar sudah berkumpul di luar,
memberi selamat untuk kelahiran baby.
Saya ikut lega, menyenangkan sekali
kalau bisa menggendong baby sekali lagi,
mendengarkan suara tangisannya yang keras atau
merintih-rintih atau melihatnya tertidur seperti malaikat.
Apakah saya juga punya kekuatan menahan sakit seperti ibu itu,
tidak berteriak sekalipun saat melahirkan,
apakah akan datang saatnya,
dimana saya harus maju sudah gilirannya.
Jc menunggu di kamar 209 yang sudah dipesan dari pagi.
Kamar itu kosong seharian.
Dia stand-by disana. Mungkin tidur-tiduran.
Mama saya ngotot mau ikut bermalam di rumah sakit,
dia begitu takut saya akan kenapa-kenapa.
Bayang-bayang pendarahan seakan
mengatakan saya akan mati saat melahirkan kali ini.
Saat pendarahan yang lalu,
mama saya mengatakan wajah saya sepucat mayat.
Saya sendiri juga bertanya-tanya,
apakah hari ini adalah hidup saya yang terakhir.
Kalau memang terakhir, saya musti bagaimana.
Dua bocah menunggu di rumah.
Mereka sangat menantikan saya kembali
dengan membawa adik baby yang ditunggu-tunggu.
Saya punya keyakinan,
pada akhirnya tiap manusia harus menghadapi kematian
seorang diri, anggap aja proses melahirkan ini
latihan menghadapi kematian.
Yesus sendiri berjanji akan berada di sisi orang-orang
yang percaya padaNya, menjemputNya.
Saya sama sekali tidak takut menghadapinya
mungkin karena tidak ada jalan lain.
Suami tetangga juga diperbolehkan pulang,
agar istri bisa istirahat.
Istrinya tidak mengijinkannya,
meminta supaya suaminya menunggu luar aja,
tidur di kursi.
Tapi suami malah kesenangan diperbolehkan pulang,
dia bertanya ke suster, “kalau istri saya kenapa-kenapa,
saya pasti ditelpon, kan?”
“Iya, pasti dong,” jawab suster.
“Kan sudah ninggalin no Hp,
nomer rumah, pasti ditelpon, nggak usah takut.”
“Tuh, suster aja bilang boleh pulang. Besok gua datang lagi ya, Sayang.”
“Jam 7 pagi bapak sudah harus disini,” suster mengingatkan.
“Kok pagi sekali, Sus? Jam 10 aja ya?
Saya bangunnya siang, mana bisa bangun pagi-pagi?” tawar suami.
“Bapak,” suara suster hampir habis sabar,
“istri bapak sedang berjuang disini, bapak kalau
sayang sama istri bapak, jam 7 sudah disini.”
“Iya deh, kalo bangun,”
sahutnya tidak sabar bergegas pergi.
“Pokoknya musti bisa bangun, aku
miss-call terus,” kata istri sambil menangis.
Jam 10 malam dokter menelpon
suster lagi, menanyakan pembukaan saya.
Suster bilang masih sama.
Lalu dokter berpesan agar induksi saya distop dulu, ganti infus biasa.
Saya diistirahatkan dulu,
kalau dipaksa lagi bisa pendarahan.
Lalu saya disuruh balik ke kamar biasa,
supaya bisa istirahat yang tenang karena
kalau di ruang bersalin tidak bisa istirahat,
banyak kejadian disini.
Besok pagi jam 7 mulai lagi berjuang.
Saya hanya bisa bilang, Tuhan, sudah dong bercandanya.
Saya set tiga tanggal, semuanya meleset.
Hari ini meleset juga, padahal pas hari St. Bernadeth.
Akhirnya saya kembali ke kamar untuk istirahat.
Hampir sama seperti saat melahirkan Vincent dulu,
seharian di kamar bersalin,
balik ke kamar lalu seharian lagi di kamar bersalin.
Vincent lahir sedikit kepagian,
umur 37 minggu karena pecah ketuban,
jadi dokter menahannya dua hari untuk mematangkan
paru-parunya.
Mama dan adik saya lalu pulang, tidak jadi bermalam.
Setelah mengobrol selama satu-dua jam dengan Jc,
saya pun tertidur, sebentar-sebentar terjaga.
Kiranya waktu bersama baby tinggal sesaat lagi, semakin pendek.
Saya benar-benar menikmati saat-saat bersamanya,
walaupun tidak dapat saya membayangkan wajahnya,
wujudnya, tapi lewat tendangannya, gerakannya,
dia telah setia menemani saya berbulan-bulan.
Kami melewati suka dan duka bersama-sama
seperti teman sehati.
Kami suka bercakap-cakap dalam doa, dia selalu bangun,
seakan bilang, saya menemani mama.
Ranjang saya pun basah dengan air mata.
Pikiran saya melayang.
Sudah sejauh ini saya berjalan,
sudah sembilan bulan lebih…
waktu yang tiba-tiba terasa begitu singkat.
Sayang sekali rasanya
sudah mengandungnya sekian lama,
tapi baby tidak bisa dibawa pulang.
Saya sampai tidak bisa bernapas lagi karena hidung berair,
seperti pilek yang sangat berat
sehingga harus bernapas dengan mulut.
Jam 5 pagi, dua orang suster datang untuk tensi,
saya hanya memberi tangan saya untuk tensi
dan tidak melihat suster tersebut.
Saya menyembunyikan wajah saya yang pasti sembab.
Tensi normal, lalu suster yang satu lagi mendopler jantung baby, stabil.
Lalu saya sarapan dan
bersiap-siap karena suster sebentar lagi akan menjemput.
Belum jam 7 suster sudah datang dengan kursi roda,
membawa saya kembali ke kamar bersalin di lantai
yang sama.
Suster yang tadi malam masih sama,
menyapa saya dengan ramah.
“Bisa tidur? Hayo kita berjuang lagi ya,
moga-moga hari ini bisa lahir.”
Saya membalas senyumnya, pasrah.
Suster memeriksa pembukaan, masih 4,
dan dopler bagus.
Suster mengganti infus biasa dengan infus induksi.
Sepagian para suster ramai sekali,
semuanya terdengar ceria,
rupanya jam pergantian shift.
Pasiennya juga hanya saya dan tetangga.
Bukaannya sudah mencapai 3,
sudah tidak panas lagi.
Saya mendengarnya sedang menangis.
Terdengar suster mengobrol.
“Kemarin malam Dr. Tjien praktek sampai jam berapa?”
“Tengah malem deh,”
jawab seorang suster.
“Yee…tepatnya jam berapa dong?” suster lain
menimbrung.
“Jam setengah satu, pasien terakhir,” jawabnya santai.
“Masa sih?” potong seorang suster.
“Padahal jam 6 kurang, saya nelpon untuk bangunin
dia, operasinya dimajuin jam 6.30 karena dokter anak bisanya lebih pagi.
Eh begitu saya mau ganti baju dinas di ruang prakteknya,
jam 6, dia sudah duduk di kursinya, senyum-senyum,
seger banget, seneng dia bisa ngangetin orang.
Saya sampai loncat saking kagetnya.”
Semua suster tertawa.
“Apa dia nggak tidur ya?
Dia itu orang atau bukan sih?
Kok kuat banget, nggak ada capenya.”
Obrolan pagi yang menyegarkan.
Tidak lama suster menghampiri saya,
“Ibu, saya periksa dalam dulu ya.”
“Lha, barusan udah. Masih sama, 4,”
kata saya sedikit protes.
“Ini pergantian shift, jadi harus ada serah terima.”
Ampun, pikir saya dalam hati, mau gimana lagi.
Setelah periksa, suster bilang sebentar lagi dokter visit,
jadi boleh istirahat lagi, simpan tenaga dulu.
Terdengar di kamar tetangga,
istri berkata ke suaminya,
“gua mau pulang aja.
Daripada gua dan baby kesakitan,
mending nanti aja pas sembilan bulan,
sakitnya sama.”
istri makin keras menangisnya, gelisih sekali.
Suaminya malah membentaknya.
“Terserah lu deh.
Dulu, siapa yang bilang mau aborsi?
Lu berani tanggung akibatnya?
Lu mau kita berdua susah?
Gua sih nggak mau.
Udah deh, nggak perlu nangis-nangis gitu.
Lu kalau mau pulang,
ayo pulang sekarang.
Nggak usah tunggu dokter,
kita langsung bilang suster mau
pulang sekarang juga.”
“Gua bingung…,” kata istri perlahan, tangisnya makin
kencang.
“Nggak usah bingung-bingung,” kata suami tambah marah.
“Gimana dong? Perut gua sakit sekali.
Gua nggak tahan lagi kalau harus tunggu bukaan
lagi. Gua mau pulang… mau pulang…pokoknya mau pulang..”
“Sus!” teriak suami
dari dalam kamar tidak sabar.
“Sekarang gimana?
Istri saya mau sampai kapan ditahan disini?
Kasih saya penjelasan dong.
Mau tunggu sampai bukaan berapa ?
Dokter mana, pagi ini visit jam berapa?”
Di depan semua suster membisu,
suasana tegang.
Tidak lama ada seorang suster menghampiri suami itu.
“Bapak sabar ya, sebentar lagi dokter visit,
tadi sudah nelpon.”
Lalu suster itu buru-buru keluar lagi,
tidak berani berlama-lama di hadapannya.
Dalam hati saya bilang, jangan aborsi, jangan aborsi,
ayo masih keburu, ayo fight.
Sepertinya istri mulai berubah pikiran
untuk mempertahankan babynya.
Tidak lama terdengar dokternya datang.
Akhirnya saya menemukan jawaban atas
pertanyaan saya selama ini.
Saya ingin sekali menanyakan ke Dr. Ronny,
sekiranya waktu itu saya mau aborsi,
dokter siapa yang akan dia rekomen.
Tapi saya tidak berani bertanya,
mungkin juga selamanya dokter tidak mau menjawab.
Dokter mana yang hati nuraninya sudah tidak peka lagi.
Soalnya dari semua dokter di rumah sakit ini,
semuanya saya pernah lihat.
Karisma dokter selalu membuat saya terpesona.
Suara dokter itu sangat familiar di kuping saya.
Vincent diplanning olehnya tujuh tahun lalu.
Juga, sehari sebelum Francis lahir,
saya sempat kontrol ke dia karena dokter Yani
sedang cuti panjang.
Kenapa hari ini suaranya terdengar begitu dingin.
Saya menggigil. Saya menarik selimut tebal
menutupi leher. Saat eksekusi semakin dekat.
Kemarin siang saat dari toilet,
saya sempat bertatapan dengan dokter ini,
jaraknya berdiri kira-kira lima meter dari saya.
Saya berada di ruang tindakan di pojok kanan
sedangkan dia berdiri di tengah-tengah ruangan.
Auranya menyebar ke seluruh ruangan.
Kaki saya langsung berhenti melangkah.
Berdiri tak bergeming di sana.
Kenapa tampangnya begitu gelap?
Kenapa saya ketakutan melihat dia?
Begitu dokter melihat saya,
dokter langsung memanggil suster,
suaranya penuh wibawa,
“Suster, itu ada pasien, kenapa dibiarkan sendirian ke toilet?
Bawa-bawa infus lagi.”
Seorang suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri saya,
mengambil alih botol infus yang saya pegang,
membantu memegang belakang baju saya yang sedikit terbuka,
menggandeng sebelah tangan saya.
Barulah saya berani melangkah.
Saya gemetar melewati dokter, was-was.
Matanya yang tajam menatap saya,
mengikuti langkah saya.
Semoga dia tidak ingat saya pernah jadi pasiennya,
kata saya dalam hati.
Dokter memeriksa pembukaan.
“Oke,” kata dokter singkat. “Bukaan 3.
Cukup. Pindah ke kamar tindakan,”
suaranya seakan memerintah para suster.
“Sebentar lagi kuret,” kata dokter pada suami.
“Sekarang lagi disiapin alatnya.”
“Pagi ini juga, Dok?” tanya suami antusias.
“Berarti siang ini boleh pulang?” tanyanya lagi, penuh harap.
Penantian panjangnya segera berakhir.
“Iya. Siang ini boleh pulang,” jawab dokter pendek,
seperti enggan berbicara, harus melakukan sesuatu
yang sama sekali tidak disukainya,
tapi terpaksa harus tetap dilakukannya juga.
Harus ada satu orang, untuk mengeksekusi tindakan ini.
Dengan demikian, roda rumah sakit ini dapat terus
berputar.
Lalu suster menghantar suami itu sampai ke pintu keluar,
katanya,
“bapak tunggu di depan sampai selesai tindakan ya,
jangan jauh-jauh, jangan kemana-mana.”
Suster tendengar menyiapkan peralatan,
suara besi-besi kecil beradu,
ada juga suara suster berlari-lari
mencari alat yang biasa dipakai dokter ini,
terdengar suaranya cemas, siapa sih yang pinjam alat si dokter
dan tidak mengembalikannya di tempat semula.
Sebelum kena marah dokter,
alat itu harus sudah ketemu.
Suasana tegang.
Istri terdengar melangkah lunglai,
perlahan memasuki kamar tindakan,
masih terdengar isak tangisannya tertahan.
Kenapa waktu tidak dapat berhenti atau diputar mundur,
kembali ke masa pacaran yang indah.
Sapu tangan tebal yang sejak semalam menutup dahinya
supaya tidak silau terpapar sinar lampu yang berada tepat
diatas kepalanya, sempat juga buat
kompres saat panas tinggi, digenggamnya erat-erat,
terasa setengah basah, sudah buat lap airmata dan ingus,
terlihat lusuh, jadi saksi bisunya.
Saya hanya bisa berdiam diri, bersembunyi di balik horden
abu-abu tebal yang tinggi,
tertutup rapat hingga tidak ada celah sedikitpun untuk mengintip,
semua begitu mencekam.
Saya menangis diam-diam.
Perih sekali rasanya. Jangan dibuang..,
jangan dibunuh..
Namun, seberapa kuat saya berteriak dalam hati,
mulut ini terkunci rapat.
Siapa berani bersuara di saat begini?
Air mata saya mengalir terus.
Tuhan, dimana Engkau?
Bukankan Engkau ada dimana kehendakMu terlaksana?
Apakah ini juga kehendakMu?
Bunda, jangan menangis lagi.
HatiMu sudah cukup lama berduka hebat.
Sesosok bayi mungil akan dipaksa lahir,
dicabik-cabik, diremas, diperas,
disakiti sedemikian parah,
hingga sosoknya tidak lagi berupa
malaikat kecil yang dikirim Tuhan ke bumi.
Kemana dia dapat berlari, kemana
dia dapat bersembunyi, kemana dia dapat meminta tolong?
Seperti sebuah kisah tentang bayi dan malaikatnya,
kali ini malaikat pelindung mengikari janjinya sendiri,
malaikat pelindung surga itu telah berkata bohong padanya.
Kata malaikat itu sesaat dia meninggalkan surga menuju bumi,
bahwa akan ada malaikat lain yang akan melindunginya di bumi,
taman mirip surga, yang akan mengajarinya
bahasa bumi yang tidak dimengertinya,
bahasa paling indah yang akan pernah
didengarnya, puisi penuh makna cinta,
bahwa malaikat itu akan melindungi dirinya
walaupun tahu dapat membahayakan nyawa malaikat itu sendiri,
malaikat yang akan menemani sepanjang hidupnya di bumi,
menjaganya, merawatnya, memberinya kehangatan,
mendekapnya, mengajarinya segala hal yang indah-indah, malaikat yang
akan menunjukkan jalan kembali ke surga,
malaikat yang akan dia panggil ‘ibu’.
Namun rahim ibunya sekarang,
tempat perlindungannya yang paling aman dan nyaman,
yang telah membuaikan tidurnya selama berbulan bulan
dengan mimpi indah berceritakan kasih sayang,
tempatnya menggantungkan harapan akan sebuah
kehidupan baru yang akan membuatnya takjub,
akan segera dilewati oleh bilah pisau yang tajam mengkilat,
menyayatnya sedikit demi sedikit mulai dari kaki
tangannya, perutnya, dadanya, menikam jantungnya,
kemudian mengikis paru-parunya
yang selama ini merindukan udara pertama,
menghancurkan anggota-anggota tubuhnya
yang hampir terbentuk sempurna, mengiris satu-persatu dagingnya,
mematahkan tulangnya, mengoyakkan nadinya,
merampas jiwanya perlahan sampai seutuhnya
terhempas, kemudian menyeretnya keluar
tak dibiarkan bersisa sedikitpun.
Siapakah yang akan mendengar dia menjerit kesakitan?
Siapa yang peduli?
Salahkah aku bila terlahir cacat?
Saya tidak dapat bernapas, saya berusaha keras
menghirup sebanyaknya udara yang pekat
dan menyesakkan ini dengan mulut terbuka lebar,
lalu membuangnya sedikit-sedikit, begitu perlahan,
takut suaranya kedengaran keluar.
Tidak lama semua suara lenyap.
Pintu kamar tindakan ditutup rapat-rapat,
tidak dibuka lebar seperti biasanya.
Kengerian memenuhi seluruh ruangan.
Sunyi. Hampa.
Bahkan tidak ada seorang suster pun yang
berani bersuara.
Berduka.
Seorang bayi tak dikenal, bukan anak, bukan
saudara, mati di hadapan semua.
Kemudian disemayamkan di dalam sebuah plastik
kresek hitam murahan.
Wujudnya tinggal berupa potongan-potongan tubuh
berwarna-warni, merah nadi, putih tulang, ungu hati,
kuning plasenta, tinggal dijinjing dibawa pulang orang tuanya,
mau dikremasi atau di kubur, sama saja,
sudah berada di luar dimensi yang bernama kehidupan.
Satu jiwa tak berdosa kembali ke surga
di tangan orang dewasa yang berprofesi mulia,
berjubah putih mengkilat sama mengkilatnya
dengan pisau yang dipakainya untuk membunuh,
seperti yang diminta oleh orang dewasa
yang menyebut dirinya orang tua,
yang rela membayar harga ini dalam bilangan jutaan rupiah,
yang mengenyahkannya demi sepotong harapan
tidak ada kesusahan berkepanjangan di masa depan,
yang takut menerimanya baik cacat maupun tanpa cacat,
yang tidak mengharapkannya.
Seketika itu juga malaikat pelindungnya
datang dari surga menjemputnya,
karena malaikat lain di bumi telah ingkar akan janjinya
untuk menunjukkannya jalan kembali ke surga.
Saya koronka, hanya doa yang bisa
menemani Ruben kembali ke sisi yang ilahi.
Tiba-tiba, seorang suster mengejutkan saya,
menjengukkan kepala dari balik horden,
“ibu…,” bisiknya hampir tak terdengar,
“dokter sudah mau visit..”
Set,set,set, set terdengar suara
kaki dokter yang bergerak cepat. Bruk, terdengar pintu terbuka
lebar.
“Selamat pagi!” sapa dokter riang gembira,
memecah keheningan ruangan.
Sapaan dokter kali ini tidak ada yang menjawab.
Mungkin juga tidak ada yang menoleh.
Suster-suster masih mematung. Membisu.
Dari tengah ruangan
dokter berseru dengan semangat,
“Yenny, lu yang dimana?”
Dokter menunggu
jawaban di antara tiga ruangan berhorden.
“Paling pojok, Dok, dekat tembok,”
kata saya.
Dokter celinguk.
“Gimana, sayang, lu bisa tidur semalem?”
tanyanya sambil tersenyum.
“Habis bukaan lu nggak maju-maju, mending lu
diistirahatkan dulu. Hari ini kita coba lagi. Sini, gua periksa.”
Seorang suster buru-buru menyusul masuk,
soalnya Dokter terlalu gesit,
mendahului susternya.
“Eh?” dokter menatap heran begitu melihat wajah saya dari dekat.
“Kenapa lu? Pilek ya?” tanyanya cemas.
“Iya nih, tiba-tiba pilek..”
padahal mata saya pasti sembab,
habis menangis barusan.
Lalu saya menarik turun bantal
kepala, menutupi sprei yang basah airmata.
“Sus, ” pesan dokter,
“abis ini langsung kasih Yenny clarinase ya, 2x1 ya.”
Dokter langsung memeriksa, masih
bukaan 4, setelah menekan perut saya sana-sini,
mendorong baby untuk lebih turun lagi,
dengan sedikit kecewa katanya,
“hari ini kita coba induksi, kalau sampe
siang belum nambah juga, lu pulang dulu deh,
jalan-jalan dulu, seminggu balik sini lagi.
Baby belum mau lahir, kita juga nggak bisa paksa.
Lu juga nggak bisa dinduksi terus,
ini sudah maksimal,
percuma juga kalau nggak nambah bukaan.
Jadi biar dia alami aja.
Mulut rahim juga masih tebal banget.
Nah, nih kencang lagi,
tapi nggak mau nambah. Sakit?”
“Nggak. Kalau hadap tengah berasa sakit dikit,
kalau miring, nggak sakit sama sekali.
Mungkin musti setengah duduk kali, Dok,
biar baby lebih nekan ke bawah,” kata saya.
“Oya?” alisnya terangkat, dahinya
berkerut, dokter langsung menyetujuinya.
“Oke, kita coba.”
Suster segera memutar tuas di ujung ranjang
menaikkan bagian kepala sehingga posisinya
setengah duduk.
“Coba baby mau muter pantat dulu..,”
kata dokter sambil berpikir keras.
“Mustinya lebih ada penekanan.
Sekarang kepala di bawah, lebih
susah dia mau nekan. ”
“Kalau ketubannya dipecahin, Dok?” tanya suster.
“Lebih gampang nggak?”
“Jangan,” jawab dokter cepat.
“Justru ini bagus, masih ada ketuban,
dia lebih berat, nanti lahir lebih licin.
Kalau ketuban dipecahin,
penekanan berkurang, lahirinnya juga lebih susah.”
Lalu dokter kasih instruksi ke suster untuk menaikkan
induksi jadi 40.
Saya kaget campur bingung karena
dokter menyuruh pulang lagi.
Padahal saya berharap pagi ini
dokter akan bilang kita caesar aja
atau kita coba epidural.
Frustasi sudah 24 jam masih pembukaan 4.
Kalau pulang rumah, repot juga,
kalau kenapa-napa, siapa yang mengantar ke rumah sakit,
Jc musti ngantor, tidak bisa temani saya
lama-lama.
Lagian, mau jalan-jalan kemana dengan bukaan 4 ini,
atau masuk kantor lagi. Bisa kacau.
Baru setengah jam dengan posisi setengah duduk,
jam 9.30 tiba-tiba ketuban pecah.
Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”
Bukan karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas
tiba-tiba pengikatnya ditarik, terbuka dan tumpah.
Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di
Hp langsung loncat berdiri, panik,
“Ha? Kenapa? Kenapa?”
“Ketubannya pecah,
banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster,
entar gua call ya kalau udah beres.”
Jc buru-buru keluar sebelum suster datang,
dia masih khawatir.
“Sus,” panggil saya.
“Ketubannya pecah.”
Dua orang suster langsung datang,
seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub.
Lalu suster menolong saya menggantikan baju,
mengganti sprei dan selimut.
Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar.
Tak lama, seorang suster lain datang,
mengepel lantai, karena basah kemana-mana,
tumpah-ruah.
Perut langsung mengecil, lebih ringan.
Setelah rapi dan bersih semua,
Jc diperbolehkan menemani saya lagi.
Dia kembali duduk di pojokan,
tangannya tidak bisa lepas dari Hp searching berita.
Bosan juga dia menunggu, koran hari ini juga sudah habis dibacanya.
Saya memintanya menghitung mulas saya pakai stopwatch dengan Hp,
tapi karena dia tidak konsen,
jadinya timingnya juga tidak pas,
akhirnya dia menyuruh saya coba stopwatch
sendiri.
Jadilah saya main stopwatch,
menghitung mulas,
tahunya sudah dua menitan.
Jc membantu memberi saya minum pakai sedotan
karena mulut saya kering terus.
Saat kontraksi datang,
saya membuang napas perlahan melalui mulut.
Hampir tiap lima menit saya minum seteguk air.
Saya sudah tidak boleh sendiri ke toilet lagi,
karena sudah pecah ketuban, terpaksa pipis di ranjang,
pakai pispot.
Jam 11 siang, bukaan bertambah, jadi 5.
Baby sudah muter tanpa saya sadari.
Mungkin baby mendengar kata-kata dokter tadi pagi,
suster yang memeriksa bukaan menunjukkan satu tangannya
penuh mekonium baby,
ee pertama baby, warnya hijau kehitam-hitaman.
“Nggak mungkin,” kata saya. “Masa muter,
kapan dia muternya? Kok nggak terasa?”
Suster berkeras kalau memang mekonium
itu diambilnya dari pantat baby.
Lalu suster melapor ke rekannya yang lain,
suster lainnya juga tidak percaya kalau baby mutar,
kata mereka belum pernah ada
kejadian baby di kamar bersalin masih mau mutar,
apalagi ini sudah masuk 42 minggu.
Saya masih sempat SMSan dengan beberapa teman kantor
mengabarkan bukaan. Tadi saya sempat bercanda,
kalau disuruh pulang seminggu
nanti saya ke kantor aja, biar deket ama Jc
yang kantornya hanya di depan mata,
bisa jalan kaki. Teman saya malah balas SMS,
katanya, belanja mainan aja di Pasar pagi.
Mereka ikut deg-degan mengikuti proses melahirkan normal.
Karena sering bernapas dengan mulut,
tenggorokan saya terasa kering dan membuat saya kesedak
batuk-batuk.
Ketika batuk yang kencang sekali,
air ketuban keluar lagi
lumayan banyak sehingga baju saya basah semua.
Kembali suster menggantikan
seprei dan baju saya lagi,
kali ini baju saya kotor karena air ketubannya sudah
tercampur dengan mekonium baby.
Saya akui, suster di rumah sakit ini baik
semua, sabar, tidak seperti di rs lain.
Sewaktu saya melahirkan Francis, saat
pendarahan, saya sendirian di kamar,
karena Jc tidak diperbolehkan menemani
setelah lewat pemulihan.
Seorang suster malah memarahi saya.
“Ibu, kalau mau ee jangan sembarangan dong,
kan saya jadi repot.”
“Rasanya bukan ee, Sus,
keluarnya beda,” kata saya lemah
, karena masih ada pengaruh epidural setelah
melahirkan, jadi saya tidak tahu cairan apa
yang keluar memenuhi ranjang saya.
Begitu suster menggantikan alas tidur saya,
saya sempat melihat bahwa
itu darah segar, bukan ee,
banyaknya sekantong plastik besar.
Tidak lama darah keluar lagi,
sebanyak yang pertama.
Saya sempat memanggil suster itu dan
bilang,
”Sus, sorry, kayaknya keluar lagi…”
Suster marah-marah, katanya,
“Ibu tahan dong ee-nya..”
Setelah itu saya tidak mendengar apa-apa lagi, tiba-tiba
tidak sadarkan diri. Saya kapok melahirkan di rumah sakit itu.
Di sini berbeda, suster menggantikan selimut saya
juga walaupun kena air ketuban sedikit,
saya melarang suster menggantinya, sayang, baru saja diganti.
Tapi suster bilang, biarin diganti aja, nanti dokter marah kalau tahu.
Biar ibu rapi, ranjang rapi, jadi kalau dokter visit,
juga enak lihatnya.
Jam 12.30 mulas mulai sering terasa.
Makan siang sudah tersedia.
Lalu saya makan disuapin oleh
Jc, disela-sela mulas.
Jc ikutan makan, dia kelaparannya lagi.
Menunya begitu menggoda.
Satu jam sebelumnya dia sudah makan bihun goreng di bawah,
tapi buru-buru.
Lagian makanan di bawah kurang enak.
Jadinya saya makan satu sendok, buru-buru menelan,
lalu saya akan mengeluarkan napas panjang dan suara
‘aaa..aa’ kecil-kecil menahan sakit.
Saya berpikir kalau sakitnya sampai
lahir segini aja, masih bisa tahan.
Ketika mulasnya lewat, saya pasti berkata,
“ah, leganya… ayo cerita lagi, ayo makan lagi, suapin lagi.”
Seru. Berlomba dengan waktu.
Bistik ayamnya enak sekali.
Supnya juga enak, enak semua, ada
pudding pink juga.
Saya makan setengah piring,
cukup banyak juga karena takut
tidak ada tenaga.
Mulas datang tiap menit,
lamanya sekitar 30 detik baru pergi.
Saya masih sambil main stopwatch.
Abis itu saya SMS ke teman bilang bahwa
SMSnya stop dulu, karena sudah mulai mulas.
Tidak keburu ketik SMS lagi, belum send udah datang lagi mulasnya.
Saya coba mengatur napas seperti yang saya baca
di buku-buku.
Ternyata buku banyak bohongnya, saat mulas datang,
mau tarik napas panjang atau tarik napas dikit-dikit
atau buang napas panjang, sakitnya tidak berkurang,
cuma bisa menahan sakit sampai dia pergi sendiri.
Induksi sudah dinaikkan ke 60 sejak pembukaan 5,
tetesannya mengalir cepat.
Selesai makan, suster memeriksa pembukaan lagi,
sudah hampir 7, katanya riang, jadi juga
lahir hari ini.
Jam 13.30 pembukaan 8, jantung baby didopler masih bagus.
Suster bilang kalau kali ini dia pastikan
memegang pantat dan scortum baby.
Kali ini mekonium baby juga banyak,
kata suster, babynya ee dulu, biar lahir nanti
perutnya sudah bersih.
Saat mau diperiksa dalam, saya sempat bilang tunggu
sebentar, karena pas mulasnya datang,
begitu mulasnya pergi baru boleh cek.
Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter.
Jc langsung menelpon adik dan mama saya
karena sudah diwanti-wanti untuk kasih
kabar kalau sudah bukaan 8,
mereka mau ikut menunggu kelahiran.
Pas jam 14.00
dokter muncul dengan riang gembira,
jalannya super cepat.
Memang begitu gayanya.
Saya teringat sewaktu Vincent diopname,
saat dia bobo, saya sempat
duduk-duduk di ruang tunggu anak di lantai 1
sambil nonton tv di dekat balkon.
Dari sana terlihat ruang praktek dokter
di hall lantai dasar. Tiba-tiba terlihat
dokter bergegas keluar dari ruang prakteknya,
menghilang lewat pintu samping,
dalam sekejap mata dokter muncul di kamar bersalin lantai 2,
tidak lama dokter menghilang,
muncul lagi lewat pintu samping di lantai dasar,
langkahnya begitu ringan seperti orang lari,
masuk kembali ke ruang prakteknya.
Saya tersenyum sendiri waktu itu.
Keren. Seperti menonton pertunjukkan sulap.
Bisa menghilang.
Sebentar muncul disini, sebentar muncul disana.
“Yenny, lu udah siap?” kata
dokter penuh semangat.
“Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga
udah habis.”
Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir
dan mengobrol ama suster yang sedang
menyiapkan kamar tindakan.
Dokter juga memeriksa dan menyemangati satu pasien
yang baru masuk, hendak dipasangkan epidural.
Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya,
katanya,
“ibu, kalau mau ee bilang ya.”
“Saya belum mau ee,” kata saya.
Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi,
“Sus, mau ee, gimana nih?”
“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”
Saya masih bingung, gimana
caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.
Suster langsung beres-beres,
melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya,
mendorong ranjang saya ke kamar tindakan.
Lalu saya pindah ke ranjang tindakan.
Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir.
Ruangan tindakan dingin sekali
sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal.
Lalu kedua kaki dibentangkan.
Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit
selimut kain putih yang tipis biar hangat.
Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan
sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”
“Sttt, jangan teriak, ibu,”
buru-buru suster memperingatkan saya.
“Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya
untuk ngedan saja.”
“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil
mengatur napas.
Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.
“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?”
tanya saya sambil mencengkram lengan
suster erat-erat.
Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil,
untuk refresh memory saat mengedan,
tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena
tiap hari dari kantor pulang malam.
Boro-boro mau latihan napas.
Sampai di rumah langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil
yang cerewet ditambah dua unyil
lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.
“Ibu, tarik napas panjang… terus buang ‘haaaa’,”
kata suster yang juga guru senam hamil.
Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang,
tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir
saya, yang penting masih bisa napas.
Jc berada di sisi saya.
Saya selalu kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan.
Suster mengingatkan minum hanya untuk membasahi mulut aja,
jangan banyak-banyak.
Tiba-tiba kedua tangan
saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal,
“Sus, kaku nih, gimana?”
tanya saya.
“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata
suster sambil menggiring tangan saya memegang besi
untuk menarik badan saat ngedan.
Mengurut-urut tangan saya.
Jc membantu menekukkan jari saya sebelah
kanan untuk memegang besi itu.
“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,”
pinta saya.
“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup,
nanti tangan kamu
biru-biru.”
“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.
“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru,
besok baru berasa sakitnya,” jawab suster
dengan sabar.
Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi,
menggulung lengan kemeja panjangnya,
memakai sarung tangan dan siap-siap duduk
di kursi tindakan.
“Hebat dia,” puji dokter.
”Untung mutar pantat dulu, kalau nggak, bisa lebih lama lahirnya.
Padahal pas gua cek terakhir, masih kepala.”
“Dok..,” tanya saya,
“sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?”
saya takut banget digunting.
Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya
lagi.
“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,”
janjinya.
Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray
betadin.
“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat.
“Tuh udah keliatan pantatnya,
tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat ya.”
Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya,
padahal dari tadi AC udah gua matiin.”
“Iya.. dingin banget,” sahut saya
menggigil.
“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua
stop,” kata dokter.
Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya
terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga.
Suster mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah,
seperti hendak ee yang keras sekali seperti batu.
Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar.
Saya mengedan beberapa kali.
Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan. Bagus,
bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.
Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong,
tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda
pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”
“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai.
Dokter dan suster berhenti
menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.
Dengan sabar dokter menunggu
sambil mengobrol dengan suster-suster.
“Lu orang pada mau makan padang nggak?”
“Nggak mau ah, kalo padang, baru aja makan,” jawab suster.
“Emang Dok belum makan? Udah jam berapa nih?”
“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya?
Bosan makan soto.”
Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya
sumringah, kocak banget, katanya,
“Lu orang cakep bener sih hari ini.”
“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.
“Pakai safari biru. Nggak kayak suster
deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini
resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua
suster tertawa.
Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada bercanda.
Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster,
mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.
“Kalau di desa,” kata dokter,
“mau lahir sungsang nggak masalah.
Tapi orang kota malah takut setengah mati,
pada minta dicasesar.
Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau
caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain.”
“Betul, Dok,” jawab suster,
“sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”
Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.
“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter.
“Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo
dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.
Lalu dokter dan suster kembali bercanda disela-sela saya ambil napas.
Semuanya santai.
Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya
untuk menjadi pijakan bagi kaki saya.
“Dok, nahannya musti gini, nih,”
kata suster sambil menyampingkan badannya.
“Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”
“Pinter betul lu!” dokter memuji.
“Jadi seperti pijakan ya.”
Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga
sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya
seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat.
Satu suster berada di atas kepala saya,
melap muka saya yang keringatan.
Jc bertugas membantu angkat kepala saya saat ngedan,
“Ayo, dikit lagi, semangat,” bisiknya di kuping saya.
Jc melihat saya seperti mau tidur-tiduran,
padahal saya sedang menghimpun tenaga buat ngedan
berikut sambil tunggu puncak mulas datang lagi.
Suster sempat akan memasangkan oksigen ke hidung saya,
tapi saya menolak karena bikin ribet.
“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya
terengah-engah hampir kehabisan napas.
“Dikii.iiit lagi...,” jawab dokter sambil tersenyum.
“Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat.
Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa.
“Ayo, coba lagi, gua tungguin kok,
kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.
Lalu saya mengedan lagi beberapa kali.
Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat,
baru gua gunting, ya.”
Kata ini yang paling membuat saya lega.
Sampai juga di ujung. Kirain tidak berujung.
Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari
Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata.
Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati,
lalu saya meminta selimut tebal di
atas dada saya dilepas, karena kepanasan,
dan supaya tangan suster bisa bantu
mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat,
napas juga sanggupnya pendek-pendek, lelah, mulas.
Saya menarik napas panjang, menahan dan
mendorong sekuat tenaga,
dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang
bulat perlahan keluar.
Saat yang sama dokter menggunting perineum,
rasanya lebih enak karena keluarnya jadi lancar,
tidak terasa sama sekali saat digunting.
Suster bantu mendorong dengan tangannya yang kuat,
saya menarik napas kedua,
semuanya terlihat, punggung bayi keluar perlahan.
Dokter sudah menangkap baby dengan kedua tangannya,
dan … bayi melesat keluar! Utuh, menekuk
mencium lutut, seperti dipress.
Whuaaa! Selesai! Leganya! Semua sakitnya
hilang. Lenyap begitu aja.
Saya menaruh kepala saya, tenaga saya habis, baru
bisa bernapas sedikit panjang, tapi masih ngos-ngosan juga.
Dokter memegang baby dengan kedua tangannya,
mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa
melihatnya.
Baby tidak menangis, dia terkulai diam.
“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.
“Ya…,” jawab dokter pelan.
“Baru aja meninggal.., masih
merah, sesaat mau lahir, dia pergi...”
Dokter membetulkan posisi baby yang
masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati,
satu tangan lagi menahan pantat baby,
terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah
menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…
Saya melihat jam di dinding, jam 2.30 siang,
jam yang sama ketika Yesus berada di salib menjelang wafatNya.
Jc langsung menangis begitu melihat baby.
Saya tidak menangis,
tidak punya tenaga lagi untuk menangis.
Jc merangkul kepala saya, dia
menyembunyikan wajahnya dan menangis di kuping saya.
“Jangan nangis..,” pinta
saya perlahan sambil meraih kepala Jc.
“Saya aja nggak nangis..”
Saya tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.
Dokter menyerahkan baby ke suster.
Suster bertanya ke saya,
“mau lihat?”
“Ya…,” kata saya lirih.
”Saya mau lihat siapa
yang selama ini nakal di perut saya.”
Perlahan Jc mengangkat wajahnya,
tetes-tetes air matanya berjatuhan.
Mencoba berdiri tegar di sisi saya.
Lalu Jc meninggalkan saya dan menghampiri suster.
Saya melihat baby sebentar, serasa
tidak percaya, baby cakep sekali.
Perlahan saya membelai dengkulnya yang masih
menekuk,
membelainya sampai ke kakinya. Kecil sekali kaki-kakinya.
Mungil sekali. Masih ada sedikit bercak darah di sana sini.
Kulitnya masih terlihat keriput.
Ancillo telah pergi diam-diam.
Lalu suster membawanya pergi, tidak
memberi saya kesempatan lebih lama sedikit untuk memperhatikan
baby.
“Yenny..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga….,
dia menunggu lu di surga.”
Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah
pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.
Seorang suster yang berdiri di dekat
saya berkata perlahan, “Dok.., saya juga punya satu tabungan di surga.”
“Saya nggak tahu.., kapan?” tanya dokter menoleh padanya.
“Pergi umur dua tahun, Dok,” jawabnya sedih. ”DS”
“Dia juga sedang menunggu lu di surga,” hibur
dokter.
Jc terus berada di samping suster, mendampingi baby.
“Mirip siapa?” saya bertanya pada Jc.
“Antara Vincent dan Francis,” jawab Jc.
Lalu dokter meminta saya untuk sekali lagi mengedan,
tidak perlu kuat-kuat, untuk keluarkan plasentanya.
Sambil menekan perut saya, plasentapun
keluar dengan mudah. Tidak terasa sakit.
Dokter lalu menyuntikkan bius local
sebelum menjahit, “gua tambahin satu suntikan,
jadi tiga, biar lu nggak rasa sakit ya.”
Saya diam aja, memperhatikan suster menimbang baby.
“Beratnya 2410,” suster melapor.
Dokter langsung membalikkan badan, menoleh ke suster,
“coba timbang lagi, masa cuma 2410, gede kok.”
“Bener kok, Dok, tuh 2410,”
suster sambil menunjukkan jarinya di timbangan.
“Cuma segitu ya..,” guman dokter.
Badan baby cukup besar, sebesar baby 3 kilo lebih,
ternyata otak dan tempurung beratnya sekitar sekilo sendiri.
Panjangnya 46 cm.
Jc mengambil beberapa foto baby.
Sehabis menyuntik dokter langsung menjahit.
Saya sempat terpikir, apa nggak kecepatan,
rasanya obatnya belum berfungsi.
Tapi memang tidak terasa sakit.
Saya bertanya perlahan, tenaga saya belum pulih,
“Dok.., disini ada nggak orang yang nggak mau babynya,
terus babynya ditinggal?”
“Gua nggak tahu. Kenapa?” tanya dokter.
“Kalau ada.., saya mau adopsi.” Saat ini
saya ingin sekali bisa membawa pulang seorang baby.
“Ngapain lu adopsi?”
tanyanya heran, tangannya berhenti bekerja.
“Kalau lu masih bisa lahir sendiri,
lu nggak bisa sayang anak adopsi.”
“Mau yang instant.., cape hamilnya..”
“Lu habis ini hamil lagi. Satu lagi.”
“Jangan deh, Dok..,” potong Jc, sambil menghampiri saya,
menanyakan dimana saya menyimpan baju baby.
“Kenapa?” tanya dokter, menoleh pada Jc.
“Ngeri ngelihat dia lahirin. Nggak lagi deh,” jawab Jc.
“Dia mah takut banget saya mati, Dok”
jawab saya masih bisa senyum.
Jc memang selalu ketakutan bila di kamar bersalin.
Tapi dia juga selalu setia menemani saya sampai tiga kali.
Saya memberitahu Jc kalau baju baby ada di tas tersendiri, di kamar.
Lalu Jc pergi mengambilnya.
Dokter melanjutkan, “lu lahir satu lagi, masih bisa, tapi next
time lu pakai epidural aja,
jadi lu nggak perlu kesakitan kayak gini.
Kali ini kan nggak pendarahan, jadi boleh epidural,”
kata dokter sambil menekan-nekan
perut, “kontraksi baliknya bagus kok.”
“Nanti mama saya marah kalau saya
hamil lagi.” kata saya.
“Lu yang hamil, kok pakai nanya-nanya mama.
Lu kan udah gede, putusin sendiri dong.”
“Lihat nanti deh… tapi nanti bisa keropos
tulang lagi, kayak mama teman saya.”
“Nggaklah, asal lu rajin minum
susu.”
“Nggak bisa minum..”
“Lu minum kalsium aja.”
Dalam benak saya cuma mau pulang rumah,
terbayang wajah Vincent dan Francis,
sudah dua hari saya tidak bertemu mereka.
Kangen ama mereka.
“Dok..” panggil saya
“Ya?” dokter menoleh.
“Teman saya waktu itu suruh saya ke satu pendeta,
yang katanya bisa sembuhin baby yang hidrocefalus,
terus bisa sembuhin baby yang sudah meninggal
dalam kandungan,” kata saya padanya.
“Trus, lu gimana?” tanya dokter.
“Nggak mau aja,” jawab saya pendek.
“Gua juga pernah dengar tentang dia,” sahutnya tenang.
“Menurut gua ya, sampai sekarang.., belum ada
manusia yang bisa bangkitkan manusia. Yang bisa cuma Yesus.”
Saya cukup terkejut mendengar jawabannya.
Sekeliling saya sudah sepi, tinggal saya dan
dokter, sebagian suster sibuk dengan baby, sebagian lagi sudah bubar.
Aneh rasanya, saya masih hidup ya.
Saya mencoba memahami yang baru saja terjadi.
Iya betul, saya masih bernapas walaupun terengah-engah.
Saya masih merasakan tangan saya membuka dan menutup,
ngilu bila terkena dingin, belum hilang juga sejak
mulai hamil besar.
“Dok, kalau mau steril kapan?” tanya saya.
“Sekarang gini,” jawab dokter kembali menoleh.
“Bisa langsung?” tanya saya.
“Serius lu?” tanya dokter. “Lha.., gua udah jahit setengah baru bilang, mustinya tadi,
pas gua belum jahit,” kata dokter.
Tidak terdengar nada marah sedikitpun.
Matanya menanti jawaban saya.
“Nanya doang kok,” kata saya.
“Lu ngagetin gua aja,” sahutnya lega.
“Nanti aja kalau mau steril, pas lu kontrol lagi.
Jangan sekarang ya, lu pikir dulu baik-baik, bukannya lu masih coba satu
lagi?”
“Dok…”
“Hmm..?”
“Kenapa kalau udah tiga bulan musti dilahirin
normal ya, bukan langsung kuret?” tanya saya.
“Ya, kan babynya udah gede.
Lu lagi ngomongin yang barusan ya?”
“Iya, tadi pagi, dikuret ama Dr.
****”
“Gua juga baru tahu, tadi suster barusan cerita,” kata dokter pelan.
“Dulu, dia pasien gua, kena rubella, gua minta dia pertahanin babynya
tapi dia nggak mau..”
“Dia cerita kalau dokter nggak mau aborsi.”
“Ngapain aborsi?”
suaranya datar,
“rubella nggak napa-napa kok.”
“Mereka takut babynya cacat.”
“Tapi kan masih ada chance untuk normal? Kenapa musti
aborsi?”
“Istrinya sempat berubah pikiran tadi pagi,
tapi suaminya tetap nggak mau.”
“Gua pernah cerita ke lu kan pasien gua yang kena rubella juga?
Sudah umur lima tahun sekarang, sehat-sehat aja.”
“Pernah.”
“Memang..,”
kata dokter tertahan, “kalau rubella diaborsi, secara medis dibenarkan…”
Suaranya berat, terdengar begitu terpukul, kecewa dan pasrah, semuanya sudah
terjadi...
“Kenapa dokter nggak langsung bilangin ke Dr. **** aja?”
“Ngapain?” tanya dokter, enggan.
“Dia sampai kelimpungan cari-cari dokter yang mau.”
“Dulu memang gua menyebut nama dokternya, tapi sekarang gua
nggak mau rekomen siapa, biarin dia cari sendiri. Kalau baby diaborsi,
kasihan..”
“Stop, Dok,” potong saya segera, “jangan cerita lagi, nanti saya
nangis..”
Saya tidak mau menangis, untuk napas aja udah susah
payah.
Dokter kembali bekerja. Tidak lama dokter merasa benangnya kurang.
“Sus,” katanya, “tolong benang lagi dong, kayaknya kurang dikit.”
“Nanti musti lepas jahitan nggak?” tanya saya.
“Nggak, benangnya langsung menyatu
dengan daging.”
“O begitu..” kata saya. ”Emang berapa jahitan, Dok? Parah
ya?”
“Sus, ini berapa jahitan?” dokter balik bertanya ke susternya.
“Dulu orang memang ngitungin berapa jahitan,”
jawab suster sambil memberikan benang
yang diminta dokter.
“Sekarang nggak lagi, udah nggak dijahit, teknik jahitnya
beda, jadi nggak bisa dihitung. Disulam ya, Dok, namanya?”
Dokter cuma senyum
mengangkat bahu.
“Udah cukup, Sus, nggak jadi nambah benang deh, kayaknya
benangnya pas banget panjangnya.”
Lalu suster pergi, menyimpan balik benang
di lemari.
“Dok, yang seperti ini pasien ke berapa?” tanya saya.
“Kedua,” jawabnya pelan.
“Yang pertama waktu gua masih di kampung, sama seperti lu,
sungsang juga.”
Dokter menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak.
“Pas tengah-tengah lahiran, mendadak ibunya emboli, jantungnya langsung
berhenti.”
Dokter terdiam sesaat.
Saya menunggu dokter melanjutkan
ceritanya. Emboli, pikir saya, udara masuk ke pembuluh darah, selalu
fatal.
“Ibunya kejang-kejang. .,” lanjut dokter, “langsung pakai segala cara
untuk pacu jantung ibunya, berjuang mati-matian untuk selamatin
ibunya..”
“Selamat nggak ibunya?” tanya saya pelan dengan napas
tertahan.
“Selamat….,” kalimatnya menggantung.
“Terus?” tanya saya
berbisik.
“Tapinya..,” kata dokter dengan sangat lemah, “abis itu ibu udah
nggak bisa apa-apa lagi…”
Deg! Jantung saya terasa berhenti. Mati otak? tanya
saya dalam hati, saya tidak berani bertanya lagi.
Hening. Kepedihan
melintas.
Lama terdiam.
Pasti berat sekali buat dokter saat itu. Kejadian
ini seakan membuka kembali lembaran lamanya,
kenangan yang menakutkan, juga
menyedihkan.
Saya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata,
lalu membukanya kembali, mengamati sekeliling saya,
masih sama seperti sebelum saya memejamkan
mata. Untung saya tidak kenapa-napa.
Mata saya menerawang ke sudut atas
ruangan yang putih bersih ini,
saya melihat bayangan diri saya di sana,
berdiri melayang di sudut atas,
matanya memandang kosong ke depan, tatapannya hampa,
sambil menggandeng baby.
Dia memakai baju putih panjang yang sama seperti baju
baby yang juga panjang.
Matanya menyapu sekeliling ruangan ini, tampak punggung
dokter dari belakang, kepalanya sedang menunduk,
tampak pula diri saya yang sedang berbaring tak berdaya,
wajahnya pucat, sedangkan di pojok ruangan tampak
baby yang terbaring sendirian, tertidur dalam damainya,
perlahan-lahan bayangan itu memudar, bergerak menjauh,
semakin samar tertutup kabut putih, semakin
mengecil…
“Gua nggak berani cerita ini ke lu,”
suara dokter seakan menarik
kembali roh saya ke tempatnya semula.
“Kalo gua cerita, nanti lu tambah ketakutan..”
Saya terdiam.
Terima kasih atas kebaikanMu, Tuhan, telah
memberi saya kesempatan hidup kedua.
Pakailah diri saya yang sekarang ini
seperti yang Kau ingini,
untuk mencegah aborsi,
seperti janji saya pada malam yang lalu.
Kau berikan mujijat bertubi-tubi di saat-saat terakhir, di
saat saya sudah tidak berani meminta apapun...
Saya menoleh ke kiri kanan, ruangan
tambah sepi, hanya tinggal satu suster berdiri menemani baby,
menunggu Jc membawakan baju untuknya.
Cukup lama Jc balik ke kamar untuk mengambil tas
berisi baju baby.
Sepertinya dia sekalian mengabarkan ke mama saya di ruang
tunggu bahwa saya selamat tapi baby tidak.
Begitu melihat wajah Jc, adik saya
langsung tahu bahwa mujijat kesembuhan baby tidak terjadi.
Wajah Jc begitu sembab, matanya berair,
mencoba tegar menghadapi ini semua.
Dalam mimpinya, dia melihat seorang baby putih mungil
tanpa cacat sedang tertidur pulas.
Namun Tuhan telah menjawab doanya yang lain,
kakaknya selamat.
Tadi saya sempat mendengar
Jc menelpon ke Atmajaya, untuk penjemputan baby.
Tiga bulan lalu kami sempat ke sana
untuk menanyakan kremasi untuk baby.
Kami menyimpan kartu nama contact
person tersebut.
Sayangnya, beliau tersebut sedang tidak ditempat.
Sebelumnya, kami ingin baby dimakamkan
di pemakaman yang baru di Krawang,
dengan latar belakang bukit hijau,
agar menjadi tempat peristirahatan
terakhirnya yang damai,
saya ingin kedua kakaknya mengetahui bahwa adiknya
tertidur di sana,
agar setiap tahun kami dapat mengunjunginya dan mengenangnya.
Tapi mama saya tidak memperbolehkan,
menurutnya kepercayaannya, baby sebaiknya
dikremasi agar rohnya cepat kembali.
Dia adalah Buddha yang menjalani
reinkarnasi terakhir,
perlu sekali lagi reinkarnasi agar sempurna menjadi
Buddha.
Jadi selama ini saya mengandung seorang Buddha?
“Jam berapa dijemput?” tanya dokter,
sejenak perhatiannya beralih pada Jc yang kembali
membawa tas baby.
“Nanti, Dok,” kata Jc, “sekitar jam 5 sore.”
“Atmajaya udah tahu musti ke sini, lantai 2?”
“Udah, udah dikasih tahu.”
Dokter memberitahukan suster agar nanti baby ditempatkan
di ruang tindakan satu lagi yang lebih kecil,
soalnya di sana tidak banyak orang yang mundar-mandir,
ruangannya sedikit tersembunyi.
Saya kembali bertanya-tanya sendiri,
kira-kira tadi berapa kali ngedan ya baru baby mau lahir.
Mungkin sekitar duapuluh kali… untung saya tidak buta.
Terima kasih sekali lagi ya, Tuhan.
“Satu jahitan lagi selesai.
Gua pastikan lu nggak pendarahan,” kata
dokter lega.
“Terima kasih ya, Dok..”
Hanya itu yang mampu saya katakan padanya,
saya tidak punya kata-kata lain untuk semua supportnya
sampai detik ini.
“Sama-sama,” balasnya tulus.
Tidak lama kemudian dokter selesai,
dia membuka sarung tangannya, menepuk-nepuk kaki saya,
lalu bangkit berdiri perlahan
dan langsung menghampiri baby.
Lama Dokter berdiri di sana.
Dia memperhatikan baby, mengucapkan selamat jalan
dan melepas kepergiannya sambil berkata perlahan
pada baby,
“De.., inget-inget ama Om ya di surga…”
Dokter masih berdiam di sana, termenung.
Saya terharu mendengar kata-kata dokter.
Tanpa saya sadari air mata pertama mengalir perlahan
di kedua pipi saya.
Sedari tadi saya belum menangis.
“De, ingat mama juga ya di surga,” bisik saya lirih.
Suster merapikan saya dan memakaikan baju biasa,
sarung dan korset.
Saya berbaring lemah, dinginnya ruangan kembali terasa
menusuk tulang,
suster lalu menyelimuti saya dengan selimut tebal berwarna coklat,
hangat sekali.
Ancillo sudah pergi, begitu tenang,
bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya.
Dia juga tidak meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya.
Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari,
dimana dia akan diletakkan, di kamar bersalin,
di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi
saya...
bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga
sambil memperhatikan napasnya satu-persatu,
menemaninya terus di sisi saya,
memandanginya sampai ajal menjemputnya.
Dia benar-benar anak yang baik,
tidak menyusahkan saya sama sekali.
Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan.
Begitu istimewa. Begitu sempurna di mata saya.
Satu jam lalu dia masih bersama saya,
tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…
Dokter membalikkan badan,
melangkah pelan sampai ke dekat gantungan baju di sudut ruangan,
baru aja mau melepas jubahnya,
namun seorang suster mengingatkannya kalau masih ada satu
pasien lagi, sudah mau lahir.
Dokter teringat kembali, ada seorang ibu lain
yang tengah menunggunya untuk menolong kelahiran seorang baby
yang telah dinantikannya selama berbulan-bulan.
Dirinya yang dipakai Tuhan menjadi
perantara untuk menghadirkan buah cinta bagi kedua orang tuanya
dan menjadikannya malaikat kecil di tengah keluarganya.
Tangannya yang dipinjam Tuhan untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Dokter bergegas meninggalkan ruangan,
menghampiri ibu itu.
Jc menemui saya, dia tampak kebingungan memilihkan baju
untuk baby, beberapa baju baru kami bawakan,
karena saya pikir baby dapat
bertahan hidup beberapa hari.
Saya memilihkan baju biru dasar putih,
bergambar anak-anak domba, baju yang paling saya suka.
Saya tidak mau baby memakai baju putih-putih,
dalam benak saya, baby sedang tertidur nyenyak.
Dia tidak mati, tidak pernah mati.
Dia selalu hidup di hati saya. Selamanya.
Jc lalu memilihkan kaos kaki dan kaos tangan
yang warnanya senada.
Topi dipilihnya yang putih.
Jc sudah tidak menangis.
Tak lama saya sudah boleh dijenguk,
mama saya langsung menghampiri saya,
wajahnya gembira sekali, anaknya selamat,
begitu leganya melihat saya,
lalu Jc menemaninya ke ruangan lain untuk melihat
baby.
Adik saya dan ipar saya bergantian menjenguk.
Mama kembali menemui saya
dan bilang babynya cakep,
badannya bagus, dadanya bidang, seperti atlit,
perutnya juga kempes tidak seperti baby lainnya
yang buncit, baby perutnya rata,
mekoniumnya sudah dikeluarkan saat bukaan delapan,
bahkan baby pergi dengan benar-benar bersih.
Pahanya gendut berisi, keliatan ada dua lipatan, tandanya
kalau punya adik lagi pasti laki-laki.
Selama dua jam pemulihan, sakitnya sudah hilang.
Dokter memang memberikan dua kapsul voltaren untuk anti sakit,
tapi memang begitu baby lahir sudah tidak terasa sakit lagi.
Seperti mimpi, perut saya kempes, kosong,
tidak ada baby lagi yang menemani saya selama
berbulan-bulan, dia telah pergi meninggalkan saya sendiri ...
Saya SMS ke satu teman kantor mengabarkan
kalau saya sudah melahirkan dengan selamat dan
sang malaikat kecil, Ancillo Dominic,
telah kembali ke surga pada jam yang sama.
Saya memintanya untuk tidak menelpon atau SMS,
saya tidak mau diganggu.
Berulang kali saya mencoba memejamkan mata untuk beristirahat,
tapi tidak bisa, mungkin terlalu lelah.
Setelah dua jam, saya didorong keluar oleh
suster dari ruang tindakan.
Sore itu sepi sekali, tidak ada pasien lain,
suster juga bekerja dalam diam.
Hanya terlihat tiga orang suster, biasanya cukup ramai.
Tidak semua lampu dinyalakan
sehingga ruangan tampak sedikit redup.
Ketika saya melintas di ruang tengah,
dalam keremangan cahaya, saya melihat
dokter sedang seorang diri, senderan dengan santai di kursi kayu,
lengan bajunya masih tergulung, sementar jari tangannya asyik
bermain Hp sambil menunggu jam 5 sore untuk praktek
sampai tengah malam lagi. Dokter tidak sempat pulang rumah
untuk beristirahat.
Suster sempat ragu mau membawa saya kemana,
langsung ke kamar atau tetap di kamar bersalin.
Mereka menoleh ke dokter, tapi dokter sudah
tenggelam di dunia maya, mereka tidak jadi mengusiknya.
Akhirnya suster memutuskan untuk tetap di kamar bersalin sesaat lagi.
Jc menemani saya sambil sekali-kali menelpon ke Atmajaya,
sore ini banyak yang meninggal sehingga jadwal
penjemputan baby berubah-berubah.
Saya berhenti menangis.
Antara lega karena selamat dan
berhasil melewati hal yang paling saya takuti selama ini.
Jc juga sudah biasa.
Saya bertanya Jc,
“Emang lu kelihatan babynya makin turun setiap
kali ngedan?”
“Nggak” jawabnya santai. “Gua cuma ikutan-ikutan suster dan
dokter kasih semangat terus. Mana kelihatan, gua kan berdirinya di
kepala.”
“Dasar lu orang, tahunya semuanya cheerleader.”
“Lha lu nggak tahu, si dokter dan suster sengaja lagi
bercanda-canda, biar nggak tegang. Tadi
pas dokter nawarin makan padang ke suster,
gua pengen nyahut tuh, ya pada nggak
maulah, abis nawarinnya cuma padang.” katanya sambil tertawa.
“Gua sampe frustasi ngedannya, nggak nyampe-nyampe.
Udah nggak bisa mikir.”
“Lu kan juga dibohongin ama dokter
waktu dia bilang induksinya sudah di stop,” ledek Jc.
Mata saya langsung melotot ke arahnya, hari ini dibohongin terus.
“Tadi susternya mainin infusnya,” lanjut Jc,
“dinaik-turunin tetesannya, sampai cepat banget
netesnya. Dokter diam-diam kasih aba-aba.”
“Kapan?” tanya saya.
Jc tertawa lagi, “lu nggak tau kan?”
Jc senang banget melihat saya kesal
dibohongin.
“Tapi… hebat juga ya, bisa lahir..,” kata saya, “eh tadi aku
sempat teriak kenceng banget ya, lu kaget nggak?”
“Udah lupa,” sahut Jc.
“Udah panik soalnya.”
Jam 5 sore kami dipindah ke kamar. Saat akan pindah,
terdengar di ruang tindakan,
seorang ibu sedang menahan kesakitan.
Sebentar lagi mau melahirkan.
Saya langsung berkata ke Jc,
“bilangin Sus dong, mau buru-buru
pindah kamar, deg-degan dengernya, bikin terulang.”
Ketika sampai di kamar,
tahunya mama, adik dan ipar saya sudah menunggu di sana.
Jc masih sibuk dengan Atmajaya.
Janji mereka jam 5 sore, tapi belum datang juga, katanya
jalanan di jembatan tiga juga macet total.
Akhirnya Atmajaya datang juga menjemput baby.
Tadinya Jc mau menyusul sendirian ke sana,
untuk mengurus masalah administrasi, peti, jadwal misa,
jadwal kremasi, tapi adik dan ipar saya menemaninya,
karena Jc masih terlihat bingung.
Ini pertama kalinya dia mengurus kematian.
Sampai jam sembilan malam keluarga saya berdatangan,
mereka melihat foto-foto baby di kamera.
Mereka mengatakan kalau babynya bagus, badannya sehat,
berisi, mukanya bagus, meninggalnya juga tenang.
Saya sudah tidak sedih.
Ketika malam hari sudah pulang semua,
Jc mengurut kaki tangan saya
dengan minyak telon, mulai terasa pegal-pegal.
Enak diurut-urut, hangat.
Seluruh bengkak di telapak kaki, paha, lengan,
jari tangan hilang semua,
airnya seperti diserap semua oleh tubuh.
Tubuh manusia memang penuh keajaiban.
“Saya masih mau satu baby lagi,” pinta saya.
“Abis ini, kita treatment ya ama dokter, biar baby nggak gini lagi…”
“Nggak lagi deh..” kata Jc menawar.
“Yang tadi kan sakitnya udah maksimal, udah diinduksi,
baby nggak bantu dorong, gede, sungsang pula,
masih bisa tahan kok. Lain kali pasti nggak
sesakit gini, lahirin normal lagi juga berani, nggak trauma,”
kata saya berusaha meyakinkan Jc.
“Nggak deh..,” kata Jc sambil mencium pipi saya.
“ Ini peringatan dari Tuhan, kalau minta nggak boleh berlebih.
Udah punya dua, masih minta satu lagi sih…”
“Nanti ya kita planning lagi,” kata saya berkeras.
Penderitaan dan penantian panjang selama sembilan bulan sudah lupa.
Sakitnya melahirkan juga udah lupa semua.
Berlalu begitu aja.
Saya memang short-memory,
teman saya sampai bilang saya seperti Dori, temannya Nemo.
Malam itu saya tertidur, walau sebentar-sebentar terbangun.
Untaian rosario menggantung dekat selang infus,
menemani saya saat terjaga, langsung
saya teringat untuk menitipkan Ancillo pada Yesus.
Saya kesepian sekali.
Kembali menangis membayangkan Ancillo.
Tadi suster begitu cepat membawanya pergi.
Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak
terbayang-bayang akan babynya.
Saya belum sempat memeluknya,
belum mencium pipinya, belum mendekapnya,
rindu ini tidak tertahankan.
Saya ingin sekali lagi bisa
membelainya, mengulanginya.
Saya mengambil kamera,
mengamati fotonya satu persatu.
Suster mengikat kedua tangannya dengan kain kanfas putih,
begitu juga kedua kakiny.
Jc bilang, suster sempat mengatur mulut baby agar tidak terbuka,
dan hendak mengikat rahangnya dengan kain kanfas putih.
Tapi Jc melarangnya, dia tidak mau babynya diikat-ikat
seperti orang mati. Biarkan dia berpenampilan
seperti baby lainnya,
seakan sedang tidur yang nyenyak.
Matanya sedikit terpejam,
tidak sampai menutup rapat,
bola matanya kelihatan,
baby seperti sedang terkantuk-kantuk.
Kulitnya putih bersih, dadanya bidang,
lengannya putih-bersih berisi,
pahanya juga berisi, sehat sekali,
telapak kakinya kecil, jari tangan kecil,
begitu mungil, pipinya tembem, mulutnya mungil,
hidungnya mungil, mancung, wajahnya imut-imut.
Suster menutup atas kepalanya dengan
kain bedong biru,
baby tidak dapat dipakaikan topi karena topinya kebesaran,
bila dipaksa pakai topi
akan menyarungi seluruh mukanya.
Foto lain memperlihatkan baby sudah dipakaikan
pakai baju overall biru tangan panjang
bergambar anak-anak domba,
baby kelihatan begitu manis dengan bajunya yang
kebesaran sedikit,
kalau dipakaikan pampers pasti bajunya pas.
Baby memakai kaos tangan dan kaos kaki,
siap dibawa pulang… kalau saja dia tidak meninggal.
Jc bilang, ketika dijemput tadi,
dia sempat melihat kalau baby sudah mulai kaku,
jari-jari kakinya membiru.
Tapi mukanya belum membiru, masih sama.
Saat ini baby sedang sendirian di Atmajaya,
tidak ada yang menemani disana,
udah masuk peti, dititip di ruangan F1 di lantai dasar.
H+1
Jam 6 pagi
kami sudah jalan-jalan ke lantai dasar.
Sudah lewat dari delapan jam setelah melahirkan,
saya sudah boleh belajar berjalan.
Saat pertama berjalan, masih
sedikit limbung, sambil memakai kain sarung,
saya berjalan keluar, Jc menuntun saya.
Luka jahitan tidak terasa sakit,
hanya saja ketika duduk saya harus
mencari posisi sedikit miring. Lantai dasar kosong,
beberapa lampu menyala.
Tempat ini begitu tenang,
tidak ada keramaian seperti biasanya.
Mama saya datang jam 7 pagi,
dia akan menemani saya sampai siang nanti
karena Jc akan ke Atmajaya sebelum jam 8
bersama kakak saya dan ipar sesuai rencana.
Sambil menunggu dokter visit,
saya sempatkan membalas beberapa SMS turut berduka cita
dari teman-teman senusantara,
rupanya berita meninggalnya baby di email ke all
user dalam berita duka-cita company,
Hp saya sampai full, email saya juga full.
Tiba-tiba jadi orang beken. Sedihnya..
Jam 9 pagi, dokter visit.
Mama saya menanyakan kapan boleh pulang
dalam bahasa mandarin.
Kata dokter, sebentar siangan juga boleh pulang.
Tapi saya minta diperpanjang sehari lagi untuk
istirahat. Dokter mengijinkan.
“Dok, apa boleh minum Pien Zhe Huang?” tanya
mama masih dalam bahasa mandarin.
Lalu dokter menjelaskan ke mama saya kalau
untuk luka yang terbuka seperti akibatan bacokan,
habis dijahit kan pendarahannya sudah stop,
boleh makan obat ini.
Tapi ini kan di rahim,
pendarahannya di dalam,
darahnya harus dikeluarin,
kalau makan obat ini malah
bikin tambah pendarahan.
Bahkan rumah sakit di Shanghai sendiri, habis
melahirkan tidak dibolehkan lagi pakai obat ini.
Saya mengerti sedikit-sedikit
apa yang mereka percakapkan.
Mama menanyakan satu obat lagi,
bagaimana kalau So Hap.
“O itu boleh, untuk buang angin”
kata dokter meyakinkan mama saya.
“Minum aja, boleh, nggak apa-apa.”
Dokter menerangkan lagi kalau kemarin kan
rahimnya gede, sekarang kecil, kosong,
otomatis masih ada angin di dalam.
Lalu dokter bilang ke suster,
“Sus, nanti resepin Rantin ya, biar perutnya nggak
kembung.”
Setelah dokter pergi, mama saya masih terkesima ama
dokter.
“Cakep ya, Ma?” tanya saya.
“Handsome, kayak bangsawan kerajaan,”
jawab mama senyum-senyum.
“Ada belajar kedokteran di Shanghai lagi.”
Ha? Saya sampai terheran-heran,
kapan dokter bilang belajar kedokteran disana,
nggak tahu deh..,
saya yang tidak dengar bagian ini
atau memang saya yang tidak mengerti
ketika mereka asyik mengobrol pakai bahasa mandarin tadi.
Jc pulang menjelang makan siang,
terjadi sedikit kekacauan di Atmajaya.
Kemarin dia pesan agar ada misa keluarga,
pihak Atmajaya menyanggupi karena mereka
punya kerjasama dengan pastur gereja Stella Maris.
Tahunya pagi ini yang datang hanya petugas dari
seksi sosial untuk doa keluarga, bukan misa.
Untung kakak saya kenal dengan Rm. John,
kebetulan romo tidak keberatan langsung dijemput
walaupun dia sudah janji dengan orang lain.
Jadinya, serba mendadak, acara mulai agak siang karena
kakak saya menjemput romo dulu.
Romo John bilang kalau Tuhan begitu sayang
dengan Ancillo yang sejak dari kandungan
sudah begitu menderita sehingga begitu
lahir,
Yesus langsung memanggilnya ke dalam
pelukanNya untuk menjadikannya
malaikat kecil di surga dan untuk
menjadi malaikat kecil bagi keluarganya,
menjaga ibunya supaya cepat pulih,
ayahnya yang menyayanginya, dan keluarganya,
walaupun dia langsung dipanggil Tuhan,
setidaknya dalam waktu sembilan bulan
dia sudah merasakan kehangatan dan kasih sayang
ibu dan ayahnya, tetap menerima dan
menjaga dia dan tetap mempertahankannya
sampai lahir dan tidak mengambil
tindakan apapun yang bisa melenyapkannya.
Ancillo sekarang sudah di surga,
menjadi malaikan dan suatu hari nanti,
dia juga yang akan berdiri menyambut
ibunya untuk mengucapkan terima kasih
atas kasih sayang yang dirasakan sewaktu
dalam kandungan.
Dalam misanya romo mengatakan,
“bahwa ayah ibunya yang telah
menantikan dengan kasih sayang,
namun rencanaMu lain dari kerinduan manusia.
Anak ini hanya Kau titipkan sebentar saja
dalam pangkuan mereka, tapi sekarang
Kau ingin dia kembali ke pangkuanMu.
Biarlah Kau menguduskan dia sepenuhnya
dengan rahmat dan tebusan dari PutraMu
agar dia kembali kepadaMu,
Kau jemput dia, sambut dia dan
Kau berikan tempat dalam kedamaian yang abadi”.
Lalu romo mencipratkan air suci pada Ancillo
yang tertidur di peti kayunya, katanya,
”Air suci akan diurapkan bagi dia sebagai tanda baptis,
yang diimani keluarganya sebagai lambang kasih
dari orang tua dan keluarganya yang mengharapkan Engkau
berbelas kasih kepada anak ini
dan menyambut dia dalam suka cita yang sempurna.”
Romo menutup misa dengan memberikan berkat,
“Atas nama keluarga,
atas nama gereja, yang mencintai engkau,
saya menyerahkan kau kembali.
Pergilah dalam damai anakku,
semuanya sudah selesai buat engkau di dalam dunia ini.
Berangkatlah membawa tanda kemenangan
yang telah dimateraikan untukmu sejak
engkau masih dalam kandungan,
biarlah engkau diterima dalam malaikat-malaikat yang kudus,
dan engkau akan dijemput oleh kalangan pilihan Allah.
Berangkat dan temuilah Allah Bapa yang menciptakan engkau,
temui Yesus yang menebus engkau dengan kuasa darah salibNya
dan Roh Kudus yang menuntun engkau selama berada di
dunia ini.
Datanglah dan tinggallah bersama para kudus,
untuk selamanya memuliakan Tuhan dalam kerajaan yang abadi.
Doakan juga orang tua dan seluruh keluarga
agar mereka selamat dan sehat sejahtera di dunia
sampai Bapa di surga mengumpulkan kamu semua
dan kita sekalian dalam rumah yang abadi di surga.
Pergilah dalam damai anakku,
demi nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin”
Jc menghantar Ancillo sampai ke mobil jenasah,
pihak Atmajaya yang akan membawanya
ke Nirvana, untuk kremasi kemudian abunya disebar di laut.
Untuk baby yang meninggal, biasanya pihak keluarga tidak menemani.
Selamat jalan, Ancillo,
malaikat kecilku, malaikat kesayanganku. ..
Saya meminta mama saya untuk
mencarikan nama mandarin untuk Ancillo,
namun mama saya bilang kalau dia sendiri
kaget begitu tahu nama baby adalah Ancillo,
kenapa namanya bisa begitu pas,
dalam bahasa mandarin artinya
‘Istirahat dalam damai’.
An dari phing an, Si dari sui si,
Lo dari khuai lo artinya gembira-damai- tenang,
An Si artinya istirahat.
Kata ini biasa dipakai oleh gereja
untuk orang yang meninggal.
Sedangkan Budha memakai kata lain chien ku atau sien yu.
Istirahat dalam damai…
Ya, nama yang pantas diberikan untuk dirinya.
Istirahat dalam damai bersama Yesus di surga…
Kami melewati seharian di rumah sakit berdua,
seperti honey moon kedua.
Tapi kali ini penuh dengan kesedihan
walaupun kami sudah merelakan baby pergi.
Sejak pagi badan saya sakit semua,
lebih sakit dari kemarin,
seperti orang baru olahraga berat.
Seperti baru pulang hiking.
Mungkin saya terlalu banyak mengeluarkan tenaga
untuk ngedan.
Memang enakan memakai epidural,
badan tidak sakit-sakit,
karena tenaga tidak habis untuk menahan sakit.
Saya belum dapat berdiri lama,
lebih banyak duduk atau setengah tiduran.
Ajaib, bekas jahitan sudah tidak terasa sakit,
biasanya sampai dua minggu baru hilang.
Ketika sore hari, saya jalan-jalan ditemani Jc.
Kaki kami selalu berjalan menjauhi ruang baby,
menghindarinya, tidak berani melihat baby-baby
yang dipajang,
pasti semuanya menggemaskan entah yang sedang
menangis maupun yang sedang tidur pulas.
Malam hari keluarga Jc datang,
mama mertua saya baru diberitahu sore harinya.
Jc sengaja menyembunyikannya berbulan-bulan,
agar mamanya tidak sedih.
Dia juga tidak memberi kabar sejak kemarin,
menunda menceritakan,
katanya biar semua beres baru dia cerita.
Mama dan kakaknya melihat foto baby,
cucu ketujuh bagi keluarganya.
Mama hanya bilang kalau di kampung Riau dulu,
dua puluh tahun yang lalu juga ada saudara yang lahir tanpa
tempurung.
Mamanya cukup berduka,
dia begitu menyayangi cucu,
jauh melebihi mama saya sendiri.
Hidupnya sejak muda hanya untuk keluarga
menjadi ibu rumah tangga yang penuh cinta.
H + 2
Pagi-pagi kami sudah merapikan kamar
dan menaruh semua barang ke mobil.
Saya sempat duduk-duduk di lantai dasar lagi,
terkenang akan hari-hari Sabtu pagi yang lalu,
hari biasa kami konsultasi dengan dokter,
kami biasa drop buku pagi hari sebelum jam 6,
misa pagi di gereja mulai jam 6,
makan pagi di sekitar pluit,
baru balik ke sini untuk tensi.
Semua tinggal kenangan,
seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang,
mimpi akan kerinduan menggendong seorang bayi mungil.
Mimpi itu telah dikubur bersama
debur ombak di laut luas,
di bawah langit yang terbentang tak berujung.
Kursi-kursi masih kosong, lampu juga masih gelap.
Sebentar lagi satu hall ini akan penuh dengan pasien ibu-ibu hamil,
dari hamil kecil sampai hamil besar,
semua punya harapan yang sama,
menantikan kelahiran seorang bayi
yang sehat dan sempurna.
Apakah saya masih ada kesempatan, mengulanginya sekali lagi?
Entahlah, mungkin saya harus menunggu lama,
atau selamanya kesempatan itu tidak pernah datang.
Ayo semangat,
saya mengingatkan diri saya sendiri,
masih ada dua anak tercinta menunggu di rumah,
tunjukkan dirimu yang baru,
di kesempatan hidup kedua ini.
Kamar sudah kosong, sehingga nanti
sehabis dokter visit,
kami bisa langsung angkat kaki untuk pulang.
Anak-anak sudah tidak sabar,
Vincent bahkan sudah menelpon dari pagi hari
mengingatkan Jc untuk mengantarnya ke sekolah
untuk pesan seragam baru, seragam SD.
Francis juga bilang kalau dia mau ikut ke sekolah.
Sebentar saja baby-baby itu sudah besar,
serasa baru kemarin saya membawanya pulang dari rumah sakit,
sekarang sudah mau masuk SD,
tahun depan Francis pun menyusul masuk SD.
Sejak kemarin anak-anak sudah mau datang menjenguk,
tapi Jc tidak memperbolehkan,
karena kami belum siap
untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mereka hanya diberitahu bahwa adiknya sudah
lahir tapi masih belum sehat.
Jam 8 pagi, dokter visit, seperti biasa dengan
senyumnya yang hangat, sehangat matahari pagi hari itu.
Dokter memeriksa sebentar, semua oke,
saya diperbolehkan pulang.
Saya diingatkan untuk kontrol minggu depan.
Jam 8.30 semua sudah beres,
kami sudah meminta bagian administrasi sejak pagi,
jadi bisa secepatnya pulang.
Saya duduk di kursi tunggu,
tempat biasa keluarga menunggu kelahiran.
Tidak sampai lima orang sedang menunggu,
tampangnya cemas, menantikan kelahiran.
Sama seperti Jc kemarin-kemarin.
Saya melihat dokter muncul dari pintu samping,
rupanya dokter sudah selesai visit,
lalu dia sempat bicara sebentar dengan seorang
keluarga pasien, mendengarkan dengan telaten,
salaman lalu bergegas turun lewat
tangga samping.
Dari balkon saya melihat, pasiennya sudah banyak menunggu.
Thanks ya, Dok, kata saya dalam hati,
entah bagaimana saya bisa melewati ini
semua tanpa bantuanmu, dokter yang penuh dedikasi.
Ancillo telah begitu
banyak meninggalkan kenangan indah bagi saya,
dia begitu berarti bagi saya.
Saya beruntung bisa menjalaninya
semua ini dengan begitu indah.
Sesampai di rumah,
anak-anak sudah menyambut dengan begitu gembira,
mereka berteriak, rebutan cium,
tapi mereka tidak berani menanyakan dimana adik babynya.
Mereka mengira adiknya masih belum sehat,
sehingga masih ditinggal di rumah sakit.
Adik saya membisikkan ke saya,
bahwa sebelum mobil saya masuk rumah,
Francis berkata kepadanya dengan bangga,
“sekarang aku sudah jadi koko lho,
aku sudah punya dede baby.”
Adik saya hanya bisa mengelus kepalanya sambil
tersenyum pahit.
Francis sangat ingin jadi anak tengah,
menurutnya lebih hebat dari
pada jadi anak bungsu,
makanya dia begitu menantikan adik bayinya lahir,
sehingga dia boleh disebut anak tengah,
bukan lagi si bungsu.
Kami buru-buru mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
Sudah hampir kesiangan,
Jc langsung mengantar Vincent ke sekolah. Semua ikut.
Saya istirahat di rumah.
Sepi sekali, tanpa anak-anak.
Bayangan baby kembali menghampiri.
Saya sangat merindukannya.
Biarkan saya menangis sekali lagi, sendirian,
selagi anak-anak tidak ada.
Biarkan saya mengenangnya sendirian...
Saat tidur siang, kami menceritakan
bahwa adik baby nakal di perut sehingga terlilit tali pusar,
begitu kencangnya sehingga meninggal.
Vincent langsung menangis,
sedih sekali, dia begitu terpukul,
dia sudah cukup mengerti akan arti kehilangan,
kepergian dan kematian.
Dia bilang, pokoknya dia tetap mau punya adik baby,
ayo kita doa, minta ama Tuhan,
tahun depan kirim lagi seorang baby.
Francis bilang, nanti kalau Tuhan kirim adik baby lagi,
setiap hari dia akan bilang baby supaya tidak
nakal di perut mama, supaya tidak kelilit lagi.
Kami memperlihatkan foto adiknya yang sedang
tertidur di peti mati. Sosoknya begitu mungil,
hanya terlihat wajahnya,
dibalut selimut putih dari leher hingga kaki,
bahkan dikelilingi kain putih di peti matinya.
Kami menyembunyikan foto di kamera,
dimana kepalanya terlihat tidak utuh.
Suatu hari nanti, kami akan memperlihatkannya.
Suster Vincent memberitahukan bahwa
kemarin subuh sekitar jam 2-3 subuh,
Vincent sempat terbangun dan memanggilnya.
Begitu suster menghampirinya,
Vincent sedang duduk di ranjangnya,
dia menunjuk di sudut kamar,
tempat Vincent menyimpan mainannya, i
tu siapa sus, katanya, sambil mengucek
matanya, itu dede baby ya.
Sus.., dede sudah pulang, tuh disana.
Suster melihat tidak ada siapa-siapa disana.
Lalu menemani Vincent bobo lagi.
Jumat subuh, pikir saya,
Jumat siangnya baru dipersembahkan misa untuk baby.
Mungkinkah Ancillo memang pulang ke rumah
untuk pamit kepada kakak-kakaknya yang
begitu merindukannya, begitu mencintainya.
Beberapa hari saya masih sering
menangis saat malam hari dan pagi hari
di saat rumah kosong dimana anak-anak
berangkat sekolah.
Kemudian saya mulai menulis cerita ini,
sebelum memory saya menghapusnya seiring waktu.
Kenangan akan baby begitu indah, saya tak ingin
melupakannya. Dia begitu berarti bagi saya.
H+10.
Jam 5 pagi
saya sudah bangun, hari ini jadwal kontrol.
Kami berangkat jam 5.30, lebih pagi
lagi dari biasanya.
Saya menaruh buku seperti biasa.
Lalu buru-buru ke gereja Stella Maris sebelum jam 6,
saya harus menyerahkan amplop berisikan tiga intensi
misa hari ini,
pertama-tama berterima kasih atas keselamatan saya,
kedua untuk sepuluh hari meninggalnya Ancillo
dan terakhir untuk baby yang diaborsi karena cacat.
Tapi Romo Yos hanya menyebutkan dua intensi yang pertama.
Romo mungkin bingung, untuk baby yang diaborsi,
jumlahnya begitu banyak di dunia ini.
Sehabis misa,
saya mampir membeli bermacam-macam roti untuk para suster
di kamar bersalin.
Harus pagi ini juga,
pas pergantian shift,
saat itu susternya paling ramai.
Saya sangat ingin berterima kasih kepada semua suster,
atas kesabaran mereka merawat saya selama dua hari.
Kemudian saya antri dokter seperti biasa,
tensi dan timbang.
Berat badan turun drastis, sembilan kilo,
sampai suster menggeleng-gelengkan kepala,
menanyakan resep cepat balik.
Saya juga tidak tahu kenapa,
dari dulu selalu turun sepuluh kilo
begitu pulang dari rumah sakit.
Dokter datang lebih pagi hari ini,
jadwalnya sedikit berantakan hari ini,
operasi caesar yang biasanya pagi,
banyak bergeser jadi siang hari.
Hari ini penuh sekali, lebih penuh dari Sabtu biasanya.
Dokter memeriksa rahim saya lewat USG,
bagus, jahitan bagus.
Saya hanya mengeluh bagian kiri
perut saya sedikit sakit.
Kata dokter, memang biasanya masih sedikit sakit,
karena rahim juga masih besar.
Dia menyarankan untuk meneruskan minum obat anti
sakit, tapi saya mengatakan kalau sejak pulang
rumah sakit saya tidak minum lagi,
selama saya masih bisa tahan.
“Dok, rahim saya turun nggak?” tanya saya
“Lu ke tukang urut, ya?” tembaknya.
Saya hanya bisa senyum malu, ketahuan.
“Perutnya nggak diurut kok.”
“Jangan diurut ya, makin lu urut makin
sakit. Pas diurutnya sih enak, tapi udahannya, lu lebih sakit.”
“Emang kalau rahimnya turun, diapain, Dok?” tanya saya.
“Ya nggak diapa-apain. Lu nggak
angkat berat, kan?” tanyanya.
“Nggak.”
“Ya udah, asal lu nggak angkat
berat, nggak usah takut rahimnya turun,”
jawabannya menenangkan saya.
Dokter masih saja tersenyum,
tiba-tiba dia geli sendiri.
“Kalau rahim diurut bisa naik,
apa bedanya dengan payudara?”
tanyanya sambil memegang dadanya membentuk dua
mangkok.
“Apa payudara yang udah turun kalau diurut bisa naik lagi?
Kan sama-sama otot.” Tampangnya nakal sekali.
“Kalau bisa, boleh juga tuh,”
katanya sambil menahan ketawa,
“sekalian pasang plang besar, ‘Payudara Kendor,
Diurut Bisa Kencang Lagi’.
Akhirnya meledak juga tawanya.
“Wah bisa rame deh
tukang urutnya.”
Kami ikut tertawa, kocak banget si Dokter.
“Eh Dok, emang tidurnya musti setengah duduk ya,
biar darahnya keluar lancar?” tanya saya lagi.
Dokter berusaha pasang tampang serius,
tapi tidak berhasil. “Kata siapa?
Wah, lu pegel-pegel dong.” katanya kembali menahan ketawa.
“Kata mbak Jawa,” jawab saya.
Sepertinya salah nanya lagi deh, kata saya dalam hati.
Emang lumayan pegel,
sudah beberapa hari saya tidurnya setengah duduk,
mengikuti nasehat bidan tukang urut.
“Ini, ada mbak Jawa,” katanya sambil mengerling ke
arah suster kesayangannya,
suster tinggi berkacamata,
“Sus, emang orang Jawa gitu ya?”
“Ya nggaklah, orang Jawa abis melahirkan juga biasa aja tidurnya,”
jawab suster sambil senyum-senyum.
“Tuh, tidurnya biasa aja, ya,” ujarnya
menasehati sambil senyum-seyum.
“Biar lu istirahatnya juga enak.
Lu aktifitas juga seperti biasa aja,
biar darah keluarnya lancar.
Asal jangan angkat berat-berat.”
Lalu dokter menanyakan sisa obat yang dibawa pulang dari rumah sakit.
“ASI lu dulu banyak nggak?” tanyanya.
“Dikit.”
“Gua resepin Parlodel aja ya, buat stop lu punya ASI,” nadanya baru serius.
“Walaupun keliatannya ASI lu udah stop,
lu tetap musti lanjutin minum, nanti dia bisa
produksi ASI lagi. Lebih bagus lagi kalau dada lu dibebat.”
“Kapan boleh ngantor, Dok?” tanya saya.
“Dapat cuti tiga bulan kan dari kantor?” tanyanya
balik.
“Cutinya sebulan aja, boleh?” tawar saya.
“Ngapain lu buru-buru ngantor?
Nyantai aja lagi di rumah, istirahat dulu, ngapain kek.”
“Banyak kerjaan, Dok. Sebulan aja ya?” ulang saya.
“Nggak boleh,” jawabnya cepat.
“Bulan depan lu balik, kontrol ama gua sekali lagi, baru gua bolehin.
Tunggu 40 hari dulu deh baru ngantor.”
“Iya deh,” kata saya mengalah.
“Lu kontrol sebulan dari sekarang ya, terserah lu kapan,” pesannya.
Lalu dokter mengulurkan tangannya memberikan salam
sambil tersenyum manis, senyum khasnya.
“Oke deh,” jawab saya ringan.
Langganan:
Postingan (Atom)